Sunday, January 31, 2010

Sore yang Hangat Bersama Ronggeng

Dalam kegiatan perdananya, eve's Book Club menggelar diskusi novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Menyenangkan dan bermanfaat.


Usianya 17 tahun pada tahun 1965. Ia masih kelas dua di sekolah menengah atas dan tinggal di sebuah desa. Namun, kedegilan dan kegilaan politik yang melanda negeri ini pada masa itu telah membuatnya jiwanya menggigil. “Jiwa saya terguncang, karena terjadi gelombang pembunuhan masyarakat bawah di kampung saya, di depan mata saya. Amat mencekam, sementara saya belum bisa apa-apa, meski sudah mulai beranjak dewasa,” ujar Ahmad Tohari, penulis novel trilogi legendaris Ronggeng Dukuh Paruk.

Sastrawan penerima Southeast Asian Writers Award pada tahun 1995 itu mengungkapkan penggalan perjalanan hidupnya tersebut di restoran Magenta Kitchen, di lantai 4 Pacific Place, Jakarta. Pada 20 Januari lalu itu, Ahmad Tohari memang kami undang untuk menjadi narasumber dalam diskusi novel triloginya, acara perdana yang diselenggarakan oleh eve's Book Club yang baru kami bentuk. Dalam penyelenggaraan acara tersebut, kami menggandeng kelompok pecinta buku Membahas Buku yang dikoordinasi oleh Aini Hutasoit. Acara yang dipandu oleh penulis yang juga dokter Nova Riyanti Yusuf ini juga didukung oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama sebagai penerbit novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Magenta yang berbaik hati menyediakan tempat sekaligus kudapan bagi peserta diskusi.

Peserta diskusinya sendiri kami batasi, agar dapat berjalan intens. Selain aktivis kelompok Membahas Buku, kami hanya mengundang beberapa orang eve's reader panel yang kami tahu sangat menyukai dunia sastra. Yang hadir pada diskusi sore hari itu ada 22 orang, termasuk Ahmad Tohari, yang sepanjang acara tampak sumringah. Jauh hari sebelumnya, para peserta yang telah mengonfirmasi akan hadir dalam acara ini dikirimi novel Ronggeng Dukuh Paruk yang diberikan secara cuma-cuma oleh Gramedia. Seusai diskusi, para peserta masih pula mendapat bingkisan menarik dari Dior. Menyenangkan, bukan?

Jalannya diskusi sendiri tak kalah menyenangkannya. Hangat dan kadang diselingi tawa, terutama ketika membicarakan kehidupan masyarakat desa dan kehidupan seorang ronggeng yang diangkat Ahmad Tohari dalam novelnya. “Ada seorang teman bercerita kepada saya, katanya temannya tak percaya kalau dalam dunia nyata ada tempat dan kisah seperti dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Padahal, apa yang saya angkat ke dalam novel itu dunia nyata yang ada di telapak kaki kita sendiri. Mengerikan, ya?” ungkap sastrawan yang lahir pada 13 Juni 1948 itu.

Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk sendiri, menurut Ahmad Tohari, ditulis karena memang harus ada yang menulis soal peristiwa yang mencekam pasca-Gerakan 30 September 1965, yang diduga didalangi oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). “Harus ada yang menuliskan pembantaian orang-orang yang diduga terlibat dalam PKI itu. Tidak mungkin peristiwa mencekam sebesar itu dilewatkan begitu saja tanpa kesaksian,” ujar penulis yang terbilang produktif ini.

Awalnya, Ahmad Tohari berharap ada seorang sastrawan yang tergerak menulis tentang peristiwa tersebut. “Tapi, setelah bertahun-tahun tak ada satu pun karya fiksi yang mengangkat persoalan itu. Saya pribadi merasa tidak berkompeten menuliskannya, karena masih banyak sastrawan besar di atas saya. Selain itu, pada masa Orde Baru kan hal-hal yang berkaitan dengan PKI bisa bikin runyam. Namun, karena sampai awal tahun 1980 belum ada juga yang menuliskannya, saya pun bertekad untuk menulis sendiri. Saya merasa ketempuhan, kata orang Jawa. Kalau tidak ada yang menulis, sayalah yang harus menulis. Karena, ya, itu tadi, tidak mungkin peristiwa mencekam sebesar itu dilewatkan begitu saja tanpa kesaksian. Apalagi, awal 1980 itu, novel saya yang berjudul Kubah juga diterbitkan,” papar jebolan Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun-Jakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman-Purwokerto, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sudirman ini.

Masalahnya kemudian, bagaimana cara ia menuliskannya dan dari mana pintu masuknya? “Pusing saya memikirkan itu. Sampai-sampai, saya akhirnya keluar dari pekerjaan saya sebagai seorang wartawan di harian Merdeka. Tapi, Tuhan ternyata memberi jalan. Suatu malam, saya bertemu dengan seorang kakek. Kami berbincang-bincang dan kakek itu mengisahkan bahwa dirinya pernah memenangkan acara buka kelambu seorang calon ronggeng. Kakek tersebut bercerita penuh semangat, membanggakan keperkasaan masa mudanya. Saya pun langsung mendapatkan gagasan untuk menjadikan ronggeng sebagai pintu masuk novel saya itu. Apalagi, ronggeng kan melibatkan perempuan yang cantik dan kesenian rakyat yang dipakai oleh orang-orang PKI dalam propagandanya. Oke, itulah pintu masuknya,” kata Ahmad Tohari.

Maka, terciptalah Ronggeng Dukuh Paruk yang dahsyat itu, yang diterbitkan sebagai buku novel pada tahun 1982. Namun, kisahnya tak sampai di situ. Pemerintah Orde Baru yang paranoid memanggil Ahmad Tohari, lewat aparat militernya. “Istri saya sampai tak karuan gara-gara pemanggilan itu. Saya dipanggil aparat intelijen militer, yang markasnya ketika itu di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran, Jakarta Selatan. Saya diinterogerasi berjam-jam seputar novel saya dan kaitannya dengan PKI. Saya baru bisa bebas kalau bisa memberikan nama satu orang sebagai jaminan. Maka, saya pun memberikan nama Gus Dur sebagai jaminan kebebasan saya. Saya juga berikan nomor telepon Gus Dur dan saya katakan saya bersedia dipanggil kembali kalau memang mereka masih perlu penjelasan kepada saya,” ujar Tohari, yang memang telah lama bersahabat dengan Gus Dur alias Abdurrahman Wahid, mantan presiden.

Novel itu sendiri mendapat sambutan yang bagus dari kalangan peminat dan penikmat sastra. Banyak kritikus memuji kepiawaian Tohari dalam bercerita, termasuk keahliannya menggambarkan secara detail lansekap pedesaan. Tak mengherankan jika novel itu masih sering dibicarakan sampai sekarang. Adalah hal yang bisa dibilang tepat ketika Tohari mengangkat salah satu kisah kelam dalam sejarah bangsa ini ke dalam bentuk fiksi, novel. Karena, telah terbukti sejak berabad-abad lalu, kekuatan naratif fiksi dapat “mengawetkan” suatu peristiwa, sehingga mampu menembus ketebalan dinding waktu. Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk juga contoh yang pas dari karya seni yang dulce et utile, ‘menyenangkan dan bermanfaat’. Setidaknya, novel itu berguna sebagai dokumentasi sosial-budaya, selain bisa menjadi inspirasi bagi bangsa ini agar tidak mengulang lagi peristiwa keji seperti pada tahun 1960-an itu. Pedje

No comments:

Post a Comment