Saturday, August 28, 2010

Carmanita: “Saya Terfasilitasi dengan Keadaan Saya Sendiri”

Kreativitasnya seakan tak pernah kering. Ia juga rajin bereksperimen dan tak takut karyanya ditiru.


Kami datang berlima: Editor in Chief eve Indonesia Amy D. Wirabudi, Managing Editor Sri Puwandhari, Fashion Editor Nabila Fitria, saya, dan fotografer lepas Faizal Rachman. Yang kami tuju adalah "padepokan" Carmanita di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kami sepakat untuk "mengisi baterai" tentang fesyen dan tekstil tradisional lewat perbincangan dengan sang empunya padepokan. Karena, kami mafhum, beliau adalah sosok dengan pengalaman dan wawasan yang sangat memadai untuk kedua hal tersebut. Bukan sekadar menghasilkan desain dan karya-karya gemilang, tapi Carmanita juga memiliki cinta yang besar terhadap kekayaan budaya negeri ini, terutama tekstilnya, yang membuat dirinya seakan tak pernah kekurangan energi untuk membicarakannya.

Maklumlah, pengalamannya yang hampir 30 tahun dalam dunia kreatif dan bisnis fesyen serta kegemarannya mendatangi para pengrajin kain di berbagai pelosok Indonesia membuat Carmanita kaya dengan pengalaman di lapangan, di samping perbendaharaan teoretis. Karena itu, berbincang-bincang dengan perempuan manis ini sungguh mengasyikan. Ada saja yang diceritakan, mulai soal pengrajin kain di pedalaman Bali sampai teknik jumputan dalam tekstil Jepang, dan tentu saja tentang batik.

Untuk batik, ceritanya bisa menjadi panjang-lebar, karena Carmanita sejak kecil sudah terbiasa melihat canting, malam (lilin), bentangan kain mori, dan pasti juga pengrajin batiknya. Setiap kali Carmanita kecil ke rumah mbahnya, pastilah ia melihat orang yang sedang membatik. Karena, neneknya itu adalah Saridjah Niung Bintang Soedibio, yang lebih dikenal dengan panggilan Ibu Soed, kreator dan pengusaha batik yang juga dikenal sebagai pencipta lagu anak-anak dan lagu perjuangan. “Nenek saya itu dekat dengan Bung Karno dan kerap berpameran batik di istana-istana kepresidenan. Ketika saya kecil, beliau sering mengajak saya untuk ikut. Mungkin karena cara beliau menerangkan sesuatunya memikat, saya menjadi suka mendengarkannya,” tutur Carmanita.

Perempuan yang lahir di Bandung pada 10 Juli 1956 pun mengakui bahwa neneknya itulah orang yang paling berpengaruh dalam perjalanan karirnya sebagai seorang fashion designer. "Tapi, walau nenek saya dikenal sebagai ahli batik, saya belajar pembatikan dan pewarnaannya secara otodidak. Saya tidak pernah mau menyentuh lingkungan beliau. Bahkan kami tidak pernah berdiskusi, sebagai sesama seniman. Tapi, ketika saya terjun ke dunia fesyen, dia sering mengkritik saya habis-habisan,” kenang Carmanita tentang Ibu Soed, yang wafat pada tahun 1993 dalam usia 85 tahun. Sejak beberapa tahun terakhir, Carmanita juga aktif membina pengrajin batik di berbagai daerah di Indonesia.

Padahal, waktu kecil sampai remaja, Carmanita tidak pernah bercita-cita untuk menjadi pekerja seni. Ia malah ingin menjadi pebisnis seperti ibunya. Karena itu, Carmanita menuntut ilmu bisnis dan keuangan di University of San Francisco, Amerika Serikat, dari tahun 1977 sampau 1980. Di sela-sela kuliahnya, ia pernah menjadi asisten dosen, lalu bekerja paro waktu di The Bank of America dan The I Magnin Department Store.

Lulus kuliah, ia kembali ke Tanah Air dan langsung terjun ke bisnis garmen. “Saya berbisnis garmen karena yang booming waktu itu adalah garment bussiness, yang banyak pabriknya di Pulogadung, Jakarta. Saya sendiri tak punya pabrik, karena tak mau capek mengurus karyawan yang banyak. Tapi, sejak awal saya ingin menciptakan sesuatu yang menjadi gaya saya, branding saya,” ungkap Carmanita, yang sempat menimba pengalaman kerja sebagai tenaga pemasaran produk Arthur Harland pada tahun 1981.

Pada tahun 1982, ia pun mendirikan PT Amtrend Sentana Garment. Perusahaan ini mencoba menciptakan kreasi fesyen yang dinamis, yang tetap berakar pada karya-karya tradisional, di samping yang non-tradisional. “Dari awal, kecenderungan saya memang sudah etnis, meneruskan tradisi, karena nenek saya memang seperti itu. Mbah saya itu kan yang mendekor seluruh istana presiden negeri ini. Mungkin dari sana saya ditanamkan kesadaran bahwa saya itu orang Indonesia, bukan Jawa semata. Memang, awalnya saya mengerjakan batik,” kata Carmanita.

Sampai sekarang, selain dikenal sebagai fashion designer, Carmanita dikenal sebagai ahli batik. Beragam bahan pernah ia batik, termasuk mobil Mercedes Benz C250 CGI, yang beberapa waktu lalu diluncurkan dan berhasil dibeli oleh Piyu, personel kelompok musik Padi, seharga Rp1 miliar dalam sebuah lelang. “Yang belum saya batik hanya kertas,” ungkap Carmanita sambil tersenyum.

Sekitar sepuluh tahun yang lalu, Carmanita pernah diminta oleh DuPont Lycra untuk melakukan studi dan riset mengenai kemungkinan membuat batik dari bahan Lycra. Selama satu tahun tujuh bulan, ia pun berkutat mencari teknik yang tepat dan terbaik membatik di bahan serat yang lembut tersebut. Hasilnya ternyata tidak mengecewakan, yang kemudian diberi nama batik strech dan diluncurkan pada 11 Oktober tahun 2000. “Fokus saya memang lebih ke hal teknisnya, bukan pada desainnya. Karena bahan nilonnya lebih banyak, saya susah sekali mendapat warna yang saya mau,” tutur Carmanita, yang juga pernah membatik di bahan wool dengan hasil yang memuaskan pada tahun 1994 lampau. Belakangan, ia juga berhasil membatik di kain songket. “Tapi, memang, yang paling sulit itu membatik di bahan wool,” katanya. Berikut petikan perbincangan kami dengan perempuan perancang busana dan tekstil yang pernah mengikuti Pret a Porter-Paris pada tahun 1987 ini.

Aktivitas Anda begitu banyak, termasuk rajin mendatangi dan membina para pengrajin kain tradisional di berbagai pelosok daerah di Indonesia. Tidak merasa lelah?

Tidak. Saya menikmati saja. Saya malah senang dapat mengenal banyak pengrajin di berbagai pelosok Tanah Air, bukan hanya pengrajin kain, tapi juga pengrajin yang lain. Karya mereka bagus-bagus, tapi kan tidak ada yang membawanya ke kota. Dengan ke pelosok begitu, saya menjadi tahu kekayaan negeri ini. Saya sempat bertemu dengan seorang nenek berusia 85 tahun di pelosok Bali. Beliau membuat kain kotak-kotak, tapi bukan kain poleng, yang bagus banget. Kotaknya beragam, dari besar sampai kecil. Harganya cuma Rp1.250.000.

Pelajaran apa yang Anda dapat kunjungan Anda ke pelosok-pelosok daerah itu?

Saya semakin menyadari bahwa negeri ini punya banyak kekayaan yang bisa diolah. Dalam mengolahnya, saya tidak mengubah patternity, tapi memperbaikinya dengan daya olah yang kemudian hasilnya bisa dipakai oleh masyarakat yang lebih luas, baik dari dalam maupun luar negeri. Misalnya, tadinya hasil kain mereka kan kaku, kami ganti benangnya agar bisa lebih enak dipakai orang, bisa masuk ke toko.

Selain karena pengaruh nenek Anda waktu Anda masih kecil, siapa lagi yang memengaruhi Anda sehingga Anda begitu menghargai apa yang bangsa ini miliki?

Ibu saya. Beliau sering membawa saya ke daerah-daerah dengan mobil yang disetirnya sendiri untuk melihat berbagai pertunjukan seni. Kalau ke Solo, kami juga pasti mampir ke rumah Om Go Tik Swan, yang pembatik. Selain itu, saya semakin belajar untuk menghargai apa yang bangsa kita miliki waktu diajak ikut melihat rumah David Bowie, musisi terkemuka dari Inggris. Rumahnya memakai kain-kain tradisonal bangsa kita, mulai dari batik sampai kain bugis. Juga memakai saka guru. Semua barang Indonesia dipindahkan ke rumahnya. Ini gila sekali. Kenapa kita tak bisa seperti itu? Di sana juga saya belajar apa saja yang diinginkan oleh masyarakat kelas atas.

Anda tampaknya selalu memperhitungkan sisi bisnis dari suatu karya, ya?

Ketika melihat sesuatu, saya memang langsung memikirkan apakah karya itu bisa dijual atau tidak. Mungkin saya lebih banyak berpikir pada desain produknya, ya. Bisa dibilang, saya memang sudah belajar berbisnis sejak kecil. Waktu kecil, kalau saya kebanyakan main, orang tua saya suka menghukum saya dengan tidak memberi uang saku. Nah, agar tetap punya uang saku, saya sewakan buku-buku saya ke teman-teman. Orang tua saya memang suka membelikan buku-buku cerita dalam bahasa Belanda, yang biasanya dibeli di sebuah toko yang sekarang dinamakan Jalan Veteran. Jadi, tak salah kalau saya juga akhirnya kuliah di jurusan bisnis.

Dan kemudian masuk juga ke wilayah kreatif, ya….

Mau tak mau saya larut juga ke dalam dunia kreatif. Karena, saya terfasilitasi dengan keadaan saya sendiri, sehingga saya bisa melakukan apa yang saya inginkan, mau begini-mau begitu tak ada batasnya. Terfasilitasi itu maksudnya untuk sumber daya manusianya, yang mengerjakan finishing-nya. Saya didukung dari rumah saya sendiri. Jadi, kenapa tidak mencoba? Atmosfer kreatif di rumah sangat tinggi. Waktu kecil, kalau orang tua saya dari luar negeri, saya juga sering dibawakan mainan yang harus dirakit dulu, seperti boneka-bonekaan, aksesori, dan rumah-rumahaan. Jadi, saya dari kecil dikasih permainan yang untuk memaikannya harus berpikir dulu. Mungkin ini juga yang mengasah kreativitas dan jiwa seni saya.

Itu juga yang menjadi alasan mengapa Anda akhirnya terjun ke bisnis fesyen, ya?

Saya berbisnis garmen karena yang booming waktu itu adalah garment bussiness, yang banyak pabriknya di Pulogadung, Jakarta. Saya sendiri tak punya pabrik, karena tak mau capek mengurus karyawan yang banyak. Tapi, sejak awal saya ingin menciptakan sesuatu yang menjadi gaya saya, branding saya. Saya lalu iseng-iseng ikut lomba perancang mode yang diadakan sebuah majalah, tahun 1987, eh, juara ketiga. Tidak ada yang serius dalam hidup saya, semua hanya main-main. Saya hanya serius waktu harus memikirkan membayar pekerja saya setiap bulan. Itu baru bikin saya stres. Ha-ha-ha…

Waktu kuliah di University of San Francisco dulu, Anda kan sempat bekerja di sebuah bank ternama dan department store walau hanya paro waktu. Waktu kembali ke Indonesia, Anda tidak menyesal meninggalkan pekerjaan itu?

Tidak. Kan, saya tahu apa yang akan saya lakukan. Lagi pula, kalau bekerja sama orang kan saya hanya mengikuti arus.

