Wednesday, October 13, 2010

Ars Longa, Vita Brevis

Iwan Tirta berpulang, dengan meninggalkan karya-karya cemerlang dan dokumentasi batik yang sangat berharga bagi bangsa ini.


Who I am? Am I a black Europe, because I have all of Asian characteristic but have attitude and dress like Europe people?” demikian kegundahan IwanTirta yang mendorong dirinya akhirnya menekuni dan mencintai batik, seperti terungkap dari wawancara Dalton Tanaka dengan beliau yang diputar ulang di Metro TV beberapa waktu lalu. Kegundahan tersebut muncul pada awal tahun 1960-an, karena Iwan mendapat banyak pertanyaan dari rekan-rekannya di Eropa, sewaktu menempuh pendidikan magister di London School of Oriental & African Studies (SOAS) London University. Iwan ke London setelah meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Indonesia dan sempat beberapa lama mengajar di almamaternya tersebut.

Yang mula-mula mendorong diri pria bernama lengkap Nusjirwan Tirtaamidjaja itu untuk lebih serius menekuni batik adalah Bennedict Anderson. Iwan mengenal ahli Indonesia dari Cornell University, Amerika Serikat, itu karena Ben ketika sedang melakukan penelitian di Jakarta indekos di rumah orang tua Iwan, di Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Bukan hanya Ben secara pribadi yang mendorong Iwan, tapi juga almamater Ben, Cornell University. Maka, Iwan pun mulai melakukan serangkaian riset dan kemudian mendokumentasikan batik lewat buku yang ia tulis dan terbit pada tahun 1962, Batik: Pola & Tjorak-Pattern & Motif. Ketika dalam proses penelitian untuk bukunya itulah Iwan banyak menimba pengetahuan tentang batik dari Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro (1931-2008)—seorang budayawan yang mendapat “titah” dari Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, untuk membuat Batik Indonesia dan orang Tionghoa pertama yang memperoleh anugerah derajat tertinggi keraton, karena dedikasi dan kontribusinya yang luar biasa terhadap kebudayaan Jawa.

Toh, sejauh itu Iwan masih tetap pada cita-cita awalnya untuk menjadi ahli hukum atau diplomat. Mungkin cita-citanya itu tak bisa dilepaskan dari pekerjaan ayahnya, Mohamad Husein Tirtaamidjaja, yang merupakan seorang hakim. Ibu Iwan sendiri, Ramah Saleh, pernah belajar di Sekolah Kedokteran Stovia dan menamatkan pendidikan sekolah guru berijazah Nederlandse Hoofdakte. Walaupun orang Minangkabau, ibunyalah yangt mengenalkan Iwan untuk pertama kalinya dengan kebudayaan Jawa. Ayah Iwan sendiri adalah pria Sunda kelahiran Purwakarta.

Untuk meraih impiannya sebagai ahli hukum dan diplomat, Iwan lalu melanjutkan pendidikan magister hukum di Yale University, New Haven, Connecticut. Pada masa ini, Iwan justru mendapat dana hibah dari John D. Rockefeller III Foundation untuk melakukan penelitian mengenai tari Bedaya Ketawang di Keraton Kesunanan Surakarta. Dari penelitian inilah ia semakin memahami hubungan-hubungan yang erat antara batik, tari, musik, dan sastra Jawa, terutama yang berasal dari lingkungan keraton. Pengetahuan Iwan tentang batik juga semakin meluas ketika ia mendapat kesempatan mempelajari kain-kain kuno dari kalangan keraton Solo.

Pada akhirnya, Iwan Tirta memang bukan sekadar mencintai batik, tapi bisa dikatakan mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk batik. Cita-cita lamanya hampir sepenuhnya ia tinggalkan. Iwan pun lalu menjalani hidup sebagai seniman batik dan melakukan berbagai terobosan agar batik bisa kembali dihargai oleh orang Indonesia dan masyarakat internasional, lewat berbagai aktivitas dan karya-karya batiknya. Tak mengherankan bila pada akhirnya pria bernama asli Nusjirwan Tirtaamidjaja itu dijuluki oleh banyak orang sebagai maestro batik, empu batik, sama seperti seniornya yang juga beliau anggap sebagai gurunya, Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro. Dan, pada akhir Juli lalu, Iwan Tirta sang empu mengembuskan napas terakhirnya dalam usia 75 tahun. Dia dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta Pusat, di samping makam ibunya. Namun, seperti kata Bapak Kedokteran Hippocrates, “Ars longa, vita brevis.”

