Tuesday, September 7, 2010

Simpati untuk para Janda

Andrei Aksana berbagi cerita tentang proses penulisan novel Janda-Janda Kosmopolitan yang fenomenal.


Nama Andrei Aksana mungkin baru terdengar beberapa tahun lalu, lewat novel-novelnya yang laris manis. Namun, bisa dibilang, meski usianya relatif muda, Andrei Aksana bukanlah anak kemarin sore dalam jagat kepenulisan karya fiksi di Indonesia. Ia telah menulis sejak masa kanak-kanak dan karyanya pernah dimuat di beberapa media massa. Novel pertamanya sendiri, yang berjudul Mengukir Mimpi, telah terbit sekitar 18 tahun lampau.

Dunia literasi memang mengakar kuat dalam keluarganya. Andrei adalah cucu sastrawan terkemuka Sanoesi Pane dan Armijn Pane. Sementara itu, ibunya adalah novelis terkemuka juga, Nina Pane, yang karyanya antara lain Serpihan Mutiara Retak dan Merah Hitam Cinta. Kakek buyut Andrei, Sultan Pangurabaan Pane, adalah seorang wartawan cum sastrawan, pendiri surat kabar Surya di Tapanuli yang sekaligus penulis roman Tolbok Haleon.

Namun, tentu saja, bukan semata-mata karena itu eve’s Book Club mengangkat novel Janda-Janda Kosmopolitan karya Andrei dalam perbincangan di Le Seminyak, restauran yang terletak di Lantai 5 Pacific Place, Jakarta, awal Juni lalu. Novel ke-12 Andrei ini secara tematis menyuguhkan keberpihakan terhadap kaum perempuan. Juga ada simpati yang mendalam terhadap kaum perempuan yang menempati posisi marginal, seperti pembantu rumah tangga. Dan, semua itu dituturkan dengan cara bercerita yang renyah sekaligus bernas. Tak mengherankan jika novel ini langsung mengalami cetak ulang sehari setelah cetakan pertamanya terbit. Fenomenal!

Konon, ketika dimuat terlebih dulu sebagai cerita bersambung di harian Kompas, sambutan masyarakat terhadap kisah fiksi yang ditulis Andrei ini memang luar biasa. Padahal, seperti penuturan Andrei di Le Seminyak, ketika penerbitnya menyodorkan Janda-Janda Kosmopolitan ke Kompas, Andrei baru menulisnya sekitar sepuluh persen. “Ceritanya, saya memberi sebagian naskah itu ke penerbit, walaupun baru jadi sekitar sepuluh persen. Ternyata, penerbit ingin segera menerbitkannya. Pihak penerbit bertanya, novel itu sudah jadi berapa persen. Saya pun bluffing aja. Saya bilang sudah jadi 50 persen,” ungkap Andrei.

Rupanya, kebohongan itu berbuntut panjang. Pihak penerbit mengirimkan naskah yang cuma sepuluh persen itu ke harian Kompas dan disetujui untuk dimuat keesokan harinya. “Saya pun harus berpacu dengan waktu, karena cerita bersambung itu kan dimuat dari Senin sampai Sabtu. Liburnya cuma hari Minggu. Parahnya lagi, jatah ruangnya diperbesar, tidak seperti cerita bersambung sebelumnya, sehingga stok naskah saya cepat habis. Tapi, karena sudah buat komitmen, saya menjalaninya, walau terpaksa mengurangi jam tidur dan tidak bisa menikmati akhir pekan,” tutur Andrei.

Mungkin karena prosesnya yang terburu-buru seperti itu, ada peserta eve’s Book Club sore itu yang memprotes soal ketidakcermatan Andrei dalam menggambarkan suatu situasi. Peserta yang sama juga mempertanyakan, apakah benar persepsi tentang janda di masyarakat Indonesia masih seperti yang digambarkan Andrei dalam novelnya. “Kebetulan saya punya teman yang ingin menikah dengan seorang janda. Begitu dia menginformasikan kepada orang tuanya, orang tuanya serta-merta menolak. Ternyata masih ada keluarga di Indonesia yang seperti itu, lo,” kata Andrei menjawab pertanyaan soal persepsi tentang janda itu.

