Wednesday, December 2, 2009

Rebecca Pitcher: “Yoga Benar-Benar Membantu Nyanyian Saya”

“Pertunjukan The Phantom of the Opera ini keren banget. Saya begitu takjub dengan setting di setiap adegan dan saya suka sekali dengan adegan Masquarade serta ruang bawah tanah yang menggunakan perahu. Vokal Rebecca Pitcher yang menjadi penyanyi utama dalam opera ini juga gila banget. Pokoknya, top banget deh…,” ujar Shinta Sutono, salah seorang warga Indonesia yang berkesempatan menonton The Phantom of the Opera karya seniman asal Inggris, Andrew Llyod-Webber, di Esplanade Theatre, Singapura, bulan lalu. Hampir dua bulan, opera ini digelar di Singapura dan merupakan pertunjukan keduanya di negeri pulau itu. Yang pertama digelar di Singapore’s Kallang Theatre pada tahun 1995. Namun, pada pergelaran tahun 1995 itu, yang memerankan Christine Daae bukanlah Rebecca Pitcher, karena ia baru memerankan perempuan penyanyi utama di opera itu sembilan tahun lalu. Dan, pertunjukannya di Singapura tahun ini merupakan aksinya yang pertama di Asia

Sebelum pementasan itu digelar di Singapura, pada 8 Maret lalu, Singapore Tourism Board menerbangkan Rebecca Pitcher ke Jakarta untuk menampilkan preview pertunjukan musik yang telah digelar di lebih 20 negara tersebut. Pada kesempatan tersebut, beberapa wartawan, termasuk Purwadi Djunaedi dari eve, diberi waktu untuk mewawancarai penyanyi cantik yang merupakan salah seorang bintang Broadway ini. Di tengah wawancara, ia sempat melantunkan potongan lagu “Think of Me”, salah satu lagu yang paling terkenal dan disenangi penonton The Phantom of the Opera. Ia membawakannya secara a cappella, yang membuat para wartawan terdiam tersihir suara emasnya. Berikut petikan wawancara dengan Rebecca Pitcher.

Sejak kapan Anda bermain dalam The Phantom dan di mana pertunjukan pertama Anda?
Saya mulai bergabung tahun 1995 dan pertama kali pentas di Memphis, Tennessee. Terus terang, saya gugup ketika itu, tapi sekaligus sangat senang. Saya tentunya dibanding-bandingkan dengan pemeran terdahulu, Sarah Brightman, dan saya melihat itu sebagai hal yang menyulitkan sekaligus sebagai tantangan. Banyak pertunjukan berlangsung di New York, banyak yang telah memerankan Christine, datang dan pergi, dan itu membuat saya sedikit gugup, tapi di saat bersamaan, hal itu justru memantapkan saya bahwa saya dapat memerankannya. Dan saya mendengar orang mengatakan “Anda sama bagusnya dengan Brightman” atau “Anda hampir sama bagusnya dengan Sarah Brightman”. Saya memang akan dibandingkan dengan Brightman, karena orang memang mengagumi apa yang dia lakukan dan dia adalah orang yang pertama yang memerankan peran tersebut.

Bagaimana Anda mengatasi rasa gugup ketika akan pentas?
Saya biasanya memainkan pertunjukan boneka jari di ruang rias, ha-ha-ha….

Bagian mana dari The Phantom yang Anda sukai?
Saya tidak memiliki bagian yang benar-benar saya sukai, karena apa yang sukai itu berubah dari waktu ke waktu. Saya biasanya sangat menyukai akhir dari adegan Lair karena adegan itu benar-benar memberikan kesempatan kepada Christine untuk menjadi pribadi yang mandiri.