O, ya, bagaimana ceritanya Anda bisa mengikuti ajang fesyen bergengsi Pret a Porter-Paris pada tahun 1987 itu?

Waktu itu kan BPEN, Badan Pengembangan Ekspor Nasional, sedang giat-giatnya membawa desainer-desainer kita ke Prancis. Tiba-tiba, anehnya, ada agen orang Arab-Prancis yang membawa saya dan seorang desainer Malaysia ke sana, saya disewakan booth di tempat yang lumayan, yang dekat dengan booth dari brand ternama. Saya benar-benar seperti orang beloon di sana karena waktu itu belum mengerti benar bisnis fesyen. Tapi, agen itu kemudian meninggal dunia, setelah saya dua tahun bekerja dengan dia.

Beberapa tahun lalu, Anda juga kan masih mengirim produk-produk karya Anda ke Prancis, ya?

Ya. Ceritanya, saya mengenal orang Prancis bernama Bernadette, yang membuka Indonesian eclectic gallery bernama Wayang Lali di dekat Lyon. Lucu tempatnya. Dia membeli barang-barang saya. Tapi, kemudian dia menikah, punya bayi, dan lebih memprioritaskan barang-barang kecil yang lebih cepat berputar, sehingga belum memesan lagi dari saya.

Dari begitu banyaknya proyek yang Anda buat sejak tahun 1982 sampai sekarang, proyek apa yang paling membuat Anda senang?

Semuanya sangat menyenangkan. Karena, setiap proyek punya jiwanya sendiri. Waktu mengerjakan itu juga saya tidak pernah memikirkan nantinya bagaimana, akhirnya seperti apa, saya hanya melakukan pekerjaan saya.

Anda juga kan mengeksplorasi motif-motif dari negara lain dengan teknik batik dan jumputan, seperti motif kain dari India. Apa yang mendorong Anda melakukan itu?

Kan, sebenarnya itu juga yang dilakukan nenek moyang kita. Mereka mengagumi kain-kain tradisional dari India seperti sari dan kerala, lalu membuatnya dengan teknik batik. Begitu juga dengan kain tradisional Jepang, sehingga lahirlah batik hokokai. Hanya saja, kita sekarang lebih ekspansif dengan kekayaan kain dan pewarnaan yang ada sekarang dibanding nenek moyang kita. Beberapa waktu lalu, saya juga baru membuat kimono dengan motif perkawinan megamendung Indonesia dan megamendung Jepang. Dan, megamendung itu sendiri kan pengaruh batik hokokai. Saya pribadi sangat menyukai tekstil India dan Jepang. Saya juga mempelajari sendiri berbagai teknik jumputan Jepang, seperti sibori, origami, dan arashi.

Masih suka bereksperimen?

Eksperimen tetap jalan. Hampir semua bahan sudah dibatik, kecuali kertas.

Apa Anda sudah menyiapkan upaya regenerasi?

Buat saya, yang penting, manusia-manusia lain bisa berjalan lebih jauh dari saya. Di tempat saya, siapa pun yang mau magang diterima. Banyak juga peserta magang dari luar negeri. Mereka mempelajari tekstil, batik, dan fesyen. Saya tidak takut di-copy. Ini juga kan bukan punya saya, kebetulan saja ada di sini. Biarkan saja. Dengan begitu, saya kan jadinya dikejar untuk menciptakan yang baru.

Sebenarnya Anda lebih senang disebut sebagai apa?

Tidak tahu. Saya kan tidak bisa menyebut diri saya sendiri sebagai apa. Mungkin seniman tekstil, ya? Tidak mengerti saya. Ha-ha-ha…. Carmanita is Carmanita, no miss, mistress, or what. Just Carmanita. Ha-ha-ha…. Pedje

Friday, August 27, 2010

Dua Puisi Lama Pedje, 8

Ayat-Ayat Waktu

begitu banyak penanda waktu
: langkah-langkah bergegas hilang ditelikung cemas


Di Luar Angkasa
Untuk Anakku, Langit Biru

Langit masih menyisakan warna jingga ketika kau tertawa
mengempas sunyi yang dibangun dari berjuta sungai air mata
yang hilang arah menuju muara

“Kita akan menepi,” katamu dengan tawa yang telah berubah
menjadi garis tipis yang entah apa maknanya
Tapi, di manakah tepi sebenarnya
di ruang angkasa ini, ketika ilusi cakrawala
seakan moksa

“Kita akan ciptakan tepi sendiri seperti matahari
mencipta lewat ujung-ujung garis sinarnya,” katamu
dengan nada lelah tapi tetap ingin terlihat gagah.

Langit tak lagi memiliki warna jingga
dan kenangan pada bumi berkejaran dengan hujan asteroid
sunyi pun terbangun kembali

Thursday, August 26, 2010

Tabahlah…

Tak ada manusia yang sempurna. Jatuh-bangun juga merupakan hal yang biasa dalam kehidupan manusia. Bahkan, bisa dikatakan, tak ada orang bisa mencapai kesuksesan tanpa pernah melakukan kesalahan dan kegagalan. Justru, seperti telah banyak diungkapkan para motivator, kesuksesan itu merupakan kemampuan untuk menghadapi kegagalan demi kegagalan tanpa kehilangan entusiasme, gairah, untuk tetap bisa bangkit dan tak berhenti mencoba serta masih berani mengambil risiko.

Mungkin, pada awalnya memang sulit untuk bisa bersikap seperti itu ketika sedang menghadapi kegagalan, melakukan kesalahan, atau ditolak oleh orang lain. Namun, semakin berani menghadapi itu semua, Anda akan semakin kuat dan peluang untuk meraih kesuksesan semakin besar. Berikut lima langkah agar Anda dapat tetap tabah dalam menghadapi kegagalan atau penolakan.

1. Jangan terima penolakan sebagai hal yang personal. Anda mungkin benar-benar merasa gagal total, tapi penolakan atau merasa diabaikan orang lain tidak selalu karena kesalahan Anda. Semakin cepat Anda menyadari bahwa tidak semua hal berkenaan dengan Anda, akan semakin cepat pula Anda bangkit dari keterpurukan.

2. Cari informasi
. Bersikap tabah berarti juga mau belajar dari kesalahan. Tak ada salahnya juga Anda meminta pendapat dari teman atau seorang ahli untuk mengetahui lebih jauh apa yang membuat Anda gagal.

3. Membuka diri terhadap peluang baru
. Hadapi penolakan yang Anda alami dan jangan biarkan kekecewaan Anda menodai peluang yang Anda dapatkan saat ini.

4. Jujurlah
. Jangan ragu untuk curhat dengan sahabat karib atau pasangan Anda. Ungkapkanlah dengan jujur ketakutan dan kecemasan Anda menjalani langkah-langkah selanjutnya setelah mengalami kegagalan atau penolakan. Langkah ini akan membuat beban Anda berkurang dan dapat membuat keberanian Anda bangkit kembali.

5. Coba lagi
. Semakin banyak risiko yang Anda ambil semakin banyak juga sukses yang akan Anda raih. Bersikap tabah berarti juga Anda menjadi lebih mengetahui tentang diri Anda dan apa yang Anda inginkan dari hidup Anda. Selamat berjuang! Pedje

Wednesday, August 25, 2010

Merdeka secara Bersahaja

Tak ada protokol upacara. Tak ada instrumen musik. Bung Karno pun sedang dalam keadaan terserang penyakit malaria.


“Jasmerah,” begitu kata Bung Karno. Yang dimaksud oleh sang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia—bersama Bung Hatta—bukan jas yang berwarna merah. Jasmerah itu adalah kependekan dari ‘jangan sekali-kali melupakan sejarah’. Kendati demikian, Bung Karno sendiri pernah ‘terpeleset’ untuk urusan peninggalan sejarah. Beliau meratakan bangunan bersejarah yang sesungguhnya teramat penting bagi bangsa ini: rumah kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang bernama Jalan Proklamasi) No. 56, tempat beliau mengumandangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada hari Jumat, 17 Agustus 1945, pukul 10.00.

Rumah bernilai sejarah itu diratakan dengan tanah pada tahun 1960. Ceritanya, pada tahun itu, Bung Karno menyetujui usul Wakil Gubernur Daerah Chusus Jakarta Henk Ngantung untuk merenovasi rumah tersebut. Namun, renovasi itu ternyata tidak terwujudkan.

Maka, agar tempat dibacakan Proklamasi Kemerdekaan dapat dikenali dibangunlah sebuah tugu. Pencangkulan tanah pertama untuk pembangunan tugu itu dilakukan sendiri oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961. Tugu ini oleh masyarakat disebut ‘Tugu Petir’ karena ada lambang petir di atasnya, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara. Di tugu itu ditaruhlah informasi seperti ini: “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta”.

Dekat tugu tersebut kemudian dibangunlah sebuah gedung, yang diberi nama Gedung Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta, yang lebih dikenal sebagai Gedung Pola. Gedung ini semacam gedung Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada era Presiden Soeharto dan masih ada sampai sekarang. Di dalam Gedung Pola inilah dimulai perencanaan dan pembangunan berbagai proyek yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama di bidang industri dan prasarana, semasa Bung Karno menjadi presiden.

Selain Tugu Petir, di area ini juga ada ‘Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia’, yang diresmikan pada 17 Agustus 1946. Di atas keterangan itu, yang dipahat di atas batu marmer, tertera juga informasi ‘Atas Oesaha Wanita Djakarta’. Dalam buku 19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat (1998) yang disunting oleh Titiek W.S., Dra. Yos Masdani Tumbuan sang pembuat tugu itu mengatakan bahwa ia diminta untuk membuat tugu tersebut oleh Ratulangi dan Mien Wiranatakusumah. Namun, tak ada dana untuk itu dan Yos Masdani Tumbuan (seorang mahasiswi yang aktif di Ikatan Wanita Djakarta ) diminta mencari dana bersama kawan-kawannya.

Singkat cerita, jadilah tugu peringatan itu. Namun, Walikota Jakarta Suwirjo melarang tugu tersebut diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1946. Ternyata, Suwirjo melarang karena memang ada larangan dari Tentara Sekutu, yang ketika itu sedang menguasai wilayah Indonesia setelah tentara fasisme Jepang hengkang.

Untunglah, pada tanggal 16 Agustus 1946, Perdana Menteri Sutan Sjahrir datang ke Jakarta dari Yogyakarta. Ketika diberitahu soal tugu peringatan itu, tokoh yang kerap dijuluki Bung Kecil tersebut menyatakan peresmian tugu itu adalah gagasan bagus dan dengan senang hati ia akan meresmikannya. Dan, diresmikanlah tugu peringatan tersebut sesuai dengan waktu yang direncanakan, 17 Agustus 1946, tanpa ada keributan apa-apa dari Tentara Sekutu.

Toh, entah kenapa, ada saja pihak yang tidak sudi adanya tugu peringatan itu. Mereka menganggap tugu tersebut harus dimusnahkan. Dan, menjelang empat tahun berdirinya, tanggal 15 Agustus 1960, Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia lenyap dari tempatnya.

Sejumlah perempuan pun—antara lain Maria Ulfah Santoso dan Lasmidjah Hardi—menemui Gubernur Jakarta Soemarno di Balaikota. Dalam pertemuan itu, sang gubernur menyerahkan tiga lempengan marmer yang tadinya melekat di tugu. Oleh kaum perempuan yang hadir ketika itu disarankan agar tiga lempengan marmer tersebut diserahkan kepada Yos Madani. “Cornell University sempat menawar marmer-marmer itu dengan harga tinggi, tapi saya menolak,” kata Yos Madani.

