Tuesday, August 24, 2010

Jakarta dari Masa ke Masa…

Benarkah hari jadi Kota Jakarta pada 22 Juni 1527 sekadar dongeng?


“Di Jakarta, Tuhan menciptakan orang Indonesia,” begitu ditulis oleh seorang ahli ilmu politik dan sejarah dari Australia, Lance Castles, dalam sebuah bukunya. Karena, di Jakartalah orang Indonesia dibentuk dan Republik Indonesia diproklamasikan. Selain itu, sejak zaman dulu, Jakarta telah menjadi kota kosmopolitan dan ditinggali oleh beragam suku dari wilayah Nusantara yang kemudian membentuk identitas baru sebagai orang Indonesia. Jadi, tambah Castles, Republik Indonesia berutang kepada Jakarta.

Jakarta sendiri tampaknya "berutang" kepada Perserikatan Perusahaan Hindia Timur (Vereenigde Oost indische Compagnie) alias VOC. Setidaknya itulah kesan yang kami tangkap dari perbincangan dengan sejarawan lulusan Universitas Indonesia yang juga Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra. Menurut Yahya, dirinya lebih menghargai VOC yang mewariskan berbagai peninggalan di Jakarta ketimbang Fatahillah yang dianggap oleh banyak orang sebagai tokoh peletak dasar berdirinya Kota Jakarta, misalnya. “VOC-lah yang membangun Jakarta. Coba lihat saja peninggalan-peninggalan gedungnya. Bahkan, istana presiden kita adalah peninggalan Belanda,” kata Yahya.

Soal Fatahillah itu, Yahya juga menganggap posisinya tidak jauh berbeda dengan VOC, sama-sama penjajah. Padahal, selama ini, masyarakat umumnya menganggap Pangeran Fatahillah sebagai pahlawan dan pendiri Kota Jakarta atau Jayakarta. Karena, Pangeran Fatahillah berhasil merebut Bandar Kalapa atau Pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan Kerajaan Pajajaran pada tahun 1527. Dan, diduga, tepatnya kemenangan Fatahillah itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Jakarta. Karena, pada waktu itu, konon Bandar Kalapa diubah namanya menjadi Jayakarta oleh Fatahillah, yang kemudian juga mendirikan Keraton Jayakarta, yang letaknya kira-kira di tempat Hotel Batavia sekarang berdiri, Jalan Kali Besar Barat.

“Jadi, pada masa itu, sebenarnya Pelabuhan Sunda Kelapa berada dalam kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Memang, pada tahun 1522, Kerajaan Pajajaran menjalin kerja sama perdagangan dan keamanan Bandar Kalapa dengan bangsa Portugis, yang diikat dalam Perjanjian Padrao. Portugis diberikan hak untuk mendirikan kantor di sekitar Bandar Kalapa serta membeli hasil pertanian dan perkebunan dari warga Pajajaran, terutama lada. Ketika itu, Sunda Kelapa adalah bandar yang sangat ramai dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi, karena sering disinggahi kapal-kapal dari berbagai negara di dunia. Salah satu komoditas utama yang diperdagangkan di Bandar Kalapa adalah air bersih. Syahbandarnya sendiri ketika itu adalah seorang yang dijuluki dengan nama Wak Item, yang berasal dari Kerajaan Tanjung Jaya, kerajaan kecil di bawah naungan Kerajaan Pajajaran.,” tutur Yahya.

