Wednesday, October 13, 2010

Ars Longa, Vita Brevis

Iwan Tirta berpulang, dengan meninggalkan karya-karya cemerlang dan dokumentasi batik yang sangat berharga bagi bangsa ini.


Who I am? Am I a black Europe, because I have all of Asian characteristic but have attitude and dress like Europe people?” demikian kegundahan IwanTirta yang mendorong dirinya akhirnya menekuni dan mencintai batik, seperti terungkap dari wawancara Dalton Tanaka dengan beliau yang diputar ulang di Metro TV beberapa waktu lalu. Kegundahan tersebut muncul pada awal tahun 1960-an, karena Iwan mendapat banyak pertanyaan dari rekan-rekannya di Eropa, sewaktu menempuh pendidikan magister di London School of Oriental & African Studies (SOAS) London University. Iwan ke London setelah meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Indonesia dan sempat beberapa lama mengajar di almamaternya tersebut.

Yang mula-mula mendorong diri pria bernama lengkap Nusjirwan Tirtaamidjaja itu untuk lebih serius menekuni batik adalah Bennedict Anderson. Iwan mengenal ahli Indonesia dari Cornell University, Amerika Serikat, itu karena Ben ketika sedang melakukan penelitian di Jakarta indekos di rumah orang tua Iwan, di Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Bukan hanya Ben secara pribadi yang mendorong Iwan, tapi juga almamater Ben, Cornell University. Maka, Iwan pun mulai melakukan serangkaian riset dan kemudian mendokumentasikan batik lewat buku yang ia tulis dan terbit pada tahun 1962, Batik: Pola & Tjorak-Pattern & Motif. Ketika dalam proses penelitian untuk bukunya itulah Iwan banyak menimba pengetahuan tentang batik dari Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro (1931-2008)—seorang budayawan yang mendapat “titah” dari Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, untuk membuat Batik Indonesia dan orang Tionghoa pertama yang memperoleh anugerah derajat tertinggi keraton, karena dedikasi dan kontribusinya yang luar biasa terhadap kebudayaan Jawa.

Toh, sejauh itu Iwan masih tetap pada cita-cita awalnya untuk menjadi ahli hukum atau diplomat. Mungkin cita-citanya itu tak bisa dilepaskan dari pekerjaan ayahnya, Mohamad Husein Tirtaamidjaja, yang merupakan seorang hakim. Ibu Iwan sendiri, Ramah Saleh, pernah belajar di Sekolah Kedokteran Stovia dan menamatkan pendidikan sekolah guru berijazah Nederlandse Hoofdakte. Walaupun orang Minangkabau, ibunyalah yangt mengenalkan Iwan untuk pertama kalinya dengan kebudayaan Jawa. Ayah Iwan sendiri adalah pria Sunda kelahiran Purwakarta.

Untuk meraih impiannya sebagai ahli hukum dan diplomat, Iwan lalu melanjutkan pendidikan magister hukum di Yale University, New Haven, Connecticut. Pada masa ini, Iwan justru mendapat dana hibah dari John D. Rockefeller III Foundation untuk melakukan penelitian mengenai tari Bedaya Ketawang di Keraton Kesunanan Surakarta. Dari penelitian inilah ia semakin memahami hubungan-hubungan yang erat antara batik, tari, musik, dan sastra Jawa, terutama yang berasal dari lingkungan keraton. Pengetahuan Iwan tentang batik juga semakin meluas ketika ia mendapat kesempatan mempelajari kain-kain kuno dari kalangan keraton Solo.

Pada akhirnya, Iwan Tirta memang bukan sekadar mencintai batik, tapi bisa dikatakan mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk batik. Cita-cita lamanya hampir sepenuhnya ia tinggalkan. Iwan pun lalu menjalani hidup sebagai seniman batik dan melakukan berbagai terobosan agar batik bisa kembali dihargai oleh orang Indonesia dan masyarakat internasional, lewat berbagai aktivitas dan karya-karya batiknya. Tak mengherankan bila pada akhirnya pria bernama asli Nusjirwan Tirtaamidjaja itu dijuluki oleh banyak orang sebagai maestro batik, empu batik, sama seperti seniornya yang juga beliau anggap sebagai gurunya, Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro. Dan, pada akhir Juli lalu, Iwan Tirta sang empu mengembuskan napas terakhirnya dalam usia 75 tahun. Dia dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta Pusat, di samping makam ibunya. Namun, seperti kata Bapak Kedokteran Hippocrates, “Ars longa, vita brevis.”