Ketika Ali Sadikin telah menjadi Gubernur Jakarta, tahun 1968, ada usul agar tugu tersebut dibangun kembali. Ali Sadikin menyambut baik usul tersebut. Namun, pembangunannya terpaksa ditunda karena Yos Madani sedang melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat. Dan, akhirnya, tugu itu pun berdiri kembali di lokasi semula, yang diresmikan oleh Menteri Penerangan Budiardjo pada tanggal 17 Agustus 1972. Bung Hatta hadir dalam peresmian tersebut.

Sebenarnya, rencana awal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia bukan di rumah Bung Karno, tapi di Lapangan Ikada (Lapangan Monas sekarang). Demikianlah keputusan yang dibuat di rumah Laksamana Maeda (sekarang menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta Pusat). Persiapan sudah dilakukan, yakni dengan mengutus beberapa orang—antara lain Soediro—untuk menginformasikan kepada berbagai pihak yang diharapkan hadir, seperti tokoh-tokoh pergerakan dan segenap eksponen Barisan Pelopor: akan ada upacara penting di Lapangan Ikada pada pukul 11.00. Informasi ini disampakan juga lewat telepon dan surat yang dibawa kurir.

Ternyata, informasi ini telah diketahui oleh pihak Jepang, yang sebenarnya pada tanggal 15 Agustus 1945 telah takluk kepada Tentara Sekutu. Maka, terjadilah perubahan rencana dan dalam waktu singkat pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945 itu beberapa orang pejuang segera bergerak kembali untuk mengabarkan perubahan rencana tersebut. Upacara penting dipindahkan ke rumah Soekarno, Jalan Pengangsaan Timur No. 56.

Tentu saja, kerepotan terjadi juga di rumah Soekarno. Beberapa orang sibuk memasang mikrofon dan versterker (amplifier), yang baru disewa dari perusahaan jasa penyewaan sound system ‘Radio Satrija’, di Jalan Salemba Tengah No. 24. Tiang bendera pun dibuat dari sebatang bambu, yang ditancapkan di muka kamar depan rumah Soekarno beberapa menit sebelum upacara dimulai. Setelah siap, upacara pun dimulai, tanpa adanya protokol terlebih dahulu.

Penaikan Sang Saka Merah-Putih dilaksanakan setelah Soekarno membacakan teks Proklamasi didamping Bung Hatta dan Bung Karno berpidato singkat. Yang diminta menjadi ‘petugas penaikan bendera’ adalah Trimurti, tapi dia menolak dan mengusulkan agar penaikan itu dilakukan oleh seorang prajurit. Serta-merta, Latif Hendraningrat yang masih memakai seragam lengkap Pembela Tanah Air maju ke depan sampai dekat tiang bendera. Lalu datanglah dua orang membawa Sang Saka Merah-Putih yang diletakkan di atas nampan dan kemudian dinaikkan. Tanpa aba-aba, yang hadir dalam upacara tersebut langsung menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’ bersama-sama. Berkibarlah Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya di masa Indonesia merdeka.

Setelah upacara selesai ada kejadian lucu. Tiba-tiba datang kurang-lebih seratus orang anggota Barisan Pelopor, yang dipimpin S. Brata. Rupanya mereka tidak tahu adanya perubahan rencana lokasi upacara dari Lapangan Ikada ke rumah Bung Karno, sehingga datang terlambat. Mereka lalu meminta Bung Karno untuk mengulangi upacara dan membacakan kembali Proklamasi Kemerdekaan. Bung Karno yang telah masuk kamar pun lalu keluar kembali dan menyatakan lewat mikrofon bahwa pembacaan Proklamasi tidak dapat diulang.

Mengapa Bung Karno masuk kamar setelah upacara tersebut? Secara fisik, Bung Karno memang kelelahan. Beberapa hari sebelumnya, Bung Karno, Ibu Fatmawati, dan Guntur diculik sekelompok pemuda radikal dan dibawa ke Rengasdengklok, Krawang, Jawa Barat. Mereka baru diantarkan kembali ke Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945 malam hari dan Bung Karno langsung rapat di rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan naskah Proklamasi.

Menurut Roso Daras, penulis buku Bung Karno: The Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer (2009), subuh tanggal 17 Agustus 1945, dalam keletihan yang teramat sangat, Bung Karno pulang dalam keadaan menggigil. Malarianya kumat. “Terlebih dua hari dua malam ia tidak tidur. Hanya air soda dan air soda yang diminum untuk menyegarkan mata,” ungkap Roso seperti yang ia tulis dalam blog-nya, http://rosodaras.wordpress.com.

Melihat kondisi suaminya, Ibu Fatmawati tampak cemas. Tapi, “
Tanpa banyak kata, Bung Karno bukannya merebahkan badan, melainkan berjalan menuju meja tulis. Diambilnya kertas dan pena, lalu ia menulis berlusin-lusin surat,” tutur Roso. Dan, Bung Karno melakukan itu dalam keadaan menggigil karena demam malaria. Setelah itu barulah ia tidur dan dibangunkan sekitar satu jam menjelang upacara Proklamasi, kurang-lebih pukul 09.00 pagi.

Dalam buku Sukarno: an Autobiography as told to Cindy Adams (1965), Bung Karno mengatakan bahwa Ibu Fatmawati membiarkan dirinya tetap bekerja dalam keadaan mengigil akibat demam malaria karena cukup mengerti gejolak hati suaminya. Sementara itu, Ibu Fatmawati sendiri bukan berarti segar-bugar. Ia juga sebenarnya lelah, karena mengikuti seluruh dinamika menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan, Ibu Fatmawatilah yang membuat Sang Saka Merah-Putih, dengan jahitan tangan, untuk dikibarkan pada 17 Agustus 1945.

Tentu saja bendera itu sangat bernilai. “Sejak dikibarkan di Pegangsaan Timur 56, bendera itu pantang diturunkan. Pasukan Berani Mati yang dibentuk sehari setelah Proklamasi berjaga 24 jam, siap menghadang tentara Jepang jika mereka datang hendak menurunkannya,” ungkap Roso Daras.

Ketika Tentara Sekutu datang, bendera itu pun terus dijaga keberadaannya. Apalagi, Tentara Sekutu juga rupanya berminat untuk memusnahkan Sang Saka Merah-Putih yang dibuat oleh Ibu Fatmawati. Para pejuang kemerdekaan benar-benar melindungi Sang Saka Merah-Putih, Bahkan, dokter pribadi Bung Karno sendiri, dr. Soeharto, tidak mengetahui keberadaannya sampai tahun 1949.

“Soeharto sendiri tidak tahu, di mana Sang Merah-Putih antara kurun 1945 – April 1949. Yang jelas, malam itu, April 1949, ia kedatangan tamu misterius bernama Muthahar. Tokoh ini di kemudian hari sempat menjabat Duta Besar Republik Indonesia serta pemimpin Kwartir Nasional Pramuka. Malam itu, ia datang dengan menyelinap, takut tercium NICA. Di tangannya terpegang dua carik kain, merah di kanan, putih di kiri. Itulah Sang Saka Merah Putih, yang untuk tujuan pengamanan telah dilepas jahitannya dan diamankan sedemikian rupa sebagai sebuah benda mahapenting bagi tonggak berdirinya republik,” tutur Roso Daras.

Malam itu, Muthahar menitipkannya kepada dr. Soeharto. Mendapat amanat penting, Soeharto menunaikannya dengan sangat hati-hati. Ia menyimpan potongan kain merah di satu tempat dan kain putih jauh di tempat lain. Itu dilakukan untuk menjaga kemungkinan penggeledahan oleh NICA (Nederlandsch IndiĆ« Civil Administratie), Tentara Sekutu yang ditugaskan mengontrol wilayah bekas jajahan Belanda yang pernah dikuasai Jepang—dan kemudian bernama Indonesia.

Terakhir, Sang Saka Merah Putih dikibarkan pada Upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1968. Selanjutnya disimpan dan hanya dikeluarkan setiap tanggal 17 Agustus namun tetap dalam kotak penyimpanannya. Yang digunakan pada upacara resmi kenegaraan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia sejak tahun 1969 sampai sekarang adalah duplikatnya. Dan, upacara resmi kenegaraan tersebut dilakukan di Istana Merdeka, bukan di Tugu Proklamasi. Akan halnya Tugu Proklamasi, Gedung Pola, Patung Proklamator, dan area sekelilingnya sudah sejak beberapa tahun lampau kondisinya kurang terawat. Ah, Indonesia! Pedje

Tuesday, August 24, 2010

Jakarta dari Masa ke Masa…

Benarkah hari jadi Kota Jakarta pada 22 Juni 1527 sekadar dongeng?


“Di Jakarta, Tuhan menciptakan orang Indonesia,” begitu ditulis oleh seorang ahli ilmu politik dan sejarah dari Australia, Lance Castles, dalam sebuah bukunya. Karena, di Jakartalah orang Indonesia dibentuk dan Republik Indonesia diproklamasikan. Selain itu, sejak zaman dulu, Jakarta telah menjadi kota kosmopolitan dan ditinggali oleh beragam suku dari wilayah Nusantara yang kemudian membentuk identitas baru sebagai orang Indonesia. Jadi, tambah Castles, Republik Indonesia berutang kepada Jakarta.

Jakarta sendiri tampaknya "berutang" kepada Perserikatan Perusahaan Hindia Timur (Vereenigde Oost indische Compagnie) alias VOC. Setidaknya itulah kesan yang kami tangkap dari perbincangan dengan sejarawan lulusan Universitas Indonesia yang juga Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra. Menurut Yahya, dirinya lebih menghargai VOC yang mewariskan berbagai peninggalan di Jakarta ketimbang Fatahillah yang dianggap oleh banyak orang sebagai tokoh peletak dasar berdirinya Kota Jakarta, misalnya. “VOC-lah yang membangun Jakarta. Coba lihat saja peninggalan-peninggalan gedungnya. Bahkan, istana presiden kita adalah peninggalan Belanda,” kata Yahya.

Soal Fatahillah itu, Yahya juga menganggap posisinya tidak jauh berbeda dengan VOC, sama-sama penjajah. Padahal, selama ini, masyarakat umumnya menganggap Pangeran Fatahillah sebagai pahlawan dan pendiri Kota Jakarta atau Jayakarta. Karena, Pangeran Fatahillah berhasil merebut Bandar Kalapa atau Pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan Kerajaan Pajajaran pada tahun 1527. Dan, diduga, tepatnya kemenangan Fatahillah itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Jakarta. Karena, pada waktu itu, konon Bandar Kalapa diubah namanya menjadi Jayakarta oleh Fatahillah, yang kemudian juga mendirikan Keraton Jayakarta, yang letaknya kira-kira di tempat Hotel Batavia sekarang berdiri, Jalan Kali Besar Barat.

“Jadi, pada masa itu, sebenarnya Pelabuhan Sunda Kelapa berada dalam kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Memang, pada tahun 1522, Kerajaan Pajajaran menjalin kerja sama perdagangan dan keamanan Bandar Kalapa dengan bangsa Portugis, yang diikat dalam Perjanjian Padrao. Portugis diberikan hak untuk mendirikan kantor di sekitar Bandar Kalapa serta membeli hasil pertanian dan perkebunan dari warga Pajajaran, terutama lada. Ketika itu, Sunda Kelapa adalah bandar yang sangat ramai dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi, karena sering disinggahi kapal-kapal dari berbagai negara di dunia. Salah satu komoditas utama yang diperdagangkan di Bandar Kalapa adalah air bersih. Syahbandarnya sendiri ketika itu adalah seorang yang dijuluki dengan nama Wak Item, yang berasal dari Kerajaan Tanjung Jaya, kerajaan kecil di bawah naungan Kerajaan Pajajaran.,” tutur Yahya.