Ya, hidup memang singkat, tapi karya seni bisa berusia melebih panjang usia penciptanya. Demikian juga karya-karya seni batik Iwan Tirta. Apalagi, Iwan bukan sekadar mendesain busana batik, tapi juga turut membatik, bahkan dalam usia senjanya. Lewat tangan Iwanlah batik prada kembali populer, bukan hanya di tengah masyarakat Indonesia, tapi juga di mancanegara. Iwan juga melakukan terobosan antara lain dengan membuat batik bermotif besar untuk kain perempuan, yang lazimnya digunakan untuk batik pria.”Kain batik dengan motif diperbesar akan berkesan lebih megah. Detailnya yang indah tampak jelas dan tegas. Perempuan yang mengenakannya akan tampil lebih percaya diri, anggun, memesona, menuntut dihormati. Ia bukan warga nomor dua dalam masyarakat yang terikat batasan jender. Begitulah karakter perempuan Indonesia yang mengilhami karya batik saya dan ingin saya tampilkan dengan karya itu,” ungkap Iwan Tirta dalam bukunya yang bertajuk Batik: Sebuah Lakon.

Bagi Iwan, seperti ia ungkapkan ketika peluncuran bukunya tersebut, setahun lalu, batik yang baik harus bisa memunculkan keindahan corak, konfigurasi, dan kombinasi warna sehingga tidak perlu lagi dihias dengan payet atau kristal. Batik juga harus hidup dengan cara digunakan dalam kehidupan keseharian. ”Batiknya harus tetap yang utama, jangan kebayanya,” ujarnya kala itu. Sumbangan berharga Iwan yang lain adalah upaya pendokumentasian motif batik ke dalam data digital, yang sampai akhir hayatnya telah ia dokumentasikan kurang-lebih 4.000 motif. Dengan perbendaharaan dokumentasi yang seperti itu, tak mengherankan jika motif-motif batik karya Iwan begitu kaya dan tentu saja indah, termasuk karya-karya yang mereproduksi motif-motif dari kain-kain tua warisan leluhur. Iwan dengan gemilang berhasil memadukan bermacam corak batik kuna lewat tampilan yang baru, yang terasa lebih segar tanpa kehilangan kewibawaannya sebagai karya adiluhung. Selain itu, bisa dikatakan, Iwan Tirta juga yang memelopori penggunaan batik sebagai gaun, yang begitu indah sekaligus praktis. Kain batik yang tadinya secara tradisional, turun-temurun, sekadar menjadi kain panjang yang digunakan dengan cara dililitkan ke tubuh dan juga sekadar menjadi selendang oleh Iwan diperkaya fungsinya menjadi gaun, yang bisa digunakan ke berbagai acara, baik formal maupun informal. "Beliau berani membuat kain yang sebelumnya hanya menjadi bawahan dan basahan itu menjadi baju," ujar desainer Poppy Dharsono, seperti dikutip majalah Tempo.

Sungguhpun demikian, rasa cinta Iwan Tirta kepada batik membuat dirinya juga dikenal sebagai desainer pakaian yang sangat berhati-hati dalam memotong kain batik yang akan dijadikan baju atau gaun. Bagi Iwan, batik bukan sekadar karya seni. Batik adalah bentuk konret dari rasa cinta dan dedikasi terhadap keindahan serta warisan masa silam yang luhur dan membanggakan. “Di masa lalu, sebelum membatik, orang harus puasa dulu. Ada prosesi, ada kesungguhan, dedikasi. Pemakainya juga merawatnya dengan baik, ditaburi bunga di lemari agar wangi. Tapi, sekarang, batik yang sudah sedikit lusuh langsung dibuat lap dan gombal. Dunia yang penuh keluhuran itu sudah tidak kembali lagi,” kata Iwan Tirta kepada Tempo.

