Sunday, January 31, 2010

Sore yang Hangat Bersama Ronggeng

Dalam kegiatan perdananya, eve's Book Club menggelar diskusi novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Menyenangkan dan bermanfaat.


Usianya 17 tahun pada tahun 1965. Ia masih kelas dua di sekolah menengah atas dan tinggal di sebuah desa. Namun, kedegilan dan kegilaan politik yang melanda negeri ini pada masa itu telah membuatnya jiwanya menggigil. “Jiwa saya terguncang, karena terjadi gelombang pembunuhan masyarakat bawah di kampung saya, di depan mata saya. Amat mencekam, sementara saya belum bisa apa-apa, meski sudah mulai beranjak dewasa,” ujar Ahmad Tohari, penulis novel trilogi legendaris Ronggeng Dukuh Paruk.

Sastrawan penerima Southeast Asian Writers Award pada tahun 1995 itu mengungkapkan penggalan perjalanan hidupnya tersebut di restoran Magenta Kitchen, di lantai 4 Pacific Place, Jakarta. Pada 20 Januari lalu itu, Ahmad Tohari memang kami undang untuk menjadi narasumber dalam diskusi novel triloginya, acara perdana yang diselenggarakan oleh eve's Book Club yang baru kami bentuk. Dalam penyelenggaraan acara tersebut, kami menggandeng kelompok pecinta buku Membahas Buku yang dikoordinasi oleh Aini Hutasoit. Acara yang dipandu oleh penulis yang juga dokter Nova Riyanti Yusuf ini juga didukung oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama sebagai penerbit novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Magenta yang berbaik hati menyediakan tempat sekaligus kudapan bagi peserta diskusi.

Peserta diskusinya sendiri kami batasi, agar dapat berjalan intens. Selain aktivis kelompok Membahas Buku, kami hanya mengundang beberapa orang eve's reader panel yang kami tahu sangat menyukai dunia sastra. Yang hadir pada diskusi sore hari itu ada 22 orang, termasuk Ahmad Tohari, yang sepanjang acara tampak sumringah. Jauh hari sebelumnya, para peserta yang telah mengonfirmasi akan hadir dalam acara ini dikirimi novel Ronggeng Dukuh Paruk yang diberikan secara cuma-cuma oleh Gramedia. Seusai diskusi, para peserta masih pula mendapat bingkisan menarik dari Dior. Menyenangkan, bukan?

Jalannya diskusi sendiri tak kalah menyenangkannya. Hangat dan kadang diselingi tawa, terutama ketika membicarakan kehidupan masyarakat desa dan kehidupan seorang ronggeng yang diangkat Ahmad Tohari dalam novelnya. “Ada seorang teman bercerita kepada saya, katanya temannya tak percaya kalau dalam dunia nyata ada tempat dan kisah seperti dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Padahal, apa yang saya angkat ke dalam novel itu dunia nyata yang ada di telapak kaki kita sendiri. Mengerikan, ya?” ungkap sastrawan yang lahir pada 13 Juni 1948 itu.

Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk sendiri, menurut Ahmad Tohari, ditulis karena memang harus ada yang menulis soal peristiwa yang mencekam pasca-Gerakan 30 September 1965, yang diduga didalangi oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). “Harus ada yang menuliskan pembantaian orang-orang yang diduga terlibat dalam PKI itu. Tidak mungkin peristiwa mencekam sebesar itu dilewatkan begitu saja tanpa kesaksian,” ujar penulis yang terbilang produktif ini.

Awalnya, Ahmad Tohari berharap ada seorang sastrawan yang tergerak menulis tentang peristiwa tersebut. “Tapi, setelah bertahun-tahun tak ada satu pun karya fiksi yang mengangkat persoalan itu. Saya pribadi merasa tidak berkompeten menuliskannya, karena masih banyak sastrawan besar di atas saya. Selain itu, pada masa Orde Baru kan hal-hal yang berkaitan dengan PKI bisa bikin runyam. Namun, karena sampai awal tahun 1980 belum ada juga yang menuliskannya, saya pun bertekad untuk menulis sendiri. Saya merasa ketempuhan, kata orang Jawa. Kalau tidak ada yang menulis, sayalah yang harus menulis. Karena, ya, itu tadi, tidak mungkin peristiwa mencekam sebesar itu dilewatkan begitu saja tanpa kesaksian. Apalagi, awal 1980 itu, novel saya yang berjudul Kubah juga diterbitkan,” papar jebolan Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun-Jakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman-Purwokerto, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sudirman ini.