Sementara itu, pada abad ke-16 tersebut, kerajaan-kerajaan Islam di Jawa juga mulai berkembang. Maka, Kesultanan Demak, Cirebon, dan Banten kemudian mengutus Pangeran Fatahillah untuk merebut Banda Kalapa dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Seperti telah disinggung, Pangeran Fatahillah pun berhasil menguasai Bandar Kalapa dengan mengusir pasukan Portugis dari sana plus Wak Item beserta anak buahnya. “Ada yang bilang, Fatahillah kemudian pada 22 Juni 1527 memberi nama daerah kekuasaannya itu dengan Jayakarta, yang artinya ‘kota yang berjaya’ dan ada juga yang mengartikan sebagai ‘kemenangan yang nyata’, yang dihubungkan dengan ayat Alquran. Tapi, sebenarnya, penaklukan oleh Fatahillah itu sejenis penjajah juga. Jadi, kalau kita merayakan Hari Jadi Kota Jakarta pada tanggal 22 Juni, itu sebenarnya merayakan Hari Penjajahan Jakarta oleh Fatahillah,” ungkap Yahya.

Budayawan dan politisi asal Betawi, Ridwan Saidi, punya pendapat yang senada dengan Yahya. Dalam sebuah acara diskusi beberpa tahun lalu, Ridwan sangat berang dengan upaya sebagian masyarakat Jakarta yang mengeluka-elukan Pangeran Fatahillah sebagai pahlawan, sampai ada yang mengusulkan agar dibuatkan patungnya untuk menghormatinya. “Fatahillah itu menyerbu orang Betawi, membakar rumah dan membuat rakyat Betawi sengsara. Bagaimana mungkin bisa dijadikan pahlawan?” ungkap Ridwan, yang juga mengecam penentuan tanggal 22 Juni 1527 sebagai Hari Jadi Kota Jakarta.

Sejarawan yang juga pastor Jesuit asal Jerman, Adolf Heuken, pun menganggap tanggal 22 Juni 1527 sebagai Hari Jadi Kota Jakarta hanyalah dongeng belaka. Karena, katanya, seperti ditulis dalam sebuah majalah, tak ada dokumen yang menyebutkan nama Jayakarta. Bahkan, saat VOC berkuasa, 50 tahun setelah tanggal tersebut, Bandar Kalapa tetap disebut seperti itu atau Sunda Kelapa. “Fatahillah adalah orang Arab. Jelaslah, tidak mungkin apabila orang Arab memberi nama sesuatu dengan bahasa Sansekerta. Jayakarta adalah nama Sansekerta. Jadi, itu semua dongeng supaya Jakarta memiliki hari ulang tahun,” ungkapnya. Dalam kesempatan berbeda, seperti dikutip dari Vivanews.com, ia juga mengatakan dirinya tidak mau menceritakan dongeng sebagai sejarah. “Maka, saya cari fakta sejarah,” ujarnya. Kendati demikian, Heuken juga mengatakan bahwa dirinya tidak antidongeng. Yang penting, katanya, kita harus jujur: dongeng adalah dongeng dan dongeng berbeda dengan sejarah. “Sejarah itu perlu bukti nyata yang jelas, bukan mitos yang tidak diketahui kebenarannya. Apakah penyerbuan pasukan Fatahillah adalah awal lahir kota Jakarta? Perlu ada pembuktian,” kata Heuken dalam sebuah diskusi di Jakarta.

Beberapa sejarawan memang berpendapat penokohan Fatahillah sangat tidak tepat untuk Jakarta, karena sosok itu juga masih gelap. Ada yang menafsirkan Fatahillah sebagai orang yang sama dengan Sunan Gunung Jati, salah seorang wali dari sembilan wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa. “Ini jelas salah karena mereka adalah dua orang yang benar-benar berbeda,” kata J.J. Rizal, sejarawan lulusan Universitas Indonesia, dalam sebuah diskusi tentang hari lahir Jakarta, beberapa tahun silam. Toh, Rizal bisa memahami jika sebuah kota memerlukan penentuan tanggal lahir sebagai penanda. Menurut dia, penentuan tanggal lahir suatu kota lebih banyak dilakukan dalam pendekatan politis ketimbang sejarah.

Nama Jakarta sendiri ditetapkan oleh pemerintahan militer Jepang pada 8 Desember 1942, sebagai pengganti nama Batavia yang dipakai oleh pemerintah kolonial Belanda. Dan, penentuan 22 Juni sebagai hari lahir Kota Jakarta dilakukan pada medio tahun 1950-an. Hari lahir Jakarta mulai dirayakan pada tahun 1957, ketika Jakarta dipimpin oleh Walikota Sudiro.

Pada tahun 1950-an itu, seperti diungkap budayawan cum wartawan Alwi Shahab dalam bukunya, Batavia Kota Hantu (2010), Jakarta sudah dijubeli penduduk. Kalau penduduk Jakarta pada masa perang hanya setengah juta jiwa, penduduknya pada tahun 1950-an sudah mencapai satu juta orang. Padahal, fasilitas kota ketika itu amburadul akibat pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan.

Jakarta
juga menjadi kota yang sangat sibuk menjelang tahun 1960-an. Ada banyak pertemuan internasional dan kunjungan kenegaraan ke kota ini. Juga pesta-pesta besar dan pertandingan-pertandingan olahraga internasional, apalagi Indonesia kemudian ditunjuk sebagai tuan rumah Asian Games IV pada tahun 1962. Dan, tempat penyelenggaraannya di mana lagi kalau bukan di ibu kota Republik Indonesia, Jakarta.

Maka, Bung Karno sebagai presiden pun mengomandoi untuk melakukan pembenahan Kota Jakarta. Sang Presiden melebarkan Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman dan memindahkan pusat kota ke arah selatan, setelah sebelumnya pada zaman Belanda berada di sekitar Jalan Juanda, Lapangan Banteng, dan Monas sekarang. “Penyelenggaraan Asian Games pada masa Soekarno mengakibatkan sebuah ledakan pembangunan di kedua jalan tersebut,” tulis Alwi Shahab. Apalagi, pada tahun 1963, Indonesia juga menyelenggarakan Games of the New Emerging Forces (Ganefo), untuk menandingi keberadaan Komite Olimpiade Internasional yang dianggap sebagai perjangan tangan-tangan negara-negara kolonialis dan imperialis baru. Bung Karno ingin membanggakan Jakarta sebagai kota perjuangan bagi negara-negara yang anti-neo kolonialisme dan imperialisme.

Ada
pembangunan Hotel Indonesia berlantai 14. Juga pembangunan Jembatan Semanggi dan Kompleks Olahraga Senayan, termasuk Gelanggang Olahraga Bung Karno, yang pada masa itu merupakan stadion sepakbola terbesar se-dunia. Lalu, pembangunan masjid terbesar di Asia juga dimulai, yakni Masjid Istiqlal; pembuatan Jalan Raya By Pass, pembangunan planetarium, dan toko serba-ada Sarinah. Bahkan, Bung Karno membongkar rumahnya sendiri di Jalan Penganggsaan Timur 56 (Jalan Proklamasi sekarang), yang merupakan bangunan bersejarah karena merupakan tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, untuk dibangun Gedung Pola, kantor untuk lembaga semacam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sekarang.

Bung Karno juga membangun gedung pencakar langit tertinggi di Asia di masanya, yang berlantai 29, yakni Wisma Nusantara. Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia dan Patung Pemuda di Senayan juga dibangun pada masa itu. Begitu pula dengan Monumen Nasional (Monas), yang dibangun untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah di atas lahan yang luasnya sekitar 100 hektare.

Lapangan tempat berdirinya Monas itu sendiri telah dibangun sejak masa penjajahan Belanda, tepatnya pada awal abad ke-19, oleh Gubernur Jenderal William Daendels. Pada masa Daendels ini, lapangan tersebut merupakan alun-alun dan taman terbesar di dunia. Belanda menamakan alun-alun ini dengan nama Koningsplein atau Lapangan Raja. Namun, Daendels yang lebih loyal kepada Prancis memberi nama alun-alun itu Champ de Mars.

Prancis? Ya. Karena, ketika Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Belanda sendiri sedang berada di bawah kekuasaan Prancis. Raja Belanda waktu itu adalah Lodewijk Bonaparte, adik Kaisar Napoleon Bonaparte. Jadi, kalau dipikir-pikir, lucu juga negeri kita, ya: setelah dijajah oleh perusahaan dagang (bukan negara), lalu dijajah oleh negara yang juga sedang terjajah.

Daendels ini juga yang memindahkan ibu kota Hindia Belanda dari wilayah yang sekarang ini berada di sekitar Pasar Ikan dan Pelabuhan Sunda Kelapa ke kawasan sekitar Monas itu, yang disebut Weltevreden, yang jaraknya hanya belasan kilometer dari Kota Tua. Dia menjadikan kawasan yang sekarang Jalan Veteran (Rijswijk) dan Jalan Juanda (Noordwijk) sebagai daerah pertokoan untuk warga Eropa. Daendles pun membangu Pasar Baru sebagai pasar barang impor untuk produk-produk dari Eropa. Di kawasan Weltevreden kemudian juga tumbuh hotel-hotel bagus dan tempat hiburan bagi warga Eropa, antara lain Gedung Harmoni—yang sayangnya gedung ini pada masa Orde Baru telah dihancurkan.

Pada masa VOC berkuasa, Jakarta atau Batavia dibangun dengan meniru kota-kota yang ada di Belanda. Wajar saja jika kemudian ada kanal (grachten) atau kali buatan yang mengalir di dalam kota, sehingga Batavia sempat dijuluki sebagai Venesia dari Timur. Dan, kanal-kanal itu tidak hanya dijadikan sebagai prasarana transportasi, tapi juga sebagai tempat plesir para pejabat VOC dan orang-orang kaya Batavia. Mereka menggunakan perahu yang dihias, berplesir pada sore hari menyusuri kota, seperti terungkap dalam buku Mona Lohanda, Sejarah para Pembesar Mengatur Batavia (2007). Karena itu, pada tahun 1630 sudah ada larangan untuk membungan sampah atau kotoran ke kali yang mengalir di dalam kota. Bagi yang melanggar didenda 6 riksdaalder dan kemudian dinaikkan menjadi 25 riksdaalder karena banyak yang tak peduli dengan larangan itu.

Bahkan di kali Ciliwung yang mengalir di sekitar Kota Tua, penduduknya juga tidak boleh buang air besar sembarang waktu, seperti diungkap oleh Alwi Shahab dalam bukunya itu. Mereka baru boleh membuang "hajat" mulai pukul 22.00 sampai menjelang pagi. Di luar waktu tersebut, warga Batavia di Kota Tua melakukannya di ember atau di pispot, yang kemudian isinya dibuang ke Sungai Ciliwung pada waktu yang telah ditentukan tersebut. Itulah sebabnya, gedung-gedung yang dibangun VOC di Batavia pada pertengahan abad ke-18, termasuk yang sekarang menjadi gedung Museum Sejarah Jakarta, tidak memiliki toilet. Toilet baru dibangun kemudian.

Namun, anehnya (kalau dilihat dari kacamata sekarang), banyak orang Belanda yang tinggal di Kota Tua pada masa itu sering meminum air dari Sungai Ciliwung tanpa dimasak terlebih dahulu, hanya disaring. Akibatnya, mereka pun menjadi mudah terserang penyakit, seperti disentri dan diare, yang kemudian menjadi wabah yang menelan banyak korban jiwa di Kota Tua. Bahkan, walau air begitu banyak di Batavia, banyak orang Belanda yang segan mandi. Sampai-sampai, pada tahun 1775, gubernur jenderal harus mengeluarkan surat perintah kepada para serdadu Belanda untuk mandi setidaknya seminggu sekali. Aje gile…. Pedje

Monday, August 23, 2010

Man Jadda wajada!

Lewat novelnya, A. Fuadi berhasil membuat banyak orang ingin tahu lebih dalam tentang dunia pesantren sebagai pusat keunggulan, termasuk dari kalangan non-muslim. Sebagian besar peserta eve’s Book Club pada Desember lalu pun bersikap seperti itu.