Iwan sendiri dalam suatu kesempatan pernah mengatakan, dirinya sangat mengagumi Halston (1932-1990), perancang busana asal Amerika Serikat, yang dikenal sebagai desainer yang cenderung membuat busana tanpa memotong bahan kainnya. Sungguh, Iwan Tirta telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi bangsa ini. Selamat jalan, Empu! (Pedje)


Dua Empu yang Juga Berpulang

Indonesia mestinya berduka mendalam karena kehilangan para empu penjaga seni tradisinya pada Juli dan Agustus 2010 lalu. Sebelum Iwan Tirta dipanggil menghadap Yang Mahakuasa, Ni Ketut Cenik telah mendahuluinya. Empu penari joged pingit dan legong playon itu wafat pada usia 86 tahun dan dimakamkan di Setra Alas Harum Desa Adat Batuan, Bali.

Nama Ni Ketut Cenik sebagai empu penari joged pingit dan legong playon telah dikenal luas di dunia internasional, terutama oleh kalangan seniman dan pecinta seni tradisi. Kehadirannya di dunia tari seakan mematahkan mitos bahwa seorang penari mestilah gemulai, cantik secara fisik, dan semampai. Ni Ketut Cenik tidak seperti itu. Tak mengherankan jika pada masa remajanya ia kerap ditolak untuk ikut berlatih menari di berbagai kelompok tari dan juga oleh banyak guru tari. Padahal, kesukaannya terhadap dunia tari-menari, khususnya tari Bali, sudah tertanam sejak kecil. “Jika terkenang saat itu, saya kadang menangis,” katanya semasa hidupnya, seperti pernah dimuat di harian Kompas.

Ni Ketut Cenik kecil selalu menari setiap ada kesempatan, di mana saja. Bisa di pojok bale banjar. Bisa pula di halaman depan pura. Ia akan menari diiringi tiruan bunyi gamelan yang ia lagukan dari mulutnya sendiri. Gerakan tari yang ia lakukan adalah hasil pembelajarannya sendiri dengan cara menonton. Sampai suatu ketika, ketika Ni Ketut Cenik kecil sedang menggembalakan sapi sambil menembang, ketua kelompok tari joged pingitan mendatangi dirinya dan mengajak bergabung dengan kelompok itu. Di sinilah Ni Ketut Cenik kecil diajari tari joged pingitan oleh Wayan Kurir. “Tapi, saya harus diuji berkali-kali, disuruh menari, dan menyebut nama tarian yang saya peragakan. Semua anggota seka heran karena saya menjawab dan menarikannya dengan benar,” ungkap Ni Ketut Cenik semasa hidupnya.

Dalam perjalanannya sebagai penari joged pingitan, Ni Ketut Cenik bertemu dengan Anak Agung Mandra Ukiran, yang kemudian mengarahkan dia untuk menjadi penari arja (drama tari Bali). Toh, Cenik mengaku, seperti diungkap oleh Antara News, belajar sendiri dan mencari sendiri apa itu menari lebih penting daripada belajar pada seseorang guru. Dan, beliau tak pernah berhenti belajar meski telah sepuh dan telah dikenal sebagai seorang empu. Cara belajarnya, ya, itu tadi: dengan menonton orang lain menari, meski yang menari itu berusia jauh lebih muda dari usia Ni Ketut Cenik. Kalau ada pertunjukan tari di desanya, beliau seakan tidak peduli dengan berbagai predikat dan penghargaan yang telah ia raih. Dan, juga tak peduli dengan usianya yang sudah senja. Ia akan dengan antusias menonton pertunjukan itu, berdesak-desakan dengan penonton lain, sambil menyusur tembakau. Sampai akhir hayatnya, Ni Ketut Cenik dikenal sebagai penari joged pingitan terbaik dan mataksu (berwibawa). Namun, ia tidak pelit ilmu. Beliau telah mengajarkan tari joged pingitan dan arja kepada ribuan orang, termasuk yang berasal dari mancanegara.

Empu penari tradisi yang juga berpulang adalah Rasinah atau lebih dikenal sebagai Mimi Rasinah. Beliau wafat pada 7 Agustus lalu dalam usia 80 tahun, beberapa hari setelah menari di Bentara Budaya, Jakarta, dalam acara Indramayu dari Dekat. Dalam acara tersebut, empu tari topeng dermayon ini menari dengan tangan kiri yang tak bisa digerakkan akibat serangan stroke yang terjadi pada tahun 2006 lampau. Ia menari bersama cucunya, Aerli. Toh, tarian Mimi Rasinah tetap memukau dan magis, menyihir para penonton yang hadir saat itu.

