Saturday, July 31, 2010

Membicarakan Meteore de Java

Diskusi yang digelar eve's Book Club semakin banyak diminati para pecinta buku. Bulan lalu terjadi diskusi seru. Buku yang dibicarakan adalah novel Boulevard de Clichy: Agonia Cinta Monyet karya Remy Sylado.


Ada yang bilang, eve's Book Club semacam perjamuan buat para penggemar buku, khususnya para penyuka buku fiksi. Kami kira ada benarnya. Karena, kami memang berupaya keras untuk “memanjakan” para undangan yang hadir dalam acara diskusi buku yang digelar setiap bulan. Sejauh ini, para undangan bukan hanya mendapat buku yang akan didiskusikan, tapi juga bisa bertemu dan bertukar pikirang langsung dengan penulisnya plus minta tanda tangannya di buku. Setelah itu dapat hadiah dari sponsor pula dan kudapan nan lezat dari kafe atau restoran yang berkenan menyediakan tempat. Begitupun dalam diskusi buku yang ketiga kalinya, yang diadakan di restoran Fluerie, yang terletak di Lantai P4 Plaza Senayan, Jakarta Selatan, 12 Maret lalu. Para undangan yang hadir tampak puas dengan hidangan yang disediakan dan hadiah dari Pantene. Apalagi, tiga penanya terbaik mendapat hadiah khusus dari Pantene. Dan, tentu saja, mereka merasa puas dengan diskusi buku yang dipandu oleh Syahmedi Dean, seorang penulis.

Buku yang dibahas adalah novel Boulevard de Clichy: Agonia Cinta Monyet karya Remy Sylado. Tebal novel yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama ini 672 halaman ini. Namun, entah kenapa, semua peserta diskusi buku itu mengaku suka membacanya. Padahal, dalam novel ini banyak sekali kata arkais, kata dari masa silam yang sudah jarang dipakai, yang digunakan Remy Sylado. Belum lagi kegemaran Remy menggunakan berbagai peribahasa di banyak halaman novel ini. “Saya memang kepengennya seperti Shakespeare. Dia termasuk seorang pengarang Inggris yang menyumbangkan sejumlah kosakata mati pada abad ketika dia hidup. Dari sekian ribu kosakata yang dia sumbangkan itu kemudian dibakukan dalam bahasa Inggris resmi. Ada yang dari Anglo Saxon, dari Prancis, dan sebagainya. Saya rasa, saya kepengen juga seperti itu. Tapi, di samping itu ada banyak kosakata yang tidak bisa saya temukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya kata deprok,” ujar Remy memberi alasan mengapa begitu banyak kata arkais dalam novelnya.

Sebenarnya, bukan dalam novel Boulevard de Clichy: Agonia Cinta Monyet saja yang seperti itu terjadi. Dalam beberapa novelnya yang lain pun penulis yang memiliki nama asli Japi Tambayong ini melakukan hal yang sama. Selain itu, kesamaan lain dalam beberapa novelnya yang ditulis beberapa tahun belakangan, kata seorang peserta diskusi, Remy selalu mengisahkan perempuan-perempuan yang terpinggirkan. “Memang, saya ingin menyadarkan orang Indonesia bahwa laki-laki akan kualat kalau menghina perempuan, kalau menyia-nyiakan perempuan. Kita sudah lupa bahwa tradisi kita sebetulnya itu menghargai perempuan. Kita enggak punya tradisi kejantanan di Indonesia. Dalam arti begini, kalau kita menyebut tanah air kita, kita tidak bilang seperti dalam bahasa Ingris, fatherland, tapi ibu pertiwi. Ketika kita bilang jari jempol yang paling besar, kita bilang ibu jari. Ketika kita berbicara tentang pusat pemerintahan republik ini, kita katakan ibu kota. Jadi, sebenarnya, semuanya yang harus diihormati kita dari awal peradaban kita adalah ibu,” ujar penulis yang juga seorang munsyi (guru bahasa, ahli bahasa) ini.