Ya, hidup memang singkat, tapi karya seni bisa berusia melebih panjang usia penciptanya. Demikian juga karya-karya seni batik Iwan Tirta. Apalagi, Iwan bukan sekadar mendesain busana batik, tapi juga turut membatik, bahkan dalam usia senjanya. Lewat tangan Iwanlah batik prada kembali populer, bukan hanya di tengah masyarakat Indonesia, tapi juga di mancanegara. Iwan juga melakukan terobosan antara lain dengan membuat batik bermotif besar untuk kain perempuan, yang lazimnya digunakan untuk batik pria.”Kain batik dengan motif diperbesar akan berkesan lebih megah. Detailnya yang indah tampak jelas dan tegas. Perempuan yang mengenakannya akan tampil lebih percaya diri, anggun, memesona, menuntut dihormati. Ia bukan warga nomor dua dalam masyarakat yang terikat batasan jender. Begitulah karakter perempuan Indonesia yang mengilhami karya batik saya dan ingin saya tampilkan dengan karya itu,” ungkap Iwan Tirta dalam bukunya yang bertajuk Batik: Sebuah Lakon.

Bagi Iwan, seperti ia ungkapkan ketika peluncuran bukunya tersebut, setahun lalu, batik yang baik harus bisa memunculkan keindahan corak, konfigurasi, dan kombinasi warna sehingga tidak perlu lagi dihias dengan payet atau kristal. Batik juga harus hidup dengan cara digunakan dalam kehidupan keseharian. ”Batiknya harus tetap yang utama, jangan kebayanya,” ujarnya kala itu. Sumbangan berharga Iwan yang lain adalah upaya pendokumentasian motif batik ke dalam data digital, yang sampai akhir hayatnya telah ia dokumentasikan kurang-lebih 4.000 motif. Dengan perbendaharaan dokumentasi yang seperti itu, tak mengherankan jika motif-motif batik karya Iwan begitu kaya dan tentu saja indah, termasuk karya-karya yang mereproduksi motif-motif dari kain-kain tua warisan leluhur. Iwan dengan gemilang berhasil memadukan bermacam corak batik kuna lewat tampilan yang baru, yang terasa lebih segar tanpa kehilangan kewibawaannya sebagai karya adiluhung. Selain itu, bisa dikatakan, Iwan Tirta juga yang memelopori penggunaan batik sebagai gaun, yang begitu indah sekaligus praktis. Kain batik yang tadinya secara tradisional, turun-temurun, sekadar menjadi kain panjang yang digunakan dengan cara dililitkan ke tubuh dan juga sekadar menjadi selendang oleh Iwan diperkaya fungsinya menjadi gaun, yang bisa digunakan ke berbagai acara, baik formal maupun informal. "Beliau berani membuat kain yang sebelumnya hanya menjadi bawahan dan basahan itu menjadi baju," ujar desainer Poppy Dharsono, seperti dikutip majalah Tempo.

Sungguhpun demikian, rasa cinta Iwan Tirta kepada batik membuat dirinya juga dikenal sebagai desainer pakaian yang sangat berhati-hati dalam memotong kain batik yang akan dijadikan baju atau gaun. Bagi Iwan, batik bukan sekadar karya seni. Batik adalah bentuk konret dari rasa cinta dan dedikasi terhadap keindahan serta warisan masa silam yang luhur dan membanggakan. “Di masa lalu, sebelum membatik, orang harus puasa dulu. Ada prosesi, ada kesungguhan, dedikasi. Pemakainya juga merawatnya dengan baik, ditaburi bunga di lemari agar wangi. Tapi, sekarang, batik yang sudah sedikit lusuh langsung dibuat lap dan gombal. Dunia yang penuh keluhuran itu sudah tidak kembali lagi,” kata Iwan Tirta kepada Tempo.

Iwan sendiri dalam suatu kesempatan pernah mengatakan, dirinya sangat mengagumi Halston (1932-1990), perancang busana asal Amerika Serikat, yang dikenal sebagai desainer yang cenderung membuat busana tanpa memotong bahan kainnya. Sungguh, Iwan Tirta telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi bangsa ini. Selamat jalan, Empu! (Pedje)


Dua Empu yang Juga Berpulang

Indonesia mestinya berduka mendalam karena kehilangan para empu penjaga seni tradisinya pada Juli dan Agustus 2010 lalu. Sebelum Iwan Tirta dipanggil menghadap Yang Mahakuasa, Ni Ketut Cenik telah mendahuluinya. Empu penari joged pingit dan legong playon itu wafat pada usia 86 tahun dan dimakamkan di Setra Alas Harum Desa Adat Batuan, Bali.

Nama Ni Ketut Cenik sebagai empu penari joged pingit dan legong playon telah dikenal luas di dunia internasional, terutama oleh kalangan seniman dan pecinta seni tradisi. Kehadirannya di dunia tari seakan mematahkan mitos bahwa seorang penari mestilah gemulai, cantik secara fisik, dan semampai. Ni Ketut Cenik tidak seperti itu. Tak mengherankan jika pada masa remajanya ia kerap ditolak untuk ikut berlatih menari di berbagai kelompok tari dan juga oleh banyak guru tari. Padahal, kesukaannya terhadap dunia tari-menari, khususnya tari Bali, sudah tertanam sejak kecil. “Jika terkenang saat itu, saya kadang menangis,” katanya semasa hidupnya, seperti pernah dimuat di harian Kompas.