Bagaimana Anda menjaga suara Anda agar tetap prima?
Saya melakukan bikram yoga (Rebecca Pitcher adalah guru bikram yoga, yoga di ruangan yang sangat panas). Yoga benar-benar membantu nyanyian saya. Yoga menjaga bentuk tubuh saya, membuat saya relaks, dan saya membayangkan seandainya saya dapat tinggal di ruang yang panasnya 105 derajat (Farenheit) dan dengan tingkat kelembapan 40 sampai 60 persen selama satu setengah jam tanpa henti, saya kira saya dapat melakukan apa pun.

Apakah pertunjukan di Singapura berbeda dengan pertunjukan-pertunjukan The Phantom di negara-negara lain?
Pada dasarnya, pertunjukan di Singapura sama dengan versi New York, tapi dengan sedikit tambahan. Saya berusaha keras untuk membuat setiap pertunjukan memperlihatkan sesuatu yang berbeda. Banyak orang yang belum pernah menyaksikan pertunjukan ini dan saya perlu memberikan sesuatu yang spesial kepada mereka, sama seperti yang didapat orang-orang yang menonton Sarah Brightman pada 19 tahun lalu.
(Pedje)

Tuesday, December 1, 2009

Mereka Sukses Menurunkan Berat Badan

Ketiga perempuan ini berhasil menurunkan berat badan mereka dengan signifikan dan mengungkapkan rahasianya kepada Purwadi Djunaedi. Mungkin Anda bisa mengikuti jejak mereka.


Yani Sinulingga, 33 Tahun
Mengikuti Pola Makan Orang Prancis

“Sejak kecil, berat badan saya memang selalu di atas berat ideal. Bahkan, ketika dewasa, saya tergolong gemuk. Mestinya kan dengan tinggi badan 153 sentimeter, berat badan ideal saya sekitar 43 kilogram. Tapi, pada awal tahun 2000, berat badan saya sampai 58 kilogram. Berbagai program diet telah saya ikuti, tapi berat badan saya turun tidak signifikan. Bahkan, saya sampai menjadi perokok agar bisa langsing, tapi tetap saja saya gemuk.

“Tahun 2001, saya bersekolah di Prancis. Ketika pertama kali datang di Prancis, saya masih gemuk. Berat badan saya masih 58 kilogram. Namun, karena di negeri itu saya harus melakukan apa-apanya sendiri, mungkin karena kelelahan, berat badan saya pelan-pelan mulai turun. Tapi, saya merasa lebih sehat karena lebih banyak bergerak. Bayangkan saja, saya tinggal di lantai lima sebuah apartemen dan tak ada lift-nya. Jadi, setiap hari minimal saya harus naik-turun tangga ke lantai lima sekali.

“Beberapa bulan kemudian, ketika saya sudah bergaul dengan banyak orang Prancis, gaya hidup saya pun mulai berubah. Teman-teman Prancis saya memiliki gaya hidup sehat—dan umumnya orang Prancis yang saya kenal memang menjalani gaya hidup sehat. Mereka sangat jarang mengonsumsi gula. Kalau minum kopi, hampir semua orang Prancis yang saya kenal meminum kopi tanpa gula.

“Dari sini, pola makan saya juga berubah. Saya mulai mengikuti kebiasaan makan mereka, yang rendah karbohidrat, tinggi protein, menghindari gula, mengurangi lemak, dan banyak makan salad. Awalnya, saya sempat merasa lemas. Tapi, setelah pola makan ini saya jalani sekitar enam bulan, saya mulai terbiasa. Hasilnya, saya menjadi lebih langsing. Dan, ketika saya kembali ke Indonesia tahun 2004 lalu, berat badan saya sudah mendekati berat ideal.

“Namun, di Indonesia, karena kangen dengan berbagai makanan khas Indonesia, berat badan saya naik lagi menjadi 56 kilogram. Apalagi, saya juga jadi senang ngemil. Jadi, memang lebih susah mempertahankan apa yang kita capai ketimbang meraihnya. Saya pun mulai menjalankan pola makan ala Prancis lagi. Sayangnya, saya sering kesulitan menerapkan pola itu persis ketika saya tinggal di Prancis dulu. Akhirnya, saya juga menjadi rajin berolahraga. Malah, saya sempat mengikuti latihan senam hampir setiap hari dalam seminggu.

