Friday, January 22, 2010

Takudar!

Selain seru, diskusi buku eve's Book Club kali ini terbilang unik: novelnya tentang suatu babak dalam sejarah Kekaisaran Mongol, penulisnya seorang perempuan Jawa, dan diskusinya berlangsung di restoran Jepang.


Dalam situs www.goodreads.com, novel The Road to the Empire: Kisah Takudar Khan, Pangeran Muslim Pewaris Mongol karya Sinta Yudisia rata-rata mendapat empat bintang dari pembacanya. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang memberi lima bintang. Tak mengherankan pula jika dalam Islamic Book Fair Jakarta 2009, beberapa bulan lalu, novel tersebut meraih penghargaan sebagai buku fiksi terbaik. Karena itu, tak salah kiranya bila novel ini kami bahas dalam acara eve's Book Club pada tanggal 12 Agustus 2009 lalu, yang diadakan di Sakura Japanese Restaurant, di bilangan Jakarta Selatan. Apalagi, sepengamatan kami, inilah novel sejarah pertama karya penulis Indonesia yang mengangkat kisah sejarah atau kehidupan bangsa lain.

Sebenarnya, tradisi penulisan karya sastra yang seperti itu sudah lazim di dunia. Di Indonesia sendiri, beberapa penulis sastra telah melakukannya, dalam bentuk cerita pendek (cerpen) dan puisi. Budi Darma, misalnya, mengangkat kehidupan orang-orang Bloomington, Amerika Serikat, dalam cerpen-cerpennya yang kemudian dibukukan dalam sebuah antologi berjudul Orang-Orang Bloomington. Begitu pula Umar Kayam dalam beberapa cerpennya. Rendra, sang penyair yang baru saja mangkat, juga pernah menulis beberapa puisi tentang kehidupan orang-orang di Amerika Serikat.

Namun, dalam genre novel sejarah tampaknya baru dilakukan oleh Sinta Yudisia. Yang mengagumkan, dalam novel Sinta Yudisia ini terasa sekali hasil kerja risetnya yang mendalam, sehingga novel ini kaya dengan detail lansekap serta sosial-budaya bangsa Mongol pada masa kekaisaran Tuqluq Timur Khan dan setelahnya, sekitar abad ke-13 Masehi. Padahal, meski Kekaisaran Mongolia merupakan kekaisaran kedua terbesar dalam sejarah dunia—menguasai sekitar 33 kilometer persegi belahan bumi dalam masa puncak kejayaannya—data-data tertulis serta hasil studi mengenai kekaisaran ini relatif sulit didapat. “Mungkin karena pada masa itu tradisi mereka masih didominasi oleh tradisi lisan,” ungkap Sinta Yudisia, yang bersama suaminya diterbangkan oleh Lingkar Pena Publishing House, penerbit novelnya, dari Surabaya khusus untuk acara eve's Book Club kali ini.

Sinta mengakui, sebagian besar yang ia ungkapkan dalam novelnya merupakan hasil rekaan. “Hanya dua puluh persen yang diambil dari kisah nyata,” ujarnya. Kendati demikian, dunia rekaan yang diciptakan dalam novelnya tetap berpegang hukum kebolehjadian (plausibility) yang bersandar pada fakta-fakta sejarah. “Jadi, saya tetap berusaha agar apa yang ada di dalam novel ini bisa dipertanggungjawabkan,” kata ibu dari empat orang anak ini.

Novel ini sendiri, sesuai dengan judulnya, lebih banyak mengisahkan tentang Takudar dalam upayanya untuk menjadi kaisar Mongol. Takudar adalah anak tertua dari pasangan Kaisar Tuqluq Timur Khan dan Ilkhata sang Permaisuri. Takudar memiliki dua orang adik, yakni Arghun dan Buzun. “Namun, ada versi lain dari sejarah Mongol yang mengatakan bahwa Takudar dan Arghun merupakan saudara sepupu,” tutur Sinta.

Arkian, Kaisar Tuqluq Timur Khan memiliki cita-cita untukl meneruskan kebesaran para leluhurnya, mempersatukan seluruh bangsa-bangsa yang ada di dunia di bawah imperiumnya, namun dengan cara damai dan tanpa pertumbahan darah. Dalam upayanya ini, Kaisar Tuqluq Timur Khan sempat menjalin persahabatan dengan Syaikh Jamaluddin, seorang pemuka umat Islam yang bermukim di dekat pusat kekaisarannya dan tadinya merupakan kaum yang ingin ditaklukkan juga oleh bangsa Mongol. Keduanya malah sempat membuat sumpah setia untuk saling mendukung dan membantu. Namun, belum lagi cita-citanya tercapai, sang kaisar dikhianati oleh orang kepercayaannya dalam pemerintahan, Albuqa Khan. Sang Kaisar dan permaisurinya dibunuh, sementara Takudar menghilang. Albuqa Khan lalu mengangkat Arghun Khan menjadi kaisar pengganti.

Arghun Khan menjadi kaisar yang bertangan besi dan berambisi menaklukkan berbagai wilayah di bumi dengan menghalalkan segara cara. Seperti leluhurnya, ia juga bernafsu menguasai Jerusalem, yang waktu itu dianggap sebagai pusat kekuatan dunia. Itulah sebabnya, kaum muslim pengikut Syaikh Jamaluddin, yang menjadi tempat perlindungan Takudar dalam pelariannya, melakukan gerakan-gerakan untuk melawan perilaku lalim Arghun Khan sang Kaisar. Mereka juga ingin mendudukkan Takudar di singgasana kaisar sebagaimana lazimnya hukum yang berlaku dalam pemerintahan monarki. Dan, novel karya Sinta Yudisia ini berhasil memukau banyak pembacanya karena mampu mengangkat pergulatan dan perjuangan Takudar beserta para pendukungnya itu dengan cara bertutur yang mengalir lancar meski penuh peristiwa yang menegangkan, deskripsi yang filmis, dan penyisipan nilai-nilai moral tanpa menggurui. Pendek kata, aspek dulce et utile dalam novel ini tergarap dengan apik.

