Sunday, April 4, 2010

Dua Puisi Lama Pedje, 4

Aku Datang

aku datang
dengan debu menebal di tiap pori
rambut dipenuhi jejak-jejak angin
dan di kedua kaki mengentara gores-gores aspal
menghampirimu

aku datang
barangkali terlampau tergesa
tapi inilah soalnya:
bertemu denganmu
aku membayangkan sebuah rumah
sebuah ruang hangat
tempat menyemaikan benih-benih cinta
yang selama ini tersia-sia
terkapar tak berdaya
dalam perjalanan panjang tanpa arah

aku membayangkan sebuah rumah
sebuah keteduhan istirah
dari hati gelisah
sebuah rumah
yang senantiasa menyajikan senyum ramah
dan membekali doa kepada penghuninya
sebelum berangkat ke luar
menghadapi dunia yang angkuh dan kasar

adakah engkau bersedia menjadikanku penghuni rumah itu?




Stasiun

"Menangislah," katamu, "dan berbahagialah karena itu bukanlah hal tabu meski sering memaksa kita malu melakukannya."

dan ketika aku mulai menangis
serta-merta engkau riang tertawa
seakan duka yang tadi kita kunyah bersama
adalah hidangan pesta yang lezat rasanya.

ada apa?

engkau malah menciumku
sambil mengumpulkan cucuran air mataku
dalam mangkuk merah semu
"Semoga ini semua," ujarmu sambil memandangku, "dapat membukakan rahasia kepada kelak anak-anak kita tentang makna dosa yang dicicipi Adam dan Hawa mula-mula."

tapi mengapa kamu tidak juga menangis?

No comments:

Post a Comment