Seperti judulnya, novel ini mengisahkan beberapa aspek kehidupan para janda, termasuk di dalamnya kisah cinta mereka, harapan mereka, dan cara pandang mereka terhadap kaum laki-laki. Yang menjadi pusat penceritaannya adalah tokoh Rossa, janda muda yang tadinya menikah dengan teman kuliahnya karena hamil terlebih dulu. Rossa berteman dekat dengan Inge dan Dilla, yang juga janda. Lalu, ada Nunung, pembantu Rossa, yang memilih bercerai karena tak rela dimadu.

“Saya senang banget membaca novel ini sejak awal. Terkesan sekali. Kisahnya hidup sekali. Tapi, pernahkah Mas Andrei terpikir untuk menulis seperti kakeknya, sesuatu yang tidak glamor? Lalu, apakah Mas Andrei melakukan survei untuk penokohan Nunung? Untuk keseluruhan novel, sebenarnya berapa lama Mas Andrei melakukan riset?” ujar seorang peserta yang lain lagi.

Menurut Andrei, dirinya sengaja menulis novel-novel yang relatif ringan dulu untuk mengumpulkan massa. “Kalau orang-orang sudah senang dengan tulisan-tulisan saya, dengan topik-topik yang saya buat, insya Allah kalau saya buat tulisan dengan topik yang nyeleneh atau yang lebih serius mudah-mudahan mereka juga ikut beli. Dengan demikian, pembaca karya saya ikut dewasa bersama saya,” ujar Andrei. Novel Janda-Janda Kosmopolitan sendiri, tambah Andrei, adalah ajang latihan dirinya untuk membuat novel dengan topik yang lebih berat. “Kan, sebenarnya, topik novel Janda-Janda Kosmopolitan ini agak nyeleneh,” katanya. Soal penokohan Nunung, Andrei mengaku mempelajarinya dari para perempuan tenaga kerja yang mengadu nasib di negeri orang. “Pemunculan tokoh Nunung ini sebagai upaya saya mencoba menabrakkan efek glamor dengan kehidupan pembantu rumah tangga. Saya juga sempat mendatangi daerah Gunung Kidul, Yogya, untuk melakukan riset kecil-kecilan bagaimana kehidupan mereka di kampung,” ujar Andrei.

Seorang peserta bernama Melli mengaku telah membaca tiga novel karya Andrei. “Dari ketiganya saya melihat ada kemiripan. Pertama, tokohnya selalu berasal dari orang kaya yang broken. Kedua, tokohnya bahagia, lalu sedih, dan terakhir bingung untuk memilih. Ketiga, pada akhir ceritanya, pembaca diajak untuk menentukan sendiri bagaimana penyelesaiannya. Yang saya tanyakan, mengapa penyelesaiannya dibuat menggantung seperti itu?” kata Melli. Andrei menjawab, penyelesaian novel-novelnya yang cenderung terbuka berawal dari peristiwa menonton film Message in A Bottle bersama ibunya. Ketika film yang diangkat berdasarkan novel karya Nicholas Spark itu berakhir, hampir semua penonton meneteskan air mata, tapi ibu Andrei malah tersenyum. “Saya heran dan bertanya mengapa beliau tersenyum. Katanya, justru karena pasangan dalam film itu tidak bersatu dalam perkawinan, cinta mereka menjadi abadi. Dari sana saya berpikir, ternyata ending itu punya dobel makna, tergantung pada pembaca melihatnya seperti apa. Saya ingin seperti itu. Saya ingin mengembalikan ending kepada pembaca,” tutur Andrei.

Semakin sore, perbincangan semakin seru. Sayangnya, waktunya dibatasi . Dan, seperti biasa, sebelum acara penandatanganan buku oleh penulis ada pembagian hadiah untuk penulis dan tiga penanya terbaik, yang kali ini berupa voucher belanja dari Southaven. Seluruh peserta, selain mendapat kudapan yang lezat dari Le Seminyak, juga mendapat voucher belanja dari Southaven dan Le Seminyak. Asyik! Pedje

No comments:

Post a Comment