Ni Ketut Cenik kecil selalu menari setiap ada kesempatan, di mana saja. Bisa di pojok bale banjar. Bisa pula di halaman depan pura. Ia akan menari diiringi tiruan bunyi gamelan yang ia lagukan dari mulutnya sendiri. Gerakan tari yang ia lakukan adalah hasil pembelajarannya sendiri dengan cara menonton. Sampai suatu ketika, ketika Ni Ketut Cenik kecil sedang menggembalakan sapi sambil menembang, ketua kelompok tari joged pingitan mendatangi dirinya dan mengajak bergabung dengan kelompok itu. Di sinilah Ni Ketut Cenik kecil diajari tari joged pingitan oleh Wayan Kurir. “Tapi, saya harus diuji berkali-kali, disuruh menari, dan menyebut nama tarian yang saya peragakan. Semua anggota seka heran karena saya menjawab dan menarikannya dengan benar,” ungkap Ni Ketut Cenik semasa hidupnya.

Dalam perjalanannya sebagai penari joged pingitan, Ni Ketut Cenik bertemu dengan Anak Agung Mandra Ukiran, yang kemudian mengarahkan dia untuk menjadi penari arja (drama tari Bali). Toh, Cenik mengaku, seperti diungkap oleh Antara News, belajar sendiri dan mencari sendiri apa itu menari lebih penting daripada belajar pada seseorang guru. Dan, beliau tak pernah berhenti belajar meski telah sepuh dan telah dikenal sebagai seorang empu. Cara belajarnya, ya, itu tadi: dengan menonton orang lain menari, meski yang menari itu berusia jauh lebih muda dari usia Ni Ketut Cenik. Kalau ada pertunjukan tari di desanya, beliau seakan tidak peduli dengan berbagai predikat dan penghargaan yang telah ia raih. Dan, juga tak peduli dengan usianya yang sudah senja. Ia akan dengan antusias menonton pertunjukan itu, berdesak-desakan dengan penonton lain, sambil menyusur tembakau. Sampai akhir hayatnya, Ni Ketut Cenik dikenal sebagai penari joged pingitan terbaik dan mataksu (berwibawa). Namun, ia tidak pelit ilmu. Beliau telah mengajarkan tari joged pingitan dan arja kepada ribuan orang, termasuk yang berasal dari mancanegara.

Empu penari tradisi yang juga berpulang adalah Rasinah atau lebih dikenal sebagai Mimi Rasinah. Beliau wafat pada 7 Agustus lalu dalam usia 80 tahun, beberapa hari setelah menari di Bentara Budaya, Jakarta, dalam acara Indramayu dari Dekat. Dalam acara tersebut, empu tari topeng dermayon ini menari dengan tangan kiri yang tak bisa digerakkan akibat serangan stroke yang terjadi pada tahun 2006 lampau. Ia menari bersama cucunya, Aerli. Toh, tarian Mimi Rasinah tetap memukau dan magis, menyihir para penonton yang hadir saat itu.

Mimi Rasinah belajar menari topeng dermayon pertama kali dari ayah dan ibunya. Ayahnya adalah seorang dalang dan ibunya adalah dalang ronggeng. Ia belajar sejak berusia lima tahun dan pada usia tujuh tahun sudah berkeliling untuk mengamen tari topeng. Kegiatannya sempat terhenti ketika Jepang mulai datang ke Indramayu. Oleh Jepang, ayahnya dianggap mata-mata, sehingga seluruh peralatan topeng dan aksesori tarinya dimusnahkan. Yang tersisa hanya tinggal satu topeng.

Ketika Belanda melakukan agresi militernya setelah Proklamasi Kemerdekaan, ayah Mimi Rasinah kembali mendapat tuduhan serupa dan akhirnya wafat setelah ditembak oleh tentara Belanda. Namun, kelompok tari yang telah terbentuk tidak dibubarkan. Kepemimpinannya dialihkan ke suami Mimi Rasinah, yang juga seorang dalang wayang. Aktivitas mereka terpaksa dihentikan setelah geger 30 September 1965, karena dianggap mengumbar syahwat.

Memasuki tahun 1970-an, tari topeng kehilangan pamor, kalah oleh tarling dan dangdut. Maka, suami Mimi Rasinah kemudian mendirikan kelompok sandiwara. Kurang-lebih 20 tahun, Mimi Rasinah berhenti menari. Ia lebih banyak membantu suaminya dalam kelompok sandiwara itu, sebagai penabuh gamelan. Khalayak luas mulai mengenal kembali sang empu setelah dua dosen STSI Bandung "menemukan" Mimi Rasinah dan mempertunjukkan penampilannya lewat tarian Topeng Kelana, pada awal tahun 1990-an. Sejak itu, nama Mimi Marsinah berkibar kembali, bahkan sampai ke berbagai penjuru dunia. Kini, Ni Ketut Cenik dan Mimi Rasinah telah tiada. Hancur badan dikandung tanah, budi baik terkenang jua. (Pedje)

No comments:

Post a Comment