Mimi Rasinah belajar menari topeng dermayon pertama kali dari ayah dan ibunya. Ayahnya adalah seorang dalang dan ibunya adalah dalang ronggeng. Ia belajar sejak berusia lima tahun dan pada usia tujuh tahun sudah berkeliling untuk mengamen tari topeng. Kegiatannya sempat terhenti ketika Jepang mulai datang ke Indramayu. Oleh Jepang, ayahnya dianggap mata-mata, sehingga seluruh peralatan topeng dan aksesori tarinya dimusnahkan. Yang tersisa hanya tinggal satu topeng.

Ketika Belanda melakukan agresi militernya setelah Proklamasi Kemerdekaan, ayah Mimi Rasinah kembali mendapat tuduhan serupa dan akhirnya wafat setelah ditembak oleh tentara Belanda. Namun, kelompok tari yang telah terbentuk tidak dibubarkan. Kepemimpinannya dialihkan ke suami Mimi Rasinah, yang juga seorang dalang wayang. Aktivitas mereka terpaksa dihentikan setelah geger 30 September 1965, karena dianggap mengumbar syahwat.

Memasuki tahun 1970-an, tari topeng kehilangan pamor, kalah oleh tarling dan dangdut. Maka, suami Mimi Rasinah kemudian mendirikan kelompok sandiwara. Kurang-lebih 20 tahun, Mimi Rasinah berhenti menari. Ia lebih banyak membantu suaminya dalam kelompok sandiwara itu, sebagai penabuh gamelan. Khalayak luas mulai mengenal kembali sang empu setelah dua dosen STSI Bandung "menemukan" Mimi Rasinah dan mempertunjukkan penampilannya lewat tarian Topeng Kelana, pada awal tahun 1990-an. Sejak itu, nama Mimi Marsinah berkibar kembali, bahkan sampai ke berbagai penjuru dunia. Kini, Ni Ketut Cenik dan Mimi Rasinah telah tiada. Hancur badan dikandung tanah, budi baik terkenang jua. (Pedje)

Sunday, October 10, 2010

Maafkanlah, Maka Anda Akan sehat

Memaafkan ternyata memiliki efek yang mengagumkan bagi kesehatan jiwa dan raga kita.


Sepanjang sejarah manusia, para orang bijak telah mengajarkan bahwa memberi maaf adalah kebutuhan kita. Cobalah kita cermati lagi ajaran Yesus, Muhammad, Buddha, Lao Tzu, Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, Martin Luther King, Jr., atau orang-orang bijak masa kini. Bahkan, banyak ilmuwan yang menyetujui pendapat tersebut. Mereka meyakini bahwa memberikan maaf merupakan solusi kunci bagi banyak penyakit sosial dan penyakit fisik.

Memang, "memaafkan" adalah sebuah kata yang besar. Setiap orang yang pernah merasakan rasa sakit akibat perlakuan brutal pastilah memahami bahwa memaafkan sangat-sangat mudah dikatakan daripada dilakukan. Karena itu, kita bisa memahami kalau ada korban pemerkosaan yang tak bisa memaafkan si pemerkosanya.

Namun, seperti kata Mahatma Gandhi, hanya orang yang memiliki kekuatan jiwa yang besar dapat memaafkan kesalahan orang lain “Orang lemah tidak pernah bisa memaafkan. Memberikan maaf hanya bisa dilakukan oleh orang yang kuat,” ungkap Gandhi. Nah, Anda masuk dalam kategori yang mana? Dalam bahasa Yunani, kata untuk memaafkan adalah aphesis, yang berarti juga ‘membiarkan pergi’. Dari sini mungkin kita bisa memahami lebih dalam lagi bahwa perbuatan memaafkan adalah suatu proses dan juga bermakna ‘melepaskan’. Masalahnya, siapa yang melepaskan dan siapa pula yang dilepaskan?

Ada sebuah kisah seorang bijak dengan seorang muridnya. Suatu hari, sang bijak berkata kepada muridnya, “Pikirkanlah semua orang yang pernah menyakiti kamu, khususnya yang kesalahannya tidak bisa kamu maafkan. Goreskan nama mereka masing-masing di sebuah kentang dan masukkan semua kentang itu ke dalam karung.” Sang murid pun mengikuti perintah gurunya, sehingga karung menjadi berat. Namun, sang bijak menyuruh murid itu untuk membawa karung berisi kentang-kentang tersebut di punggungnya selama seminggu, sehingga sang murid lama-kelamaan semakin terbebani hidupnya.