Sementara itu, pada abad ke-16 tersebut, kerajaan-kerajaan Islam di Jawa juga mulai berkembang. Maka, Kesultanan Demak, Cirebon, dan Banten kemudian mengutus Pangeran Fatahillah untuk merebut Banda Kalapa dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Seperti telah disinggung, Pangeran Fatahillah pun berhasil menguasai Bandar Kalapa dengan mengusir pasukan Portugis dari sana plus Wak Item beserta anak buahnya. “Ada yang bilang, Fatahillah kemudian pada 22 Juni 1527 memberi nama daerah kekuasaannya itu dengan Jayakarta, yang artinya ‘kota yang berjaya’ dan ada juga yang mengartikan sebagai ‘kemenangan yang nyata’, yang dihubungkan dengan ayat Alquran. Tapi, sebenarnya, penaklukan oleh Fatahillah itu sejenis penjajah juga. Jadi, kalau kita merayakan Hari Jadi Kota Jakarta pada tanggal 22 Juni, itu sebenarnya merayakan Hari Penjajahan Jakarta oleh Fatahillah,” ungkap Yahya.

Budayawan dan politisi asal Betawi, Ridwan Saidi, punya pendapat yang senada dengan Yahya. Dalam sebuah acara diskusi beberpa tahun lalu, Ridwan sangat berang dengan upaya sebagian masyarakat Jakarta yang mengeluka-elukan Pangeran Fatahillah sebagai pahlawan, sampai ada yang mengusulkan agar dibuatkan patungnya untuk menghormatinya. “Fatahillah itu menyerbu orang Betawi, membakar rumah dan membuat rakyat Betawi sengsara. Bagaimana mungkin bisa dijadikan pahlawan?” ungkap Ridwan, yang juga mengecam penentuan tanggal 22 Juni 1527 sebagai Hari Jadi Kota Jakarta.

Sejarawan yang juga pastor Jesuit asal Jerman, Adolf Heuken, pun menganggap tanggal 22 Juni 1527 sebagai Hari Jadi Kota Jakarta hanyalah dongeng belaka. Karena, katanya, seperti ditulis dalam sebuah majalah, tak ada dokumen yang menyebutkan nama Jayakarta. Bahkan, saat VOC berkuasa, 50 tahun setelah tanggal tersebut, Bandar Kalapa tetap disebut seperti itu atau Sunda Kelapa. “Fatahillah adalah orang Arab. Jelaslah, tidak mungkin apabila orang Arab memberi nama sesuatu dengan bahasa Sansekerta. Jayakarta adalah nama Sansekerta. Jadi, itu semua dongeng supaya Jakarta memiliki hari ulang tahun,” ungkapnya. Dalam kesempatan berbeda, seperti dikutip dari Vivanews.com, ia juga mengatakan dirinya tidak mau menceritakan dongeng sebagai sejarah. “Maka, saya cari fakta sejarah,” ujarnya. Kendati demikian, Heuken juga mengatakan bahwa dirinya tidak antidongeng. Yang penting, katanya, kita harus jujur: dongeng adalah dongeng dan dongeng berbeda dengan sejarah. “Sejarah itu perlu bukti nyata yang jelas, bukan mitos yang tidak diketahui kebenarannya. Apakah penyerbuan pasukan Fatahillah adalah awal lahir kota Jakarta? Perlu ada pembuktian,” kata Heuken dalam sebuah diskusi di Jakarta.

Beberapa sejarawan memang berpendapat penokohan Fatahillah sangat tidak tepat untuk Jakarta, karena sosok itu juga masih gelap. Ada yang menafsirkan Fatahillah sebagai orang yang sama dengan Sunan Gunung Jati, salah seorang wali dari sembilan wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa. “Ini jelas salah karena mereka adalah dua orang yang benar-benar berbeda,” kata J.J. Rizal, sejarawan lulusan Universitas Indonesia, dalam sebuah diskusi tentang hari lahir Jakarta, beberapa tahun silam. Toh, Rizal bisa memahami jika sebuah kota memerlukan penentuan tanggal lahir sebagai penanda. Menurut dia, penentuan tanggal lahir suatu kota lebih banyak dilakukan dalam pendekatan politis ketimbang sejarah.