“Saya senang membaca buku ini, karena berhasil mengangkat peristiwa bersejarah dengan bumbu yang menarik, seperti sayur asem. Padahal, biasanya, kalau membaca buku sejarah, saya sering merasa bosan,” ujar finalis Face of eve yang kerap hadir dalam setiap acara eve's Book Club, Tika. Berbagai pertanyaan pun dilontarkan peserta diskusi yang lain, mulai dari proses kreatif Sinta, lama penulisan novel ini, sampai pertanyaan tentang bagaimana cara Sinta meriset kehidupan bangsa Mongol.

“Apakah Anda pernah ke Mongol?” kata seorang peserta.

Ternyata, Sinta belum pernah menjejakkan kakinya sekali pun ke negeri Mongol. “Doakan saya, ya, agar bisa ke sana,” tutur Sinta.

Ada juga yang memprotes penggambaran nasib tokoh utama perempuan dalam novel ini. “Awal-awalnya saya kagum membaca novel ini. Tapi, kemudian saya kecewa karena perempuan yang digambarkan dalam novel ini masih sangat tertindas dan kurang dihargai. Menurut saya, Takudar bulanlah pemimpin yang baik, karena tak menghargai perempuan,” kata Lilis dari komunitas Membahas Buku.

Dengan santun, Sinta menanggapi protes itu. “Dalam perang, yang selalu menjadi korban utamanya adalah kaum perempuan dan anak-anak. Tak sedikit perempuan yang menjadi korban pemerkosaan ketika sedang terjadi peperangan, seperti yang dialami Almamuchi dalam novel ini. Namun, menurut saya, Almamuchi justru merupakan perempuan yang memiliki prinsip kuat dan ketegaran yang luar biasa,” papar Sinta.

Beatrice, yang juga sering mengikuti acara eve Book Club, lain lagi pertanyaannya. Ia penasaran dengan cara Sinta mendalami karakter-karakter yang ada dalam novelnya. “Saya sering membayangkan karakter-karakter yang saya akan tulis di mana saja, bahkan kadang sampai ke kamar mandi,” ungkap Sinta.

Ia juga mengakui bahwa ketika menulis novel ini banyak menonton film yang mengangkat kisah bangsa Mongol dan yang menggambarkan bangsa yang hidup di tengah gurun, termasuk film Red Cliff karya John Woo, film The Three Kingdom karya Daniel Lee, dan Warlords karya Peter Chan.

“Selain itu, yang menjadi inspirasi besar saya dalam menulis novel ini adalah buku The Preaching of Islam karya Sir Thomas W. Arnold dan karya-karya Muhammad Iqbal, yang ternyata berteman baik dengan Sir Thomas W. Arnold,” ujar Sinta, yang telah menulis 40 judul buku. Novel The Road to the Empire: Kisah Takudar Khan, Pangeran Muslim Pewaris Mongol sendiri ditulis Sinta selama setahun. “Setelah selesai, saya kirimkan ke sebuah penerbit. Namun, setelah beberapa lama belum ada juga ada kabar. Saya tanyakan bagaimana nasib novel saya. Ternyata, mereka enggan menerbitkan karena, katanya, biasanya novel epik susah laku. Maka, saya pun lalu mengirimkan ke Lingkar Pena Publishing House dan mendapat tanggapan positif. Namun, oleh Asma Nadia dari Lingkar Pena, novel saya ini diberikan dulu ke Maman Mahayana dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, untuk dibaca,” ungkap Sinta.

Maman Mahana ternyata suka dengan novel ini. “Namun, beliau memberikan banyak sekali catatan yang harus saya perbaiki. Pesannya, sudah saatnya penulis Indonesia tak memikirkan royalti atas karyanya, tapi memikirkan kualitas karyanya. Saya pun lalu memperbaiki dan menambahkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam novel yang saya tulis seperti saran Pak Maman, barulah kemudian diterbitkan oleh Lingkar Pena,” kata Sinta.

Lebih dari dua jam diskusi buku kali ini berlangsung, namun rasanya sebentar saja. Para peserta pun terlihat masih antusias untuk berdiskusi waktu Sarmedi Dean yang menjadi moderator menutup acara ini. Karena itu, tak sedikit yang melanjutkan tanya-jawab dengan Sinta meski acara secara resmi telah ditutup, yang sebelumnya dilakukan dulu pembagian hadiah kepada para peserta yang dinilai telah mengajukan pertanyaan yang menghidupkan jalannya diskusi. Dan, tidak seperti biasanya, kali ini penulis buku justru ikut menyediakan hadiah untuk lima orang peserta! Hadiah yang lainnya disediakan oleh Sakura Japanese Restaurant, berupa tiga voucher makan yang masing-masing senilai Rp100 ribu untuk tiga orang peserta. Sementara itu, Sinta Yudisia sebagai penulis buku mendapat bingkisan dari Madame Korner, yang diserahkan oleh Managing Editor eve, Sri Purwandhari. Dan, tentu saja, seluruh peserta diskusi mendapat novelnya, lengkap dengan tanda tangan penulisnya yang diminta seusai acara. Juga mendapat kudapan nan lezat dari Sakura Japanese Restaurant. Doumo arigatou! Pedje

No comments:

Post a Comment