Lebih jauh Remy mengatakan bahwa dirinya berasal dari suatu daerah yang percaya bahwa orang yang berani melukai perempuan akan terkutuk selama-lamanya. “Karena, ada cerita mitologi dari daerah itu, namanya Toar dan Lumut, dan daerah itu namanya Minahasa di Sulawei Utara sana. Jadi, dari sana ada sesuatu juga yang menjadi sangat tajam akibat dari tatanan seperti itu. Tatanan yang sangat tajam itu saya mau bilang begini, laki-laki Minahasa itu takut sekali sama istrinya. Saya berasal dari situ, kehidupan yang menghormati perempuan. Jadi, tidak heranlah kalau saya menulis cerita-cerita saya seperti itu,” ujarnya lagi.

Berdiskusi dengan Remy memang menyenangkan. Pengetahuannya luas. Remy Sylado bagaikan eksiklopedia berjalan. Ia bisa menjelaskan dengan detail perihal bahasa, sejarah musik, sampai sejarah pemikiran yang pernah dan masih hidup dalam beragam kebudayaan di dunia. Misalnya, ketika ada seorang peserta diskusi memprotes mengenai ungkapan Remy yang seakan menghubungkan musik rock dan iblis dalam novel tersebut, Remy pun dengan fasih menjabarkan sejerah musik rock, termasuk adanya kelompok musik rock yang menamakan dirinya ACDC, yang kependekan dari Anti-Christ Devil’s Children. “Dengan jelas, mereka memang membuat lagu-lagu yang menghasut orang untuk tidak percaya kepada agama,” kata Remy. Namun, tambah Remy, penolakan terhadap rock adalah pada liriknya, bukan pada musiknya. “Semua musik bisa menjadi laknat, bisa menjadi berdosa, karena liriknya,” ungkapnya. Remy sendiri ketika diskusi buku itu berlangsung sedang terlibat sebagai penulis lakon dan sutradara untuk sebuah pementasan opera rock.

Novel Boulevard de Clichy: Agonia Cinta Monyet berkisah tentang seorang perempuan bernama Anugrahati, yang biasa dipanggil Nunuk. Ia adalah seorang perempuan cantik yang terlahir dengan bibir sumbing. Ayahnya adalah seorang sopir Metromini. Dan, demi masa depan anaknya, sang ayah rela merampok untuk biaya operasi plastik bibir Nunuk. Setelah dioperasi, Nunuk pun benar-benar menjadi dara cantik, yang membuat para remaja lelaki di sekolahnya berebut mencari perhatiannya. Padahal, sebelumnya, tak ada seorang pun yang memberi perhatian khusus kepada Nunuk.

Nunuk lalu berpacaran dengan Budiman, anak semata wayang Waluyojati, mantan preman yang menjadi Ketua DPRD. Nunuk pun terlena dengan bujuk rayu Budiman, sampai akhirnya tak mendapat haid lagi. Namun, orang tua Budiman, terutama ibunya, tak ingin anaknya menikahi Nunuk. Ada sisi gelap masa lalu ibu Budiman dan ibu Nunuk yang membuat kedua sejoli itu tak bisa bersatu dalam pelaminan. Akhirnya, dengan “bantuan” pengacara kenalan pemilik Metromini, ayah Nunuk mendapatkan “uang tutup mulut” dari ayah Budiman, Waluyojati. Dengan uang itu, Nunuk pun pergi ke Belanda, tinggal di tempat saudara ibunya.

Di sana, Nunuk melanjutkan pendidikan di sebuah sekolah tinggi teater, Fontys Academie voor Drama di Kanaalstraat-Eindhoven. Nunuk lalu bertemu dengan salah seorang pencari bakat, Albeni, keturunan Turki. Tergiur oleh bujuk rayunya dan janji-janji muluknya, Nunuk yang masih polos akhirnya terdampar di Paris, sebagai penari telanjang. Karir Nunuk begitu cemerlang, sampai-sampai dijuluki sebagai Meteore de Java di Boulevard de Clichy, Paris.

Latar waktu dalam novel ini adalah masa setelah Orde Baru tumbang dan para petualang politik banyak menguasai parlemen dan pemerintahan. Dan, Remy Sylado berhasil menggambarkan kebusukan-kebusukan mereka dalam kelebatan-kelebatan yang tajam. Gaya penceritaannya juga lumayan memikat, sehingga sulit melepaskan novel ini ketika kita mulai membacanya. Pedje

No comments:

Post a Comment