“Berat badan saya sekarang 45 kilogram. Biasanya, kalau pagi, saya sarapan sereal plus susu nonlemak dan minum kopi tanpa gula. Jam 10-an, saya melakukan sedikit ngemil diet cookies dan minum yoghurt agar tak terlalu lapar ketika waktu makan siang tiba. Jam 12, makan siang biasa, dengan karbohidrat sedikit. Sekitar jam 3 sore, saya minum kopi tanpa gula dan setelah ini biasanya saya sudah tak ingin makan apa-apa lagi. Jam 7 malam, saya makan malam seperti biasa. Kadang, jam 10 malam, saya minum susu tanpa lemak. Pada akhir pekan, saya sekali-sekali juga suka makan lebih banyak dan berat. Tapi, pola makan saya agak sedikit terganggu kalau ada undangan pesta, terutama pesta pada malam hari.

“Jadi, menurut saya, kuncinya supaya berat badan turun adalah mengontrol pola makan kita dan mengubah gaya hidup kita menjadi gaya hidup sehat. Saya sendiri sejak tahun lalu sudah tak lagi makan daging dan sudah mulai mengurangi mengonsumsi ikan. Saya memang ingin menjadi vegetarian, tapi tidak ingin langsung berubah. Dalam menjalani diet pun saya selalu bertahap, tidak ekstrem.”

Marlyn Maringka, 42 Tahun
Mengonsumsi Nutrisi Seluler

“Saya sudah mencoba bermacam-macam terapi diet, tapi tetap saja gemuk. Berat badan saya pernah mencapai 70 kilogram, padahal idealnya sekitar 55 kilogram karena tinggi badan saya kan 155 sentimeter. Saya pernah mencoba minum jamu kurus, rutin berolahraga, dan program diet dari seorang dokter dengan disuntik. Malah, yang disuntik itu saya menjalaninya sampai delapan tahun. Berat badan saya memang turun sedikit, tapi kulit saya menjadi keriput. Lalu saya coba akupunktur, tak juga berhasil. Saya juga mencoba cara yang pakai lilitan seperti mumi, turun sedikit, lalu naik lagi. Bahkan, atas anjuran teman, saya juga mencoba terapi tusuk benang, namun tak ada hasilnya.

“Akhirnya, saya frustrasi. Biaya sudah banyak dikeluarkan, tapi saya tak kunjung langsing juga. Sampai suatu hari, setengah tahun lalu, saya membaca iklan di sebuah media yang mencari orang-orang gemuk untuk mengikuti program pelangsingan tubuh, yang katanya tanpa efek samping. Saya pikir, tak ada salahnya mempelajari dulu metode yang ditawarkan iklan itu. Saya berjanji kepada diri saya bahwa ini adalah usaha yang terakhir untuk mengikuti program pelangsingan tubuh. Kalau tidak berhasi, ya, sudah, saya tidak akan mengikuti program pelangsingan apa pun. Apalagi, di iklan itu juga disebutkan, uang akan dikembalikan jika pesertanya tak berhasil menurunkan berat badan minimal tiga kilogram sebulan.

“Setelah mendapat penjelasan dari konsultan program diet itu, saya tertarik untuk mencoba. Saya bisa mempercayai program ini karena salah seorang yang ada di belakang program ini adalah pemenang Hadiah Nobel Kesehatan tahun 1998, Dr. Louis J. Ignarro. Juga ada Dr. David Herbert yang sangat terkenal di Amerika Serikat sebagai pakar obesitas. Tambahan pula, tak ada yang perlu dipantang dalam menjalani program ini.

