Saturday, October 31, 2009

Membuka Jalan untuk Kenikmatan Hidup

Depresi lebih dari sekadar krisis kimiawi otak, tapi justru lebih banyak karena suatu krisis spiritual. Karena itu, antidepresan saja tidaklah cukup.


Baru-baru ini, seorang teman menelepon dan mengajak bertemu. Katanya, dengan nada suara yang kelabu, dia ingin curhat. Karena tak tega, saya menyanggupi, meski sebenarnya ada perasaan enggan. Dan, pada suatu sore yang mendung, pada awal Juli lalu, kami pun bertemu. Sebut saja teman saya itu Ina.

Sore itu, air mukanya mirip dengan warna langit. Terlihat juga kalau Ina kurang tidur. Dan, benar dugaan saya. Ia mengaku sudah hampir dua minggu mengalami kesulitan tidur. “Nafsu makan pun hilang. Gue lagi stres berat,” ujarnya. Rupanya, Ina memang sedang menghadapi banyak masalah. Kedua orang tuanya sedang dirawat di rumah sakit, kehidupan rumah tangganya sedang menghadapi cobaan yang cukup berat, dan ada beberapa persoalan lagi yang bikin mumet kepala.

Saya hanya mendengarkan saja. Saya teringat beberapa literatur yang pernah saya baca. Menurut saya, teman saya ini sedang mengalami serangan priode depresi ringan dalam hidupnya, tapi serangan itu tiba-tiba menjadi sangat buruk—suatu kasus yang berat dari depresi kecemasan. Umumnya para psikiater akan mengatakan bahwa Ina membutuhkan suatu antidepresan. ”Dan, mereka benar,” kata Henry Emmons, M.D., seorang psikiater umum dan holistik yang tinggal di Minneapolis-St. Paul, Amerika Serikat, seperti yang saya baca dari bukunya, The Chemistry of Joy. Menurut Henry Emmons, suatu antidepresan dapat dengan cepat dan manjur mengatasi depresi seperti yang dialami Ina itu. ”Namun, sering kali juga seluruh perawatannya berhenti hanya sampai di sana,” ujarnya.

Jika orang seperti Ina mengalami suatu serangan jantung, menurut Emmons, ahli jantungnya tidak akan memberikan resep untuk obat penurun kolestrol dan tekanan darah, tapi akan membiarkan saja. Ahli jantung hanya memberikan serangkaian nasihat: jangan merokok, perbaiki pola makan, berolahraga, dan pelajari cara mengatasi stres. ”Bahkan, psikiater yang baik sekalipun cenderung melihat pasien depresi sebagai orang sedang mengalami gangguan kimiawi otak ketimbang suatu kompleks integrasi dari pikiran, badan, dan jiwa,” tulis Emmons dalam bukunya. ”Meskipun dapat dipertanggungjawabkan, dokter yang peduli pun—termasuk psikiater yang menjalankan praktik umum—banyak yang tidak menyadari bahwa depresi membutuhkan suatu diet ’otak-sehat’ dan gaya hidup.” Kimiawi kenikmatan, tulis Emmons, dibangun di atas suatu fondasi berbagai nutrisi khusus, seperti bermacam vitamin B, asam lemak Omega-3, dan pelbagai antioksidan, yang memengaruhi kimia otak penyebab depresi.

Emmons lebih percaya pada mind-body medicine, sehingga dia pun mengambil kearifan dari sistem-sistem yang diwarisi oleh masyarakat Timur masa lampau, yakni Ayurveda dan filosofi Buddha. “Lewat Ayurveda, kita dapat menemukan tipe pikiran-tubuh yang khusus, yang menawarkan tanda-tanda untuk mendapatkan keseimbangan dalam hidup kita. Sementara itu, lewat studi filosofi Buddha, kita dapat mempelajari cara mengendalikan pikiran, mengatasi ketakutan-ketakutan kita, membuka hati kita, dan belajar memaafkan, yang membuka jalan untuk kenikmatan hidup,” ungkap Emmons.

Memang, seperti dikatakan oleh James S. Gordon, M.D., psikiater dan pendiri Center for Mind-Body Medicine di Washington, D.C., depresi lebih dari sekadar krisis kimiawi otak, tapi justru lebih banyak karena suatu krisis spiritual. “Depresi dan kecemasan berkembang dari cara seseorang merasakan dan melihat dunia, dalam kehidupannya,” kata Gordon pada situs WebMD. “Untuk mengatasi depresi bukanlah sekadar dikendalikan dengan antidepresan, tapi sering kali membutuhkan perubahan dari hidup si pasien secara keseluruhan. Karena, si pasien harus berdamai dengan bermacam kesulitan dan persoalan dalam hidupnya. Karena itu, kita dapat melihat depresi sebagai suatu kesempatan untuk melakukan perubahan besar,” ungkap Gordon. Lebih lanjut Gordon percaya bahwa pendekatan tradisional—seperti yang dijalankan Emmons—dapat membantu orang-orang mengatasi depresi mereka.

Tak dapat disangkal, dari pengobatan ala Barat, kita mendapat pengetahuan tentang kimiawi otak. Keseimbangan kimiawi otaklah, dalam skala besar, yang mengontrol mood kita, level energi kita, bahkan pandangan kita tentang hidup. Ketidakseimbangan kimiawi otak—serotonin, dopamine, dan norepinephrine—bermuara pada depresi. Berangkat dari pengetahuan itu, program ’otak-sehat’, menurut Emmons, membutuhkan bermacam gizi khusus yang akan membantu menguatkan zat-zat kimia dalam otak. Nutrisi khusus ini tergantung pada tipe depresi yang diderita seseorang, apakah kecemasan, kegelisahan, atau kelambanan.

Dalam kasus yang seperti Ina, yang mengalami depresi kecemasan, karena level serotonin-nya rendah, Emmons dalam bukunya menganjurkan agar orang itu melakukan diet ketat dengan karbohidrat kompleks (umbi-umbian seperti ubi, whole grains, kacang-kacangan, legumes) dan sedikit protein setiap makan. Orang itu harus makan beberapa kali dalam sehari dalam porsi sedikit atau tiga kali dalam sehari dalam porsi yang lebih banyak, plus sedikit makanan ringan. Juga harus mengonsumsi makanan yang banyak mengandung asam lemak omega-3, seperti ikan salmon. Emmons pun menganjurkan orang yang menderita depresi kecemasan untuk mengonsumsi suplemen yang mengandung B-6, B-12, folat, omega-3, vintamin C dan E, betakaroten, dan selenium. Suplemen multimineral dengan kalsium, magnesium, khromium, copper, zinc, dan manganese juga penting, meski umumnya multivitamin yang bagus mengandung mineral-mineral itu.

Sementara itu, Ayurveda yang telah digunakan selama berabad-abad di India mengenal tiga jenis mind-body, yakni udara, api, dan bumi. ”Masing-masing berdasarkan tipe tubuh kita, apakah kurus, kencang, kuat dan berotot, atau sedikit gemuk. Jenis Ayurveda yang dibutuhkan seseorang juga dilihat dari kemampuan orang itu berdapatasi dengan cuaca tertentu, jenis rambutnya, kebiasaan buang airnya, dan kemampuan tidurnya,” papar Emmons.

Kalau mengikuti petunjuk Emmons, teman saya itu bertipe udara, karena Ina dari dulu kurus, ketika baru melahirkan sekalipun. Secara alamiah, ia adalah orang yang kurus. Umumnya, orang seperti itu, menurut Emmons, pikirannya cenderung aktif, jarang beristirahat. ”Orang seperti itu perlu melakukan sesuatu yang akan menenangkan sistem kecemasannya, seperti olahraga ringan tapi berulang-ulang, misalnya berjalan kaki dan naik sepeda. Beraktivitas di alam bebas juga akan membantu orang-orang yang memiliki tipe udara. Sementara itu, gerakan-gerakan tubuh yang berulang-ulang, repetitif, akan meningkatan level serotonin. Cara ini terbukti manjur,” tulis Emmons.

Orang seperti Ina juga perlu mengembangkan struktur dalam kehidupan sehari-harinya: pola makan yang lebih teratur dan olahraga rutin. Jadwal tidur yang teratur juga akan membantu menjaga hormon-hormon tubuh bekerja dengan baik, yang merupakan suatu faktor penting dalam melawan depresi. Selain itu, orang yang seperti Ina sebisa mungkin harus menambahkan kehangatan dalam kesehariannya—dengan makanan dan minuman, mandi air hangat, dan pemijatan. Latihan pernapasan juga akan membantu orang-orang seperti Ina mengatasi depresinya.

Cara lain untuk mengatasi depresi, menurut Emmons, adalah dengan mempelajari filosofi Buddha. Dengan mempelajari filosofi Buddha, seseorang dapat mengatasi depresi akibat krisis spiritual. ”Depresi merupakan suatu tanda dan penting bagi kita untuk mendengarkan apa yang tanda itu katakan. Sering, itu berarti kita perlu mengubah diet kita dan lebih sering lagi berolahraga. Tapi, itu mungkin juga berarti kita perlu menjalani kehidupan spiritual yang lebih dalam. Kita harus mengubah dinamika kehidupan kita yang memicu terjadinya depresi,” kata Emmons. Latihan konsentrasi seperti banyak dilakukan oleh umat Buddha, tambah Emnons, dapat membantu seseorang mengubah pola-pola pikirannya. Latihan ini akan menajamkan kemampuan seseorang untuk fokus pada momen yang sedang dihadapinya. ”Itu merupakan suatu cara menghadapi berbagai masalah yang sedang kita lawan, suatu cara mengendalikan pikiran-pikiran kita. Cara ini memberikan kesempatan kepada otak kita untuk menjadi tenang, sehingga pikiran-pikiran kita tidak begitu aktif. Pada gilirannya, kita dapat tetap bekerja dengan sepenuh kemampuan kita meski sedang menghadapi berbagai masalah,” tutur Emmons. Anda mau mencoba? (Pedje)

Friday, October 30, 2009

Bincang Santai dengan Mark Eley

eve dan Brirish Council memfasilitasi beberapa fashion designer terkemuka Indonesia untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan fashion designer, textile designer, graphic designer, dan interior designer Mark Eley, yang bersama Wakako Kishimoto mendirikan rumah desain Eley Kishimoto.


”Mark Eley adalah salah seorang pemain penting dalam industri kreatif di dunia internasional, terutama di Eropa. Karena itu, begitu diberitahu dia akan datang ke Jakarta atas undangan British Council, eve tak menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Eve pun langsung mengontak British Council, meminta diberi kesempatan mengundang Mark Eley untuk berbincang-bincang satu-dua jam dengan para fashion designer di Indonesia. Siapa tahu perbincangan itu mendatangkan inspirasi bagi fashion designer Indonesia,” ujar Amy D. Wirabudi, Editor in Chief eve Indonesia.

Maka, di Jumat sore 20 April lalu, beberapa fashion designer terkemuka Indonesia berkumpul di Hotel Mulia, Jakarta. Mereka tampak antusias berbincang dan bertukar pikiran dengan Mark Eley. Hadir dalam acara yang dipandu oleh fashion designer Era Soekamto itu antara lain fashion designer Poppy Dharsono, Musa Widyatmodjo, Samuel Wattimena, Denny Wirawan, Didi Budiharjo, Taruna, dan Sekretaris Eksekutif Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia E.G. Ismy.

Mark Eley sendiri adalah sarjana fashion dan tenun lulusan Brighton Polytechnic. Di bawah bendera Eley Kishimoto, karya-karyanya banyak dipesan oleh desainer internasional, antara lain Marc Jacobs, Louis Vuitton, Joe Casely-Hayford, Hussein Chalayan, dan Alexander McQueen. “Saya dan Wakako Kishimoto memulainya dari nol. Kendati Eley Kishimoto kini sudah banyak dikenal, kami tak bermaksud menjadikannya besar, karena kami selalu ingin melayani klien kami secara lebih personal,” ungkap Eley. Pria kelahiran Bridgend, Wales, pada tahun 1968 ini mengaku harus bekerja keras untuk membangun reputasi Eley Kishimoto. “Kami juga sempat mengalami kesulitan finansial dalam membangun usaha ini,” tutur pria berkumis gondrong itu dengan nada lembut.

Namun, menurut Taruna dalam acara bincang-bincang santai tersebut, Eley Kishimoto bisa survive di dunia internasional karena industri kreatif di negaranya sudah maju. Saat ini saja, tambah Taruna, industri kreatif di Inggris telah menjadi sektor kedua terbesar setelah jasa perbankan (finansial), dengan menyerap sekitar dua juta tenaga kerja. “Biarpun Eley Kishimoto bisa survive tanpa dukungan langsung dari pemerintah Inggris, pemerintah di sana mendukung lewat berbagai cara, antara lain lewat peraturan-peraturan yang jelas dan melindungi industri kreatif mereka. Selain itu, banyak perusahaan lain yang juga tertarik dan memanfaatkan kreativitas para desainer itu,” ungkap Taruna.

