Wednesday, November 25, 2009

Di Produk Spa, Kita Jaya!

Wajar saja jika November 2007 lalu Bali menjadi tuan rumah Spa & Herbs Natural Cosmetics Exhibition. Karena, begitu banyak tempat spa di Bali, termasuk industri pembuat produk spa, mulai dari yang industri rumah sampai industri skala menengah dan besar. Awal April lalu, eve pun menemui tiga perempuan pengusaha produk spa di Bali, yang pemasarannya sudah sampai ke mancanegara.


Ni Wayan Lilir, 36 Tahun, Utama Spice
”Ada Lebih dari 80 Jenis Produk Spa yang Kami Produksi”

”Enam puluh lima persen produk kami diserap pasar ekspor, terutama ke Jepang dan Kanada. Di sana, mereka menjual lagi ke spa-spa. Mereka boleh saja pakai merek mereka sendiri, asalkan untuk setiap jenis produk yang mereka pesan minimal seratus buah,” ungkap Ni Wayan Lilir, pemilik perusahaan produk-produk spa Utama Spice, yang juga kerap memberi nama pada produk-produknya dengan merek Supa Dupa.

Konsumen di negara-negara maju menyukai produk-produk Utama Spice, karena semua produknya dibuat dari bahan-bahan yang alami, seperti rempah-rempah, beras, minyak kelapa, rumput laut, lilin dari sarang lebah, dan teh. Ada lebih dari 80 jenis produk spa yang dihasilkan Utama Spice, mulai dari minyak pijat, garam mandi, sampai lips balm. ”Kami juga sangat menjaga kualitas produk. Semua bahan, kecuali yang impor, kami beli dari Bali Organic Association, yang memiliki standar tinggi dan bersertifikat,” tutur perempuan yang lahir pada 21 September 1972 ini.

Kemasan produk-produk mereka pun terbuat dari bahan-bahan yang akrab dengan alam, yang dapat didaur ulang. ”Kertas daur ulangnya kami beli di Bandung, sementara untuk kemasan botol dibeli di Surabaya. Kami juga menggunakan kertas koran bekas untuk tas, yang dibuat oleh anak-anak sekolah dasar jika mereka punya waktu senggang. Satu tas dari kertas koran ukuran kecil kami beli Rp500, yang ukuran sedang kami beli Rp1.000,” tutur ibu dari seorang anak ini.

Lilir mulai terjun ke bisnis ini pada tahun 1995 lampau bersama dengan dua orang temannya. ”Kami tadinya membantu seorang perempuan Inggris mengurus rumah, anak, dan bisnisnya. Lalu, karena dia tahu saya suka membuat ramuan-ramuan khas Bali di rumah, untuk dijual lagi kepada tetangga-tetangga, ia lalu memberi bantuan modal Rp300 juta kepada kami untuk memulai usaha ini lebih serius,” ujar Lilir.

Ketika itu, Lilir juga telah belajar soal farmasi secara privat dari seorang warga negara Cina dan Amerika Serikat, dibiayai oleh teman-temannya dari berbagai bangsa, karena Lilir pernah menjadi pemandu wisata. ”Saya jadi tahu bahasa ilmiah dari berbagai macam tumbuhan herbal,” katanya. Pengetahuan tentang berbagai ramuan Bali sendiri ia dapat dari ayahnya yang seorang dukun, juga dari ibunya.

Sang perempuan Inggris yang baik hati itu, Melanie Templar namanya, juga membagi pengetahuannya soal obat-obatan herbal dan essential oil kepada Lilir dan kedua temannya. ”Ia memang banyak tahu soal obat herbal Barat dan essential oil. Karena itu, produk-produk kami merupakan campuran dari herbal asli Bali dan Barat. Kami mengimpor essential oil, kecuali minyak kenanga yang kami buat sendiri lewat penyulingan panas. Untuk produk yang berupa krim, kami juga tidak menggunakan bahan kimia, tapi menggunakan rumput laut. Lips balm kami pun dibuat dari lilin sarang lebah. Harga produk kami mulai dari Rp4.500 sampai puluhan ribu rupiah,” ungkap istri dari I Made Westi ini.

Kini, omzet Utama Spice bisa mencapai Rp80 juta per bulan dengan karyawan berjumlah 16 orang, yang 14 di antaranya adalah perempuan. Sayangnya, produk-produk Utama Spice belum ada di toko-toko, supermarket, dan hipermarket. ”Karena, kami belum punya izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Biayanya mahal sekali dan harus diurus di Jakarta. Untuk satu jenis produk saja dibutuhkan biaya sekitar Rp640 ribu. Belum lagi birokrasinya yang rumit. Itulah sebabnya kami lebih banyak menjual produk-produk Utama Spice ke mancanegara,” kata perempuan yang ramah ini.