“Setelah menjalani pemeriksaan dengan teliti, saya pun diharuskan untuk makan tiga kali sehari. Dua kali mengonsumsi formula dari mereka dan sekali makan apa saja sesuka saya. Formula dari mereka itu merupakan formula nutrisi seluler, yang memiliki kandungan gizi yang lengkap untuk memperbaiki sistem metabolisme tubuh.

“Yang menakjubkan, hanya dalam waktu empat hari, berat badan saya turun 3,5 kilogram. Saya pun menjadi sangat bersemangat. Kini, berat badan saya sudah mencapai 56 kilogram, hanya dalam tempo kurang dari enam bulan, dari yang tadinya 70 kilogram. Saya juga merasa lebih sehat. Penyakit asam urat saya hilang. Begitupun vertigo saya. Setelah saya menjalani pemeriksaan, kondisi kesehatan saya ternyata bagus. Itulah sebabnya, saya tetap menjalankan program ini, karena ternyata program ini juga membuat pesertanya menjadi lebih sehat. Dan, hebatnya, program ini bisa dilakukan oleh semua golongan usia, dari anak-anak sampai yang berusia lanjut.”

Riani Susanto, N.D., C.T., 41 Tahun
Mulai dari Pakai Bengkung sampai Terapi Jus

“Saya sebenarnya ketika remaja kurus sekali dan tidak suka makan daging. Bahkan, bagi saya ketika remaja, tidak makan pun tidak apa-apa. Sampai-sampai, saya bermasalah ketika mendapat menstruasi, selalu kesakitan, sehingga selalu diberi obat tradisional Cina oleh nenek saya. Akibatnya, siklus mens saya tidak teratur dan dokter mendiagnosa bahwa saya tidak akan bisa punya anak.

“Itulah sebabnya, ketika menikah, saya terkejut juga waktu tahu saya akhirnya bisa hamil, tahun 1992. Waktu awal menikah itu, berat badan saya 62 kilogram, berat badan ideal saya yang punya tinggi badan 170 sentimeter. Tapi, waktu hamil, berat badan saya perlahan-lahan mulai naik, sampai mencapai 90 kilogram. Besar sekali saya.

“Begitu habis melahirkan, saya langsung diet, dengan hanya memakan sayur-sayuran dan banyak makan buah, yang menyebabkan ASI saya kemudian kering. Tapi, saya berhasil menurunkan berat badan, menjadi 66 kilogram.

“Enam tahun kemudian, saya hamil lagi. Dan, menjelang kelahiran, berat badan saya naik lagi menjadi 98,5 kilogram. Saya mulai panik melihat badan saya yang membengkak. Memang, ketika itu, saya sangat suka sekali minum cola dan kue-kue. Tapi, saya sudah mulai mengonsumsi makanan organik, karena saya tahun 1999 mengambil kuliah kedokteran jarak jauh di sebuah universitas di Amerika Serikat, sehingga mulai mengerti mana makanan yang sehat. Tapi, tetap saja, badan ini terus melar.

“Saya melahirkan anak kedua saya melalui operasi caesar. Paginya dioperasi, sorenya saya langsung menimbang badan. Ternyata, berat badan saya hanya turun 8,5 kilogram. Dan, ketika keluar dari rumah sakit, berat badan saya 90 kilogram. Stres sekali saya.

“Dengan bobot seberat itu, waktu kontrol setelah melahirkan pun saya tetap pakai pakaian hamil. Karena, pakaian saya yang lain sudah tak ada lagi yang bisa dipakai dan di sini ketika itu jarang sekali ada yang menjual pakaian dalam ukuran besar. Sampai-sampai, dokter kandungan saya terus meledek saya, karena kami memang sudah saling kenal sejak lama.

“Saya pun bertekad untuk menurunkan berat badan. Konyolnya, untuk memotivasi saya, saya ajak dokter saya itu untuk bertaruh. Kalau saya bisa menurunkan badan 10 kilogram dalam waktu 40 hari, saya minta dibebaskan biaya pemeriksaan oleh dokter itu selamanya. Dokter teman saya itu sempat meragukan tekad saya dan juga keberhasilannya. Saya pun meyakinkan dokter bahwa saya akan bisa mencapai itu dan dokter tersebut akhirnya setuju untuk bertaruh.