Rasanya aneh kalau eve’s Book Club tak membicarakan novel-memoar Negeri 5 Menara karya A. Fuadi. Karena, novel karya anak negeri ini dalam beberapa bulan terakhir banyak dibicarakan berbagai kalangan. Fenomenanya hampir menyerupai novel-memoar Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.

Seperti halnya Laskar Pelangi, secara kuantitas, Negeri 5 Menara memang cukup mencengangkan untuk ukuran penerbitan buku di Indonesia. Hanya kurang dari tiga bulan, novel-memoar terbitan Gramedia Pustaka Utama ini telah mengalami tiga kali cetak ulang, dengan jumlah penjualan lebih dari 50 ribu eksemplar. Karena itu, kami pun sedikit mengubah agenda eve’s Book Club yang telah dijadwalkan semula, agar bisa secepatnya mengangkat Negeri 5 Menara sebagai bahan perbincangan. Apalagi, pihak penerbit telah memberikan lampu hijau. Begitu pula A. Fuadi sang penulis. Maka, pada 8 Desember lalu, perbincangan mengenai Negeri 5 Menara pun akhirnya terlaksana di sebuah restoran asyik di Jalan Cikini Raya No. 33, Jakarta Pusat, Vietopia, yang memiliki menu khas Viet Nam. Acara ini kembali dipandu oleh Syahmedi Dean dan tentu saja A. Fuadi hadir, lengkap dengan beberapa buku yang menjadi ‘panduan’-nya ketika menulis Negeri 5 Menara—karena ini novel pertamanya—dan juga beberapa buku tulis berisi catatan pelajaran selama ia menimba ilmu di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

Ya, novel-memoar ini memang bersandar pada pengalaman Fuadi dan kawan-kawannya selama menjadi santri di pondok pesantren tersebut. Sosok Fuadi dalam novel ini dipersonafikasikan ke dalam tokoh bernama Alif. Alkisah, setelah lulus madarasah tsanawiyah (setingkat SMP), Alif berkeinginan untuk meneruskan studinya ke sekolah menengah atas umum. Alif yang cerdas ingin sekali seperti B.J. Habibie, ilmuwan Indonesia yang punya reputasi internasional. Namun, sang ibu punya kehendak lain.

Ibunya ingin Alif masuk pesantren. Karena, sejak masih di dalam kandungan, ibunya berharap Alif dapat menjadi ahli agama yang cerdas seperti ulama kharismatik asal daerah mereka, Buya Hamka. Bagi ibunya, justru Alif yang cerdas harus masuk pesantren, agar orang-orang yang berkecimpung dalam dunia dakwah Islam adalah orang-orang yang terbaik, bukan orang-orang yang terpaksa masuk pesantren karena kemampuan intelektualnya kurang memadai.

Awalnya, Alif ngambek. Namun, akhirnya ia menyetujui keinginan ibunya tersebut dengan satu syarat: lokasi pesantren yang akan ia masuki bukan di ranah Minang, tapi di Pulau Jawa. Dan, sesuai "arahan" pamannya, Alif mendaftar di Pondok Madani, yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur.

Maka, merantaulah Alif ke Jawa, untuk meneruskan sekolah. Di Pondok Madani, ia bersahabat dengan Baso dari Gowa (Sulwesi Selatan), Raja dari Medan (Sumatra Utara), Dulmajid dari Sumenep (Pulau Madura, Jawa Timur), Atang dari Bandung (Jawa Barat), dan Said dari Surabaya (Jawa Timur). Menjelang magrib, mereka kerap berkumpul di bawah menara masjid. Biasanya, di bawah menara itu, mereka saling membicarakan mimpi dan harapan mereka masing-masing. Karena kebiasaan inilah mereka dijuluki oleh kawan-kawannya sebagai Sahibul Menara, ‘orang yang memiliki menara’. Dan, seiring berjalannya waktu, berkat kesungguhan mereka dalam belajar, masing-masing anggota Sahibul Menara dapat meraih mimpi-mimpi mereka. Bahkan, Baso yang berhenti sekolah di tengah jalan karena harus merawat neneknya akhirnya dapat berkuliah di Universitas Al Azhar, Kairo, seperti yang ia cita-citakan.

“Saya berterima kasih kepada Mas Fuadi. Karena, setelah membaca novel ini, anak saya yang tadinya ingin berhenti dari pondok pesantren menjadi semangat lagi,” kata seorang peserta eve’s Book Club sore itu. Dalam acara kali ini, peserta diskusi memang tak seperti biasanya, lebih banyak, ada lebih dari 40 orang. Sebagian dari mereka adalah wajah-wajah baru, yang baru pertama kali mengikuti acara eve’s Book Club.

Memang, kalau dilihat dari alurnya, novel-memoar ini berderap lambat. Penyebabnya antara lain karena hubungan kausalitas dari berbagai peristiwa yang ada tak begitu terasa. Alur seolah dibangun dari rangkaian fragmen peristiwa yang sebagian besar berdiri sendiri. Ini diakui oleh Fuadi. “Terus terang, walau saya mantan wartawan Tempo, saya belum terbiasa menulis panjang. Novel ini sendiri adalah novel pertama saya, yang awalnya saya maksudkan sebagai hadiah ulang tahun istri saya. Saya juga berterima kasih kepada istri saya, Yayi, yang telah menjadi editor pertama novel saya ini. Dialah yang memperbaiki dan menyunting novel ini sebelum ditawarkan ke penerbit,” ujar Fuadi.

Kebetulan, istri Fuadi ikut hadir pada kesempatan itu. Moderator pun meminta Yayi, panggilan istri Fuadi, untuk memberikan testimoni bagaimana bentuk awal novel karya suaminya tersebut. “Wah, awalnya kacau sekali, ha-ha-ha…. Saya harus kerja keras untuk menyuntingnya,” tutur Yayi sambil tersenyum. Sama seperti sang suami, Yayi juga mantan wartawan majalah Tempo.

Namun, terlepas dari itu, novel-memoar ini sarat dengan kisah inspiratif dan nilai-nilai moral, yang diikat oleh satu pepatah Arab: man jadda wajada, ‘siapa yang bersungguh- sungguh akan berhasil’. Keyakinan para tokohnya atas kebenaran pepatah itulah yang menjadi daya tarik utama novel ini. Dengan keyakinan tersebut, mereka berjuang untuk mewujudkan mimpi masing-masing, bahkan mimpi yang tampaknya muskil sekalipun. Daya tarik lainnya adalah dunia pesantren itu sendiri, yang memang sangat jarang diangkat oleh para penulis fiksi di Tanah Air. Tak mengherankan jika banyak peserta yang juga bertanya soal pesantren kepada Fuadi, selain hal-hal yang berkenaan langsung dengan novel Negeri 5 Menara. “Sebelum membaca novel ini, saya kira pesantren itu hanya berisi orang-orang yang membutuhkan pertolongan untuk mengatasi persoalan mereka, seperti masalah kecanduan. Tapi, ternyata di Gontor tidak seperti itu, ya,” kata Atika, seorang peserta, dengan nada takjub.

Menjawab keheranan itu, Fuadi pun lalu menjelaskan bagaimana proses penerimaan santri baru di Pondok Modern Gontor. “Untuk masuk, ujiannya berat. Jadi, tidak mungkin calon santri yang tidak belajar atau kurang belajar dapat lulus masuk ke Gontor. Waktu saya saja, dari sekitar tiga ribu calon santri yang mendaftar, hanya sekitar empat ratus orang yang diterima,” ungkap Fuadi. Setelah masuk pun, seperti terungkap dalam novel tersebut, dibutuhkan ketahanan mental dan disiplin pribadi yang tinggi untuk bisa mengikuti proses belajar di sana. Rencananya, Fuadi akan menulis dua novel lanjutan dari Negeri 5 Menara. “Kalau novel pertama ini diikat oleh man jadda wajada, rencananya novel kedua akan bersandar pada ungkapan ‘siapa yang bersabar akan beruntung’ dan yang ketiga diikat oleh ‘siapa yang memulai perjalanan akan sampai pada tujuan’,” ungkap Fuadi.

Diskusi eve’s Book Club kali ini pun ditutup dengan acara menyantap kudapan lezat yang disediakan oleh Vietopia. Dan, tentu saja, ada acara penandatanganan buku oleh sang penulis. Plus kehebohan para peserta untuk bisa berfoto bersama A. Fuadi. Man jadda wajada! Pedje

Sunday, August 22, 2010

Marissa Nasution Mabuk Berjalan

Ia berbicara tentang uang, pendidikan seks, baby booming, dan kekasihnya.

Inilah potret industri sinetron kita. Marissa Nasution atau lebih dikenal sebagai VJ Marissa (karena pernah menjadi video jockey di MTV) dikontrak untuk bermain di sebuah sinetron. Syuting sudah dilakukan. Tapi, kemudian ada peristiwa Manohara yang telah kita ketahui bersama. Dan, Marissa kena "getahnya". “Suatu pagi, ketika bangun tidur, saya disodori skenario sinetron 'Manohara'. Katanya, peran saya di sinetron yang sedang saya jalani syutingnya itu dialihkan ke sinetron 'Manohara' yang akan segera ditayangkan. Karena tak ada pilihan lain, saya terima saja,” tutur perempuan yang lahir pada 8 Februari 1986 ini.

Padahal, akunya, dalam memilih peran untuk sinetron dan film layar lebar, dia termasuk selektif. Tak sembarang tawaran akan ia terima. “Saya akan membaca dulu ceritanya. Saya juga tak akan main sinetron atau film horor, karena jelek sekali karmanya,” ujarnya.

Karma? Ya, Marissa percaya karma. Karena itulah, menurut dia, kalau orang ingin menjadi pribadi yang baik, jadilah pribadi yang baik karena kita menginginkannya, bukan karena ada dorongan dari lingkungan, agama, atau karena takut terkena konsekuensi sosial. “Kesadaran seperti itu muncul dalam diri saya sejak saya berusia 16 tahun. Saya sendiri besar di Jerman. Dan, keluarga saya open minded. Orang tua saya sangat mendorong anak-anaknya untuk mempelajari kehidupan dan mendapat pengalaman hidup sendiri. Jika anak-anaknya melakukan kesalahan, ayah saya akan mengatakan, ‘Kamu memang salah. Tapi, dengan kesalahan itu kamu akan menjadi pribadi yang lebih baik. Yang penting kamu menyadari bahwa apa yang kamu lakukan itu salah, tahu kesalahan kamu apa’,” kata Marissa.

Sebagai manusia, Marissa tentu saja pernah berbuat salah. “Saya pasti pernah menyakiti orang, teman-teman, atau ketika suatu hubungan yang saya jalin bersama seseorang terpaksa putus. Tapi, untuk hubungan yang putus tersebut sebenarnya saya yang lebih sakit daripada orang itu,” tutur Marissa.

Soal sinetron 'Manohara' itu, Marissa tak mau berkomentar lebih jauh. “Itu sudah takdir saya,” ungkapnya. Begitu pula saat diminta pendapatnya tentang kasus Manohara. “No comment, daripada saya emosi lagi,” kata pemegang paspor Jerman ini.

Marissa sendiri mengaku lebih suka bermain untuk film layar lebar ketimbang main di sinetron. “Karena, di film layar lebar, karakternya lebih berkembang. Di sinetron Indonesia kan karakter-karakternya tetap begitu saja walau sudah belasan episode, hanya berkisar antagonis dan protagonis. Ceritanya juga begitu-begitu saja karena katanya pasar Indonesia memang menginginkan yang seperti itu. Kalau ada cerita yang berbeda, pasar akan menolak,” tuturnya.

Toh, itu bukan berarti Marissa menampik untuk bermain sinetron lagi. “Pada dasarnya, saya ini gila kerja. Kan, dengan ikut sinetron, saya menjadi punya kesibukan setiap hari,” ungkap Marissa. Pada tahun 2010 ini, Marissa sudah menerima tawaran untuk bermain di dua sinetron dan dua film layar lebar. Namun, ketika ditemui pertengahan Januari lalu, ia belum mulai syuting.