Nama Jakarta sendiri ditetapkan oleh pemerintahan militer Jepang pada 8 Desember 1942, sebagai pengganti nama Batavia yang dipakai oleh pemerintah kolonial Belanda. Dan, penentuan 22 Juni sebagai hari lahir Kota Jakarta dilakukan pada medio tahun 1950-an. Hari lahir Jakarta mulai dirayakan pada tahun 1957, ketika Jakarta dipimpin oleh Walikota Sudiro.

Pada tahun 1950-an itu, seperti diungkap budayawan cum wartawan Alwi Shahab dalam bukunya, Batavia Kota Hantu (2010), Jakarta sudah dijubeli penduduk. Kalau penduduk Jakarta pada masa perang hanya setengah juta jiwa, penduduknya pada tahun 1950-an sudah mencapai satu juta orang. Padahal, fasilitas kota ketika itu amburadul akibat pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan.

Jakarta
juga menjadi kota yang sangat sibuk menjelang tahun 1960-an. Ada banyak pertemuan internasional dan kunjungan kenegaraan ke kota ini. Juga pesta-pesta besar dan pertandingan-pertandingan olahraga internasional, apalagi Indonesia kemudian ditunjuk sebagai tuan rumah Asian Games IV pada tahun 1962. Dan, tempat penyelenggaraannya di mana lagi kalau bukan di ibu kota Republik Indonesia, Jakarta.

Maka, Bung Karno sebagai presiden pun mengomandoi untuk melakukan pembenahan Kota Jakarta. Sang Presiden melebarkan Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman dan memindahkan pusat kota ke arah selatan, setelah sebelumnya pada zaman Belanda berada di sekitar Jalan Juanda, Lapangan Banteng, dan Monas sekarang. “Penyelenggaraan Asian Games pada masa Soekarno mengakibatkan sebuah ledakan pembangunan di kedua jalan tersebut,” tulis Alwi Shahab. Apalagi, pada tahun 1963, Indonesia juga menyelenggarakan Games of the New Emerging Forces (Ganefo), untuk menandingi keberadaan Komite Olimpiade Internasional yang dianggap sebagai perjangan tangan-tangan negara-negara kolonialis dan imperialis baru. Bung Karno ingin membanggakan Jakarta sebagai kota perjuangan bagi negara-negara yang anti-neo kolonialisme dan imperialisme.

Ada
pembangunan Hotel Indonesia berlantai 14. Juga pembangunan Jembatan Semanggi dan Kompleks Olahraga Senayan, termasuk Gelanggang Olahraga Bung Karno, yang pada masa itu merupakan stadion sepakbola terbesar se-dunia. Lalu, pembangunan masjid terbesar di Asia juga dimulai, yakni Masjid Istiqlal; pembuatan Jalan Raya By Pass, pembangunan planetarium, dan toko serba-ada Sarinah. Bahkan, Bung Karno membongkar rumahnya sendiri di Jalan Penganggsaan Timur 56 (Jalan Proklamasi sekarang), yang merupakan bangunan bersejarah karena merupakan tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, untuk dibangun Gedung Pola, kantor untuk lembaga semacam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sekarang.

Bung Karno juga membangun gedung pencakar langit tertinggi di Asia di masanya, yang berlantai 29, yakni Wisma Nusantara. Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia dan Patung Pemuda di Senayan juga dibangun pada masa itu. Begitu pula dengan Monumen Nasional (Monas), yang dibangun untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah di atas lahan yang luasnya sekitar 100 hektare.

Lapangan tempat berdirinya Monas itu sendiri telah dibangun sejak masa penjajahan Belanda, tepatnya pada awal abad ke-19, oleh Gubernur Jenderal William Daendels. Pada masa Daendels ini, lapangan tersebut merupakan alun-alun dan taman terbesar di dunia. Belanda menamakan alun-alun ini dengan nama Koningsplein atau Lapangan Raja. Namun, Daendels yang lebih loyal kepada Prancis memberi nama alun-alun itu Champ de Mars.