“Pulang drai dokter, saya langsung meminta pembantu saya untuk mengikatkan bengkung di perut saya sekencang-kencangnya, kecuali di bekas tempat jahitan bekas operasi caesar. Saya pun hanya mengonsumsi sayur bening serta tahu dan tempe rebus, sehingga tiga bulan kemudian ASI saya kering lagi. Saya makan nasi hanya siang saja dan malam hari hanya makan sayur dan buah. Saya tak makan daging dan telur.

“Bengkung itu pun tidak lepas, keculai bila harus ke dokter, yang hanya perlu beberapa jam. Bahkan, ketika (maaf) pipis, saya terpaksa melakukannya sambil berdiri. Dan, setelah 40 hari, ternyata berat badan saya tepat turun 10 kilogram. Dokter itu kalah bertaruh—dan sampai kini saya dibebaskan biaya pemeriksaan oleh dokter itu.

“Namun, karena masih gemuk, 80 kilogram, pemakaian bengkung tetap saya lanjutkan sampai genap dua bulan. Ketika saya ke Amerika Serikat untuk mengambil kuliah praktik, suami saya yang memang tinggal di sana ketika itu sampai kaget melihat betapa besarnya tubuh saya.

“Di Amerika itulah, saya mulai memahami bahwa orang bisa gemuk karena kadar ph dalam darahnya asam. Saya terus mempelajari itu lewat berbagai literatur dan mulai tahu bahwa kandungan dalam snack dan cola dapat membuat kadar ph dalam darah menjadi asam, sehingga membuat orang menjadi gemuk.

“Kembali ke Indonesia, saya mulai menjadi terapis kolon, yang membantu orang untuk menjadi kurus. Tapi, saya sendiri masih gemuk, masih 76 kilogram. Itulah sebabnya, ketika terapi kolon saya diekspose oleh sebuah majalah pada November 2000, banyak yang bertanya, kok, terapisnya gemuk. Pertanyaan itu juga muncul dari mulut pasien saya yang datang ke tempat praktik saya. Wah, enggak beras nih, pikir saya.

“Saya pun mulai menjalani terapi food combining dan saya juga rutin melakukan terapi kolon serta melakukan olahraga. Selain itu, di bawah pengawasan seorang dokter, saya disuntik vitamin B-2 dan menjalani terapi balut. Berat badan saya pun menjadi 69 kilogram.

“Saya terus mendalami berbagai terapi pelangsingan tubuh sampai saya lulus dari sekolah kedokteran pada tahun 2002. Sekarang, berat saya hanya 66 kilogram. Ukuran baju saya pun dari 14 menjadi 8 dan ukuran celana jins 29. Sampai sekarang, setiap pagi dari Senin sampai Jumat, saya hanya minum segelas air perasan jeruk lemon yang dicampur air, segelas jus buah atau jus sayur, dan segelas air putih, tanpa sarapan. Buah itu wajib ada.

“Sampai di kantor, kalau lapar, saya hanya makan buah apa saja. Tapi, kalau yang gemuk sekali sebaiknya jangan makan pisang. Lalu, makan siang seperti biasa, normal. Sorenya ngemil senormalnya. Malamnya, saya hanya makan buah dan salad. Saya jamin, orang yang hanya punya masalah kelebihan berat badan sedikit jika mengikuti diet seperti saya itu akan turun bobotnya dua sampai tiga kilogram selama dua bulan, tanpa dibantu usaha apa pun. Jangan lupa pula untuk mengurangi asupan karbohidrat, terutama yang dari tepung. Saya juga rutin berpuasa, sedikitnya tiga hari dalam sebulan, hanya minum jus dan air putih, dan terapi kolon.” (Pedje)