Marissa sendiri tak pernah belajar akting sebelumnya, apalagi lewat pendidikan formal. Kemampuan aktingnya lebih mengandalkan bakat alamiah yang ada dalam dirinya. Karirnya di dunia hiburan Indonesia pun boleh dibilang tidak sengaja.

“Saya datang ke Indonesia pada awal tahun 2006, sendiri saja, hanya berbekal satu koper. Keluarga saya tinggal di Jerman. Saya ke Indonesia lebih untuk mencari pengalaman dan mengenal lebih jauh negeri ibu saya. Jadi, tidak bermaksud untuk mencari pekerjaan,” kata sulung dari tiga bersaudara ini. Ayahnya memang dari Jerman dan ibunya orang Mandailing, Sumatra Utara, bermarga Nasution—“Walau tidak lazim, saya pakai marga ibu saya karena orang biasanya ribet kalau menyebut nama lengkap saya, yang sebagian memakai nama ayah saya,” katanya.

Suatu hari, ia ditawari oleh seorang desainer papan atas Indonesia untuk menjadi model. “Maka, saya pun mencobanya. Tapi, karena badan saya besar, banyak baju desainer Indonesia yang tidak pas saya kenakan. Akhirnya, setelah beberapa lama, saya meninggalkan dunia model. Dan, kemudian ditawari untuk menjadi VJ MTV. Saya dari dulu memang orangnya realistis. Sejak kecil pun saya tak pernah punya keinginan untuk berkarir di dunia hiburan,” ungkap sulung dari tiga bersaudara ini.

Soal gila kerja itu bukan hanya di Indonesia. Waktu masih studi di Jerman, Marissa juga bekerja paro waktu sepulang sekolah atau kuliah. “Saya bekerja dari usia 14 tahun. Terakhir, saya bekerja di tiga tempat: di restoran, di lounge, dan di butik baju. Saya bekerja tujuh hari dalam seminggu. Saya memang diajarkan oleh orang tua saya untuk menghargai uang. Tapi, ayah saya selalu mengingatkan bahwa uang bukanlah segalanya. Itu merupakan pengalaman yang berharga. Sekarang saya menjadi tahu nilai uang sesungguhnya. Saya kira remaja memang harus diajarkan seperti itu. Kalau saya lihat, di Jakarta, banyak sekali remaja yang tidak tahu nilai uang dan akhirnya tidak menghargai uang,” kata perempuan yang pernah masuk daftar perempuan paling seksi versi sebuah majalah pria ini.

Seksi sendiri menurut Marissa bisa karena bermacam-macam: bisa karena cara bicara seseorang, penampilannya, caranya berjalan, ketika tersenyum, dan sebagainya. “Namun, banyak yang mendefinisikan seksi itu sekadar berpayudara besar atau memakai rok pendek. Menurut saya, yang seperti itu seksi murahan. Padahal, orang bisa seksi tanpa memperlihatkan bagian tubuhnya. Ini yang disebut sebagai seksi mahal. Seksi itu kan sebenarnya hanya ada dalam imajinasi seseorang. Kadang kan kita melihat seseorang seksi, tapi kita sendiri tak tahu kenapa,” ujar perempuan yang tak menganggap dirinya seksi ini. Marissa memberi contoh. Katanya, walau George Cloney bukan tipe pria yang ia sukai, Marissa menganggap aktor Hollywood itu seksi.

Sementara itu, ketika ditanyak soal seks, Marissa berkomentar bahwa ia ngeri melihat remaja di Jakarta, yang umumnya masih sekolah atau kuliah. “Mereka umumnya tidak tahu apa itu seks. Tiba-tiba, di usia 16 tahun, misalnya, mereka hamil dan mereka tidak tahu apa yang terjadi,” ungkapnya.

Itu terjadi karena, di Indonesia, seks masih menjadi black issue, tabu. “Padahal, remaja kan memang sudah dari sananya ingin tahu ini-itu. Tapi, untuk bertanya ke orang tua atau ke guru, mereka merasa tak enak atau malu,” tutur Marissa.

Lalu, bagaimana mengatasinya? “Harus ada inisiatif dari orang tua dan guru untuk memberikan pendidikan seks kepada mereka. Karena, edukasi seks itu penting sekali, terutama bagi remaja 14 sampai 15 tahun. Kalau kurang atau tidak mendapat pendidikan seks, bukan hanya kehamilan yang tidak dikehendaki yang akan datang, tapi juga bermacam penyakit dan virus berbahaya, seperti hepatitis dan HIV/AIDS. Kan, pastinya tidak ada orang tua yang ingin anaknya terkena penyakit yang berbahaya itu,” katanya. Marissa berharap, pendidikan seks diajarkan dengan benar di seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Apalagi, banyak remaja Indonesia, karena persoalan ekonomi, tak memiliki akses informasi lain selain informasi yang didapatkan dari sekolah. “Kalau remaja kota-kota besar dan mampu kan bisa mengakses pengetahuan itu dari internet,” ujar Marissa.

Tentu saja, yang dimaksud dengan pendidikan seks itu bukan mengajarkan berbagai macam cara making love seperti Kamasutra. “Tapi, lebih kepada pengetahuan organ-organ reproduksi, cara bekerjanya, dan penyakit-penyakit yang bisa ditumbulkan dari hubungan seks, berikut cara pencegahannya. Saya sendiri waktu bersekolah di Jerman mendapat pendidikan seperti itu di kelas 6 atau kelas 7. Dan, saya mendapat pelajaran itu juga dari orang tua. Pendidikan seks menurut saya penting sekali,” ujarnya.

Kurangnya pendidikan seks itu juga, menurut Marissa, yang membuat banyak negara di Asia Tenggara mengalami baby booming. “Kan telah terjadi ledakan pendudukan yang luar biasa di Asia Tenggara belakangan ini. Dan, di antara bayi yang lahir itu banyak sekali berasal dari ibu-ibu remaja,” tutur Marissa dengan nada prihatin.

Marissa sendiri, meski sudah berusia cukup matang untuk melahirkan dan berumah tangga, belum punya rencana kapan untuk menikah. Ia kini tengah menjalin hubungan asmara dengan Rafael, yang telah lama dikenalnya. “Saya benar-benar jatuh cinta sama dia. Bagi saya, dia tidak ada kekurangannya. Mungkin, di mata orang lain, Rafael punya banyak kekurang. Tapi, di mata saya, kekurangan-kekurangan itu justru saya lihat sebagai kelebihannya,” katanya. Tampaknya perempuan cantik ini benar-benar sedang mabuk, mabuk cinta maksudnya. Meminjam istilah penyair Sapardi Djoko Damono dalam salah satu puisinya, betapa parah cintanya, “mabuk berjalan di antara jerit bunga-bunga rekah….” Wah! Pedje

Saturday, August 21, 2010

Papua nan Malang…

Kesaksian harus diberikan. Keterbungkaman harus disuarakan. Itulah yang mendorong Anindita S. Thayf untuk menulis novel Tanah Tabu, yang dibicarakan pada acara eve’s Book Club bulan lalu.


Hampir bisa dipastikan, sebagian dari kita yang tinggal di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan sekitarnya membayangkan betapa terasa jauhnya Papua, wilayah paling timur dari republik ini. Apalagi, informasi yang lebih sering diterima oleh orang yang tinggal di Pulau Jawa khususnya tentang Papua lebih banyak berkenaan dengan destinasi wisata. Itu pun kerap dengan kacamata eksotisme.

Maka, semakin terasa jauhlah jarak Papua. Akibatnya, kalau ada informasi atau berita lain tentang Papua, biasanya hanya disimak sepintas lalu. Padahal, sejak zaman kolonial Belanda sampai kini, air mata penderitaan masyarakat Papua masih terus mengalir karena berbagai sebab, terutama karena masih merajalelanya ketidakadilan di sana dan tingkat kemakmuran yang rendah.

Kesaksian pun harus diberikan. Keterbungkaman mesti disuarakan, agar orang-orang Indonesia yang lain tergugah untuk lebih memperhatikan nasib saudara sebangsanya di tanah Papua. Kesadaran seperti itulah yang mendorong seorang perempuan bernama Anindita S. Thayf untuk menulis sebuah novel yang berkisah tentang kehidupan sebagian masyarakat Papua: Tanah Tabu, yang pertama kali diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada tahun lalu. Padahal, Anindita mengaku belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya ke tanah Papua.

Sebelum diterbitkan sebagai buku, novel ini diikutkan dulu pada "Lomba Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta" tahun 2008 dan berhasil menjadi pemenangnya. Itulah sebabnya, kami tertarik untuk mengundang Anindita dan membicarakan novelnya pada eve’s Book Club yang diselenggarakan Maret lalu. Acaranya digelar di restoran Bibliotheque, Jakarta, dengan moderator Nova Rianti Yusuf, seorang dokter yang juga penulis dan sejak beberapa waktu lalu menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Walau Tanah Tabu merupakan novel pertama Anindita, secara literer dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, cara Anindita mengolah peristiwa dan pesan yang ingin disampaikan lewat tulisan terasa pas dan memikat. Buktinya, ya, itu tadi: memenangkan lomba penulisan novel. Anindita menggunakan tiga sudut pandangan penceritaan dalam novelnya ini, yakni sudut pandang tokoh aku, Pum, dan Kwee. Dua yang belakangan itu adalah anjing dan babi.

Begitu banyak persoalan yang diungkap dalam novel ini. Papua yang kaya dengan sumber daya alam ternyata hanya seperti sapi perahan bagi kaum pendatang, yang sedikit sekali memberikan "susu" kepada penduduk aslinya. Sebagian besar penduduk asli Papua masih hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan serta terus terpinggirkan oleh derap lalu-lintas kaum pendatang yang mengeruk rezeki di sana. Ketika ada penduduk asli yang mencoba mempertanyakan ketidakdilan tersebut, orang itu malah dianggap sebagai pemberontak dan mengalami intimidasi yang tak jarang berakhir pada kekerasan secara fisik, seperti dialami oleh nenek tokoh aku, Mabel.

Bisa dikatakan, Mabel adalah pusat pengisahan dalam novel ini. Ia digambarkan sebagai perempuan yang memiliki tubuh sebesar gunung dan mampu mematahkan leher orang dewasa. Walau sudah tua, tenaganya masih luar biasa. Perempuan berani ini dilahirkan di Lembah Baliem pada masa penjajah Belanda masih bercokol di sana. Mabel sendiri kemudian diangkat anak oleh pasangan keluarga Belanda, yang kemudian membawanya ke luar Lembah Baliem dan menjadikan dirinya terbebas dari buta aksara, walau tidak mengenyam pendidikan formal di sekolah.

Mabel hidup mandiri ketika orang tua angkatnya hengkang ke Belanda, karena Papua masuk ke dalam wilayah Indonesia. Mabel kemudian menikah, namun suaminya meninggal dunia karena terjadi perang suku. Ia menikah lagi, tapi suami keduanya pergi setelah para penambang emas berdatangan. Selanjutnya, Mabel hanya hidup ditemani anaknya dan sahabat karibnya, Johanis dan Pum. Untuk mempertahankan hidupnya, ia berladang.

Namun, suatu hari, Mabel ditangkap orang-orang berseragam dan bersenjata karena dituduh melindungi kaum pemberontak. Ia disikan dan mengalami perlakuan tidak manusiawi lainnya, tapi kemudian dilepaskan karena tak ada bukti-bukti yang cukup. Alih-alih menjadi ciut nyalinya, penangkapan dan penyiksaan itu malah membuat Mabel menjadi perempaun kritis dan berani. Ia telah berubah menjadi sosok perempuan yang kritis dan tak takut untuk menggugat ketidakadilan.