Tidak demikian halnya dengan Indonesia. Menurut Taruna, industri fashion di Indonesia kurang mendapat dukungan dari pemerintah dan sering mendapat perlakuan diskriminatif dari banyak pihak. “Misalnya, banyak department store lebih menyukai menampilkan brand internasional dan tak memberi ruang bagi karya-karya desainer Indonesia. Medianya pun begitu, kurang sekali memberi ruang bagi karya-karya fashion designer dalam negeri. Pemerintah juga tidak banyak membantu, sehingga yang kecil tetap menjadi kecil dan yang besar semakin besar. Ada memang program-program yang dibuat pemerintah sebagai upaya memajukan dunia fashion, tapi kebanyakan program-program itu berjalan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi,” kata Taruna K. Kusmayadi, yang juga Ketua Umum Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI).

Hal senada juga diungkapkan Didi Budiharjo seusai acara bincang-bincang itu. “Pemerintah kita memang kurang memberi dukungan, sehingga agak sulit bagi fashion designer kita untuk melangkah ke dunia internasional. Padahal, fashion designer Indonesia bisa dikatakan lebih maju ketimbang rekan-rekan mereka dari negara-negara Asia yang lain, kecuali Jepang. Contohnya, beberapa kali saya ikut dalam Hong Kong Fashion Week, media massa di sana selalu memberi tanggapan yang sangat positif terhadap karya-karya fashion designer dari Indonesia. Masalahnya, menurut saya, fashion designer Indonesia kurang promosi di dunia internasional. Selain itu, untuk memulai bisnis ini di dunia internasional tidak mudah, karena ada berbagai izin yang harus diurus, sehingga dapat menjadi hambatan bagi fashion designer kita. Mestinya, pemerintah ikut membantu dalam hal ini. Dulu, Badan Pengembangan Ekspor Nasional pernah melakukan upaya untuk membantu, tapi sekarang tidak jalan,” papar Didi. Untuk pasar dalam negeri, menurut Didi, bisa dikatakan fashion kita sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kecuali untuk pakaian yang ready to wear.

“Pemerintah kita sebenarnya peduli,” kata E.G. Ismy, “tapi ya sebatas peduli, enggak ada aksinya. Produk kita susah bersaing di kancah internasional antara lain karena tak adanya kepastian-kepastian dalam banyak hal. Dalam urusan energi saja, misalnya, kenaikan harga BBM bisa terjadi dua kali dalam setahun. Belum lagi masalah dalam urusan pendanaan, buruh, dan infrastruktur,” tutur Ismy.

Toh, dalam acara bincang-bincang itu, Poppy Dharsono lebih setuju dengan cara yang dilakukan oleh Mark Eley dengan Eley Kishimoto-nya. “Desainer memang harus mampu membuat brand image sendiri,” ujar Poppy. Karena, kalau brand image seorang desainer sudah dikenal, desainer itu dapat mencari pasar sendiri. “Karena, orang sudah tahu reputasi kita. Mungkin tidak semua produk bisa menguntungkan, tapi brand-nya bisa mendatangkan keuntungan. Contohnya Channel. Produk yang menguntungkannya justru tas dan sepatu,” kata Poppy. Jadi, tambah Poppy, brand image memang harus dibangun. “Caranya antara lain dengan menggelar fashion show setiap tahun, membuat produk below the line, dan berhubungan dengan media,” tuturnya.

Samuel Wattimena pun mengungkapkan hal serupa. “Persoalan di Inggris dan di sini sebenarnya hampir sama. Desainer memang seharusnya dapat survive sendiri. Untuk meluaskan pasar ke negara-negara lain, desainer harus proaktif sendiri. Kita yang di Indonesia harus realistislah. Urusan pemerintah kita kan banyak dan orientasinya lebih ke masalah-masalah lain, jadi mestinya industri fashion harus siap sendiri. Kita harus menjemput bola untuk bisa menjadi pemain internasional,” ujar Samuel.

Soal adanya perlakuan diskriminatif dari banyak pihak terhadap fashion designer Indonesia, Samuel tidak melihat hal tersebut. ”Persoalannya bukan diskriminasi, tapi keberpihakan mereka memang bukan di situ. Mereka melihat pada nilai ekonomisnya dan, seperti dikatakan Mark Eley, ini persoalan global, bukan hanya di Indonesia,” ungkap Samuel.

Mark Eley sendiri menganjurkan agar fashion designer Indonesia menjadi pemain global. “Apalagi, di Indonesia ini banyak sekali orang yang kreatif,” katanya. Bisakah kita? Bisa! (Pedje)

Thursday, October 29, 2009

Bank Syariah Bergerak!

Islam tak melarang berbisnis. Bahkan, sebelum diangkat sebagai nabi, Rasulullah Muhammad S.A.W. adalah seorang pedagang. Namun, memang, tidak semua bisnis dihalalkan oleh Allah. Bisnis barang atau jasa haram tentu saja dilarang dalam Islam. Juga bisnis yang diwarnai tipu daya dan riba.

Dalam hal riba, yang dalam pengertian paling umum berarti “menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam”, Islam bersikap sangat keras. Dalam Alquran, Allah dengan tegas mengharamkan riba. Sementara, dalam sebuah hadits-nya, Rasulullah pernah mengatakan bahwa dosa riba yang paling ringan itu seperti dosa menyetubuhi ibu kandung sendiri—semoga kita dilindungi Allah dari perbuatan semacam itu.

Kendati begitu, dalam praktiknya, riba masih kerap mendominasi kegiatan ekonomi yang dilakukan umat Islam, terutama yang berurusan dengan perbankan. Selama berabad-abad, umat Islam banyak memanfaatkan jasa perbankan yang bertumpu pada sistem riba, baik itu untuk urusan penyimpanan uang maupun untuk pinjaman penambahan modal usaha. Bertolak dari kondisi yang seperti itu belakangan muncullah kesadaran dari sebagian umat Islam untuk kembali menerapkan sistem ekonomi syariah dalam aktivitas bisnis mereka. Gerakan inilah yang kemudian melahirkan gagasan untuk mendirikan bank-bank syariah.

Bank syariah pada dasarnya adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Jadi, dalam bank syariah sebenarnya tidak dikenal pinjam-meminjam uang, apalagi dengan dikenakan bunga, karena filosofinya adalah jual-beli barang, sewa-menyewa, atau kerja sama.

”Misalnya, Anda mau beli mobil, bank syariah akan membelikan mobil itu, lalu dijual ke Anda dengan harga yang telah dilebihkan sebagai keuntungan, dan Anda membayar seharga yang telah ditetapkan bank dengan cara mencicil. Itu ada under lying asset-nya,” ujar Farouk Abudllah Alwyni, M.A., M.B.A, mantan Direktur Al Ijarah Indonesia Sharia Finance yang kini menjadi salah seorang direktur pada Bank Muamalat Indonesia.

Untuk mendapat keuntungan dari usahanya, bank syariah memakai sistem bagi hasil. Kalau dalam bank konvensional, yang menerapkan sistem bunga, penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak bank. Dalam sistem bagi hasil tidak seperti itu. Tapi, penentuan besarnya risiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi.

Penentuan besarnya persentase suku bunga pada bank konvensional berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Juga tidak tergantung kepada kinerja usaha. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat, meski jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik. Pembayaran bunganya pun tetap seperti yang dijanjikan, tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.

Lain halnya dengan bank syariah. Dalam sistem bagi hasil yang diterapkan bank syariah, besarnya nisbah (rasio) bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh. Dan, besarnya tergantung pada kinerja usaha. Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak, pihak bank dan pihak nasabah.

Seperti telah disinggung di atas, bank syariah pastilah hanya berinvestasi pada usaha yang halal, tidak seperti bank konvensional yang bisa dibilang bebas nilai dan hanya berorientasi pada keuntungan semata. Hal lain yang membedakan bank syariah dan bank konvensional adalah pola hubungan antara bank dan nasabah. Dalam bank syariah, hubungan keduanya adalah hubungan kemitraan, sementara dalam bank konvensional adalah hubungan debitor-kreditor. Di bank syariah juga ada dewan pengawas syariah, yang selalu mengawasi agar bank syariah tetap dalam prinsip-prinsip syariah, yang halal, adil, dan berkeadilan sosial.

Banyak umat Islam menyambut gembira kehadiran bank syariah. Selain karena bisa terbebas dari persoalan riba ketika berhubungan dengan bank, mereka umumnya juga mengaku lebih untung secara finansial karena menjadi nasabah bank syariah. Tak mengherankan jika perkembangan bank syariah dari tahun ke tahun meningkat pesat, bukan saja di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi juga di negara-negara yang sebagian besar penduduknya non-muslim. Karena, bank-bank syariah memang tidak membatasi nasabahnya hanya untuk orang-orang Islam, tapi buat siapa saja, sesuai dengan ajaran Islam sebagai rahmat untuk semesta. Apalagi, kini, produk yang ditawarkan oleh bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya juga semakin beragam.

”Dalam abad ke-21 ini, kita memang menyaksikan perkembangan lembaga keuangan Islam yang cukup pesat. Diperkirakan aset lembaga keuangan Islam itu US$500 miliar sampai dengan US$1 triliun. Memang, kalau dibandingkan dengan aset lembaga keuangan non-syariah, angka itu masih terbilang kecil. Tapi, perkembangan lembaga keuangan Islam diestimasikan mencapai 20% sampai 30% per tahun,” ungkap Farouk, yang pernah bekerja selama delapan tahun di Islamic Development Bank.

Di Inggris, ungkap Farouk, Perdana Menteri Gordon Brown sudah menyatakan bahwa ia ingin menjadikan London sebagai Islamic financial capital. “Lalu Jerman telah mengeluarkan sukuk, obligasi syariah, sekitar €100 juta untuk salah satu negara bagiannya. Terakhir, Jepang juga mulai mengeksplorasi,” ujar Farouk.

Hong Kong Service Authority, tambah Farouk, juga sudah menyatakan siap untuk menjadikan Hong Kong sebagai pusat keuangan syariah di Asia. ”Hong Kong bersaing dengan Singapura. Tapi, Singapura sudah mendirikan bank Islam besar. Namanya Islamic Bank of Asia, yang didirikan oleh Development Bank of Singapore, milik pemerintah Singapura. Saham Development Bank of Singapore di Islamic Bank of Asia ada 51%, sisanya dicari dari investor yang berasal dari negara-negara Teluk, khususnya Bahrain dan Arab Saudi. Dari sana kita bisa lihat, justru di negara-negara yang penduduknya mayoritas non-muslim yang berkembang cepat,” tutur pria kelahiran Jakarta yang mantan aktivis mahasiswa ini.

Semua itu bisa terjadi, kata Farouk lagi, karena mereka sudah memiliki infrastuktur keuangan yang lebih bagus dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. “Sistem hukum, transparansi, dan sebagainya lebih bagus. Good governance mereka lebih in place. Jadi, mereka lebih siap,” kata Farouk.

Tapi, memang, tambah Farouk, fenomena itu terjadi semata-mata karena urusan bisnis. ”Ini soal peluang bisnis saja bagi mereka. Karena, kita melihat, harga minyak beberapa waktu lalu kan luar biasa, yang tertinggi dalam sejarah. Nah, negara-negara Teluk yang banyak menghasilkan minyak itu kan negara-negara kecil. Paling besar Arab Saudi, itu pun penduduknya hanya 20 juta orang. Negara-negara Teluk yang lain penduduknya hanya beberapa ratus ribu orang. Nah, orang-orang dari negara-negara non-muslim lalu membaca, ekonomi negara-negara kecil itu tidak akan bisa menyerap overliquidity dari warganya. Maka, di negara-negara non-muslim itu pun lalu didirikan lembaga keuangan syariah,” ungkap Farouk.

Apakah bank-bank syariah di negara-negara non-muslim itu juga menjalankan filosofi ekonomi Islam, yang bertumpu pada keadilan sosial? ”Pada dasarnya, penekanan keadilan pada ekonomi Islam sangat kuat. Dalam Islam, kekayaan tidak boleh berputar hanya pada sekelompok orang dan ekonomi Islam itu sangat peduli terhadap kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Kemajuan atau kesejahteraan di dunia tidak boleh mengorbankan kesejahteraan di akhirat. Sementara itu, saya melihat perkembangan bank-bank syariah di negara-negara non-muslim lebih banyak digerakkan oleh motif-motif bisnis semata, sekadar shariah compliance,” kata Farouk.

Biarpun begitu, tentu saja bank-bank syariah di negara-negara yang mayoritas penduduknya non-muslim itu tetap di bawah kontrol dewan pengawas syariah. Karena, setiap produk yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan syariah harus disetujui oleh dewan tersebut. ”Dan, meski hasilnya akhirnya kelihatan sama, proses yang dijalankan oleh lembaga keuangan syariah berbeda dengan yang non-syariah. Dari akadnya saja sudah berbeda,” ujar Farouk lagi. (Pedje)

30+ Buku Pilihan untuk Anda

Jangan menilai buku dari sampulnya! Empat perempuan ini pun memilihkan beragam judul buku yang menurut mereka layak Anda baca.