Setelah seminggu, sang bijak pun bertanya kepada muridnya, pelajaran apa yang bisa diambil dari apa yang ia lakukan selama seminggu tersebut. “Ketika kita tak dapat memaafkan orang lain, kita sesungguhnya membawa perasaan negatif dalam diri kita ke mana pun kita pergi, seperti saya membawa kentang-kentang itu. Yang negatif itu menjadi beban kita dan, tak berapa lama kemudian, menjadi busuk,” ujar si murid.

Nah, kita pun akan menjadi orang-orang yang terbebani oleh energi marah dan rasa benci jika kita memilih untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain. Namun, ketika memilih untuk memaafkan orang lain, kita sebenarnya sedang melepaskan emosi negatif yang membebani diri kita dan membiarkan kekuatan penyembuhan dari kesediaan untuk memaafkan bekerja dengan ajaib. Karena kita memaafkan dan membiarkan emosi negatif itu pergi, kita sebenarnya sedang dikeluarkan dan disembuhkan.

Bukan hanya penyakit psikis yang bisa disembuhkan oleh tindakan memaafkan, tapi juga penyakit fisik. Banyak studi dan riset yang memperlihatkan bahwa orang yang sedikit sekali memaafkan kesalahan orang lain rentan terkena masalah kardiovaskular dan penyakit yang berhubungan dengan stres. Dalam salah satu edisinya, Mayo Clinic Journal melaporkan bahwa orang yang tidak dapat memaafkan kesalahan orang lain mengalami peningkatan tekanan darah dan detak jantung. Pendek kata, menurut laporan itu, memaafkan ternyata memiliki “efek memadamkan, mengagumkan”, yang dapat membantu meredakan rasa sakit, meringankan depresi, dan meningkatkan fungsi kardiovaskular. Jadi, tunggu apa lagi? Maafkanlah orang yang telah berbuat salah kepada Anda. (Pedje)

Tuesday, October 5, 2010

Mengundang Keberuntungan

Halau mitos-mitos seputar keberuntungan agar hidup Anda lebih mujur.


Seperti halnya orang-orang normal pada umumnya, orang yang senantiasa mujur alias si lucky people sebenarnya juga kerap mengalami situasi jelek dalam hidup mereka. Jadi, dengan kata lain, sebenarnya Anda juga bisa semujur mereka. Karena, pada dasarnya, karakteristik utama dari orang yang mujur ada pada fokus mereka. Si mujur memiliki suatu fokus yang berbeda dengan orang-orang yang tidak beruntung. Orang yang senantiasa mujur cenderung hanya mengingat hal-hal baik yang mereka alami dan melupakan hal-hal atau peristiwa yang buruk. Mereka juga tak begitu peduli dengan orang-orang yang berpikiran negatif dan berusaha keras untuk menghapus pikiran-pikiran negatif dari kepala mereka.

Jadi, si mujur menciptakan kemujurannya dengan pikiran dan tingkah laku mereka. Karakteristik umum dari perilaku lucky people adalah sikapnya yang lemah-lembut dan kesediannya melakukan sesuatu untuk meraih tujuan. Selain itu, karakter lain dari si mujur adalah perspektifnya dalam melihat persoalan, terutama kegagalan. Bagi mereka, kegagalan adalah bagian dari proses untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Karakter seperti itulah yang memancarkan energi positif bagi mereka. Lalu, bagaimana agar keberuntungan juga hadir dalam kehidupan Anda? Marc Myers, penulis buku How to Make Luck: 7 Secrets Lucky People Use to Succeed, memaparkan mitos-mitos seputar keberuntungan yang harus dihalau agar keberuntungan dapat menghampiri Anda.

Mitos 1: Keberuntungan adalah kata lain dari kerja keras dan takdir. Sebenarnya, kata Myers, kerja keras tak ada hubungannya dengan keberuntungan. Sukses membutuhkan langkah-langkah cerdas, yang tidak sama dengan pengertian kerja keras. Dan, karakteristik orang yang beruntung itu memang tidak terlalu mementingkan kerja keras.

