Monday, July 5, 2010

Antara Kutang, Dewa-Dewa, dan Kesewenang-wenangan Penguasa

Dari sepotong pengalaman hidup neneknya, Okky Madasari berhasil menciptakan novel yang memukau banyak orang.


Banjir pujian. Itulah yang terjadi pada acara eve’s Book Club pada awal Mei lalu di Kedai 3 Nyonya, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Yang didiskusikan adalah novel Entrok karya Okky Madasari, sarjana ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mantan wartawan yang kini menjadi dosen. Entrok, yang artinya ‘BH’, ‘kutang’, atau ‘bra’, adalah novel pertamanya.

Kisahnya digulirkan lewat konflik ibu dan anak yang memiliki keyakinan berbeda. Marni, sang ibu yang buta huruf, adalah seorang pemuja leluhur. Dia memuja dewa-dewa dan memanjatkan harapannya melalui perantara sesajen. Marni tak pernah mengenal Tuhan seperti yang disembah anaknya, Rahayu, yang telah mengenyam pendidikan di sekolah dan pemeluk agama Tuhan yang taat. Bagi Marni, Rahayu adalah sosok anak yang tak punya perasaan. Sementara itu, Marni bagi Rahayu adalah sosok perempuan yang berlumur dosa. Namun, keduanya akhirnya menyadari bahwa mereka sama-sama menjadi korban dari pemegang kekuasaan yang ugal-ugalan.

“Tema besar buku ini adalah soal pluralisme, bagaimana kita bisa saling toleran kepada orang-orang yang berbeda keyakinan, orang-orang yang memiliki prinsip berbeda, cara pandangan hidup yang berbeda. Selain itu juga tentang penggambaran pada era Orde Baru, ketika kesewenang-wenangan begitu marak terjadi. Dan, itu kerap dilupakan oleh generasi-generasi saat ini. Mereka tidak sadar bahwa hal-hal serupa masih terjadi saat ini, bentuknya hampir-hampir mirip dengan masa lalu. Jadi, mungkin itu yang bisa diambil dari buku ini,” ujar Okky membuka pembicaraan ketika ditanyai oleh Syahmedi Dean, moderator, tentang tema novelnya.

Soal pemilihan umum pada masa setelah Orde Baru, misalnya, tambah Okky, masih menyisakan pertanyakan apakah sudah ada adil atau tidak. Begitu pula dengan maraknya penggusuran sekarang ini yang mirip dengan masa Orde Baru.

Persoalan yang melanda Marni dan Rahayu pun, menurut Okky, justru semakin mengemuka belakangan ini. “Ketika pendidikan semakin maju, pengetahuan dan informasi semakin banyak, soal-soal perbedaan semacam itu semakin mengemuka. Masing-masing orang punya alasan untuk mempertahankan keyakinannya. Masing-masing orang punya alasan untuk seolah-seolah bisa menyalahkan keyakinan orang lain. Akhirnya banyak sekali kan permasalahan belakangan ini gara-gara orang berbeda keyakinan, berbeda agama. Jadi, justru saat ini persoalan semacam itu menjadi relevan untuk diingatkan lagi. Marni dan Rahayu hanya sampel kecil bahwa hal seperti itu sudah pernah terjadi di masa lalu. Kita tidak seharusnya mempersalahkan perbedaan keyakinan. Karena, pada setiap keyakinan orang pasti ada latar belakang yang melandasinya,” ungkap Okky.

Ketika ada peserta yang bertanya, apa yang mengilhami dirinya untuk menulis novel tersebut, Okky menjawab bahwa ide ceritanya berasal dari pengalaman neneknya. “Fragmen yang tentang entrok, yang tentang Marni ingin mendapatkan BH lalu bekerja keras dan sakit hati karena pamannya tidak mau membelikan, itu riil pengalaman hidup nenek saya. Sejak saya kecil sampai besar cerita itu diulang-ulang terus dalam berbagai kesempatan. Dari sepotong pengalaman itu, saya berpikir untuk terus melanjutkan menjadi sebuah kisah,” tutur Marni. Untuk detail penokohannya, aku Okky, kebanyakan sebenarnya apa yang ia lihat dan apa yang ia ketahui ketika tinggal di Magetan, Jawa Timur. “Termasuk soal kepercayaannya. Nenek saya itu yang sampai sekarang masih selametan, masih yang ‘Mbah Ibu Bumi, Bapak Kuoso’, yang masih seperti itu, walaupun di KTP-nya ditulis agama Islam,” kata Okky.