Dalam sebuah kesempatan, salah seorang sastrawan terkemuka Amerika Serikat yang juga dikenal sebagai sosok yang humoris, Mark Twain, pernah berkelakar. Katanya, “Be careful about reading health books. You may die of a misprint.” Namun, meski berkelakar, ungkapan Mark Twain itu tampaknya ada benarnya. Karena, walau buku merupakan hasil budaya yang banyak mengubah wajah dunia, sikap kritis, sikap hati-hati, tetap diperlukan dalam membaca buku—apalagi sekarang ini, ketika banyak sekali buku diterbitkan dan diperjualbelikan, baik buku lokal maupun buku impor.

Memang, kita sama-sama tahu, tak semua buku mengandung muatan yang bermutu atau setidaknya kita perlukan. Tak sedikit buku yang isinya menurut hemat kita mungkin kurang layak untuk dipublikasi atau setidaknya tidak dapat memenuhi hasrat keingintahuan kita. Karena itulah, agar tak terjebak melakukan tindakan pemborosan karena membeli buku yang tidak bermutu atau tidak kita perlukan, tak ada salahnya kalau kita membaca tinjauan buku yang ada di media massa atau meminta pendapat teman yang telah membaca buku yang akan kita membeli.

Dengan pemikiran seperti itu, eve pun mengundang empat perempuan yang kami ketahui sebagai pembaca buku yang baik, untuk merekomendasikan buku apa saja yang kira-kira layak dibaca Anda, pembaca eve, yang kemungkinan besar dapat mendatangkan kesenangan sekaligus manfaat, dulce et utile, bagi Anda. Selamat membaca!

Happy Salma, Artis, 27 Tahun
“Wah, saya saat ini lagi mencoba menyelesaikan membaca novel Ibunda karya Maxim Gorky, yang diterjemahkan dengan bagus oleh Pramoedya Ananta Toer. Saya terkesan dengan novel ini, karena Gorky begitu detail dan piawai menggambarkan sosok seorang ibu yang setiap hari mencemaskan keselamatan putranya, yang aktif terlibat dalam berbagai aksi di tengah kaum buruh. Pada dasarnya, saya memang suka dengan bacaan-bacaan yang menampilkan sosok perempuan pejuang dan perempuan yang mengalami metaforsis dalam kehidupannya.

“Buku favorit saya sendiri adalah Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Menurut saya, ini karya yang ‘edan’. Saya kagum dengan keahlian Pram dalam menggambarkan penderitaan seorang gadis. Itulah sebabnya, karena membaca buku ini, saya ingin sekali berkenalan dengan Pramoedya dan, alhamdulillah, saya sempat berkenalan dengan beliau ketika beliau masih hidup.

“Saya sudah membaca Gadis Pantai berkali-kali. Saya menyukai bagian novel ini ketika si gadis mengalami kebingungan karena dirinya diserahkan kepada Bendoro dan ketika ia mulai berpikir, kemudian masuk ke dalam permasalahan hidupnya.

“Pram memang salah seorang sastrawan favorit saya. Beberapa waktu lalu, karena untuk keperluan pementasan teater Nyai Ontosoroh, saya juga membaca ulang tetralogi Pulau Buru karya Pram: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.”

Buku-Buku Pilihan Happy untuk Anda
  1. Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer
  2. Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer
  3. Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer
  4. Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana
  5. Ibunda karya Maxim Gorky
  6. Pulang karya Happy Salma
  7. Candy Candy karya Kyoko Mizuki dan Yumiko Igarashi. “Komik ini simpel dan bagus.”

Aisah Hasibuan, Guru Bahasa Inggris, 27 Tahun
“Saya sekarang sedang membaca novel Can You Keep A Secret karya Sophie Kinsella, yang edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Pustaka Utama Gramedia. Novel ini menceritakan tentang Emma, seorang gadis biasa yang sering berbohong untuk menutupi kesalahannya. Namun, pada suatu hari, dia tanpa sengaja mengungkapkan semua kebohongannya kepada seorang lelaki yang baru ia kenal di pesawat. Tadinya, dia mengira dirinya tidak akan bertemu pria itu lagi. Namun, ternyata, lelaki tersebut adalah pemilik perusahaan tempat Emma bekerja.

“Cerita novel ini menggelitik tawa dan kekonyolan Emma sangat manusiawi, bisa terjadi pada siapa saja. Bahkan, saya rasa, saya sering mengalaminya, ha-ha-ha….

“Buku-buku favorit saya adalah Being Happy karya Andrew Matthews. Buku ini cocok dibaca kalau kita sedang down. Lewat buku ini, kita juga menjadi tahu bahwa untuk menjadi bahagia itu tak sesulit yang kita bayangkan. Selain itu, buku favorit saya adalah Chicken Soup for the Soul karya Jack Canfield & Mark V. Hansen, yang kisah-kisahnya membuat kita ‘kaya jiwa’, dan Men Are from Mars, Women Are from Venus karya John Gray, yang membuat kita bisa memahami sifat-sifat lawan jenis sehingga kita tidak selalu berpikir one-sided.”

Buku-Buku Pilihan Aisah untuk Anda
  1. Being Happy karya Andrew Matthews
  2. Rich Dad, Poor Dad karya Robert T. Kiyosaki. “Agar kita dapat belajar mengatur uang dengan bijak.”
  3. 7 Habits of Highly Effective People karya Steven R. Covey. “Ini buku wajib yang harus dimiliki semua orang.”
  4. 365 Tips Hidup Sehat karya Dr. Don R. Powel. “Bahasanya mudah dimengerti dan anjurannya mudah dipraktikkan.”
  5. You Are What You Think karya David Stoop. “Memotivasi kita untuk optimistis dan selalu berpikir positif.”
  6. Men Are from Mars, Women Are from Venus karya John Gray
  7. Can You Keep A Secret karya Sophie Kinsella
  8. Chicken Soup for the Soul karya Jack Canfield & Mark V. Hansen
  9. Einstein aja Tak Tahu karya Robert L. Wolke “Penjelasan tentang kejadian sehari-hari, yang bikin kita serasa semakin pinter.”
  10. The True Power of Water karya Masaru Emoto
  11. The 7 AHA!s of Highly Enlightened Souls karya Mike George. “Di buku ini ada tips-tips agar kita bisa terbebas dari segala bentuk stres.”

Ninok Wiryono, Artis, 39 Tahun
“Sekarang ini, saya sudah hampir selesai membaca buku Burnt Toast: And Other Philosophies of Life karya Teri Hatcher. Buku ini menggambarkan bagaimana Teri Hatcher melepaskan diri dan bangkit dari berbagai kungkuangan yang membelenggu hidupnya, mulai dari perceraian sampai kencan yang buruk. Saya suka membaca buku ini, karena Teri Hatcher seakan menyemangati pembaca bukunya agar tetap survive dalam kehidupan, meski usia kita sudah kepala empat--saya sendiri kan sebentar lagi akan berusia 40 tahun. Itulah sebabnya, buku Teri Hatcher ini menjadi salah satu buku favorit saya, yang saya rekomendasikan agar dibaca oleh pembaca eve. Lewat buku ini kita jadi bisa memaknai kembali ungkapan ‘life begins forty’ yang terkenal itu.

“Pada dasarnya, saya suka membaca apa saja, tidak membatasi diri dalam satu bidang saja. Sepanjang buku itu bagus, menurut saya, saya akan menuntaskan pembacaannya. Jadi, jangan heran jika topik dari buku-buku yang saya rekomendasikan untuk pembaca eve beragam.

“Biasanya, sebelum saya membeli satu buku, saya baca dulu review-nya yang ada di media massa, termasuk di Internet. Kalau ada buku yang bagus menurut orang yang pernah membacanya dan saya tertarik dengan topiknya, saya akan membeli buku itu.”

Buku-buku Pilihan Ninok untuk Anda
  1. The Purpose Driven Life karya Rick Warren
  2. Burn Toast karya Teri Hatcher
  3. The Good Girls Guide to Bad Girl Sex karya Barbara Keesling
  4. Tips Menjadi Wanita Paling Bahagia di Dunia karya Dr. Aidh bin Abdullah Al-qarni, M.A.
  5. Instant Confidence karya Paul McKenna
  6. Spiritual Intelligence: What We Can Learn from the Early Awakening Child karya Marsha Sinetar
  7. Angry Housewives karya Lorna Landvick
  8. Lillian Too’s Fengshui karya Lillian Too

Lia Helena, Sekretaris Eksekutif, 35 Tahun
“Buku yang sedang saya baca sekarang adalah Shopaholic & Baby karya Sophie Kinsella, yang edisi bahasa Indonesia baru saja diterbitkan oleh Gramedia. Buku ini merupakan seri kelima dari serial Shopaholic. Kisahnya tentang tokoh bernama Becky Bloomwood yang sangat keranjingan belanja, yang kini telah menikah dan tengah menanti kelahiran anak pertamanya. Sama halnya seperti buku Shopaholic terdahulu, kisahnya berputar pada tokoh Becky yang berusaha untuk mengontrol dan mengurangi kebiasaan belanjanya, meskipun hasilnya belum terlihat. Berbagai kelucuan terjadi karena tokoh Becky Bloomwood mirip sekali dengan kelakuan kaum perempuan umumnya, yang pada saat belanja exciting berat, tapi waktu melihat seberapa banyak telah berbelanja menjadi panik.

“Buku ini bagi saya menarik karena kisahnya mirip juga dengan keadaan saya sehari-hari, yang memang doyan belanja alias shopaholic dan saya terdorong untuk mengikuti kelanjutan seri Shopaholic karena alur ceritanya simpel sekaligus sangat menghibur. Bahasanya yang sangat mengasyikkan membuat saya jadi tenggelam dalam tokoh Becky tersebut. Selipan-selipan humornya juga membikin saya suka terbahak-bahak sendiri. Membaca serial Shophaholic rasanya seperti sedang bercermin, ha-ha-ha....

“Buku favorit saya sepanjang masa adalah kumpulan dongeng Hans Christian Andersen. Bagi saya, cerita Andersen yang sangat indah dan penuh pesan kebaikan membuat cerita-ceritanya timeless dan cocok dibaca semua kalangan umur dan tidak akan lekang dimakan masa. Yang juga menjadi buku favorit saya adalah Selfhelp serial Don’t Sweat The Small Stuff karya Richard Carlson, Rojak karya Fira Basuki, dan 3 Venus karya Clara Ng.”

Buku-Buku Pilihan Lia Helena untuk Anda
  1. Children Are From Heaven karya John Gray
  2. Men Are from Mars, Women Are from Venus karya John Gray
  3. Supermom karya Kathy Buckworth
  4. When You Stop Being Barbie karya Mary Pierce
  5. 3 Venus karya Clara Ng
  6. Shopaholic Series (1-5 ) karya Sophie Kinsella
  7. Rojak karya Fira Basuki
  8. Don’t Sweat the Small Stuff for Moms karya Kristine Carlson
  9. Don’t Sweat the Small Stuff for Couples karya Richard Carlson (Pedje)

Wednesday, October 28, 2009

Bukan Sekadar Hura-Hura

Ada begitu banyak komunitas bermunculan seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Anda bergabung di komunitas apa?


“Hidup di kota besar seperti Jakarta yang paling penting itu sehat dan banyak teman. Punya banyak uang dan harta berlimpah juga tak ada artinya kalau kita sakit-sakitan dan tak punya teman. Lebih parah lagi kalau sudah tak punya uang, eh, sakit-sakitan dan tak punya teman pula. Tapi, kalau sehat dan banyak teman, saya sendiri merasakan, rezeki menjadi mudah dicari,” ujar seorang teman, panggil saja Tara, seorang produser eksekutif di sebuh stasiun televisi.

Ya, ada benarnya pernyataan Tara itu. Bahkan, bukan hanya di kota besar seperti Jakarta, kesehatan dan teman yang banyak (apalagi baik pula) merupakan keniscayaan hidup manusia di mana saja. Bukankah manusia pada dasarnya makhluk sosial, seperti pernah diajarkan dulu oleh guru sekolah dasar kita?

Dan, sekarang ini, untuk menjalin pertemanan dengan sebanyak mungkin orang bukan sesuatu yang terlampau sulit, bahkan untuk mendapatkan teman-teman baru dari tempat yang belum kita pernah dengar namanya sebelumnya. Seperti kita tahu, terlepas dari baik atau buruknya, di internet ada banyak situs yang menyediakan fasilitas bagi kita untuk menampilkan diri agar mendapatkan teman. Misalnya Facebook, Twitter, Friendster, Multiply, Flickr, High 5, dan berjuta-juta (mungkin miliaran) mailing list (milis). Mengunjugi situs-situs dan menjadi peserta beberapa milis itu kita akan benar-benar merasakan kebenaran ungkapan bahwa batas-batas dunia kini telah mencair dan dunia ini bagai sebuah kampung besar. Aha!