Mitos 2: Anda tidak bisa memengaruhi keberuntungan, karena keberuntungan akan mengambil jalannya sendiri. Padahal, Anda dapat secara acak mendapatkan keberuntungan dengan cara berperan aktif dalam kehidupan. Alih-alih terobsesi dengan pertanyaan apakah Anda bisa meraih impian Anda, fokus saja pada cara mewujudkan impian Anda itu. Hilangkan ungkapan "seandainya" atau "itu tidak akan terjadi" dalam hati dan benak Anda. Yakinkan diri Anda bahwa mimpi itu akan bisa Anda wujudkan.

Mitos 3: Untuk mendapatkan keberuntungan, Anda perlu bertemu dengan orang yang tepat. Myers mengatakan, mengenal orang yang tepat hanya separo jalan untuk mendapatkan keberuntungan. Karena, jika tidak tahu atau takut untuk mengejar kesempatan, Anda tidak akan mencapai tujuan yang diinginkan. Mengenal orang yang tepat adalah satu hal, berbicara dan mengambil risiko adalah hal yang lain. Dan, lucky people punya karakter berani mengambil risiko.

Mitos 4: Keberuntungan datang ketika Anda agresif mempromosikan diri. Sesungguhnya, bersikap terlalu agresif justru akan mengganggu orang lain. Bersikaplah asertif, bukan agresif. Artinya, Anda dapat mengomunikasikan apa yang Anda inginkan, rasakan, dan pikirkan kepada orang lain dengan tetap menjaga dan menghargai hak serta perasaan orang itu.

Mitos 5: Keberuntungan hanyalah soal waktu yang tepat. “Tempat dan waktu yang tepat sesungguhnya berada dalam kontrol Anda,” ungkap Myers. Anda dapat melangkah ke tempat yang tepat ketika kesempatan datang. Anda bisa memilih untuk masuk ke kalangan tertentu, aktivitas tertentu, dan tempat tertentu dalam hidup Anda. Semakin bijak Anda memilih dan semakin Anda membuka diri semakin tinggilah kemungkinan Anda untuk mengalami "waktu yang tepat" itu. (Pedje)

Friday, October 1, 2010

Menjelang Senja dengan Rahasia Selma

Cerpen-cerpen Linda Christanty dalam bukunya yang terbaru hampir semuanya bernada muram. Namun, di eve’s Book Club Agustus lalu, pembicaraannya kerap diselingi tawa.


Nama Linda Christanty sebagai penulis cerita pendek (cerpen) di jagat kesusastraan Indonesia memang tak bisa dipandang sebelah mata. Cara bertuturnya benar-benar khas, kadang dengan sudut pandang penceritaan yang tak lazim. Pilihan temanya pun beragam, namun umumnya punya nada yang sama: menyuarakan keterbungkaman—tapi tidak dengan cara yang nyinyir atau seperti khotbah kaum rohaniwan. Tak salah kiranya bila kritikus sastra yang juga penyair terkemuka Indonesia, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, mengatakan bahwa cerpen-cerpen Linda adalah cerpen Indonesia masa depan.

Dengan alasan itulah, sudah sejak lama sebenarnya eve’s Book Club ingin membicarakan karya Linda, kumpulan cerpen pertamanya yang berjudul Kuda Terbang Mario Pinto, yang meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award. Namun, niat tersebut belum lagi terwujudkan sudah muncul kumpulan cerpen keduanya, Rahasia Selma, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama beberapa waktu lalu. Padahal, kami telah menjalin kontak dengan Linda cukup lama. Bahkan, Linda sempat kami undang untuk menulis pengalamannya dengan bahasa Indonesia di rubrik View Point beberapa tahun lampau.

Maka, begitu kami tahu buku kumpulan cerpen terbaru telah diterbitkan, kami pun langsung mengontak Linda lagi, untuk mencari waktu yang tepat. Kebetulan, Linda ada rencana ke Jakarta pada awal Agustus 2010 lalu, kami langsung pun menyiapkan acaranya. Linda memang tidak tinggal di Jakarta. Perempuan cantik kelahiran Pulau Bangka ini sejak beberapa tahun lalu menetap di Banda Aceh, memimpin sebuah media massa di sana.

Acara eve’s Book Club yang membicarakan Rahasia Selma dilakukan di kafe e-Corner yang terletak di Epicentrum Walk, Kuningan, Jakarta Selatan. Yang menjadi moderator kali ini adalah Rama Romindo. Peserta tampak begitu antusias menghangatkan bincang-bincang yang berlangsung sore mendung itu. Tambahan pula, Linda kerap menanggapi pertanyaan dari peserta dengan cara yang lucu dan berbagai penjelasan yang menarik.