Teknologi yang dipakai untuk memproses produk-produknya pun masih tergolong sederhana. Hampir sebagian besar dikerjakan secara manual. Mesin yang digunakan hanya mesin parut, mesin pembuat tepung, dan blender. ”Untuk penyulingan, kami mengorder ke orang, karena kami belum punya mesinnya. Rumah ini pun masih sewa. Rencananya, saya dan suami akan mengurus izin dari Badan POM dulu, karena sudah banyak permintaan dari pihak supermarket dan hipermarket,” kata Lilir, yang ketika kami temui di pabriknya kerap kedatangan konsumen warga negara asing. Ia berharap segera bisa punya gedung milik sendiri, sehingga bisa lebih bisa mengembangkan usahanya. ”Kalau punya gedung sendiri, saya juga akan buka tempat spa di sana,” ujarnya.

Utama Spice (PT Supa Dupa Spice)
Desa Pengosekan, Ubud, Bali
Telepon (0361) 975051, 08123816024, 08123816020


Flora Juniar Manik, 29 Tahun, Borēh
”Kami Tidak Memproduksi Jenis Krim karena Menghindari Pemakaian Bahan Kimia”

Dia orang Batak asli. Lahirnya pun di Belawan dan besar di Medan. Dia “terdampar” di Bali karena suaminya, Haiko Schwering, warga negara Jerman, telah lama menetap di Bali. “Kami bertemu di Thailand dan setelah menikah tinggal di Bali,” ujar perempuan yang lahir pada 17 Juni 1979 ini.

Ia terjun ke bisnis produk spa natural pun diajak oleh suaminya pada tahun 2006 lalu. “Ceritanya ada teman suami saya, orang Jerman juga, yang sudah menetap di Bali lebih dari 20 tahun dan punya tanah 20 hektare di Singaraja. Tanah itu ditanami tumbuh-tumbuhan obat dan untuk memelihari hewan-hewan ternak. Dia dan beberapa orang Bali yang bekerja di sana suka membuat bermacam ramuan dari tumbuh-tumbuhan itu, untuk dipakai sendiri. Tapi, kemudian, dia mengajak saya untuk membuat produk spa,” ujar Flora.

Dengan modal awal hanya Rp10 juta, di luar biaya untuk pembuatan tempat produksi dan ruang pamer di kawasan Kuta, mereka pun lalu membuat produk spa yang bahannya semua berasal dari alam, dengan memakai merek Borēh. Semua produk dibuat sendiri dengan bahan-bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang ditanam secara organik di lahan itu, kecuali rumput dan ganggang laut. Semua natural, tidak ada campuran bahan kimia sedikit pun. Itulah sebabnya, harga produk kami agak lebih tinggi dibanding dengan produk spa dari perusahaan lain. Harga produk kami mulai dari Rp20 ribu,” tuturnya. Cara produksinya pun masih manual, kecuali untuk mengolah batu vulkano, batu dari gunung berapi, digunakan mesin.

Produk Borēh mulai dari minyak pijat, aroma therapy, nature oil, facial masker, sampai body peeling. “Bahan-bahannya antara lain beras merah, kacang hijau, jahe, merica hitam, kencur, temulawak, kunyit, minyak kelapa virgin, dan essential oil,” ungkap ibu dari seorang anak batita ini.

Uniknya, semua produk spa Borēh hanya berupa minyak dan serbuk. ”Kami memang tidak membuat produk jenis krim karena menghindari pemakaian bahan kimia. Mungkin karena itu produk-produk kami banyak disukai oleh para ekspatriat dan wisatawan dari mancanegara,” ujarnya.

Menurut Flora, umumnya para konsumen merasa puas dengan produk Borēh. ”Tapi, rata-rata memang mengeluhkan harganya yang agak tinggi dibanding produk dari perusahaan lain, ha-ha-ha.... Itu kan karena semua bahannya alami, dengan kualitas yang sangat terjaga,” kata perempuan yang sangat menyukai perawatan spa ini.

Flora kini sedang menyiapkan pengurusan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk produk-produk spa Borēh. ”Karena, kami mendapat order dari pembeli di luar negeri, yang mensyaratkan adanya sertifikasi dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia untuk produk-produk Borēh,” kata perempuan yang tak ingin menyebutkan berapa omzet perusahaannya itu.