Dengan bantuan teknologi semacam itu pula berbagai komunitas tercipta di banyak tempat di berbagai belahan dunia, mulai dari komunitas hobi sampai komunitas bisnis; mulai dari komunitas penggemar keris sampai komunitas peminat UFO. Anda bergabung dalam komunitas apa? Atau justru belum bergabung dan berminat untuk bergabung? Nah, bagi yang berminat untuk bergabung dengan suatu komunitas, kami sajikan profil tiga komunitas yang berbeda berikut ini, sebagai gambaran apa dan bagaimana aktivitas komunitas itu berlangsung.

Komunitas Bike to Work
Inilah komunitas bagi orang-orang yang peduli lingkungan, dengan cara meminimalkan penggunaan kendaraan bermotor bila berpergian, terutama bila pergi ke tempat kerja. Mereka mencoba sesering mungkin untuk menggunakan kereta angin, sebagai bagian dari niat mereka untuk ikut menyelamatkan bumi ini. “Komunitas ini terbentuk pada tahun 2005 dan keanggotaan sampai sekarang bersifat cair, artinya belum mengikat. Siapa saja yang suka bersepeda, terutama ke tempat kerja, bisa bergabung dengan komunitas ini. Namun, ke depan, kami sedang menyiapkan bentuk organisasi yang rapi. Kami sedang menyiapkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, sehingga nanti keanggotaannya menjadi terikat. Kami berharap, dengan adanya organisasi yang lebih rapi, kami berharap dapat lebih membuat program-program yang lebih bermanfaat bagi anggota, misalnya dengan mengikutsertakan mereka pada program asuransi kecelakaan,” kata Lucy W. Iskandar, 29 tahun, aktivis Bike to Work yang bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan di Jakarta. Lucy hampir setiap hari bersepeda dari rumah ke kantor pergi pulang. Rumahnya di Bintaro dan kantornya di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat.

Kendati keanggotaannya bersifat cair, logo Bike to Work tak bisa dengan seenak-enaknya digunakan oleh anggotanya. ”Kami telah mematenkan logo Bike to Work, karena kami juga membuat pernak-pernik dengan logo ini yang dijual kepada siapa yang berminat. Keuntungan dari penjualan ini kami masukkan ke dalam kas Bike to Work,” kata Lucy lagi. Komunitas ini pun telah memiliki ’cabang’ di berbagai kota besar di Indonesia.

Kalau sedang mengadakan acara, semisal ulang tahun kelompok ini (Bike to Work Day), anggota yang hadir bisa sampai ribuan orang. ”Tahun lalu saja, yang berkumpul di Jakarta ini saja mencapai empat ribu orang. Kami mengadakan Bike to Work Day setiap tahun sebagai bagian dari kampanye kami untuk menggugah orang ikut menyelamatkan bumi lewat bersepeda. Pada konferensi tentang pemanasan global dan perubahan iklim yang baru lalu di Bali, komunitas kami juga mendapatkan kehormatan untuk melakukan kegiatan sepeda maraton dari Jakarta ke Bali, yang kami namakan Bicycle for Earth,” tutur Lucy.

Selain itu, anggota ini juga kerap kumpul-kumpul di berbagai tempat sekadar untuk bersilahturahmi atau makan bersama. ”Jadi, dengan ikut komunitas ini, selain sehat, kami juga mendapat banyak teman, yang tak jarang malah menjadi teman bisnis,” kata Nina Sudiro, 34 tahun, yang mulai aktif dalam komunitas ini sejak Desember 2006 lalu. Hampir setiap hari, Nina pergi-pulang dari rumah ke kantornya dengan mengayuh sepeda. ”Jarak rumah saya ke kantor sekitar 33 kilometer. Jadi, hampir setiap hari, saya mengayuh sepeda sekitar 66 kilometer. Kalau lagi buru-buru, saya naik sepeda sampai stasiun kereta api, lalu sepeda saya lipat, dan saya naik sepeda lagi dari stasiun ke kantor. Kegiatan ini benar-benar menyehatkan dan membuat tidur malam saya berkualitas, selain menghemat bahan bakar dan menghemat pengeluaran. Kalau tidak bersepeda, justru rasanya badan ini tidak enak,” tutur ibu dari seorang anak ini.

Lalu, bagaimana caranya bila ingin bergabung dengan komunitas ini. ”Ikut saja milis Bike to Work, http://yahoogroups.com/group/b2w-indonesia. Di sana nanti bisa ditanyakan kapan akan kumpul-kumpul lagi, siapa saja teman yang lokasi rumahnya searah, dan sebagainya. Pokoknya semua hal yang berkenaan dengan sepeda bisa ditanyakan di milis ini,” ungkap Lucy.

Bila Anda ingin mulai bersepeda ke tempat kerja, inilah tips dari mereka.
  1. Pelajari rute, persinggahan, tempat parkir, lokasi mandi, dan sebagainya.
  2. Periksa kondisi sepeda, seperti tekanan angin ban, rantai, dan baut-baut.
  3. Bawalah peralatan dan perlengkapan standar, seperti pompa, ban dalam, kunci-kunci, gembok sepeda, air minum, dan perlengkapan P3K.
  4. Kenakan perangkat keselamatan, seperti helm, lampu depan dan belakang, masker, dan sarung tangan.
  5. Kenakan pakaian yang sesuai, seperti kaus, bandana, kacamata, sepatu olahraga, dan siapkan jas hujan.
  6. Siapkan sebelumnya baju ganti, peralatan mandi, dan sebagainya.
  7. Siapkan mental dan fisik, seperti makan pagi secukupnya.

Komunitas 80-an

Anda masih ingat gadis kecil berkepang dua Laura Ingals dalam film seri Little House on the Prairie? Ingatkah Anda ketika berajojing ria di Ebony-Jakarta atau di Studio East-Bandung? Jangan-jangan Anda pernah menaksir Elmo, ya? Hehehe….

Jika Anda ingin mengenang lagi masa-masa manis dekade 1980-an, Anda bisa bergabung dengan Komunitas 80-an. Komunitas ini berdiri sejak tahun 2006, tapi telah memiliki anggota hampir 2.000 orang. “Awalnya, ada yang mem-posting kisah tentang tahun 1980-an di blog saya. Ternyata, postingan itu banyak yang menanggapi. Seru juga kisahnya, tapi masih banyak yang belum dibahas. Akhirnya ada yang mengusulkan untuk membahasnya di blog tersendiri. Saya dan beberapa teman pun kemudian membuat blog 80-an bersama-sama, pada Juli 2005 lalu, karena memang jarang ada blog yang khusus membahas masa-masa 1980-an di Indonesia. Niat kami, selain sebagai ajang mengenang masa-masa indah tahun 1980-an, juga sebagai upaya mendokumentasikan segala hal yang ada dan terjadi pada kurun waktu tersebut,” kata Muhammad Baihaqi alias Q, salah seorang pembuat blog 80-an.

Blog itu pun ramai dikunjungi pengguna internet, sampai-sampai direviu oleh detik.com. ”Setelah reviu itu, pengunjungnya semakin banyak. Tapi, komunitasnya belum terbentuk. Lalu, ada yang mengusulkan untuk bikin milis. Terjadi pro dan kontra, Tapi, akhirnya saya bikin sendiri milis itu, http://groups.yahoo.com/group/lapanpuluhan/, pada 16 Januari 2006,” tutur Q.

Awalnya, milis itu hanya sedikit anggotanya. ”Tapi, setelah diulas berbagai media, anggotanya semakin banyak dan kini anggotanya sudah mencapai 1.800 orang. Anggotanya dari beragam usia, mulai dari yang masih duduk di bangku SMA sampai yang sudah berusia di atas 60 tahun, tapi umumnya adalah kalangan profesional dalam usia produktif. Mereka dari berbagai daerah di Indonesia dan ada juga yang tinggal di luar negeri,” ujar pria berkacamata yang pada tahun 1980-an lebih banyak tinggal di Malang, Jawa Timur, ini.

Sampai sejauh ini, kegiatan mereka memang hanya kumpul-kumpul di berbagai tempat dan melakukan komunikasi via milis dan lewat blog www.lapanpuluhan.multiply.com. ”Untuk merayakan ulang tahun kedua berdirinya komunitas ini, kami pada 15 Maret nanti akan mengadakan acara Aneka Ria 80-an,” kata Q.

Rencananya, komunitas ini juga akan membuat wadah organisatoris yang lebih terstruktur. ”Biar lebih leluasa melangkah dan bikin kegiatan sosial,” ujar Irvan, aktivis komunitas ini.

”Saya merasa senang bergabung dengan komunitas ini. Selain bisa mengenang masa-masa manis manis pada tahun 1980-an, saya juga bisa bertemu dengan teman-teman baru yang mengasyikkan,” tutur Titi Suwondo, konsultan senior di sebuah perusahaan komunikasi. Hal senada juga disampaikan Dhani, pegawai negeri sipil Tegal, Jawa Tengah. ”Lewat komunitas ini, saya mendapatkan teman-teman yang sejiwa, yang pernah sama-sama menikmati masa-masa manis tahun 1980-an,” ungkapnya. Tertarik bergabung? Coba saja klik dulu blog komunitas ini.


Komunitas Penggemar A1 Grand Prix
Tahu kan Anda tentang lomba balap mobil A1 yang diprakarsai Syekh Maktoum Hasher bin Maktoum al-Maktoum dari Uni Emirat Arab? Lomba balap ini mulai diadakan pada tahun 2005 dan diklaim sebagai pesaing utama balap mobil Formula 1 (F1). Namun, kalau dalam F1 yang berlaga di atas roda adalah para pembalap yang tergabung dalam tim yang disponsori oleh perusahaan otomotif, A1 adalah ajang balap dengan membawa bendera negara masing-masing pembalapnya. ”Selain itu, mobil balap single seater yang digunakan para pembalap dalam A1 harus sama jenis dan kapasitas mesinnya. Juga bannya,” ujar Febia Wulandari, 32 tahun, penggila balap mobil yang tergabung dalam komunitas penggemar A1 Grand Prix-Indonesia.

Komunitas ini terbentuk di Indonesia seiring dengan diadakannya lomba balap mobil A1 pada tahun 2005. “Ketika mendengar akan ada balap mobil dunia dengan konsep yang berbeda, yang lebih mengutamakan pertarungan negara lawan negara, dan Indonesia termasuk di dalamnya, beberapa orang yang aktif di milis F1 lalu mengusulkan untuk membuat milis bagi para penggemar balap mobil jenis ini, A1 GP. Maka, saya pun lalu membuat milisnya, http://autos.groups.yahoo.com/group/A1Indonesia/,” tutur Paul Tuanakotta, 37 tahun.

Menurut Paul, karena A1 adalah balap mobil antarnegara, aktivitasnya membuat milis itu dan kemudian membentuk komunitas penggemar A1 Indonesia adalah sebagai upaya membantu menyadarkan masyarakat di Indonesia bahwa ada atlet kita yang ikut dalam ajang tersebut. ”Rasa nasionalisme kami tergugah untuk mendukung pembalap Indonesia di ajang ini. Rasanya lebih seru menonton A1 karena melibatkan rasa kebangsaan kita. Itulah sebabnya balap ini juga disebut sebagai The World Cup of Motorsport,” kata Paul lagi.

Kegiatan komunitas ini, selain menonton acara balap A1 bareng-bareng, juga membantu tim A1 Indonesia untuk melakukan publikasi. “Kami dan manajemen A1 Team Indonesia yang baru sepakat untuk saling dukung, meski tidak ada perjanjian resmi. Karena kedekatan kami dengan dengan tim manajemen itu, anggota komunitas ini pun dijanjikan akan punya kesempatan menonton balap A1 langsung gratis di luar negeri bagi yang beruntung memenangkan undian yang akan diadakan nanti,” ujar Rina Permata Sari Bey, 21 tahun, yang aktif di komunitas ini. Komunitas ini juga sering diundang dalam acara-acara yang diadakan manajemen A1 Team Indonesia.

Sekarang ini, anggota komunitas penggemar A1 GP Indonesia ada sekitar 200 orang, yang berasal dari berbagai kota di Indonesia dan di luar negeri. “Pokoknya, ikut komunitas ini seru. Selain bisa kenal orang-orang di manajemen di A1 Team Indonesia, kami juga bisa ketemu dan ngobrol langsung dengan pembalapnya, Satrio Hermanto,” tutur Febia, yang juga hobi mengoleksi pernak-pernik balap mobil dari berbagai belahan dunia. (Pedje)

Tuesday, October 27, 2009

Percikan Masa Lalu Jakarta

Tahun ini, Jakarta merayakan hari jadinya yang ke-481 tahun. Sejak zaman dulu, kota ini sudah menjadi ajang pergaulan internasional, yang jejaknya masih banyak terekam sampai kini.