Novel itu ditulis Okky dalam waktu tiga bulan. “Yang lama itu menentukan akhirnya saya mau menulis ini, setelah melewati pemikiran yang mungkin bertahun-tahun,” ujarnya.

Menurut Lani, salah seorang peserta, dalam novel karya Okky itu, kekuatan dan perjuangan perempuan benar-benar ditonjolkan. “Tapi, saya nyesak dengan bagian akhirnya yang tidak happy ending. Luar biasa,” kata Lani. Namun, bagi Okky sendiri, sebenarnya novel ini happy ending, hanya saja Marni memiliki konsep kebahagiaan yang berbeda dengan orang sekarang. “Jangan membayangkan bahagianya orang seperti Marni itu bisa ke mal, belanja baju-baju, atau liburan. Bahkan, sampai sekarang pun bagi orang di daerah saya itu tidak ada orang yang pergi liburan. Jadi, konsep bahagianya beda,” ungkap Okky.

Peserta yang lain, Rizka Moeslichan, merasa mendapat pelajaran sangat banyak setelah membaca novel Entrok. “Dengan keterbatasan saya dengan istilah-istilah Jawa, saya sebenarnya tersendat-sendat membaca buku ini. Namun, justru di situlah kelebihan buku ini. Saya belajar banyak,” kata Rizka.

Ada lagi peserta yang mengatakan bahwa isi novel Okky lebih dalam daripada sekadar gambar BH seperti yang ada pada sampulnya. “Yang kedua, saya tertarik dengan tulisan Okky saat menjelaskan Marni pertama kali mendapat menstruasi, orang tuanya menerangkan seperti yang tertera pada halaman 31. Di sana saya melihat ada pembelajaran tentang seks. Nah, saya ingin tahu, apakah ini terjadi di masyarakat di desa? Apakah ini berdasarkan pembelajaran Okky terhadap masyarakat di desa yang sebenarnya sudah mengerti bahwa perempuan yang sudah mens sudah bisa melahirkan anak? Apakah ini memang terjadi atau hanya rekaan Okky saja tentang masyarakat desa yang seperti itu?” ujar peserta tersebut.

Okky menjawab bahwa hal yang seperti itu memang ada dan terjadi desa. “Tapi, orang seperti Marni dan Rahayu tidak pernah terpikir bahwa itu adalah pendidikan seks. Tujuannya lebih kepada menginformasikan bahwa seorang perempuan yang diberi tahu bukan lagi anak-anak sudah bisa hamil dan sudah bisa menikah. Itu artinya si anak harus mulai menjaga tubuhnya, harus mulai berdandan. Istilahnya, anak perempuan yang sudah dewasa itu semacam barang dagangan. Jangan bayangkan itu untuk tujuan yang terlalu tinggi, untuk mencegah si anak dari apa, apa. Enggak. Dan, itu memang riil, ada,” kata Okky.

Begitu banyak tanggapan dari peserta dan begitu banyak juga penjelasan dari Okky, baik mengenai novelnya maupun tentang situasi sosial-politik pada masa-masa tertentu yang menjadi bahan penulisan novelnya. Tak terasa hari telah menjelang malam, sehingga dengan terpaksa acara pun harus diakhiri. Seperti biasa, penulis buku, moderator, dan tiga penanya terbaik mendapat bingkisan, yang kali ini datangnya dari Orlane. Akan halnya seluruh peserta mendapat voucher free facial sebesar Rp500 ribu, juga dari Orlane. Dan, tentu saja disediakan kudapan yang lezat dari Kedai 3 Nyonya serta penandatanganan buku oleh Okky. Seru! Pedje

No comments:

Post a Comment