Friday, October 1, 2010

Menjelang Senja dengan Rahasia Selma

Cerpen-cerpen Linda Christanty dalam bukunya yang terbaru hampir semuanya bernada muram. Namun, di eve’s Book Club Agustus lalu, pembicaraannya kerap diselingi tawa.


Nama Linda Christanty sebagai penulis cerita pendek (cerpen) di jagat kesusastraan Indonesia memang tak bisa dipandang sebelah mata. Cara bertuturnya benar-benar khas, kadang dengan sudut pandang penceritaan yang tak lazim. Pilihan temanya pun beragam, namun umumnya punya nada yang sama: menyuarakan keterbungkaman—tapi tidak dengan cara yang nyinyir atau seperti khotbah kaum rohaniwan. Tak salah kiranya bila kritikus sastra yang juga penyair terkemuka Indonesia, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, mengatakan bahwa cerpen-cerpen Linda adalah cerpen Indonesia masa depan.

Dengan alasan itulah, sudah sejak lama sebenarnya eve’s Book Club ingin membicarakan karya Linda, kumpulan cerpen pertamanya yang berjudul Kuda Terbang Mario Pinto, yang meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award. Namun, niat tersebut belum lagi terwujudkan sudah muncul kumpulan cerpen keduanya, Rahasia Selma, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama beberapa waktu lalu. Padahal, kami telah menjalin kontak dengan Linda cukup lama. Bahkan, Linda sempat kami undang untuk menulis pengalamannya dengan bahasa Indonesia di rubrik View Point beberapa tahun lampau.

Maka, begitu kami tahu buku kumpulan cerpen terbaru telah diterbitkan, kami pun langsung mengontak Linda lagi, untuk mencari waktu yang tepat. Kebetulan, Linda ada rencana ke Jakarta pada awal Agustus 2010 lalu, kami langsung pun menyiapkan acaranya. Linda memang tidak tinggal di Jakarta. Perempuan cantik kelahiran Pulau Bangka ini sejak beberapa tahun lalu menetap di Banda Aceh, memimpin sebuah media massa di sana.

Acara eve’s Book Club yang membicarakan Rahasia Selma dilakukan di kafe e-Corner yang terletak di Epicentrum Walk, Kuningan, Jakarta Selatan. Yang menjadi moderator kali ini adalah Rama Romindo. Peserta tampak begitu antusias menghangatkan bincang-bincang yang berlangsung sore mendung itu. Tambahan pula, Linda kerap menanggapi pertanyaan dari peserta dengan cara yang lucu dan berbagai penjelasan yang menarik.

Misalnya ketika ada yang menanyakan latar belakang penulisan cerpennya yang berjudul "Babe", yang mengisahkan hubungan dua orang di dunia maya, Linda menceritakan juga pengalaman pribadinya masuk ke kanal chatting. “Begitu saya masuk ke sana, ada orang yang bertanya, ‘Apakah kamu suka telepon seks?’ Saya jawab, ‘Saya tidak suka. Saya mencari teman diskusi.’ Dan, orang itu pun menanggapi lagi, ‘O, kalau kamu suka, lain kali hubungi saya, ya.’,” tutur Linda, yang disusul dengan gemuruh tawa seluruh peserta yang hadir.

Toh, walau diselingi banyak tawa, banyak peserta sepakat bahwa cerpen-cerpen Linda dalam Rahasia Selma adalah cerpen-cerpen yang muram, yang cenderung mengisahkan para perempuan bernasib malang. Suasana yang hadir membayang dalam cerpen-cerpen itu begitu menekan perasaan, walau kisahnya dituturkan oleh Linda lewat metafora dan ungkapan berwarna lembut atau dengan lansekap yang indah. Linda kadang juga membaurkan antara realitas keseharian dan realitas imajiner sehingga terbangun suasana surealistis yang mencekam pada beberapa cerpennya.

Linda mengakui hal itu. Menurut dia, sebagian besar cerita yang ia buat memang suram, termasuk tokoh-tokohnya. “Namun, tetap ada nada optimistis di cerpen-cerpen saya. Tokoh-tokohnya berjuang untuk mengatasi masalah atau keadaan dengan caranya masing-masing,” katanya.

Ada 11 cerpen Linda dalam Rahasia Selma, yang sebagian besar pernah dipublikasikan di media massa. Lewat cerpen-cerpennya itu, Linda antara lain mengisahkan kekerasan seksual yang terjadi pada anak, homofobia, pelanggaran hak asasi manusia, dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Dalam cerpen "Mercusuar", misalnya, Linda melukiskan kisah perempuan korban diskriminasi rasial dalam balutan petualangan seksual, dengan loncatan-loncatan pikiran yang sukar ditebak dan kemudian bermuara pada peristiwa traumatis yang menyesakkan dada, yang berhubungan dengan realitas faktual di luar cerita.

Dengan kepiawaiannya mengolah cerita seperti itu, kenapa pula Linda hanya menulis cerpen, tidak menulis novel? Begitu tanya salah seorang peserta. “Sebenarnya niat itu sudah ada sejak bertahun-tahun lalu, tetapi sampai sekarang belum terwujud. Saya pernah ingin menulis novel, tapi jadinya malah cerpen. Karena mungkin begini. Saya membayangkan orang yang menulis novel itu adalah orang yang punya waktu luang untuk duduk lebih banyak dan saya kebetulan orang yang tidak punya terlalu banyak waktu untuk duduk. Orang yang menulis novel kan harus fokus, sementara saya termasuk orang yang kalau sedang menulis sesuatu suka berpikir hal lain. Mungkin, ini penyakit jiwa, ya. Ha-ha-ha….,” ungkap Linda.

Linda memang bukan hanya terampil menulis berbagai kisah dan laporan jurnalistik, tapi juga pandai bercerita secara lisan. Ia juga enak diajak berbincang-bincang karena pengetahuannya yang luas. Bahkan, ketika acara sudah berakhir, beberapa peserta masih asyik mengobrol dengan Linda sambil menikmati hidangan yang disediakan e-Corner.

Seperti biasa, sebelum acara ditutup dan penandantanganan buku oleh penulis, ada hadiah-hadiah menarik yang diberikan oleh pendukung eve’s Book Club. Kali ini, masing-masing peserta mendapat hadiah berupa voucher dari Burberry berupa sampel produk, voucher dan lipstik dari Nyx, dan voucher dari e-Corner. Sementara itu, tiga penanya terbaik dan juga Linda beserta moderator mendapat paket kosmetik dari Nyx. O, ya, pada eve’s Book Club Agustus lalu itu, Burberry juga berkenan memberikan hadiah parfum terbarunya kepada peserta yang dapat menjawab pertanyaan yang diajukan Managing Editor eve Sri Purwandhari. Asyik, kan? (Pedje)

No comments:

Post a Comment