“Ente bahlul! Belinya cepek, kok, dijual gocap….” Kalimat seperti itu tentunya bukan ’barang’ baru buat Anda yang lahir dan besar di Jakarta atau telah lama menetap di Jakarta. Setidaknya, sampai awal tahun 1990-an, orang-orang di Jakarta masih sering mendengar potongan percakapan semacam itu. Yang pertama, ente bahlul, sepenuhnya dipengaruhi oleh bahasa Arab, sementara yang kedua dipengaruhi oleh variasi bahasa dari negeri Tiongkok.

Masyarakat Jakarta tempo dulu, suku Betawi khususnya, memang bukan baru kemaren sore bergaul sama masyarakat internasional. Sejarah mencatat, Bandar Sunda Kelapa di belahan utara Jakarta sudah diramaikan oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia sejak berabad-abad lalu. Tak mengherankan jika kebudayaan Betawi banyak dipengaruhi oleh kebudayaan dari negeri-negeri lain, mulai dari India, Arab, Eropa, sampai Cina. Belakangan, yang masih melekat kental dalam kebudayaan Betawi adalah pengaruh Arab, Cina, dan India. Setidaknya ini bisa dilihat dari pakaian pengantin adat Betawi dan musik tradisional, seperti gambang kromong dan rebana. ”Pakaian pengantin besar besar adat Betawi disebut Care Cine, cara Cina. Tapi, yang laki-laki mengenakan gamis lengkap dengan kopiahnya yang khas Arab, sementara yang perempuan mengenakan pakaian yang banyak dipengaruhi kebudayaan Cina. Selain pakaian pengantin adat besar Care Cine itu, masyarakat Betawi juga mengenal pakaian pengantin Cara Belande dan Care Hindustan, cara Belanda dan cara India,” ujar Anisa D.S., penggiat kebudayaan Betawi yang juga pemilik Sanggar Rias dan Busana Pengantin Yatmikasari di bilangan Kemayoran, Jakarta Pusat.

Orang-orang Arab bertandang dan kemudian menetap di Betawi umumnya adalah kaum pedagang dan para penyebar agama Islam. Sementara itu, orang-orang Cina datang dan tinggal di Betawi kebanyakan karena ’diculik’ oleh para kapten kapal Belanda untuk dilelang sebagai kuli kontrak. Banyak juga yang sengaja didatangkan oleh para saudagar Cina sendiri. Pemerintah kolonial Belanda sendiri menunjuk seorang kapiten (kapten) untuk memimpin setiap kelompok etnis, mencontoh Portugis yang telah terlebih dahulu memberlakukan cara ini di berbagai daerah jajahannya.

Dalam perkembangannya, etnis Cina di Betawi menjadi kuat, baik dari segi jumlah maupun ekonominya. Mereka pun mendapat keistimewaan dari pemerintah jajahan Belanda: mereka dipimpin oleh seorang dengan pangkat tertinggi mayor. ”Namun, pangkat tertinggi mayor ini hanya terbatas di tiga kota besar, Batavia, Semarang, dan Surabaya. Di lain tempat, pimpinan etnis ini hanya seorang kapiten yang dibantu beberapa letnan,” ungkap Alwi Shahab dalam bukunya, Robinhood Betawi.

Menurut Willard A. Hanna, orang Amerika yang menulis buku tentang Jakarta, Hikayat Jakarta, kapiten Cina ini hidup mewah seperti raja-raja Mandarin. Mereka menerima hak untuk menerima pajak dari masyarakatnya. Kapiten Cina pertama di Batavia adalah Kapiten Souw Beng Kong, yang diangkat oleh Gubernur Jenderal J.P. Coen pada Oktober 1619.

Souw Beng Kong sebelumnya merupakan seorang pengusaha di Banten. Ia memang telah cukup lama berteman dengan J.P. Coen, yang kemudian mengajaknya ke Batavia. Beng Kong pun lalu datang ke Batavia bersama dengan pengikutnya, yang berjumlah hampir 200 orang. Arsip kolonial Belanda mencatat, jumlah pengikutnya membengkak menjadi lebih dari tiga ribu jiwa dalam waktu 30 tahun.

Berkat kedekatannya dengan penguasa nomor satu di tanah jajahan itu, usaha Souw Beng Kong memang sangat berkembang pesat di Batavia, sehingga ia menjadi salah seorang orang terkaya pada masanya. Bisnisnya mulai dari perdagangan umum, konstruksi, sampai perkebunan di sekitar Batavia.

Hidupnya semakin bergelimang kemewahan ketika ia diangkat menjadi kapiten. Pundi-pundinya semakin banyak karena ia mendapat hak untuk menarik pajak dari masyarakat Cina yang ia pimpin, mulai dari pajak jalinan rambut panjang, pajak kuku panjang, pajak judi. Sampai pajak candu. ”Candu, yang merupakan suatu jenis narkoba, pada masa penjajahan Belanda memang merupakan barang yang legal,” ujar Veronica Colondam dari Yayasan Cinta Anak Bangsa, lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada pencegahan penyebaran narkoba di masyarakat. Dalam buku Konglomerat Oei Tiong Ham juga disinggung, kedudukan sebagai penarik pajak dan kesempatan memonopoli perdagangan membuat para keluarga peranakan Cina dapat mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.

Souw Beng Kong wafat pada tahun 1644. Ia dimakamkan di daerah Kota, sekarang tepatnya di Jalan Taruna (dulu bernama Jalan Souw Beng Kong), sekitar satu kilometer dari Stasiun Kereta Api Beos. ”Makam kapiten Cina ini hanya tinggal batu nisannya. Seluruh bagian makam itu sudah menyatu dengan rumah penduduk,” ujar Alwi Shahab.

Jumlah orang Cina di Batavia semakin membengkak dari tahun-tahun. Pada awal abad ke-18 tercatat ada jumlah penduduk berkebangsaan Cina di kota dan sekitarnya berjumlah 80 ribu jiwa. Banyak di antara mereka yang bekerja di perkebunan-perkebunan tebu, pabrik gula, dan perusahaan perkayuan yang didirikan di luar kota, seperti di Tanah Abang, Jatinegara, dan Sawah Besar—yang disebut kota ketika itu memang hanya seputar Museum Sejarah Jakarta dan Pasar Ikan sekarang.

Namun, ribuan pendatang dari Tiongkok itu juga banyak yang kurang beruntung. Mereka tak mendapat pekerjaan dan akhirnya menjadi gelandangan, juga pelaku kriminal. Pemerintah kolonial Belanda pun gerah dan kemudian melakukan aksi penangkapan orang Cina besar-besaran, untuk dibuang ke Sri Lanka.

Keresahan pun merebak di mana-mana. Pada 9 Oktober 1740, kerusuhan terjadi di Glodok, setelah sehari sebelumnya Belanda memukul mundur serangan balasan orang-orang Cina di pinggir kota. Makin siang, kerusuhan semakin tak terkendali. Gedung-gedung dan rumah-rumah orang Cina di Glodok dibakar. Orang-orang berhamburan di jalan dan para serdadu Belanda dengan entengnya menembaki mereka.

Willard A. Hanna menulis, semua orang Cina tanpa kecuali, pria, perempuan, dan anak-anak diserang. ”Baik wanita hamil maupun bayi yang sedang menyusui tidak luput dari pembantaian yang tidak mengenal perikemanusiaan. Ratusan tahanan yang dibelenggu disembelih, seperti menyembelih domba,” tulis Hanna. Belakangan diketahui, sekitar 10 ribu orang Cina, termasuk tahanan dan pasien rumah sakit, dibunuh oleh tentara Belanda, 500 orang luka parah, dan 700 rumah dirusak serta barang-barang mereka dirampok.

Selain Arab dan Cina, sisa kebudayaan Portugis juga sampai sekarang masih bisa ditemukan di Jakarta, antara lain di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. Di sana masih banyak warga keturunan Portugis, yang menggunakan nama-nama keluarga yang berasal dari Portugis. Leluhur mereka adalah orang Portugis tawanan VOC Belanda.

Ceritanya, karena penjara di Batavia penuh, mereka ditempatkan di Kampung Tugu, yang waktu itu masih berupa hutan. Awalnya mereka beragama Katolik, tapi kemudian dipaksa untuk menjadi Protestan oleh Kompeni (VOC). Setelah menjadi Protestan, mereka pun menjadi mardijker (orang yang telah dimerdekakan) atau di-vriye indlanders. Status mereka disamakan dengan pribumi. Dari sinilah lahir jenis musik keroncong Tugu yang terkenal itu. Ini dia si jali-jali.... (Pedje)

Pakaian Adat Betawi
Ada beberapa pakaian adat Betawi untuk perempuan, yakni baju none, baju krancang atau baju encim, dan baju enyak atau baju panjang. ”Baju none biasanya dipakai untuk gadis-gadis yang belum menikah. Modelnya kebaya panjang, yang biasanya dipakai oleh peserta lomba None Jakarta. Bahannya dari bahan tembus pandang polos, dengan daleman-nya kutang nenek atau kamisol. Kainnya batik Lasem yang motif tumpal, lalu memakai pending, peniti rantai tiga, anting seketel, konde cepol, dan berbagai aksesori lain,” ungkap Anisa D.S. Kalau baju kerancangan atau baju encim itu kebaya untuk ibu-ibu muda, yang dibordir bolong-bolong, karawang. ”Kainnya batik Lasem juga, cuma tumpalnya berbeda, tumpalnya boleh buket, pagi-sore, atau belah ketupat,” ujar Anisa. Sementara itu, baju enyak atau baju panjang sama dengan baju none tapi bahannya bermotif, misalnya kembang-kembang, dan kainnya juga sama.

Untuk pakaian pengantinnya untuk rias besarnya memakai baju care cine. ”Ini karena pakaian perempuannya, kebaya, banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Cina, misalnya kerahnya tinggi dan ditutupnya menyerong atau tuaki. Terus pakai rok, dengan gambar naga, bunga, atau burung hong. Juga pakai cadar jarang seperti pengantin perempuan Cina. Untuk yang lelakinya memakai gamis atau jubah dan mengenakan alpiye atau kopiah ala Arab,” tutur Anisa D.S. Biasanya, waktu akad menikah, pengantin akan didandani dengan gaya rias bakal. ”Yang perempuannya memakai baju kurung dengan kain songket, biasanya songket palembang, dan memakai selendang,” kata Anisa lagi. (Pedje)

Pusat Kebudayaan Asing di Jakarta

The Japan Foundation Jakarta
The Japan Foundation didirikan pada tahun 1972 untuk mempromosikan kegiatan pertukaran kebudayaan antara Jepang dengan negara-negara lain di dunia. Sejak 1 Oktober 2003, status The Japan Foundation berubah menjadi lembaga administratif independen. Kegiatan The Japan Foundation dipusatkan pada empat area kegiatan, yaitu pertukaran kebudayaan, pendidikan bahasa Jepang, pertukaran intelektual dan pengembangan studi Jepang, serta pengoleksian dan penyediaan informasi yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan pertukaran internasional. The Japan Foundation Jakarta berkantor di Gedung Summitmas I Lantai 2-3, Jalan Jenderal Sudirman Kapling 61-62, Jakarta 12190.

Erasmus Huis
Erasmus Huis adalah pusat kebudayaan Belanda di Jakarta. Dengan memfokuskan pada acara musik dan pameran, Erasmus Huis menjadi sebuah pusat kebudayaan yang aktif dan banyak dikunjungi. Di samping pangelaran musik klasik dan jazz, Erasmus Huis juga sering mengadakan pemutaran film dan ceramah. Erasmus Huis bukan saja merupakan tempat untuk memperlihatkan kebudayaan Belanda, tetapi juga merupakan tempat untuk memperlihatkan karya seni dan budaya Indonesia. Erasmus Huis terletak di Jalan H.R. Rasuna Said Kapling S-3, Kuningan, Jakarta 12950, telepon (021) 524 1069; email: erasmushuis@minbuza.nl; website: http://www.mfa.nl/erasmushuis/id/.

Pusat Kebudayaan Prancis (Centre Culturel Français, CCF) Jakarta
CCF boleh jadi merupakan pusat kebudayaan negara lain yang paling aktif di Jakarta. Beragam acara rutin diselenggarakan setiap bulannya, baik yang bertempat di CCF Jakarta sendiri maupun di tempat lain. Kantor pusat CCF Jakarta terletak di Jalan Salemba Raya 25, Jakarta 10440, telepon (021) 390 85 85; email: ecrire@ccfjakarta.or.id; website: http://www.ccfjakarta.or.id.

Istituto Italiano di Cultura Jakarta
Pusat kebudayaan Itali ini relatif baru berdiri di Jakarta. Tentu saja, beragam acara yang berkenaan dengan kebudayaan Itali kerap dihadirkan di sini. Pusat kebudayaan ini terletak di Jalan H.O.S. Cokroaminoto No. 117, Menteng, Jakarta 10310, telepon (021) 3927531, 3927532; email: iicjakarta@esteri.it.