Masalahnya kemudian, bagaimana cara ia menuliskannya dan dari mana pintu masuknya? “Pusing saya memikirkan itu. Sampai-sampai, saya akhirnya keluar dari pekerjaan saya sebagai seorang wartawan di harian Merdeka. Tapi, Tuhan ternyata memberi jalan. Suatu malam, saya bertemu dengan seorang kakek. Kami berbincang-bincang dan kakek itu mengisahkan bahwa dirinya pernah memenangkan acara buka kelambu seorang calon ronggeng. Kakek tersebut bercerita penuh semangat, membanggakan keperkasaan masa mudanya. Saya pun langsung mendapatkan gagasan untuk menjadikan ronggeng sebagai pintu masuk novel saya itu. Apalagi, ronggeng kan melibatkan perempuan yang cantik dan kesenian rakyat yang dipakai oleh orang-orang PKI dalam propagandanya. Oke, itulah pintu masuknya,” kata Ahmad Tohari.

Maka, terciptalah Ronggeng Dukuh Paruk yang dahsyat itu, yang diterbitkan sebagai buku novel pada tahun 1982. Namun, kisahnya tak sampai di situ. Pemerintah Orde Baru yang paranoid memanggil Ahmad Tohari, lewat aparat militernya. “Istri saya sampai tak karuan gara-gara pemanggilan itu. Saya dipanggil aparat intelijen militer, yang markasnya ketika itu di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran, Jakarta Selatan. Saya diinterogerasi berjam-jam seputar novel saya dan kaitannya dengan PKI. Saya baru bisa bebas kalau bisa memberikan nama satu orang sebagai jaminan. Maka, saya pun memberikan nama Gus Dur sebagai jaminan kebebasan saya. Saya juga berikan nomor telepon Gus Dur dan saya katakan saya bersedia dipanggil kembali kalau memang mereka masih perlu penjelasan kepada saya,” ujar Tohari, yang memang telah lama bersahabat dengan Gus Dur alias Abdurrahman Wahid, mantan presiden.

Novel itu sendiri mendapat sambutan yang bagus dari kalangan peminat dan penikmat sastra. Banyak kritikus memuji kepiawaian Tohari dalam bercerita, termasuk keahliannya menggambarkan secara detail lansekap pedesaan. Tak mengherankan jika novel itu masih sering dibicarakan sampai sekarang. Adalah hal yang bisa dibilang tepat ketika Tohari mengangkat salah satu kisah kelam dalam sejarah bangsa ini ke dalam bentuk fiksi, novel. Karena, telah terbukti sejak berabad-abad lalu, kekuatan naratif fiksi dapat “mengawetkan” suatu peristiwa, sehingga mampu menembus ketebalan dinding waktu. Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk juga contoh yang pas dari karya seni yang dulce et utile, ‘menyenangkan dan bermanfaat’. Setidaknya, novel itu berguna sebagai dokumentasi sosial-budaya, selain bisa menjadi inspirasi bagi bangsa ini agar tidak mengulang lagi peristiwa keji seperti pada tahun 1960-an itu. Pedje

Friday, January 22, 2010

Takudar!

Selain seru, diskusi buku eve's Book Club kali ini terbilang unik: novelnya tentang suatu babak dalam sejarah Kekaisaran Mongol, penulisnya seorang perempuan Jawa, dan diskusinya berlangsung di restoran Jepang.


Dalam situs www.goodreads.com, novel The Road to the Empire: Kisah Takudar Khan, Pangeran Muslim Pewaris Mongol karya Sinta Yudisia rata-rata mendapat empat bintang dari pembacanya. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang memberi lima bintang. Tak mengherankan pula jika dalam Islamic Book Fair Jakarta 2009, beberapa bulan lalu, novel tersebut meraih penghargaan sebagai buku fiksi terbaik. Karena itu, tak salah kiranya bila novel ini kami bahas dalam acara eve's Book Club pada tanggal 12 Agustus 2009 lalu, yang diadakan di Sakura Japanese Restaurant, di bilangan Jakarta Selatan. Apalagi, sepengamatan kami, inilah novel sejarah pertama karya penulis Indonesia yang mengangkat kisah sejarah atau kehidupan bangsa lain.

