Wednesday, August 25, 2010

Merdeka secara Bersahaja

Tak ada protokol upacara. Tak ada instrumen musik. Bung Karno pun sedang dalam keadaan terserang penyakit malaria.


“Jasmerah,” begitu kata Bung Karno. Yang dimaksud oleh sang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia—bersama Bung Hatta—bukan jas yang berwarna merah. Jasmerah itu adalah kependekan dari ‘jangan sekali-kali melupakan sejarah’. Kendati demikian, Bung Karno sendiri pernah ‘terpeleset’ untuk urusan peninggalan sejarah. Beliau meratakan bangunan bersejarah yang sesungguhnya teramat penting bagi bangsa ini: rumah kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang bernama Jalan Proklamasi) No. 56, tempat beliau mengumandangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada hari Jumat, 17 Agustus 1945, pukul 10.00.

Rumah bernilai sejarah itu diratakan dengan tanah pada tahun 1960. Ceritanya, pada tahun itu, Bung Karno menyetujui usul Wakil Gubernur Daerah Chusus Jakarta Henk Ngantung untuk merenovasi rumah tersebut. Namun, renovasi itu ternyata tidak terwujudkan.

Maka, agar tempat dibacakan Proklamasi Kemerdekaan dapat dikenali dibangunlah sebuah tugu. Pencangkulan tanah pertama untuk pembangunan tugu itu dilakukan sendiri oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961. Tugu ini oleh masyarakat disebut ‘Tugu Petir’ karena ada lambang petir di atasnya, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara. Di tugu itu ditaruhlah informasi seperti ini: “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta”.

Dekat tugu tersebut kemudian dibangunlah sebuah gedung, yang diberi nama Gedung Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta, yang lebih dikenal sebagai Gedung Pola. Gedung ini semacam gedung Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada era Presiden Soeharto dan masih ada sampai sekarang. Di dalam Gedung Pola inilah dimulai perencanaan dan pembangunan berbagai proyek yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama di bidang industri dan prasarana, semasa Bung Karno menjadi presiden.

Selain Tugu Petir, di area ini juga ada ‘Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia’, yang diresmikan pada 17 Agustus 1946. Di atas keterangan itu, yang dipahat di atas batu marmer, tertera juga informasi ‘Atas Oesaha Wanita Djakarta’. Dalam buku 19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat (1998) yang disunting oleh Titiek W.S., Dra. Yos Masdani Tumbuan sang pembuat tugu itu mengatakan bahwa ia diminta untuk membuat tugu tersebut oleh Ratulangi dan Mien Wiranatakusumah. Namun, tak ada dana untuk itu dan Yos Masdani Tumbuan (seorang mahasiswi yang aktif di Ikatan Wanita Djakarta ) diminta mencari dana bersama kawan-kawannya.

Singkat cerita, jadilah tugu peringatan itu. Namun, Walikota Jakarta Suwirjo melarang tugu tersebut diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1946. Ternyata, Suwirjo melarang karena memang ada larangan dari Tentara Sekutu, yang ketika itu sedang menguasai wilayah Indonesia setelah tentara fasisme Jepang hengkang.

Untunglah, pada tanggal 16 Agustus 1946, Perdana Menteri Sutan Sjahrir datang ke Jakarta dari Yogyakarta. Ketika diberitahu soal tugu peringatan itu, tokoh yang kerap dijuluki Bung Kecil tersebut menyatakan peresmian tugu itu adalah gagasan bagus dan dengan senang hati ia akan meresmikannya. Dan, diresmikanlah tugu peringatan tersebut sesuai dengan waktu yang direncanakan, 17 Agustus 1946, tanpa ada keributan apa-apa dari Tentara Sekutu.

Toh, entah kenapa, ada saja pihak yang tidak sudi adanya tugu peringatan itu. Mereka menganggap tugu tersebut harus dimusnahkan. Dan, menjelang empat tahun berdirinya, tanggal 15 Agustus 1960, Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia lenyap dari tempatnya.

Sejumlah perempuan pun—antara lain Maria Ulfah Santoso dan Lasmidjah Hardi—menemui Gubernur Jakarta Soemarno di Balaikota. Dalam pertemuan itu, sang gubernur menyerahkan tiga lempengan marmer yang tadinya melekat di tugu. Oleh kaum perempuan yang hadir ketika itu disarankan agar tiga lempengan marmer tersebut diserahkan kepada Yos Madani. “Cornell University sempat menawar marmer-marmer itu dengan harga tinggi, tapi saya menolak,” kata Yos Madani.