Goethe-Institut Jakarta
Inilah pusat kebudayaan Jerman di Jakarta, yang kadang mengadakan beragam acara kesenian, baik yang dilakukan oleh seniman Jerman, seniman Indonesia, maupun hasil koloborasi seniman Jerman dan Indonesia. Di dalam Goethe-Institut Jakarta ini juga ada GoetheHaus, sebuah ruang pertunjukan sendiri yang modern dan lengkap, yang dapat digunakan oleh masyarakat umum, dengan cara menyewa. GoetheHaus cocok untuk konser musik kamar, pementasan kecil teater dan tari, pemutaran film, ceramah, dan seminar. Galeri GoetheHaus juga sangat cocok untuk pameran foto, grafis, dan poster. Di tengah karya-karya yang dipamerkan dapat diselenggarakan konferensi pers dan diskusi kecil. Goethe-Institut Jakarta berlokasi di Jalan Sam Ratulangi 9-15, Jakarta 10350, telpon (021) 23550208; email: info@jakarta.goethe.org; website: http://www.goethe.de/INS/id/jak/idindex.htm. (Pedje)

Monday, October 26, 2009

Perempuan Langka di Jagat Raya

Menurut hasil riset Institut Statistik Unesco yang berbasis di Montreal, Kanada, sedikit sekali perempuan di dunia ini yang menekuni riset ilmiah, termasuk di negara-negara maju. Dan, inilah empat perempuan dari yang sedikit itu, yang semuanya berasal dari Indonesia.


Wiratni, S.T., M.T., Ph.D.
“Saya Ingin Memahami Alam dengan Sebaik-baiknya”
Usianya belum lagi genap 35 tahun. Namun, beberapa waktu lalu, perempuan yang meraih gelar doktor dari Chemical Engineering Department West Virginia University, Amerika Serikat, ini meraih penghargaan L’Oreal Indonesia Fellowship for Women in Science 2007, yang didukung oleh Unesco, untuk bidang material science. Penelitiannya tentang polimer alami berbasis sumber-sumber daya alam terbarukan, yang dikenal dengan istilah biopolimer. “Sebetulnya bidang saya ini campuran antara material science karena saya mempelajari polimer dan life science karena polimer saya itu diproduksi oleh sejenis bakteri. Tapi, fokus saya lebih ke materialnya, polimernya, bukan bakterinya, karena kompetensi saya dengan latar belakang teknik kimia adalah pada bidang material itu,” ujar dosen di Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, ini.

Ia tertarik meneliti biopolimer karena polimer sintetis atau plastik telah menjadi salah satu sumber masalah pelik bagi manusia. ”Polimer sintetis, plastik, merupakan salah satu penemuan terbesar dalam sejarah peradaban manusia karena terbukti polimer telah menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari bungkus makanan sampai komponen mobil. Walaupun begitu, plastik merupakan salah satu sumber masalah pelik bagi manusia. Di awal abad ke-21 ini mulai terasa beban lingkungan akibat penumpukan sampah-sampah plastik, terutama karena bahan ini resisten terhadap degradasi oleh mikroorganisme di alam,” urai ibu dari seorang putri berusia delapan tahun ini.

Wiratni pun lalu meneliti salah satu biopolimer yang paling menjanjikan, yakni polihidroksi butirat (PHB). “Biopolimer ini diproduksi di dalam sel oleh banyak bakteri yang dapat tumbuh pada jenis-jenis bahan yang sangat bervariasi, dari glukosa murni sampai limbah industri,” ungkap istri dari Budhijanto, Ph.D. ini. Menurut dia, PHB bukan saja potensial menggantikan plastik sintetis yang berbasis pada minyak bumi, tapi juga bersifat ramah lingkungan dan biocompatible.

Sejak kecil, Wiratni memang sudah akrab dengan dunia sains. Ayahnya, Sugiharto, adalah seorang insinyur mesin, dan ibunya, Sri Suryani, insinyur kimia. ”Orang tua saya selalu membantu mencarikan jawaban atas semua pertanyaan ’mengapa’ yang saya ajukan. Kalau mereka tidak tahu, mereka belikan bukunya. Saat saya di SD, ayah saya membelikan satu set buku Khasanah Pengetahuan bagi Anak-Anak, buku ilmu pengetahuan dengan banyak foto yang sangat menarik bagi anak seusia saya waktu itu. Kegemaran saya pada kimia dan matematika akhirnya membawa saya ke Jurusan Teknik Kimia UGM. Di sana pertama kali saya mengenal makna ’riset’ dan selanjutnya sangat menikmati aktivitas saya di laboratorium. Motivasi terjun ke dunia sains adalah karena alam ini begitu besar dan begitu banyak hal yang disediakannya untuk manusia. Saya ingin memahami alam dengan sebaik-baiknya, sehingga bisa menyelaraskan secara bijaksana, apa yang dibutuhkan manusia dengan apa yang disediakan oleh alam,” tuturnya penuh semangat.

Kendati demikian, sebagai orang tua, Wiratni mengaku tidak secara khusus mengarahkan anaknya untuk mengikuti jejaknya di bidang sains. ”Suami saya juga dosen dan peneliti di Jurusan Teknik Kimia UGM. Namun, kami membiarkan anak kami menikmati hal-hal yang ia senangi. Sekarang dia sedang senang belajar menari dan main biola. Kalau ditanya apa cita-citanya, dia bilang, ’Jadi kasir.’ Dalam hal pengembangan kecerdasannya, kami memang tidak pernah mengindoktrinasi dia bahwa dia harus menyukai sains seperti kami berdua. Walaupun demikian, pada berbagai kesempatan, kami tunjukkan apa guna sains untuk kehidupan sehari-hari. Kami juga berusaha menjawab semua pertanyaannya secara ilmiah, dalam bahasa yang sesuai dengan usianya. Kami sangat menikmati pertanyaan-pertanyaan orisinal dari Kiki, anak kami. Misalnya dia pernah bertanya, ’Kalau seorang ibu melahirkan dengan bedah caesar, dia kan dibius. Kok, bayinya waktu lahir bisa nangis, tidak ikut terbius?’ Dia juga pernah bertanya, ’Kenapa sabun mandiku warnanya hijau tapi, kok, busanya berwarna putih?’ Kami juga sangat mendorong Kiki untuk menulis, karena kami yakin menulis dapat meningkatkan kemampuan berbahasa dan salah satu modal utama seseorang untuk sukses di berbagai bidang adalah kemampuan bahasa. Saat dia gembira sekali atau jengkel sekali, dia akan menuliskan perasaan-perasaannya di mana pun, sembarang sobekan kertas,” ujar peraih Study Award dari Asia Rice USA Foundation untuk preliminary research dalam bidang pemanfaatan cyanobacteria untuk biofertilizer di sawah basah ini.

Dr. Munti Yuhana, S.Pi., M.Si.
“Penelitian Adalah Salah Satu Cara untuk Menghargai Kekayaan Hayati“
Perempuan yang satu ini sangat rendah hati. Meski gelar akademisnya sudah berderet dan aktivitasnya di bidang ilmu pengetahuan sudah layak diacungkan jempol, dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB) ini merasa belum pantas menyandang sebutan ilmuwan. “Apakah saya sudah pantas disebut ilmuwan? Rasanya, saya baru menapak kaki menuju arah itu,“ kata satu dari dua pemenang L’Oreal Indonesia Fellowship for Women in Science 2007 yang didukung Unesco untuk bidang life science ini.

Dalam ajang bergengsi tersebut, Munti mengajukan penelitian yang berjudul “Eksplorasi Keragaman Komunitas Mikroba dalam Microbial Flocs untuk Upaya Peningkatan Produktivitas pada Tambak Udang Intensif“. “Penelitian saya ini berupaya untuk mengungkapkan kekayaan alam hayati Indonesia, khususnya keragaman mikroba yang memang selama ini belum banyak terungkapkan, yang saya sebut sebagai the hidden world. Tujuan utama penelitian ini untuk mengetahui keragaman populasi mikroba, baik berupa prokaryotik (bakteri, archaea) maupun eukaryotik (alga, diatom, invertabrata mikroskopis), dari sampel microbial flocs yang akan diisolasi dari salah satu tambak udang intensif di Lampung,“ ujar doktor lulusan Department of Microbiology, Institute of Plant Biology, University of Zuerich, Swiss, yang lahir di Pacitan, Jawa Timur, pada 20 Desember 1969 ini.

Perempuan lajang ini mengaku, yang menjadi sumber inspirasinya selama ini adalah kedua orangnya, yang kini telah wafat. “Beliau berdua adalah guru SD semasa hidupnya dan selalu mendorong kami untuk belajar sampai akhir hayat. Yang juga berjasa dalam memuluskan jalan saya menuju dunia sains adalah guru-guru saya, mulai dari SD sampai S-3. Sementara itu, yang mengenalkan dan menginspirasi saya untuk mencintai dunia mikrobiologi yang luar biasa indahnya adalah Prof. Dr. Antonius Suwanto dari IPB,“ ungkap perempuan yang hobi memetik gitar dan menabuh gamelan ini.

Ia memang lebih menyukai life science ketimbang material science. “Karena, saya sejak SMP sudah meyenangi hal-hal yang berbau biologi daripada fisik, material science, sebab bersentuhan langsung dengan sesuatu yang hidup. Tapi, bukan berarti saya tidak menyenangi bidang ilmu fisik. Sampai saat ini, mata pelajaran yang paling saya sukai adalah matematika, kemudian kimia, dan baru biologi/fisika. Saya tidak terjun menekuni secara khusus matematika, tapi subyek ini yang akan terus menjadi way of thinking saya untuk menekuni bidang life science,“ ujar perempuan yang sering diundang sebagai pembicara seminar ilmiah di berbagai negara ini. Bagi Munti, misteri alam ini sangat luar biasa. Potensi kekayaan alam hayati kita belum tergali secara optimal. “Dan, penelitian adalah salah satu cara untuk menghargai kekayaan hayati dan menguak sedikit demi sedikit dari misteri alam itu. Dengan cara demikian kita akan semakin bijak menghargai alam,“ tuturnya.

Dr. Uun Yanuhar, S.Pi., M.Si.
“Saya Suka Mempelajari Sesuatu yang Tak Kasat Mata“
Inilah perempuan yang juga meraih L’Oreal Indonesia Fellowship for Women in Science 2007 yang didukung Unesco untuk bidang life science. Lahir di Surabaya, pada 4 April 1973, Uun menyelesaikan pendidikan S-1, S-2, dan S-3 di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, yang kesemuanya ditopang oleh beasiswa. Gelar doktornya di bidang ilmu kedokteran kekhususan biomedis. Kini, selain mengajar dan meneliti, Uun juga menjabat Ketua Laboratorium IIP & Bioteknologi Kelautan di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. “Orang-orang yang berjasa dalam perjalanan karir saya sebagai seorang ilmuwan adalah ayah saya, eyang putri saya, suami saya, kakak saya, ibu saya, serta tokoh-tokoh besar yang mendorong saya untuk belajar dan mengikuti jejak beliau, seperti Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, yang merupakan tokoh pertama yang saya kenal sejak saya mengikuti olimpiade matematika di ITS Surabaya ketika saya masih duduk di bangku SMA, kemudian Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie dan Prof. Dr. Pratiwi Sudarmono,“ kata ibu dari Aisha Surya Ananda ini.

Penelitiannya yang memenangkan penghargaan dari L’Oreal Indonesia dan Unesco tersebut berjudul lumayan panjang: “Ekspresi Peptida-Peptida Reseptor Ikan Kerapu yang Mengenali Antigen Viral Nervous Necrosis untuk Pengembangan Antiviral sebagai Upaya Pembuatan Starter Bibit Unggul". “Pada intinya, dalam penelitian itu saya ingin mengupayakan ikan yang tidak mudah terserang penyakit yang saat ini mematikan, untuk industri budi daya ikan kerapu yang diketahui berharga mahal dan jadi produk ekspor. Manfaatnya ke depan, penemuan itu bisa bermanfaat untuk petani pembudidaya ikan kerapu. Kalau ikan ini harganya murah, pertumbuhannnya cepat, bisa produksi banyak, dan mudah pemeliharaannya, bisa dipasarkan di dalam negeri. Karena, selama ini, ikan kerapu dalam kondisi hidup hanya untuk pangsa ekspor,“ ujar perempuan yang suka mencoba bermacam resep masakan kala punya waktu senggang ini.

Life science menjadi pilihannya karena Uun, seperti ia akui sendiri, memang pada dasarnya suka mempelajari sesuatu yang hidup dan penuh fenomena teka-teki yang perlu dipecahkan. “Terutama mempelajari sesuatu yang tak tampak, tak kasat mata, seperti sel, bakteri, atau virus, yang semuanya bernyawa dan dapat berinteraksi dengan jiwa dan perasaan kita. Meski tidak kelihatan oleh mata kita secara langsung, mereka ada dan banyak memberikan informasi yang bermanfaat untuk kita kembangkan,“ tutur istri dari Heru Suryanto, S.T., M.T. ini.