Sebenarnya, tradisi penulisan karya sastra yang seperti itu sudah lazim di dunia. Di Indonesia sendiri, beberapa penulis sastra telah melakukannya, dalam bentuk cerita pendek (cerpen) dan puisi. Budi Darma, misalnya, mengangkat kehidupan orang-orang Bloomington, Amerika Serikat, dalam cerpen-cerpennya yang kemudian dibukukan dalam sebuah antologi berjudul Orang-Orang Bloomington. Begitu pula Umar Kayam dalam beberapa cerpennya. Rendra, sang penyair yang baru saja mangkat, juga pernah menulis beberapa puisi tentang kehidupan orang-orang di Amerika Serikat.

Namun, dalam genre novel sejarah tampaknya baru dilakukan oleh Sinta Yudisia. Yang mengagumkan, dalam novel Sinta Yudisia ini terasa sekali hasil kerja risetnya yang mendalam, sehingga novel ini kaya dengan detail lansekap serta sosial-budaya bangsa Mongol pada masa kekaisaran Tuqluq Timur Khan dan setelahnya, sekitar abad ke-13 Masehi. Padahal, meski Kekaisaran Mongolia merupakan kekaisaran kedua terbesar dalam sejarah dunia—menguasai sekitar 33 kilometer persegi belahan bumi dalam masa puncak kejayaannya—data-data tertulis serta hasil studi mengenai kekaisaran ini relatif sulit didapat. “Mungkin karena pada masa itu tradisi mereka masih didominasi oleh tradisi lisan,” ungkap Sinta Yudisia, yang bersama suaminya diterbangkan oleh Lingkar Pena Publishing House, penerbit novelnya, dari Surabaya khusus untuk acara eve's Book Club kali ini.

Sinta mengakui, sebagian besar yang ia ungkapkan dalam novelnya merupakan hasil rekaan. “Hanya dua puluh persen yang diambil dari kisah nyata,” ujarnya. Kendati demikian, dunia rekaan yang diciptakan dalam novelnya tetap berpegang hukum kebolehjadian (plausibility) yang bersandar pada fakta-fakta sejarah. “Jadi, saya tetap berusaha agar apa yang ada di dalam novel ini bisa dipertanggungjawabkan,” kata ibu dari empat orang anak ini.

Novel ini sendiri, sesuai dengan judulnya, lebih banyak mengisahkan tentang Takudar dalam upayanya untuk menjadi kaisar Mongol. Takudar adalah anak tertua dari pasangan Kaisar Tuqluq Timur Khan dan Ilkhata sang Permaisuri. Takudar memiliki dua orang adik, yakni Arghun dan Buzun. “Namun, ada versi lain dari sejarah Mongol yang mengatakan bahwa Takudar dan Arghun merupakan saudara sepupu,” tutur Sinta.

Arkian, Kaisar Tuqluq Timur Khan memiliki cita-cita untukl meneruskan kebesaran para leluhurnya, mempersatukan seluruh bangsa-bangsa yang ada di dunia di bawah imperiumnya, namun dengan cara damai dan tanpa pertumbahan darah. Dalam upayanya ini, Kaisar Tuqluq Timur Khan sempat menjalin persahabatan dengan Syaikh Jamaluddin, seorang pemuka umat Islam yang bermukim di dekat pusat kekaisarannya dan tadinya merupakan kaum yang ingin ditaklukkan juga oleh bangsa Mongol. Keduanya malah sempat membuat sumpah setia untuk saling mendukung dan membantu. Namun, belum lagi cita-citanya tercapai, sang kaisar dikhianati oleh orang kepercayaannya dalam pemerintahan, Albuqa Khan. Sang Kaisar dan permaisurinya dibunuh, sementara Takudar menghilang. Albuqa Khan lalu mengangkat Arghun Khan menjadi kaisar pengganti.

Arghun Khan menjadi kaisar yang bertangan besi dan berambisi menaklukkan berbagai wilayah di bumi dengan menghalalkan segara cara. Seperti leluhurnya, ia juga bernafsu menguasai Jerusalem, yang waktu itu dianggap sebagai pusat kekuatan dunia. Itulah sebabnya, kaum muslim pengikut Syaikh Jamaluddin, yang menjadi tempat perlindungan Takudar dalam pelariannya, melakukan gerakan-gerakan untuk melawan perilaku lalim Arghun Khan sang Kaisar. Mereka juga ingin mendudukkan Takudar di singgasana kaisar sebagaimana lazimnya hukum yang berlaku dalam pemerintahan monarki. Dan, novel karya Sinta Yudisia ini berhasil memukau banyak pembacanya karena mampu mengangkat pergulatan dan perjuangan Takudar beserta para pendukungnya itu dengan cara bertutur yang mengalir lancar meski penuh peristiwa yang menegangkan, deskripsi yang filmis, dan penyisipan nilai-nilai moral tanpa menggurui. Pendek kata, aspek dulce et utile dalam novel ini tergarap dengan apik.