Prancis? Ya. Karena, ketika Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Belanda sendiri sedang berada di bawah kekuasaan Prancis. Raja Belanda waktu itu adalah Lodewijk Bonaparte, adik Kaisar Napoleon Bonaparte. Jadi, kalau dipikir-pikir, lucu juga negeri kita, ya: setelah dijajah oleh perusahaan dagang (bukan negara), lalu dijajah oleh negara yang juga sedang terjajah.

Daendels ini juga yang memindahkan ibu kota Hindia Belanda dari wilayah yang sekarang ini berada di sekitar Pasar Ikan dan Pelabuhan Sunda Kelapa ke kawasan sekitar Monas itu, yang disebut Weltevreden, yang jaraknya hanya belasan kilometer dari Kota Tua. Dia menjadikan kawasan yang sekarang Jalan Veteran (Rijswijk) dan Jalan Juanda (Noordwijk) sebagai daerah pertokoan untuk warga Eropa. Daendles pun membangu Pasar Baru sebagai pasar barang impor untuk produk-produk dari Eropa. Di kawasan Weltevreden kemudian juga tumbuh hotel-hotel bagus dan tempat hiburan bagi warga Eropa, antara lain Gedung Harmoni—yang sayangnya gedung ini pada masa Orde Baru telah dihancurkan.

Pada masa VOC berkuasa, Jakarta atau Batavia dibangun dengan meniru kota-kota yang ada di Belanda. Wajar saja jika kemudian ada kanal (grachten) atau kali buatan yang mengalir di dalam kota, sehingga Batavia sempat dijuluki sebagai Venesia dari Timur. Dan, kanal-kanal itu tidak hanya dijadikan sebagai prasarana transportasi, tapi juga sebagai tempat plesir para pejabat VOC dan orang-orang kaya Batavia. Mereka menggunakan perahu yang dihias, berplesir pada sore hari menyusuri kota, seperti terungkap dalam buku Mona Lohanda, Sejarah para Pembesar Mengatur Batavia (2007). Karena itu, pada tahun 1630 sudah ada larangan untuk membungan sampah atau kotoran ke kali yang mengalir di dalam kota. Bagi yang melanggar didenda 6 riksdaalder dan kemudian dinaikkan menjadi 25 riksdaalder karena banyak yang tak peduli dengan larangan itu.

Bahkan di kali Ciliwung yang mengalir di sekitar Kota Tua, penduduknya juga tidak boleh buang air besar sembarang waktu, seperti diungkap oleh Alwi Shahab dalam bukunya itu. Mereka baru boleh membuang "hajat" mulai pukul 22.00 sampai menjelang pagi. Di luar waktu tersebut, warga Batavia di Kota Tua melakukannya di ember atau di pispot, yang kemudian isinya dibuang ke Sungai Ciliwung pada waktu yang telah ditentukan tersebut. Itulah sebabnya, gedung-gedung yang dibangun VOC di Batavia pada pertengahan abad ke-18, termasuk yang sekarang menjadi gedung Museum Sejarah Jakarta, tidak memiliki toilet. Toilet baru dibangun kemudian.

Namun, anehnya (kalau dilihat dari kacamata sekarang), banyak orang Belanda yang tinggal di Kota Tua pada masa itu sering meminum air dari Sungai Ciliwung tanpa dimasak terlebih dahulu, hanya disaring. Akibatnya, mereka pun menjadi mudah terserang penyakit, seperti disentri dan diare, yang kemudian menjadi wabah yang menelan banyak korban jiwa di Kota Tua. Bahkan, walau air begitu banyak di Batavia, banyak orang Belanda yang segan mandi. Sampai-sampai, pada tahun 1775, gubernur jenderal harus mengeluarkan surat perintah kepada para serdadu Belanda untuk mandi setidaknya seminggu sekali. Aje gile…. Pedje

No comments:

Post a Comment