Selain itu, tambahnya, dirinya punya keinginan kuat untuk menekuni bidang sains justru karena ia merasa banyak hal yang belum ia ketahui. “Jadinya, saya ingin tahu lebih jauh. Karena, menurut saya, sebenarnya segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan ada maksud dan tujuannya, untuk dimanfaatkan manusia di muka bumi ini,“ papar putri seorang tentara ini.

Kepercayaannya kepada Tuhan juga yang membuat Uun tak pernah menyerah ketika menemui kegagalan dalam proses penelitiannya. “Kalau menemui kesulitan dan kegagalan, saya sabar saja dan tetap berdoa agar diberi jalan keluar oleh Tuhan. Alhamdulillah, dengan cara ini saya bisa bangkit kembali untuk memecahkan fenomena apa yang sebenarnya terjadi,“ kata penggemar warna biru dan putih ini.

Stella Shirley Mansur, S.Ked.
“Dunia Sains Merangsang Saya untuk Tahu Lebih Banyak“
Beberapa bulan lalu, pada tahun 2007 ini, Stella baru saja pulang dari Belanda. Ia menjadi salah seorang mahasiswa kedokteran Indonesia yang dikirim ke negeri itu untuk melakukan riset mengenai kultur jaringan, terutama yang berhubungan dengan kanker leher rahim. “Di sana, saya juga mempelajari cara mencegah kanker leher rahim dengan vaksinasi. Karena, kanker leher rahim kan disebabkan oleh infeksi,“ ujar perempuan kelahiran Surabaya pada 21 September 1982 ini.

Ia memang baru saja menyandang gelar dokter, yang ia raih dari Universitas Indonesia. Namun, prestasinya lumayan panjang. Perempuan lajang ini antara lain pernah meraih Winner of Outstanding Medical Students Competition dari Universitas Indonesia pada tahun 2004; Winner of UFJ Foundation Scholarship Certificate Japan pada tahun 2004; 4th Winner of EXPO 2006 Women’s Health Research Competition, dan; baru-baru lalu ia memenangkan penghargaan dari Biocamp Indonesia 2007 yang diadakan oleh Novartis, sehingga berhak untuk ikut Novartis International Biotechnology Leadership Camp 2007 di Jepang.

Biocamp sendiri, seperti diungkapkan Corporate Communication Manager Novartis Indonesia, Wanda Firmansyah, bukan ajang untuk periset, melainkan ajang untuk mencari profil yang memiliki latar belakang sains sekaligus memiliki kemampuan manajerial, untuk lebih memahami bioteknologi. “Novartis berbikir bahwa bioteknologi bukan sekadar urusan sains, tapi juga berhubungan dengan manajemen, bagaimana kita membuat sesuatu yang bisa bergiuna dan bisa kita pasarkan,“ ungkap Stella.

Selain itu, Stella juga pernah melakukan riset sendiri mengenai efektivitas pijat dalam mempercepat penambahan berat badan bayi yang lahir prematur. “Terbukti, pemijatan dengan menggunakan minyak kelapa murni membuat bayi yang lahir prematur menjadi lebih cepat bertambah berat badannya. Pemijatan ini merupakan upaya memperbanyak stimulus pada saraf dan pembuluh darah, yang pada gilirannya akan memperlancar peredaran nutrisinya. Pemakaian minyak kelapa juga menambah nutrisi bagi bayi, karena minyak kelapa itu diserap kulit bayi,“ ujar perempuan yang kini sehari-hari bekerja sebagai staf pengajar di almamaternya ini.

Dunia sains dan riset, bagi Stella, merupakan dunia yang menarik. “Karena merangsang saya untuk tahu lebih banyak tentang beragam hal, terutama yang berhubungan dengan makhluk hidup,“ kata Stella. (Pedje)

Sunday, October 25, 2009

Ibu-Ibu Inspiratif

Biar bagaimanapun, anak adalah amanah dari Sang Mahakuasa, yang harus dijaga dan dipelihara sebaik mungkin. Sikap itulah yang ada dalam diri para ibu di bawah ini, yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus—meski ada juga yang sempat tak bisa menerima kenyataan itu. Semoga mereka dapat menjadi inspirasi bagi kita.


Rovanita Rama
Belajar Banyak tentang Autisme
Awalnya, Rovanita Rama, 36 tahun, mengira anak keduanya, Zaky Khairi, memiliki masalah dengan pendengarannya. Karena, dalam usianya yang sudah lebih dari dua tahun, Zaky belum juga dapat bicara. “Ketika itu, tahun 1997, kami sekeluarga tinggal di Rumbai, Riau, karena suami saya ditugaskan di sana. Karena khawatir Zaky punya masalah dengan pendengarannya, saya membawa Zaky ke Jakarta, untuk diperiksa oleh ahli telinga, hidung, dan tenggorokan terkenal,” ujar ibu tiga anak yang sehari-hari dipanggil Anita ini.

Namun, setelah menjalani pemeriksaan dan serangkaian tes, dokter yang memeriksa Zaky menyimpulkan bahwa anak kedua pasangan Rovanita Rama dan Bagawan Isa Wahyudi itu tak punya masalah dengan pendengarannya. “Dokter itu bilang, Zaky hanya terlambat bicara saja,” kata perempuan yang menjadi dosen di Universitas Riau ini.

Meski sedikit lega mendengar penjelasan dokter itu, perasaan galau melihat kondisi Zaky masih mengendap dalam hati Anita. Apalagi, Zaky bukan hanya terlambat bicara, tapi juga sering berperilaku ganjil untuk anak seusianya, misalnya suka menyakiti diri sendiri atau bila dipanggil hanya melirikkan mata. Anita pun lalu meminta nasihat kepada pamannya yang dokter spesialis anak dan tantenya yang dokter rehabilitasi medis, apa yang mesti ia dan suaminya perbuat untuk mengatasi masalah Zaky. “Keduanya menyarankan saya dan suami untuk membawa Zaky ke ahli terapi bicara. Orang tua kami pun menyarankan demikian. Akhirnya, kami membawa Zaky berobat ke Singapura. Ketika itulah kami baru tahu bahwa Zaky adalah penyandang autisme,” ungkap ibu dari Atikah Khaira, Zaky Khairi, dan Dimas ini.

Mengenai autisme itu sendiri, Anita dan suaminya ketika itu mengaku buta sama sekali. “Pada tahun 1997 itu, kami benar-benar tak tahu apa itu autisme. Kami kemudian mencari informasi dari berbagai sumber, termasuk mencari informasi dari internet,” kata Anita. Kendati begitu, karena biaya terapi di Singapura begitu mahal, sementara Anita dan suami belum mendapatkan informasi mengenai lembaga terapi atau sekolah untuk anak autis di Indonesia, Zaky tak rutin menjalani terapi di Singapura. “Karena itu, tak ada perkembangan yang berarti pada diri Zaky,” tutur Anita, yang mengaku perasaannya pada masa itu sering kali risau manakala memikirkan masa depan Zaky.

Zaky baru mendapat terapi yang sangat serius di California, Amerika Serikat, dari tahun 1999 sampai tahun 2000. “Suami saya ditugaskan di sana dan saya tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Di sana, selain mengikuti berbagai terapi harian untuk anak autis, Zaky juga kami sekolahkan di sekolah umum yang memiliki kelas khusus untuk anak penyandang autisme. Pada hari-hari tertentu, anak-anak di kelas khusus itu dibaurkan dengan anak-anak yang lain, sebagai bagian dari terapi. Karena, penyandang autisme kan punya gangguan sosialisasi dan komunikasi. Yang menggembirakan, baik biaya terapi dan biaya sekolahnya, semua ditanggung oleh pemerintah Amerika Serikat. Mereka memang punya kebijakan seperti itu bagi para penyandang autisme,” kata Anita.

Di California ini juga Anita menjadi ikut tertarik untuk mendalami pengetahuan yang berhubungan dengan cara penanganan untuk penyandang autisme. “Sungguh sayang jika saya melewatkan kesempatan berharga ini. Apalagi, lewat terapi dan sekolah di sana, Zaky mengalami kemajuan yang luar biasa. Ia sudah bisa memanggil ‘Mama’ kepada saya dan memahami bahwa saya adalah ibunya,” tutur Anita, yang setibanya di Indonesia langsung mentransfer pengetahuan tentang cara penanganan anak autis ke banyak orang.

Tahun 2003, suaminya ditugaskan lagi ke Houston, Amerika Serikat. Lagi-lagi, kesempatan itu dimanfaatkan oleh Anita untuk kembali mengikutkan Zaky ke program terapi autisme yang ada di sana. “Saya juga mengambil pendidikan untuk penanganan anak autis. Zaky sendiri mengalami kemajuan yang luar biasa. Ia kini sudah dapat berempati. Misalnya, jika adiknya jatuh, dia akan teriak memanggil saya. Bagi anak autis, dapat berempati merupakan hal yang luar biasa. Kini, Zaky telah duduk kelas empat, di sekolah dasar negeri, yang ditunjuk pemerintah sebagai salah satu sekolah dasar inklusi,” ungkap Anita, yang kini bersama suami dan anak-anaknya tinggal di bilangan Jakarta Timur.

Sebenarnya, kata Anita dan suaminya, meski terapi bagi penyandang autisme merupakan hal penting, ada hal lain yang lebih penting dari itu, yakni perhatian dan kepedulian yang sangat tinggi dari kedua orang tua terhadap sang anak penyandang autisme. “Tanpa itu, terapi yang dijalankan dapat menjadi sia-sia. Kedua orang tua harus saling membantu dalam membuat program yang dapat membantu perkembangan sang anak, tak bisa sepenuhnya diserahkan kepada terapis,” ujar Bagawan Isa Wahyudi, suami Anita.

Gayatri Sarasvati
Berburu Diagnosa sampai ke Berbagai Negeri
Sama seperti Anita, Gayatri Sarasvati, 44 tahun, juga memiliki seorang anak penyandang autisme. Namanya Audwin Trito, yang lahir pada 6 November 1990 dan biasa dipanggil Ananda. “Secara fisik, pertumbuhan Ananda terbilang bagus. Pada usia sepuluh bulan dua minggu, misalnya, ia sudah dapat berdiri dan berjalan, tanpa proses merangkak yang terlalu lama. Tapi, ketika ia menginjak usia sebelas bulan, saya merasa ada sesuatu yang ‘berbeda’ dari dirinya dibandingkan dengan anak-anak sebayanya. Ia sering tidak memberikan respons jika namanya saya panggil. Kontak mata hampir tidak pernah terjadi,” kata istri dari Tommy ini.

Bukan hanya itu. Jika Gayatri memangku Ananda dan memanggil namanya, Ananda segera meronta dan berusaha untuk turun dari pangkuannya. “Di saat lain, jika saya mengulurkan tangan untuk memeluknya, ia tidak berusaha untuk meraih uluran tangan saya, seakan ia tak mengerti bahasa tubuh saya bahwa saya ingin memeluknya,” tutur Gayatri lagi.

Gayatri sendiri baru benar-benar menyadari bahwa Ananda memiliki kesulitan dalam mengekspresikan apa yang ia rasakan beberapa bulan kemudian. Kendati demikian, sampai bertahun-tahun setelah itu, Gayatri dan suaminya belum juga tergerak untuk memeriksakan Ananda ke dokter ahli. “Ketika usia Ananda dua tahun, saya membawa Ananda berobat ke seorang ahli pengobatan dengan tenaga prana. Karena, anak teman saya yang punya kesulitan berkomunikasi juga dibawa ke sana dan dapat merasakan manfaat dari pengobatan itu. Ananda juga ikut terapi kelompok untuk merangsang keinginan berkomunikasi dengan teman-teman sebayanya. Sayangnya, ia tidak tertarik,” ujar Gayatri.

Menjelang usia Ananda empat tahun, barulah Gayatri dan suaminya berburu diagnosa untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diri Ananda. “Saya sempat membawa Ananda ke dokter untuk memeriksakan apakah ia mengalami gangguan pendengaran. Ternyata, tidak ada kelainan apa pun pada pendengarannya,” tutur Gayatri.

Perburuan untuk mencari jawaban tersebut bahkan sampai ke berbagai negeri lain. Malah, Gayatri sekeluarga kemudian juga boyongan ke Australia dan menetap di sana sampai sekarang, demi Ananda. Berbagai terapi dan pemeriksaan telah dijalankan Ananda, namun baru pada usia sekitar sepuluh tahun Anda diketahui menyandang autisme. “Kini, Ananda sudah remaja dan banyak hal yang telah ia pelajari serta ia raih. Secara perlahan namun pasti, ia belajar untuk mandiri, semisal membersihkan kamar , memilih baju, menyusun buku pelajaran, dan mengerjakan Kumon. Dalam tugas rumah tangga pun, Ananda sering membantu kami, orang tuanya. Dan, di saat senggang, ia menikmati melakukan ‘perburuan’ lokasi atau obyek yang menarik untuk bidikan kameranya,” kata Gayatri, yang telah menuliskan pengalamannya menjadi sebuah buku berjudul Meniti Pelangi: Perjalanan Seorang Ibu yang Tak Kenal Menyerah dalam Menghadapi Putranya Keluar dari Belenggu ADHD dan Austisme (Elex Media Komputindo, 2004).