Ia berjuang untuk melawan ketidakadilan yang diciptakan para pengelola tambah emas, pihak militer yang tak sungkan menggunakan kekerasan kepada rakyat jelata, dan para suami yang suka memukuli para istri. Mabel adalah sosok pejuang yang membela kaum tertindas.

“Saya menulis Tanah Tabu ini tidak sengaja menemukan temanya. Saya sebenarnya hendak menulis buku nonfiksi untuk anak-anak tentang kekayaan alam di Indonesia. Nah, di tengah proses penelitiannya, proses mencari bahan tentang kekayaan yang ada di Tanah Papua, saya menemukan kenyataan yang tidak diketahui banyak orang. Orang tahunya Papua itu sangat indah alamnya, eksostis. Tapi, ternyata di balik semua itu ada kenyataan yang memiriskan hati dan kehidupan di sana tragis,” kata Anindita membuka pembicaraan mengenai novelnya.

Tadinya, Anindita juga mengira, apa yang tidak diketahui banyak orang itu hanya kenyataan kecil saja. “Tapi, begitu saya makin menggali berbagai informasi tentang Papua dan penduduknya, saya melihat begitu banyak kenyataan tragis yang seakan-aakan ada yang ingin menutupinya. Saya pun menjadi bimbang, apakah saya akan meneruskan penulisan tentang kekayaan alam Indonesia atau menuliskan kehidupan masyarakat Papua yang kurang diekspose itu. Saya pun memutuskan untuk menulis yang terakhir.. Karena, saya berpikir, saya sudah mengetahui berbagai informasi mengenaskan tentang Papua. Kalau saya pura-pura tidak melihatnya, saya merasa seperti sedang menipu diri sendiri,” ungkap sarjana teknik elektro ini.

Ia mengaku, dirinya menulis itu benar-benar didorong atas keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat Papua. “Saya ingin apa yang saya ketahui dapat tersampaikan kepada pembaca. Jadi, saya tak memikirkan bahwa dari novel ini saya kelak akan terkenal atau akan mendapatkan penghargaan dan sebagainya,” kata penulis yang tinggal bersama suaminya di Yogyakarta ini.

Riset untuk penulisan novel Tanah Tabu dilakukan Anindita selama dua tahun. “Risetnya hanya riset pustaka. Saya belum pernah ke Papua, karena terbentur masalah dana. Tapi, saya maju saja terus. Jadi, selama dua tahun saya mengumpulkan buku, mengkliping berita-berita koran tentang Papua, dan browsing di internet serta mengikuti mailing list orang-orang asli Papua sambil belajar bahasa Papua,” katanya.

Baik novelnya sendiri maupun proses penulisannya tentu saja memancing animo para peserta untuk bertanya dan menggali informasi lebih jauh dari Anindita, yang datang ke Jakarta ditemani oleh suaminya. Hampir semua peserta mengacungkan jari tangan begitu moderator membuka sesi tanya-jawab. Bahkan, moderator sendiri ikut mengajukan beberapa pertanyaan.

“Berapa lama, ya, Mbak, proses penulisannya itu sendiri, dalam arti duduk dan menulis, di luar risetnya?” kata Nova Riyanti.

“Enam bulan,” jawab Anindita.

“Prosesnya bagaimana, Mbak? Kan ada tuh penulis yang sampai tidak keluar rumah berbulan-bulan ketika mulai menulis. Mbak Anin sendiri seperti apa prosesnya?” tanya Nova Riyanti lagi.

Menurut Anindita, karena sudah memutuskan untuk menjadi penulis, ia berusaha untuk selalu mendisiplinkan diri dalam menulis. “Setiap pagi, setelah membereskan pekerjaan rumah tangga dan suami berangkat bekerja, saya langsung duduk di depan komputer untuk menulis. Kebetulan kami belum punya anak, jadi saya sendiri. Dari pagi pukul delapan sampai sore ketika suami saya pulang, saya di depan komputer saja, entah itu untuk menulis atau hanya untuk mengelompokkan bahan-bahan penulisan. Saya ini penulis tipe mesin diesel, yang lama panasnya. Tapi, begitu sudah mengalir kadang malah sampai lupa waktu, bisa sampai tengah malam,” kata Anindita.

Mungkin, bila Gunawan Wijaya sebagai pembawa acara tidak mengingatkan bahwa hari telah hampir menjelang malam dan acara harus diakhiri, tanya-jawab peserta dengan Anindita masih terus berlangsung. Dan, seperti biasa, acara ini diakhiri dengan pemberian hadiah kepada tiga penanya terbaik serta penandatangan buku. Juga menyantap kudapan lezat yang disediakan pihak Bibliotheque. Hmmm…, gendang gendut tali kecapi; kenyang perut, senanglah hati. Plus…, pengetahuan menjadi bertambah! Itulah enaknya ikut acara eve’s Book Club. Pedje

Friday, August 20, 2010

Suatu Sore dengan Soal KDRT

Selain membicarakan novel, acara eve’s Book Club pada Juli lalu juga menjadi ajang ‘konsultasi psikologi’.

Pada mulanya adalah curhat seorang sahabat. “Dia suatu sore, teman baik saya mengirim sms ke saya. Katanya, dia ingin menceritakan sesuatu kepada saya,” ujar Clara Ng, penulis novel Tea for Two, yang dibahas dalam acara eve’s Book Club awal Juli lalu di Cheese Cake Factory Cikini, Jakarta. Maka, Clara dan teman baiknya itu pun sepakat untuk bertemu keesoka harinya. “Ketika bertemu, di bercerita apa yang terjadi pada dirinya dan apa yang akan dia lakukan, keputusan dia selanjutnya. Ternyata dia mengalami kasus kekerasan dalam rumah tangga, KDRT,” ungkap Clara.

Sepulang dari pertemuan tersebut, tambah Clara, dirinya dihantui perasaan tidak enak atas peristiwa yang dialami oleh teman baiknya itu. “Saya tidak menyangka dia mengalami peristiwa itu. Dia selama ini kelihatannya biasa-biasa saja, baik-baik saja,” kata Clara. Karena penasaran dengan masalah KDRT itu, Clara pun melakukan riset kecil-kecilan lewat internet. “Ternyata banyak sekali informasi tentang KDRT di internet,” ujar perempuan yang juga banyak menulis cerita anak ini.

Singkat cerita, tergeraklah Clara untuk ‘mengabadikan’ kasus itu ke dalam sebuah novel, sehingga kemudian lahirlah novel Tea for Two. Sebelum dibukukan, novel ini dimuat dulu sebagai cerita bersambung di harian Kompas. “Tapi, cerita dalam novel ini tidak benar-benar sama dengan kisah teman baik saya. Teman saya tidak sampai berdarah-darah. Suaminya juga lalu meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Dan, memang, sang suami tidak mengulangi perbuatan buruknya itu. Namun, karena sudah merasa tidak cocok, teman saya akhirnya memutuskan untuk bercerai,” tutur Clara.

Dalam Tea for Two, adegan kekerasan dalam rumah tangga langsung disajikan Clara pada bagian-bagian awal. Bahkan, Clara menuliskan kekerasan itu terjadi pada saat bulan madu. Yang menjadi korbannya adalah Sassy. Pelakunya, ya, suami Sassy, Alan.

Padahal, tadinya, Alan begitu sempurna di mata Sassy. Bahkan, Sassy jatuh cinta pada pandangan pertama. Karena, selain tampan, Alan juga tampaknya lembut dan baik hati. Namun, ketika mereka masuk dalam jenjang pernikahan, hanya dalam hitungan hari, Alan sudah menunjukkan watak aslinya. Bahkan, kemudian Alan juga berselingkuh.

Ironisnya, Sassy adalah seorang perempuan pengusaha biro jodoh, yang diberi nama Tea for Two dan punya moto ‘hidup bahagia selama-lamanya”. Dan, Tea for Two memang bukan biro jodoh yang sekadar mempertemukan kliennya dengan sembarang orang, tapi selalu berupaya agar kliennya mendapat pasangan yang benar-benar tepat. Banyak orang telah dibantu Sassy dan Tea for Two-nya untuk mendapatkan pasangan. Selain itu, Sassy juga juga kerap menangani pekerjaan sebagai wedding organizer dan wedding planner.

Moderator diskusi, Syahmedi Dean, merasa penasaran dari mana ide Clara mencampurkan soal kekerasan rumah tangga dengan bisnis biro jodoh. Clara menjelaskan bahwa ide itu dapatnya tidak sengaja. “Saya ingin membuat sesuatu ‘tabrakan’ supaya orang dapat dengan jelas melihat isu pernikahan yang ingin saya angkat. Kebanyakan kan, yang saya temukan di novel-novel, pernikahan adalah akhir dari suatu cerita dan tidak dilanjutkan bagaimana sisi kelam dari pernikahan itu. Walaupun ada, yang saya temukan adalah isu perselingkuhan atau isu sakit yang menyebabkan suatu pernikahan yang menjadi goyang. Saya jarang menemukan isu pernikahan yang menyangkut kekerasan dalam rumah tangga,” papar Clara.

Lalu, mengapa Clara mengambil topik biro jodoh? “Karena, ya, itu. Saya lihat dalam biro jodoh kan pernikahan merupakan ending dari suatu cita-cita yang manis. Jadi, saya pikir, kenapa tidak saya benturkan saja sekalian,” kata Clara lagi.

Berbagai pertanyaan pun kemudian diajukan oleh para peserta diskusi, mulai dari apa bedanya menulis novel untuk orang dewasa dengan menulis anak-anak, bagaimana sebenarnya latar belakang tokoh Alan sampai punya perilaku seperti itu, sampai bagaimana seharusnya seorang perempuan bersikap seandainya mengalami nasib seperti Sassy.

Menurut Clara, menulis novel untuk orang dewasa dan menulis cerita anak-anak sebenarnya sama, sama-sama menggunakan imajinasi. “Dan, yang saya olah juga sama-sama dari realitas. Namun, kalau saya menulis untuk novel, biasanya saya mulai dengan mengamati keadaan hubungan masyarakat di sekitar saya. Penulis itu harusnya bisa menjadi ‘spons’, bisa menyerap segala-galanya. Jadi, dia sensitif sekali. Dia menyerap, mendengar, memperhatikan. Karena itu, kalau saya diminta untuk memberi arahan kepada calon penulis, saya selalu mengatakan, yang pertama harus kita lakukan adalah shut up. Kalau masuk ke lingkungan sosial, kita diam, kita mengamati sekitar dan menyerap sebanyak-banyaknya. Bahkan, kalau perlu, kita membawa catatan untuk mencatat apa perkataan orang, bagaimana tingkah laku orang, bagaimana wajah mereka. Itu bisa menjadi modal yang besar bagi seorang penulis ketika dia menuliskan ceritanya,” tutur Clara.

Untuk tingkat kesulitannya, Clara mengaku lebih sulit untuk membuat buku cerita anak-anak, walaupun ia selalu merasa keasyikan dalam menulisnya. “Karena sulit, saya membuat buku anak satu seri biasanya memakan waktu setahun penuh. Dan, saya lakukan itu apabila naskah novel untuk orang dewasa saya sudah kelar. Jadi, saya tidak bisa multitask. Karena, memang, itu dua dunia berbeda. Kalau saya ingin menulis buku anak, saya harus memisahkan itu dulu, masuk ke dunia anak, mengamat anak-anak, dan banyak membaca buku anak-anak,” ujar Clara.