Ketika Ali Sadikin telah menjadi Gubernur Jakarta, tahun 1968, ada usul agar tugu tersebut dibangun kembali. Ali Sadikin menyambut baik usul tersebut. Namun, pembangunannya terpaksa ditunda karena Yos Madani sedang melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat. Dan, akhirnya, tugu itu pun berdiri kembali di lokasi semula, yang diresmikan oleh Menteri Penerangan Budiardjo pada tanggal 17 Agustus 1972. Bung Hatta hadir dalam peresmian tersebut.

Sebenarnya, rencana awal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia bukan di rumah Bung Karno, tapi di Lapangan Ikada (Lapangan Monas sekarang). Demikianlah keputusan yang dibuat di rumah Laksamana Maeda (sekarang menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta Pusat). Persiapan sudah dilakukan, yakni dengan mengutus beberapa orang—antara lain Soediro—untuk menginformasikan kepada berbagai pihak yang diharapkan hadir, seperti tokoh-tokoh pergerakan dan segenap eksponen Barisan Pelopor: akan ada upacara penting di Lapangan Ikada pada pukul 11.00. Informasi ini disampakan juga lewat telepon dan surat yang dibawa kurir.

Ternyata, informasi ini telah diketahui oleh pihak Jepang, yang sebenarnya pada tanggal 15 Agustus 1945 telah takluk kepada Tentara Sekutu. Maka, terjadilah perubahan rencana dan dalam waktu singkat pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945 itu beberapa orang pejuang segera bergerak kembali untuk mengabarkan perubahan rencana tersebut. Upacara penting dipindahkan ke rumah Soekarno, Jalan Pengangsaan Timur No. 56.

Tentu saja, kerepotan terjadi juga di rumah Soekarno. Beberapa orang sibuk memasang mikrofon dan versterker (amplifier), yang baru disewa dari perusahaan jasa penyewaan sound system ‘Radio Satrija’, di Jalan Salemba Tengah No. 24. Tiang bendera pun dibuat dari sebatang bambu, yang ditancapkan di muka kamar depan rumah Soekarno beberapa menit sebelum upacara dimulai. Setelah siap, upacara pun dimulai, tanpa adanya protokol terlebih dahulu.

Penaikan Sang Saka Merah-Putih dilaksanakan setelah Soekarno membacakan teks Proklamasi didamping Bung Hatta dan Bung Karno berpidato singkat. Yang diminta menjadi ‘petugas penaikan bendera’ adalah Trimurti, tapi dia menolak dan mengusulkan agar penaikan itu dilakukan oleh seorang prajurit. Serta-merta, Latif Hendraningrat yang masih memakai seragam lengkap Pembela Tanah Air maju ke depan sampai dekat tiang bendera. Lalu datanglah dua orang membawa Sang Saka Merah-Putih yang diletakkan di atas nampan dan kemudian dinaikkan. Tanpa aba-aba, yang hadir dalam upacara tersebut langsung menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’ bersama-sama. Berkibarlah Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya di masa Indonesia merdeka.

Setelah upacara selesai ada kejadian lucu. Tiba-tiba datang kurang-lebih seratus orang anggota Barisan Pelopor, yang dipimpin S. Brata. Rupanya mereka tidak tahu adanya perubahan rencana lokasi upacara dari Lapangan Ikada ke rumah Bung Karno, sehingga datang terlambat. Mereka lalu meminta Bung Karno untuk mengulangi upacara dan membacakan kembali Proklamasi Kemerdekaan. Bung Karno yang telah masuk kamar pun lalu keluar kembali dan menyatakan lewat mikrofon bahwa pembacaan Proklamasi tidak dapat diulang.

Mengapa Bung Karno masuk kamar setelah upacara tersebut? Secara fisik, Bung Karno memang kelelahan. Beberapa hari sebelumnya, Bung Karno, Ibu Fatmawati, dan Guntur diculik sekelompok pemuda radikal dan dibawa ke Rengasdengklok, Krawang, Jawa Barat. Mereka baru diantarkan kembali ke Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945 malam hari dan Bung Karno langsung rapat di rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan naskah Proklamasi.