Misalnya ketika ada yang menanyakan latar belakang penulisan cerpennya yang berjudul "Babe", yang mengisahkan hubungan dua orang di dunia maya, Linda menceritakan juga pengalaman pribadinya masuk ke kanal chatting. “Begitu saya masuk ke sana, ada orang yang bertanya, ‘Apakah kamu suka telepon seks?’ Saya jawab, ‘Saya tidak suka. Saya mencari teman diskusi.’ Dan, orang itu pun menanggapi lagi, ‘O, kalau kamu suka, lain kali hubungi saya, ya.’,” tutur Linda, yang disusul dengan gemuruh tawa seluruh peserta yang hadir.

Toh, walau diselingi banyak tawa, banyak peserta sepakat bahwa cerpen-cerpen Linda dalam Rahasia Selma adalah cerpen-cerpen yang muram, yang cenderung mengisahkan para perempuan bernasib malang. Suasana yang hadir membayang dalam cerpen-cerpen itu begitu menekan perasaan, walau kisahnya dituturkan oleh Linda lewat metafora dan ungkapan berwarna lembut atau dengan lansekap yang indah. Linda kadang juga membaurkan antara realitas keseharian dan realitas imajiner sehingga terbangun suasana surealistis yang mencekam pada beberapa cerpennya.

Linda mengakui hal itu. Menurut dia, sebagian besar cerita yang ia buat memang suram, termasuk tokoh-tokohnya. “Namun, tetap ada nada optimistis di cerpen-cerpen saya. Tokoh-tokohnya berjuang untuk mengatasi masalah atau keadaan dengan caranya masing-masing,” katanya.

Ada 11 cerpen Linda dalam Rahasia Selma, yang sebagian besar pernah dipublikasikan di media massa. Lewat cerpen-cerpennya itu, Linda antara lain mengisahkan kekerasan seksual yang terjadi pada anak, homofobia, pelanggaran hak asasi manusia, dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Dalam cerpen "Mercusuar", misalnya, Linda melukiskan kisah perempuan korban diskriminasi rasial dalam balutan petualangan seksual, dengan loncatan-loncatan pikiran yang sukar ditebak dan kemudian bermuara pada peristiwa traumatis yang menyesakkan dada, yang berhubungan dengan realitas faktual di luar cerita.

Dengan kepiawaiannya mengolah cerita seperti itu, kenapa pula Linda hanya menulis cerpen, tidak menulis novel? Begitu tanya salah seorang peserta. “Sebenarnya niat itu sudah ada sejak bertahun-tahun lalu, tetapi sampai sekarang belum terwujud. Saya pernah ingin menulis novel, tapi jadinya malah cerpen. Karena mungkin begini. Saya membayangkan orang yang menulis novel itu adalah orang yang punya waktu luang untuk duduk lebih banyak dan saya kebetulan orang yang tidak punya terlalu banyak waktu untuk duduk. Orang yang menulis novel kan harus fokus, sementara saya termasuk orang yang kalau sedang menulis sesuatu suka berpikir hal lain. Mungkin, ini penyakit jiwa, ya. Ha-ha-ha….,” ungkap Linda.

Linda memang bukan hanya terampil menulis berbagai kisah dan laporan jurnalistik, tapi juga pandai bercerita secara lisan. Ia juga enak diajak berbincang-bincang karena pengetahuannya yang luas. Bahkan, ketika acara sudah berakhir, beberapa peserta masih asyik mengobrol dengan Linda sambil menikmati hidangan yang disediakan e-Corner.

Seperti biasa, sebelum acara ditutup dan penandantanganan buku oleh penulis, ada hadiah-hadiah menarik yang diberikan oleh pendukung eve’s Book Club. Kali ini, masing-masing peserta mendapat hadiah berupa voucher dari Burberry berupa sampel produk, voucher dan lipstik dari Nyx, dan voucher dari e-Corner. Sementara itu, tiga penanya terbaik dan juga Linda beserta moderator mendapat paket kosmetik dari Nyx. O, ya, pada eve’s Book Club Agustus lalu itu, Burberry juga berkenan memberikan hadiah parfum terbarunya kepada peserta yang dapat menjawab pertanyaan yang diajukan Managing Editor eve Sri Purwandhari. Asyik, kan? (Pedje)