Karena banyak pertanyaan menyangkut soal kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri, selain mengenai aspek intrinsik novel yang dibahas, akhirnya mantan finalis Face of eve yang juga psikolog lulusan Universitas Indonesia, Ajeng Raviando, didaulat untuk maju ke depan. Ajeng diminta menjelaskan berbagai aspek yang berkaitan dengan KDRT dari perspektif psikologi. Apalagi, ada peserta yang memang meminta Ajeng sebagai psikolog untuk menjawab pertanyaannya. “Mbak, rumah tangga Sassy dan Alan sudah hancur-hancuran, ya. Menurut Mbak, apa rumah tangga yang seperti masih bisa dipertahankan kalau dari sisi seorang psikolog?” kata peserta itu.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Ajeng mengungkapkan bahwa memang banyak dalam kasus seperti itu perempuan berada dalam posisi sebagai korban. “Yang saya perhatikan, banyak perempuan, yang ketika dipukul, merasa bahwa hal itu adalah sesuatu yang mengagetkan, syok berat, dan akhirnya tidak bisa melawan. Dan, ketika dia sangat ingin mempertahankan perkawinannya, dia tidak lagi memikirkan mau dipukul seperti apa, mau disengsarakan seperti apa. Saya sendiri punya klien, yang telah 20 tahun berumah tangga dengan seorang pria yang tidak bekerja, hanya di rumah. Kalau sedang marah, pria itu memukul istrinya.

Tapi, karena alasan agama, mereka tidak bercerai,” tutur Ajeng. Dengan berbagai penjelasan Ajeng soal KDRT, acara eve’s Book Club kali ini terasa semakin menarik. Apalagi, kemudian, seluruh peserta juga disediakan hidangan yang lezat plus voucher senilai Rp100 ribu dari Cheese Cake Factory dan bingkisan dari Elizabeth Arden. Sementara itu, tiga penanya terbaik juga mendapat hadiah tambahan dari Elizabeth Arden. Menyenangkan! Pedje

Tuesday, August 17, 2010

Percikan

“Lihat, dia menjalankan tugasnya oleh karena dia cinta kepada tanah airnya. Dia berperang untuk bangsanya. Dia bersedia mati demi kehormatan tanah airnya. Begitupun kita, harus!”
Soekarno (1901-1970), Presiden Pertama Republik Indonesia

“Pemuda Indonesia adalah suatu bagian yang tidak dapat dipisah dari bangsa Indonesia, yang menderita dan berharap. Ia adalah juru bicara perasaan rakyat, ia adalah jiwanya yang menggelora, yang memberi warna kepada masa depan.”
Mohammad Hatta (1902-1980), Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia

“Dunia penuh dengan pertentangan, penuh dengan bahaya perjuangan, dunia gelap. Di Indonesia kita menyalakan obor kecil, obor kemanusiaan, obor akal sehat, yang hendak menghilangkan suasana gelap, suasana pertentangan….”
Sutan Sjahrir (1909-1966), Perdana Menteri Pertama Republik Indonesia

“Kemerdekaan adalah tanah air dan laut semua suara, janganlah takut kepadanya.”
Toto Sudarto Bachtiar (1929-2007), Penyair

“Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakkan oleh angkatan takabur,
Kita kurang pendidikan resmi
di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum.”
Rendra (1953-2009), Penyair

“Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak, lubang; jalan itu berbatu-batu, berjendal-jendul, licin... belum dirintis! Dan walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Sebab jalan itu sudah terbuka dan saya turut membantu merentas jalan yang menuju ke kebebasan dan kemerdekaan perempuan Bumi Putera.”
Kartini (1879-1904), Pahlawan Nasional

Sunday, August 15, 2010

Teringat Sangkot Marzuki

Tak dapat disangkal, setelah ditutup selama puluhan tahun, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Sangkot Marzuki Batubara berkembang sangat cepat menjadi suatu lembaga penelitian terkemuka di Indonesia dan disegani di tingkat internasional. Profesor Sangkot berhasil mengembalikan lagi wibawa lembaga penelitian terpandang di dunia yang didirikan pada tahun 1888 di Salemba, Jakarta itu, khususnya sebagai laboratorium penelitian patologi dan bakteriologi. Di sinilah Christiaan Eijkman, sebagai direkturnya yang pertama, mengawali penelitiannya yang berakhir dengan suatu penemuan besar mengenai hubungan antara defisiensi vitamin B1 dan beri-beri, yang yang menjadi landasan konsep modern ilmu vitamin. Berkat penemuannya itu, Eijkman diganjar hadiah Nobel pada tahun 1929. Laboratorium riset yang awalnya bernama Lab. voor Patologie Anatomie en Bacteriologie ini kemudian pada peringatan pendiriannya kelima puluh tahun diberi nama Lembaga Eijkman. Di puncak kejayaannya pada awal abad ke-20, Lembaga Eijkman menjadi pusat penelitian kedokteran tropis terkemuka dunia, namun terpaksa ditutup pada tahun 1960-an di tengah kemelut politik dan ekonomi setelah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Adalah Prof. Dr.
Ing. B.J. Habibie, yang ketika itu menjadi Menteri Riset dan Teknologi, yang menggagas menghidupkan kembali Lembaga Eijkman pada tahun 1990, sebagai upaya membangun sebuah lembaga penelitian terpandang di dunia dalam bidang biologi molekul. Untuk itu, B.J. Habibie khusus memanggil Sangkot dari Monash University, Melbourne, Australia, tempat Sangkot membangun karir ilmiah selama bertahun-tahun sampai menjadi ilmuwan yang memiliki reputasi internasional. Habibie meminta Sangkot untuk kembali ke Indonesia guna membantu beliau membangun sebuah lembaga penelitian biologi molekul baru. Sangkot pun dengan senang hati menerima tawaran untuk memimpin pembangunan kembali Lembaga Eijkman sebagai sarana pengembangan biologi molekul di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan ilmu kedokteran, tanpa pernah menyadari sebelumnya bahwa upaya tersebut memiliki tantangan dan hambatan yang besar.

Sangkot kembali ke Indonesia pada pertengahan tahun 1992. Dan,
Lembaga Biologi Molekul Eijkman dibuka kembali secara formal pada Juli 1992, yang dipimpin oleh Sangkot. Lembaga ini mulai beroperasi pada April 1993 dan diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia pada 19 September 1995.

Sangkot memang ilmuwan kelas dunia. Pria kelahiran Medan pada 2 Maret 1994 ini lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1968. Lahir sebagai anak tertua dari pasangan seorang guru, Amir Hasandan Putir Chairani Siregar, Sangkot dan kelima adiknya sejak kecil telah ditanamkan pentingnya menuntut ilmu setinggi-tingginya. Apalagi, kedua kakeknya juga orang berpendidikan. Kakek dari pihak ayahnya juga seorang guru, sedangkan kakek dari ibunya seorang dokter hewan lulusan Universiteit Utrecht tahun 1930. Nenek Sangkot dari ibunya adalah kakak tertua pujangga terkemuka Sanusi Pane dan Armijn Pane, serta cendekiawan Islam Laveran Pane.

Keinginannya untuk menjadi ilmuwan, seperti dituturkan Sangkot, mulai terbentuk ketika ia duduk di bangku sekolah menengah pertama pada tahun 1956-1959 dan semakin terpupuk pada masa bersekolah di SMA III Jakarta (1959-1962). Lulus dari SMA, ia masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan sejak awal sudah memutuskan untuk memperdalam bidang biokimia. ”Karena, saya dapatkan waktu kuliah itu bahwa semua hadiah Nobel di bidang kedokteran dimenangkan oleh penemuan-penemuan yang berkaitan dengan proses kimia kehidupan,” ungkapnya dalam sebuah kesempatan.


Perkenalan Sangkot secara langsung dengan dunia penelitian biologi modern terjadi waktu tiba di Monash University, Melbourne, sebagai seorang kandidat Ph.D. di pertengahan tahun 1971. Sebelumnya, setelah lulus menjadi dokter di tahun 1968, ia sudah dua tahun dipersiapkan menjadi ilmuwan dalam suatu program M.Sc. di bidang biokimia di Mahidol University, Bangkok, yang pada waktu itu masih dibawah binaan Rockefeller Foundation. ”Saya beruntung, karena program pascasarjana di Department of Biochemistry Mahidol University waktu itu merupakan program yang sangat maju, dengan pengajar ilmuwan aktif yang sebagian besar datang dari Amerika. Di sinilah saya diperkenalkan dengan konsep-konsep kimia dan fisika yang mendasari proses biologis, yang merupakan konsep mutakhir biokimia saat itu,” tuturnya.


Sangkot di Monash University bergabung dengan kelompok penelitian Profesor Anthony W. Linnane, yang pada waktu itu merupakan kelompok utama dunia dalam mempelajari proses bagaimana suatu sel makhluk hidup membangun aparatus sel yang diperlukan untuk proses transduksi energi. Waktu itu, Sangkot sudah memahami bahwa makhluk hidup memerlukan energi untuk berbagai fungsinya, termasuk untuk
pergerakan mekanik, untuk pertumbuhan dan reparasi dan untuk mempertahankan suhu tubuh. Ia juga bahwa sumber energi yang dapat digunakan secara langsung oleh sel hidup untuk proses-proses ini hanyalah suatu molekul berenergi tinggi yang dinamakan adenosine triphosphate atau ATP. Di Monash University inilah Sangkot merintis karir ilmiahnya sampai akhirnya dikenal sebagai ilmuwan terpandang di dunia, meskipun sempat kembali ke almamater awalnya, Universitas Indonesia.

Sangkot termasuk ilmuwan yang sangat produktif menuliskan pemikiran dan hasil-hasil risetnya di berbagai publikasi ilmiah internasional bergengsi, yang sebagian di antaranya kemudian ia bukukan dengan judul
Mitochondrial Respiratory Chain Disorders: From Yeast to Human. Buku inilah yang membuat Sangkot dianugerahi gelar higher doctorate oleh Monash University pada tahun 1998. Semuanya pengujinya memberikan pujian tinggi pada karya ilmiah Sangkot tersebut. Salah seorang pengujinya, Dr. Joanna Poulton dari Oxford, menilai, “Professor Marzuki’s work on the assembly and biosynthesis of H+-ATPase (nama lain dari ATP synthase) was some of the earliest work on nucleomitochondrial interactions. It made an important contribution to the foundation of the work which ultimately earned other workers the recent Nobel prize for characterizing the molecular motor which drives ATP synthesis in most/all living cells.”

Sangkot termasuk ilmuwan pertama yang membuktikan bahwa akumulasi mutasi dalam DNA mitokondria memiliki peran penting dalam proses penuaan. Beberapa penemuan di bidang ilmu kedokteran juga mengangkatnya sebagai salah satu pakar di bidang kloning dari Indonesia. Salah satu hasil kajiannya yang paling monumental di bidang kedokteran adalah penemuan tentang sistem konversi energi tubuh. Selain itu, ia juga berhasil menemukan peta gen untuk penyakit thalassemia.

Penghargaan atas reputasi ilmiah yang pernah diterima Sangkot antara lain Exchange Fellow–Australian Academy of Sciences 1981; ASEAN Achievement Award (Science-Biology) 1992; Penghargaan M. Kodijat–Ikatan Dokter Indonesia 1994; Outstanding Science Alumnus Award–Mahidol University, Thailand 1999, dan; Eijkman Medal dari University of Utrecht, Belanda 2001. Pada tahun 2007 lalu, Prof. Dr. Sangkot Marzuki juga menerima Penghargaan Hamengkubuwono IX dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun yang sama, ia juga mendapat Penghargaan Achmad Bakrie untuk bidang kedok­teran.

Pengabdian Sangkot Marzuki Batubara dengan penuh dedikasi terhadap suatu bidang ilmu dan juga terhadap tanah airnya, ditambah pula dengan prestasinya yang berskala internasional, sudah sepatutnyalah dijadikan inspirasi dan bahan pembelajaran oleh bangsa Indonesia, terutama generasi mudanya. Sangkot Marzuki adalah salah satu putra terbaik bangsa ini yang patut dihargai jasa-jasanya dan mendapat perhatian yang layak dari pemerintah Indonesia. Pedje