Menurut Roso Daras, penulis buku Bung Karno: The Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer (2009), subuh tanggal 17 Agustus 1945, dalam keletihan yang teramat sangat, Bung Karno pulang dalam keadaan menggigil. Malarianya kumat. “Terlebih dua hari dua malam ia tidak tidur. Hanya air soda dan air soda yang diminum untuk menyegarkan mata,” ungkap Roso seperti yang ia tulis dalam blog-nya, http://rosodaras.wordpress.com.

Melihat kondisi suaminya, Ibu Fatmawati tampak cemas. Tapi, “
Tanpa banyak kata, Bung Karno bukannya merebahkan badan, melainkan berjalan menuju meja tulis. Diambilnya kertas dan pena, lalu ia menulis berlusin-lusin surat,” tutur Roso. Dan, Bung Karno melakukan itu dalam keadaan menggigil karena demam malaria. Setelah itu barulah ia tidur dan dibangunkan sekitar satu jam menjelang upacara Proklamasi, kurang-lebih pukul 09.00 pagi.

Dalam buku Sukarno: an Autobiography as told to Cindy Adams (1965), Bung Karno mengatakan bahwa Ibu Fatmawati membiarkan dirinya tetap bekerja dalam keadaan mengigil akibat demam malaria karena cukup mengerti gejolak hati suaminya. Sementara itu, Ibu Fatmawati sendiri bukan berarti segar-bugar. Ia juga sebenarnya lelah, karena mengikuti seluruh dinamika menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan, Ibu Fatmawatilah yang membuat Sang Saka Merah-Putih, dengan jahitan tangan, untuk dikibarkan pada 17 Agustus 1945.

Tentu saja bendera itu sangat bernilai. “Sejak dikibarkan di Pegangsaan Timur 56, bendera itu pantang diturunkan. Pasukan Berani Mati yang dibentuk sehari setelah Proklamasi berjaga 24 jam, siap menghadang tentara Jepang jika mereka datang hendak menurunkannya,” ungkap Roso Daras.

Ketika Tentara Sekutu datang, bendera itu pun terus dijaga keberadaannya. Apalagi, Tentara Sekutu juga rupanya berminat untuk memusnahkan Sang Saka Merah-Putih yang dibuat oleh Ibu Fatmawati. Para pejuang kemerdekaan benar-benar melindungi Sang Saka Merah-Putih, Bahkan, dokter pribadi Bung Karno sendiri, dr. Soeharto, tidak mengetahui keberadaannya sampai tahun 1949.

“Soeharto sendiri tidak tahu, di mana Sang Merah-Putih antara kurun 1945 – April 1949. Yang jelas, malam itu, April 1949, ia kedatangan tamu misterius bernama Muthahar. Tokoh ini di kemudian hari sempat menjabat Duta Besar Republik Indonesia serta pemimpin Kwartir Nasional Pramuka. Malam itu, ia datang dengan menyelinap, takut tercium NICA. Di tangannya terpegang dua carik kain, merah di kanan, putih di kiri. Itulah Sang Saka Merah Putih, yang untuk tujuan pengamanan telah dilepas jahitannya dan diamankan sedemikian rupa sebagai sebuah benda mahapenting bagi tonggak berdirinya republik,” tutur Roso Daras.

Malam itu, Muthahar menitipkannya kepada dr. Soeharto. Mendapat amanat penting, Soeharto menunaikannya dengan sangat hati-hati. Ia menyimpan potongan kain merah di satu tempat dan kain putih jauh di tempat lain. Itu dilakukan untuk menjaga kemungkinan penggeledahan oleh NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie), Tentara Sekutu yang ditugaskan mengontrol wilayah bekas jajahan Belanda yang pernah dikuasai Jepang—dan kemudian bernama Indonesia.

Terakhir, Sang Saka Merah Putih dikibarkan pada Upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1968. Selanjutnya disimpan dan hanya dikeluarkan setiap tanggal 17 Agustus namun tetap dalam kotak penyimpanannya. Yang digunakan pada upacara resmi kenegaraan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia sejak tahun 1969 sampai sekarang adalah duplikatnya. Dan, upacara resmi kenegaraan tersebut dilakukan di Istana Merdeka, bukan di Tugu Proklamasi. Akan halnya Tugu Proklamasi, Gedung Pola, Patung Proklamator, dan area sekelilingnya sudah sejak beberapa tahun lampau kondisinya kurang terawat. Ah, Indonesia! Pedje

No comments:

Post a Comment