“Saya senang membaca buku ini, karena berhasil mengangkat peristiwa bersejarah dengan bumbu yang menarik, seperti sayur asem. Padahal, biasanya, kalau membaca buku sejarah, saya sering merasa bosan,” ujar finalis Face of eve yang kerap hadir dalam setiap acara eve's Book Club, Tika. Berbagai pertanyaan pun dilontarkan peserta diskusi yang lain, mulai dari proses kreatif Sinta, lama penulisan novel ini, sampai pertanyaan tentang bagaimana cara Sinta meriset kehidupan bangsa Mongol.

“Apakah Anda pernah ke Mongol?” kata seorang peserta.

Ternyata, Sinta belum pernah menjejakkan kakinya sekali pun ke negeri Mongol. “Doakan saya, ya, agar bisa ke sana,” tutur Sinta.

Ada juga yang memprotes penggambaran nasib tokoh utama perempuan dalam novel ini. “Awal-awalnya saya kagum membaca novel ini. Tapi, kemudian saya kecewa karena perempuan yang digambarkan dalam novel ini masih sangat tertindas dan kurang dihargai. Menurut saya, Takudar bulanlah pemimpin yang baik, karena tak menghargai perempuan,” kata Lilis dari komunitas Membahas Buku.

Dengan santun, Sinta menanggapi protes itu. “Dalam perang, yang selalu menjadi korban utamanya adalah kaum perempuan dan anak-anak. Tak sedikit perempuan yang menjadi korban pemerkosaan ketika sedang terjadi peperangan, seperti yang dialami Almamuchi dalam novel ini. Namun, menurut saya, Almamuchi justru merupakan perempuan yang memiliki prinsip kuat dan ketegaran yang luar biasa,” papar Sinta.

Beatrice, yang juga sering mengikuti acara eve Book Club, lain lagi pertanyaannya. Ia penasaran dengan cara Sinta mendalami karakter-karakter yang ada dalam novelnya. “Saya sering membayangkan karakter-karakter yang saya akan tulis di mana saja, bahkan kadang sampai ke kamar mandi,” ungkap Sinta.

Ia juga mengakui bahwa ketika menulis novel ini banyak menonton film yang mengangkat kisah bangsa Mongol dan yang menggambarkan bangsa yang hidup di tengah gurun, termasuk film Red Cliff karya John Woo, film The Three Kingdom karya Daniel Lee, dan Warlords karya Peter Chan.

“Selain itu, yang menjadi inspirasi besar saya dalam menulis novel ini adalah buku The Preaching of Islam karya Sir Thomas W. Arnold dan karya-karya Muhammad Iqbal, yang ternyata berteman baik dengan Sir Thomas W. Arnold,” ujar Sinta, yang telah menulis 40 judul buku. Novel The Road to the Empire: Kisah Takudar Khan, Pangeran Muslim Pewaris Mongol sendiri ditulis Sinta selama setahun. “Setelah selesai, saya kirimkan ke sebuah penerbit. Namun, setelah beberapa lama belum ada juga ada kabar. Saya tanyakan bagaimana nasib novel saya. Ternyata, mereka enggan menerbitkan karena, katanya, biasanya novel epik susah laku. Maka, saya pun lalu mengirimkan ke Lingkar Pena Publishing House dan mendapat tanggapan positif. Namun, oleh Asma Nadia dari Lingkar Pena, novel saya ini diberikan dulu ke Maman Mahayana dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, untuk dibaca,” ungkap Sinta.

Maman Mahana ternyata suka dengan novel ini. “Namun, beliau memberikan banyak sekali catatan yang harus saya perbaiki. Pesannya, sudah saatnya penulis Indonesia tak memikirkan royalti atas karyanya, tapi memikirkan kualitas karyanya. Saya pun lalu memperbaiki dan menambahkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam novel yang saya tulis seperti saran Pak Maman, barulah kemudian diterbitkan oleh Lingkar Pena,” kata Sinta.