Borēh
Jalan Nakula No. 29, Kuta, Bali
Telepon 081338307891


Intan, 45 Tahun, Dewi Racik
”Saya Mendapat Bantuan dari Pemerintah Daerah”

”Nama saya sebenarnya Intan. Tapi, orang-orang lebih mengenal saya sebagai Ibu Dewi Racik,” katanya membuka percakapan dengan eve. Dewi Racik adalah nama yang dipakai oleh perempuan asli Bali ini untuk memberi nama pada produk spa dan obat herbal yang ia buat. Selain sebagai pengusaha produk-produk tersebut, ia memang dikenal juga sebagai ahli pengobatan alternatif.

”Tadinya, saya berbisnis garment. Tapi, ketika saya sekeluarga diserang penyakit, saya mencoba membuat berbagai ramuan untuk kami sekeluarga dan ternyata ramuan itu manjur. Kulit anak ketiga saya yang tadinya sudah busuk pun akhirnya bisa sembuh. Saya merasa ini merupakan panggilan. Karena itu, saya memutuskan untuk menekuni dunia pengobatan,” tutur perempuan yang lahir pada 23 Maret 1963 ini. Maka, pada tahun 1996, Dewi Racik pun mulai sering mengobati orang-orang yang membutuhkan pertolongan. ”Saya tak boleh menolak jika ada yang minta tolong. Kalau menolak, sekeluarga kami akan diserang penyakit. Itu pernah terjadi waktu saya merasa bosan menghadapi orang-orang dengan bermacam penyakit,” tuturnya.

Berbagai ramuan dari tumbuh-tumbuhan pun dibuat Dewi untuk mengobati berbagai penyakit. ”Awalnya, saya membuat ramuan itu khusus untuk dipakai waktu pengobatan di rumah ini. Tapi, kemudian, ada banyak pasien yang meminta ramuan untuk dibawa pulang. Akhirnya, saya pun memproduksi lebih banyak ramuan itu, termasuk ramuan untuk kecantikan dan spa,” ungkap istri dari seorang pegawai negeri ini.

Karena permintaan semakin banyak, Dewi pun akhirnya mendirikan perusahaan yang khusus memproduksi ramuan-ramuannya, untuk pengobatan dan kecantikan, termasuk produk spa. ”Tadinya, saya beri nama Jepun Bali. Tapi, setelah Tragedi Bom Bali pada tahun 2002, namanya saya ganti dengan nama Dewi Racik,” ujar ibu dari tiga orang anak ini.

Pasien dan peminat produk herbal Dewi pun tidak lagi hanya tetangga dan masyarakat sekitar kampungnya. Dari mulut ke mulut, produknya mulai dikenal oleh kalangan yang lebih luas, termasuk para warga negara asing yang ada di Bali. ”Mungkin karena mereka telah membuktikan sendiri manfaatnya dan juga karena produk-produk saya dibuat dari bahan-bahan alami,” katanya. Produk spa Dewi Racik antara lain dibuat dari sari kacang-kacangan dan biji-bijian, bunga kamboja, jagung muda, beras organik , minyak sayur, dan minyak jahe.

Usahanya semakin berkembang ketika pemerintah daerah setempat mengajak Dewi untuk ikut pameran ke berbagai daerah di Indonesia dan juga di luar negeri. ”Pertengahan Mei ini saya akan ikut pameran di Brisbane, Australia. Waktu ikut pameran di Batam, saya mendapat penghargaan sebagai peserta dengan produk paling laris. Karena, hanya dalam waktu kurang dari empat jam, semua produk saya habis diserbu pembeli pada hari pertama. Padahal, pameran itu berlangsung selama empat hari,” ungkapnya.

Pemerintah daerah setempat juga kemudian memberikan bantuan mesin kepada Dewi untuk mengembangkan produk-produknya. ”Kini, dalam sebulan, kami dapat memproduksi 30 ribu sampai seratus ribu set produk spa, mulai dari lulur rempah, lulur pemutih, dan loloh pelangsing. Produk-produk Dewi Racik juga telah dipatenkan, dengan biaya dari pemerintah daerah. Bahan-bahannya kami beli dari Kebun Raya Bedugul, yang dikelola oleh LIPI,” ujar perempuan lulusan sebuah akademi perhotelan di Bali ini. (Pedje)

Dewi Racik
Jalan Batas Dukuh Sari No. 39, Sesetan, Denpasar
Telepon (0361) 723224, 7499945



2 comments: