Sunday, August 15, 2010

Teringat Sangkot Marzuki

Tak dapat disangkal, setelah ditutup selama puluhan tahun, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Sangkot Marzuki Batubara berkembang sangat cepat menjadi suatu lembaga penelitian terkemuka di Indonesia dan disegani di tingkat internasional. Profesor Sangkot berhasil mengembalikan lagi wibawa lembaga penelitian terpandang di dunia yang didirikan pada tahun 1888 di Salemba, Jakarta itu, khususnya sebagai laboratorium penelitian patologi dan bakteriologi. Di sinilah Christiaan Eijkman, sebagai direkturnya yang pertama, mengawali penelitiannya yang berakhir dengan suatu penemuan besar mengenai hubungan antara defisiensi vitamin B1 dan beri-beri, yang yang menjadi landasan konsep modern ilmu vitamin. Berkat penemuannya itu, Eijkman diganjar hadiah Nobel pada tahun 1929. Laboratorium riset yang awalnya bernama Lab. voor Patologie Anatomie en Bacteriologie ini kemudian pada peringatan pendiriannya kelima puluh tahun diberi nama Lembaga Eijkman. Di puncak kejayaannya pada awal abad ke-20, Lembaga Eijkman menjadi pusat penelitian kedokteran tropis terkemuka dunia, namun terpaksa ditutup pada tahun 1960-an di tengah kemelut politik dan ekonomi setelah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Adalah Prof. Dr.
Ing. B.J. Habibie, yang ketika itu menjadi Menteri Riset dan Teknologi, yang menggagas menghidupkan kembali Lembaga Eijkman pada tahun 1990, sebagai upaya membangun sebuah lembaga penelitian terpandang di dunia dalam bidang biologi molekul. Untuk itu, B.J. Habibie khusus memanggil Sangkot dari Monash University, Melbourne, Australia, tempat Sangkot membangun karir ilmiah selama bertahun-tahun sampai menjadi ilmuwan yang memiliki reputasi internasional. Habibie meminta Sangkot untuk kembali ke Indonesia guna membantu beliau membangun sebuah lembaga penelitian biologi molekul baru. Sangkot pun dengan senang hati menerima tawaran untuk memimpin pembangunan kembali Lembaga Eijkman sebagai sarana pengembangan biologi molekul di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan ilmu kedokteran, tanpa pernah menyadari sebelumnya bahwa upaya tersebut memiliki tantangan dan hambatan yang besar.

Sangkot kembali ke Indonesia pada pertengahan tahun 1992. Dan,
Lembaga Biologi Molekul Eijkman dibuka kembali secara formal pada Juli 1992, yang dipimpin oleh Sangkot. Lembaga ini mulai beroperasi pada April 1993 dan diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia pada 19 September 1995.

Sangkot memang ilmuwan kelas dunia. Pria kelahiran Medan pada 2 Maret 1994 ini lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1968. Lahir sebagai anak tertua dari pasangan seorang guru, Amir Hasandan Putir Chairani Siregar, Sangkot dan kelima adiknya sejak kecil telah ditanamkan pentingnya menuntut ilmu setinggi-tingginya. Apalagi, kedua kakeknya juga orang berpendidikan. Kakek dari pihak ayahnya juga seorang guru, sedangkan kakek dari ibunya seorang dokter hewan lulusan Universiteit Utrecht tahun 1930. Nenek Sangkot dari ibunya adalah kakak tertua pujangga terkemuka Sanusi Pane dan Armijn Pane, serta cendekiawan Islam Laveran Pane.

Keinginannya untuk menjadi ilmuwan, seperti dituturkan Sangkot, mulai terbentuk ketika ia duduk di bangku sekolah menengah pertama pada tahun 1956-1959 dan semakin terpupuk pada masa bersekolah di SMA III Jakarta (1959-1962). Lulus dari SMA, ia masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan sejak awal sudah memutuskan untuk memperdalam bidang biokimia. ”Karena, saya dapatkan waktu kuliah itu bahwa semua hadiah Nobel di bidang kedokteran dimenangkan oleh penemuan-penemuan yang berkaitan dengan proses kimia kehidupan,” ungkapnya dalam sebuah kesempatan.


Perkenalan Sangkot secara langsung dengan dunia penelitian biologi modern terjadi waktu tiba di Monash University, Melbourne, sebagai seorang kandidat Ph.D. di pertengahan tahun 1971. Sebelumnya, setelah lulus menjadi dokter di tahun 1968, ia sudah dua tahun dipersiapkan menjadi ilmuwan dalam suatu program M.Sc. di bidang biokimia di Mahidol University, Bangkok, yang pada waktu itu masih dibawah binaan Rockefeller Foundation. ”Saya beruntung, karena program pascasarjana di Department of Biochemistry Mahidol University waktu itu merupakan program yang sangat maju, dengan pengajar ilmuwan aktif yang sebagian besar datang dari Amerika. Di sinilah saya diperkenalkan dengan konsep-konsep kimia dan fisika yang mendasari proses biologis, yang merupakan konsep mutakhir biokimia saat itu,” tuturnya.


Sangkot di Monash University bergabung dengan kelompok penelitian Profesor Anthony W. Linnane, yang pada waktu itu merupakan kelompok utama dunia dalam mempelajari proses bagaimana suatu sel makhluk hidup membangun aparatus sel yang diperlukan untuk proses transduksi energi. Waktu itu, Sangkot sudah memahami bahwa makhluk hidup memerlukan energi untuk berbagai fungsinya, termasuk untuk
pergerakan mekanik, untuk pertumbuhan dan reparasi dan untuk mempertahankan suhu tubuh. Ia juga bahwa sumber energi yang dapat digunakan secara langsung oleh sel hidup untuk proses-proses ini hanyalah suatu molekul berenergi tinggi yang dinamakan adenosine triphosphate atau ATP. Di Monash University inilah Sangkot merintis karir ilmiahnya sampai akhirnya dikenal sebagai ilmuwan terpandang di dunia, meskipun sempat kembali ke almamater awalnya, Universitas Indonesia.

Sangkot termasuk ilmuwan yang sangat produktif menuliskan pemikiran dan hasil-hasil risetnya di berbagai publikasi ilmiah internasional bergengsi, yang sebagian di antaranya kemudian ia bukukan dengan judul
Mitochondrial Respiratory Chain Disorders: From Yeast to Human. Buku inilah yang membuat Sangkot dianugerahi gelar higher doctorate oleh Monash University pada tahun 1998. Semuanya pengujinya memberikan pujian tinggi pada karya ilmiah Sangkot tersebut. Salah seorang pengujinya, Dr. Joanna Poulton dari Oxford, menilai, “Professor Marzuki’s work on the assembly and biosynthesis of H+-ATPase (nama lain dari ATP synthase) was some of the earliest work on nucleomitochondrial interactions. It made an important contribution to the foundation of the work which ultimately earned other workers the recent Nobel prize for characterizing the molecular motor which drives ATP synthesis in most/all living cells.”

Sangkot termasuk ilmuwan pertama yang membuktikan bahwa akumulasi mutasi dalam DNA mitokondria memiliki peran penting dalam proses penuaan. Beberapa penemuan di bidang ilmu kedokteran juga mengangkatnya sebagai salah satu pakar di bidang kloning dari Indonesia. Salah satu hasil kajiannya yang paling monumental di bidang kedokteran adalah penemuan tentang sistem konversi energi tubuh. Selain itu, ia juga berhasil menemukan peta gen untuk penyakit thalassemia.

Penghargaan atas reputasi ilmiah yang pernah diterima Sangkot antara lain Exchange Fellow–Australian Academy of Sciences 1981; ASEAN Achievement Award (Science-Biology) 1992; Penghargaan M. Kodijat–Ikatan Dokter Indonesia 1994; Outstanding Science Alumnus Award–Mahidol University, Thailand 1999, dan; Eijkman Medal dari University of Utrecht, Belanda 2001. Pada tahun 2007 lalu, Prof. Dr. Sangkot Marzuki juga menerima Penghargaan Hamengkubuwono IX dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun yang sama, ia juga mendapat Penghargaan Achmad Bakrie untuk bidang kedok­teran.

Pengabdian Sangkot Marzuki Batubara dengan penuh dedikasi terhadap suatu bidang ilmu dan juga terhadap tanah airnya, ditambah pula dengan prestasinya yang berskala internasional, sudah sepatutnyalah dijadikan inspirasi dan bahan pembelajaran oleh bangsa Indonesia, terutama generasi mudanya. Sangkot Marzuki adalah salah satu putra terbaik bangsa ini yang patut dihargai jasa-jasanya dan mendapat perhatian yang layak dari pemerintah Indonesia. Pedje

No comments:

Post a Comment