Lebih dari dua jam diskusi buku kali ini berlangsung, namun rasanya sebentar saja. Para peserta pun terlihat masih antusias untuk berdiskusi waktu Sarmedi Dean yang menjadi moderator menutup acara ini. Karena itu, tak sedikit yang melanjutkan tanya-jawab dengan Sinta meski acara secara resmi telah ditutup, yang sebelumnya dilakukan dulu pembagian hadiah kepada para peserta yang dinilai telah mengajukan pertanyaan yang menghidupkan jalannya diskusi. Dan, tidak seperti biasanya, kali ini penulis buku justru ikut menyediakan hadiah untuk lima orang peserta! Hadiah yang lainnya disediakan oleh Sakura Japanese Restaurant, berupa tiga voucher makan yang masing-masing senilai Rp100 ribu untuk tiga orang peserta. Sementara itu, Sinta Yudisia sebagai penulis buku mendapat bingkisan dari Madame Korner, yang diserahkan oleh Managing Editor eve, Sri Purwandhari. Dan, tentu saja, seluruh peserta diskusi mendapat novelnya, lengkap dengan tanda tangan penulisnya yang diminta seusai acara. Juga mendapat kudapan nan lezat dari Sakura Japanese Restaurant. Doumo arigatou! Pedje

Friday, January 15, 2010

Karyanya Dicari para Kolektor

Komedi putar atau karosel itu berputar diiringi lagu dangdut yang terdengar cempreng dari pengeras suara. Anak-anak belum terlalu ramai, mungkin karena udara sore itu di Gambir, Jakarta Pusat, masih panas menyengat. Tapi, itu bukan bagian dari Pasar Malam Gambir di zaman penjajahan Belanda. Komedi putar tersebut sengaja dihadirkan unutk mendukung atmosfer dunia anak-anak yang diusung pameran lukisan bertajuk "Reka-Reka Erica". Tempatnya pun di pelataran paling depan Galeri Nasional Indonesia, tempat pameran tersebut berlangsung dari 6 April sampai 19 April 2001.

Sang pelukis sendiri, Erica, bukanlah anak-anak lagi. Ia adalah ibu dari satu anak yang lahir 30 tahun silam. Tapi memang, lukisan-lukisannya semua berciri lukisan anak-anak, yang naif, tanpa perspektif, dengan bentuk-bentuk dipiuhkan dan warna-warna terang. Itulah sebabnya, di awal-awal lukisannya dipamerkan, tak sedikit kritikus yang enggan menggolongkan Erica sebagai seniman. Karena, kata mereka, Erica tak mampu melukis dengan gaya realisme atau naturalisme, yang menuntut ketepatan yang tinggi terhadap obyek yang dilukis. Maksudnya, kalau melukis gajah, ya, harus persis seperti gajah. Erica tak menampik dibilang seperti itu. "Saya memang kurang piawai melukis dengan gaya realisme," ujar pelukis yang bernama asli Ery Hestu Wahyuni ini.

Toh, berkat kesungguhan mengembangkan gayanya sendiri, nama Erica sebagai pelukis kini tak bisa diabaikan. Bahkan, ketika ia berpameran tunggal pertama kali, semua lukisannya ludes terjual. Begitupun pada pameran tunggalnya yang kedua. Di pameran tunggalnya yang ketiga di Gambir itu, pada hari keempat, sepuluh dari 18 lukisan miliknya sudah terjual. Padahal, harga lukisannya relatif tidak murah. "Harganya mulai Rp15 juta samapi Rp120 juta," katanya. Pada pameran tersebut memang tak cuma lukisan baru yang ia pamerkan, tapi juga lukisan-lukisan lamanya yang sudah dikoleksi orang lain.

Sebagian besar kolektor lukisan terkemuka negeri ini bisa dipastikan memiliki lukisan Erica. Agaknya yang menggemari lukisannya bukan cuma kolektor dan penggemar seni, tapi juga anak-anak sekolah yang diajak gurunya mengunjungi pameran di Gambir tersebut. Seorang pelajar sebuah sekolah menengah umum di Jakarta menulis dalam buku kunjungan pameran begini: "Lukisan Mbak Erica oke banget, funky."