Susanti
Sempat Depresi
Memiliki anak yang diagnosa menderita ADHD awalnya membuat Susanti begitu sedih dan tak dapat menerima kenyataan. Istri dari Dono Harimurti ini malah sempat tak mau bertemu dengan orang lain karena merasa malu memiliki anak yang memiliki kelainan. “Sampai umur tiga tahun, Mulki tumbuh seperti anak-anak sebayanya. Karena itu, saya dan suami saya tak menaruh kecurigaan apa-apa melihat Mulki hiperaktif dan seakan tak mengenal lelah jika sedang bermain. Namun, suatu hari, ketika saya ajak bicara, ia bicara menggunakan bahasa yang sangat susah saya mengerti, seperti bahasa dari planet lain. Sejak itulah saya mulai khawatir. Apalagi, perkembangan motorik halusnya juga terlambat,” kata ibu dari Milka Hidayanti, Mulki Hidayanto, dan Malko Hidamukti ini.

Tanpa membuang waktu, Susan dan suaminya pun langsung membawa Mulki ke tempat praktik seorang psikiater. Setelah menjalani berbagai pemeriksaan diketahuilah bahwa anak kedua mereka itu menderita gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (attention deficit hyperactivity disorder, ADHD). “Kami lalu mengikutkan Mulki ke sebuah lembaga yang menyelenggarakan program terapi untuk anak yang memiliki kebutuhan khusus seperti Mulki. Alhamdulillah, setelah menjalani terapi itu beberapa waktu, Mulki mengalami berbagai kemajuan. Sikapnya yang dulu dengan yang sekarang sangat berbeda jauh, seperti bumi dan langit,” tutur Susan.

Ketika Mulki sudah waktunya masuk sekolah dasar, orang tuanya pun memasukkan Mulki ke sebuah sekolah dasar swasta yang sangat terkenal di Jakarta. “Tapi, setelah belajar beberapa waktu, guru-gurunya angkat tangan, menyerah. Mereka tak sanggup mendidik Mulki karena Mulki dianggap anak yang malas dan tak punya perhatian terhadap apa yang diajarkan. Biarpun sudah saya jelaskan bahwa Mulki menderita ADHD, mereka tetap saja tak bisa mengerti dan tetap menganggap Mulki sebagai anak yang malas, tak punya perhatian, dan kadang tak bisa diatur,” ungkap Susan.

Pernah suatu ketika, gurunya membuat ulangan dan menulis soal di bawah tulis sebanyak 20 soal dan kemudian sepuluh soalnya dihapus oleh Mulki. “Mulki kesal karena menganggap soal itu kebanyakan. Mulki memang seperti itu, mengalami kesulitan dalam menulis, karena perkembangan motorik halusnya lambat,” ujar Susan.

Bukan hanya guru sekolahnya. Guru-guru kursusnya pun menyerah, kecuali guru kursus bahasa Inggrisnya karena Mulki sangat menyenangi pelajaran bahasa Inggris. “Akhirnya, kami memindahkan Mulki ke sekolah lain, yang dapat menerima anak seperti Mulki dan memiliki program yang baik untuk mendidik mereka,” papar Susan.

Donna Turner
Berharap Bermanfaat bagi Orang Banyak
Meski bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus, anak indigo membutuhkan penanganan yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Di Indonesia sendiri, menurut beberapa kalangan, fenomena anak indigo memang belum ada yang meneliti. Kendati demikian bukan berarti di Indonesia tak ada anak indigo, yakni anak-anak yang lahir mulai tahun 1980-an dan memiliki intuisi, insting, dan perasaan yang tajam. Dalam bahasa yang berbeda, anak indigo juga dikenal sebagai anak yang lahir mulai tahun 1980-an dan memiliki kemampuan untuk melihat atau berinteraksi dengan hal-hal yang berwujud gaib, yang tak dapat terlihat dengan mata biasa. Ciri yang lain di antaranya, ya, aura anak indigo yang berwarna biru keunguan (indigo) bila difoto dengan alat khusus. Itulah sebabnya anak-anak seperti itu dinamakan anak indigo.

Salah seorang yang diduga anak indigo di Indonesia adalah putra pertama pasangan Donna Turner dan Ano Sajid, Milo Putra Mata Dewa, yang lahir pada 12 Juli 2001 . “Sejak bayi, saya perhatikan dia memang sering seperti sedang melihat sesuatu, yang tak jarang membuat dia tertawa-tawa. Tadinya, saya anggap biasa karena katanya bayi memang seperti itu, lebih peka dengan kehadiran makhluk yang tak kasat mata di sekitarnya. Tapi, ketika sudah agak besar, ketika usianya hampir dua tahun dan sudah bisa bicara, dia sering menceritakan bahwa dia melihat sesuatu, yang oleh kami tidak kelihatan. Misalnya, waktu sedang liburan di Solo, dia pada suatu sore mengatakan ada orang yang datang dengan pakai baju model kuno dan rambutnya dikonde. Padahal, saya dan suami saya tidak melihat siapa pun di sana. Saya lalu menemui saudara kami yang mengerti hal mistik dan menanyakan hal itu. Saudara kami itu pun mengatakan bahwa yang dilihat Milo itu seorang perempuan tua berkemben dan rambutnya disanggul,” ujar Donna.

Toh, sampai sejauh itu Donna dan Ano belum memberi perhatian khusus terhadap keistimewaan yang dimiliki anaknya itu. “Tapi, setelah kejadian-kejadian semacam itu terus dialami Milo, terutama setelah ia sering mengatakan bahwa ada teman atau saudara kami yang dia kenal mau datang bertamu dan ternyata benar barulah kami memberi perhatian yang lebih serius,” tutur Ano. Mereka lalu membawa Milo ke seorang dokter ahli jiwa yang dikenal punya perhatian terhadap anak indigo. “Tapi, saya datang ke sana lebih untuk meminta saran bagaimana menangani anak saya itu, yang sangat hiperaktif dan tampaknya punya kemampuan visual yang lebih peka dari orang kebanyakan,” kata Donna, yang juga seorang psikolog lulusan Universitas Indonesia.

Sang psikiater pun menceritakan soal anak indigo dan berbagai cirinya, yang banyak juga dimiliki oleh Milo. “Tapi, karena dia masih kecil dan tak punya masalah dengan sosialisasi, kami tak intensif membawa dia ke psikiater itu. Tapi, kami sempat ikut perkumpulan orang tua yang memiliki anak indigo beberapa kali dan di sana kami saling membagi pengalaman,” ungkap ibu dari Milo Putra Mata Dewa dan Vigo Putra Maha Wangsa ini.

Meski sudah mulai dapat memahami keistimewaan sang anak, baik Donna maupun Ano tak mengubah pola pengasuhan yang selama ini diterapkan kepada Milo. “Paling-paling, bila dia sedang menceritakan sesuatu yang ia lihat tapi tak terlihat oleh kami, saya akan menanyakan kepada dia, apa yang dia lihat dan saya informasikan juga bahwa saya tak melihat apa yang dia lihat. Ini untuk menyiapkan mental dia bahwa apa yang ia alami itu tidak dialami oleh semua orang. Dengan begitu kami harapkan dia kelak tidak kaget jika ada orang yang merasa heran dengan apa yang ia ceritakan mengenai apa yang dia lihat itu. Terus kalau dia sangat takut atas apa yang dia lihat, saya dan suami saya menyarankan agar dia tak melihat terlalu lama,” ujar Donna, yang merelakan diri meninggalkan karirnya demi lebih fokus mengurus kedua anaknya, terutama mengurus Milo. Baik Donna maupun Ano berharap, jika memang benar Milo punya keistimewaan, keistimewaan kelak dapat bermanfaat bagi orang banyak.

Inna Wongso
Sempat Frustrasi
Yang juga dianggap anak indigo di Indonesia adalah Liong Vincent Christian, anak pertama pasangan Inna Wongso dan Liong Jun Hok yang lahir pada 20 Mei 1985. Vincent, begitu biasa ia disapa, kini telah kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya, Jakarta, dan dikenal sebagai orang yang aktif menyebarkan gagasan-gagasan dan pendapatnya di berbagai mailing-list, antara lain mailing-list yang ia kelola sendiri (vincentliong@yahoogroups.com) dan mailing-list psikologi_transformatif@yahoogroups.com. Selain itu, Vincent juga mengaku sedang menekuni dunia metafisika, sejak beberapa tahun lalu. Itulah sebabnya oleh beberapa temannya ia dianggap sebagai “dukun”.

Ketika masih duduk di bangku SMP, Vincent telah banyak menulis tentang berbagai soal yang ia renungkan, termasuk masalah sosial, ekonomi, politik, dan kemanusiaan. Karena tulisan-tulisannya memang memiliki kualitas yang baik dengan cara pandang yang berbeda dengan anak SMP pada umumnya, tulisan-tulisan Vincent itu kemudian diterbitkan oleh penerbit Grasindo dengan judul Berlindung di Bawah Payung (2001). Tak mengherankan jika seorang wartawan harian terkemuka di negeri ini menganggap Vincent sebagai anak yang berbeda dari anak-anak sebayanya—meski bukan anak yang aneh—dan kemudian menuliskan soal Vincent di media besar tempat ia bekerja itu. Sejak itulah Vincet dianggap sebagai anak indigo oleh banyak kalangan. Apalagi, Vincent di masa SMA-nya juga kemudian menulis ulasan panjang tentang aspek manusia dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, yang memiliki bobot istimewa sebagai kritik sastra, sehingga dimuat dalam sebuah buku yang memperbincangkan karya-karya Pramoedya.

“Sebetulnya, kami sebagai orang tuanya tidak tahu apakah Vincent itu indigo atau bukan, meski memang ada ciri-cirinya dan pernah kami bawa ke sebuah klinik kejiwaan. Dokter di klinik itulah yang pertama kali mengatakan Vincent sebagai anak indigo. Tapi, kami sebagai orang tua tetap bersikap ‘hati-hati’ dengan pemberian label itu, karena bisa menjadi beban yang berat bagi Vincent. Bagi saya dan ibunya, istilah atau pemberian label itu sendiri tidak begitu penting,” kata Liong Jun Hok, sang ayah.

Yang pasti, Inna Wongso sebagai ibu dari Vincent mengaku sempat frustrasi ketika mengasuh dan membesarkan Vincent, terutama dalam urusan sekolah. “Nilai-nilai pelajarannya selalu buruk dan ia juga malas mencatat pelajaran. Padahal, saya tahu dia bukan anak yang bodoh. Ketika usianya belum lagi dua tahun, misalnya, ia sudah hafal lagu kebangsaan Indonesia Raya, padahal kami tak pernah mengajarkannya. Itulah sebabnya, saya menerapkan disiplin yang sangat keras terhadap Vincent agar ia bisa menyelesaikan sekolahnya. Setiap kali mau ujian, saya selalu sibuk memfotokopi catatan-catatan dari teman-temannya, karena ia tak pernah punya catatan dari semua pelajaran yang telah diberikan di sekolahnya. Tapi, terus-menerus seperti itu membuat saya akhirnya kelelahan dan menyerah, membiarkan Vincent seperti apa adanya saja,” ujar Inna Wongso. Apalagi, Vincent juga bukan tipe anak yang menurut, meski punya perhatian yang luar biasa terhadap sesuatu dan responsif. Kendati demikian, pihak sekolah akhirnya dapat memahami Vincent karena ia dianggap telah mengharumkan nama sekolah lewat karya-karya tulisnya.

Toh, kekhawatiran masih melanda kedua orang tua Vincent, karena anaknya itu mereka anggap masih kurang disiplin dalam belajar. Sampai-sampai, karena khawatir Vincent tak siap menghadapi masa depan, mereka lalu mengirimkan Vincent ke luar negeri selama sebulan, sewaktu Vincent masih SMA. “Dengan bersikap seperti itu, kami berharap dia bisa melihat dunia yang lebih luas lagi sehingga semangatnya untuk belajar kembali terpacu. Kami juga berharap dia bisa memperlancar bahasa Inggrisnya, sebagai bekal masa depannya, kalau-kalau urusan sekolahnya kacau,” kata Inna.

Vincent dibiarkan pergi sendiri ke luar negeri. Padahal, di negara yang ia tuju itu tak ada satu pun sanak-kerabat atau temannya. “Pulang dari luar negeri, tetap saja urusan sekolah Vincent masih berantakan. Sampai-sampai, kami harus memindahkan dia ke sekolah lain. Untunglah, di sekolah barunya itu para gurunya banyak membantu dia,” ungkap Inna. (Pedje)