Nama Erica juga tak hanya berkibar di negeri sendiri. Ia pernah diundang untuk ikut pameran di Singapura, Filipina, Amerika Serikat, dan Jepang. Oktober tahun lalu, bersama beberapa pelukis Indonesia lain, ia berpameran di Moskwa, Rusia. Rupanya, di Rusia, ia tak cuma berpameran, tapi juga tetap melukis. Karena itu, tak mengherankan jika ia sepulang dari sana langsung berpameran tunggal kedua di Galeri Nadi, Jakarta. Karya-karya yang ditampilkan pada pameran itu adalah yang ia buat di atas kertas dan berharga rata-rata Rp4,5juta. Pedje (2001)

Saturday, January 2, 2010

Perempuan dan Uang

Penelitian memperlihatkan bahwa terlalu fokus pada perencanaan keuangan dan memikirkan keamanan finansial untuk masa depan mengurangi tingkat kepuasan hidup secara keseluruhan.


Uang memang penting, tapi bukan yang paling penting. Malah, ketika uang dianggap sebagai "dewa" dan menjadi dominan dalam fokus perhatian kehidupan seorang perempuan, menurut sebuah riset, perempuan itu akan sulit mendapatkan kebahagiaan. Demikianlah yang terungkap dari penelitian yang dilakukan psikolog Talya Miron-Shatz dari Woodrow Wilson School of Public and International Affairs, Princeton, Amerika Serikat. “Biarpun Anda setiap tahun dapat menghasilkan uang yang sangat banyak, jika terus-menerus takut dipecat, cemas kehilangan asuransi kesehatan, atau tidak yakin dapat ‘melakukan sesuatu’, Anda tidak akan berbahagia,” ujar Miron-Shatz.

Dalam riset yang dilakukan Talya Miron-Shatz itu terungkap, perempuan dalam berbagai level pendapatan mengalami penurunan tingkat kepuasan hidupnya masing-masing ketika mereka fokus pada uang. Baik kaya maupun miskin, tinggal di rumah mewah atau di rumah kontrakan, perempuan yang semata-mata memandang segala sesuatu dengan pertimbangan uang akan cenderung tidak bahagia dan kerap mengalami kegelisahan dalam hidupnya. Sebaliknya, perempuan yang tidak tergoda oleh urusan keuangan, menurut studi Miron-Shatz, sangat berbahagia. Jadi, urusan memikirkan kestabilan finansial memang hal yang krusial dalam hubungannya dengan kepuasaan hidup dan kebahagiaan seseorang—berapa pun banyaknya uang yang Anda miliki.

M
engapa bisa begitu?

Uang menciptakan ketidakbahagiaan dan kegelisahan karena uang tidak berhubungan dengan memori dan pengalaman positif. Uang tidak menawarkan ganjaran yang dapat bertahan lama dan hubungan yang dalam. Dalam berbagai riset yang lain bartahun-tahun lampau bahkan terungkap bahwa cara yang paling efektuf untuk meningkatkan kepuasaan hidup adalah dengan cara menjalin hubungan dengan orang lain. Uang tidak dapat membeli kebahagiaan, walaupun dapat meningkatkan perasaan aman.

Untuk dapat berbahagia dan berkurangnya kecemasan dalam hidup, saran Miron-Shatz, cobalah temukan suatu keseimbangan hidup yang sehat. Jangan hanya fokus pada perencanaan keuangan atau urusan keuangan pada umumnya. Pedje

Dua Puisi Lama Pedje, 1

Perang‎

"Perang adalah kodrat yang membawa arang untuk digoreskan sepanjang jalan, entah dari mana awalnya, entah ke mana akhirnya, yang memaksa kita berseberang-seberangan di luar garis itu, yang menodong kita agar tak bertegur sapa meski hadap-hadapan, yang membuat senyummu yang dulu kurindukan jadi aneh dan menjijikkan, yang...," semburmu sampai bibir tegang dan matamu hilang pandang.

"Tapi itu sudah sejak...."

"Sejak entah!" sergahmu sambil meludahi mukaku.



Catatan Pinggir buat Kamu, Dik!

dunia kita sekarang memang bukan semacam mimpi semasa kanak-kanak: sebuah tanah lapang gelanggang kita bermain layang-layang, tempat kita mengejar dan menendang bola, dan arena melepas kembang api di malam purnama raya.

dunia kita sekarang semacam layang-layang dalam prahara, seperti bola yang kita kejar dan tendang bersama, atau laksana cahaya kembang api yang berpendar penuh pesona kemudian sebentar nanti mati.