Friday, August 20, 2010

Suatu Sore dengan Soal KDRT

Selain membicarakan novel, acara eve’s Book Club pada Juli lalu juga menjadi ajang ‘konsultasi psikologi’.

Pada mulanya adalah curhat seorang sahabat. “Dia suatu sore, teman baik saya mengirim sms ke saya. Katanya, dia ingin menceritakan sesuatu kepada saya,” ujar Clara Ng, penulis novel Tea for Two, yang dibahas dalam acara eve’s Book Club awal Juli lalu di Cheese Cake Factory Cikini, Jakarta. Maka, Clara dan teman baiknya itu pun sepakat untuk bertemu keesoka harinya. “Ketika bertemu, di bercerita apa yang terjadi pada dirinya dan apa yang akan dia lakukan, keputusan dia selanjutnya. Ternyata dia mengalami kasus kekerasan dalam rumah tangga, KDRT,” ungkap Clara.

Sepulang dari pertemuan tersebut, tambah Clara, dirinya dihantui perasaan tidak enak atas peristiwa yang dialami oleh teman baiknya itu. “Saya tidak menyangka dia mengalami peristiwa itu. Dia selama ini kelihatannya biasa-biasa saja, baik-baik saja,” kata Clara. Karena penasaran dengan masalah KDRT itu, Clara pun melakukan riset kecil-kecilan lewat internet. “Ternyata banyak sekali informasi tentang KDRT di internet,” ujar perempuan yang juga banyak menulis cerita anak ini.

Singkat cerita, tergeraklah Clara untuk ‘mengabadikan’ kasus itu ke dalam sebuah novel, sehingga kemudian lahirlah novel Tea for Two. Sebelum dibukukan, novel ini dimuat dulu sebagai cerita bersambung di harian Kompas. “Tapi, cerita dalam novel ini tidak benar-benar sama dengan kisah teman baik saya. Teman saya tidak sampai berdarah-darah. Suaminya juga lalu meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Dan, memang, sang suami tidak mengulangi perbuatan buruknya itu. Namun, karena sudah merasa tidak cocok, teman saya akhirnya memutuskan untuk bercerai,” tutur Clara.

Dalam Tea for Two, adegan kekerasan dalam rumah tangga langsung disajikan Clara pada bagian-bagian awal. Bahkan, Clara menuliskan kekerasan itu terjadi pada saat bulan madu. Yang menjadi korbannya adalah Sassy. Pelakunya, ya, suami Sassy, Alan.

Padahal, tadinya, Alan begitu sempurna di mata Sassy. Bahkan, Sassy jatuh cinta pada pandangan pertama. Karena, selain tampan, Alan juga tampaknya lembut dan baik hati. Namun, ketika mereka masuk dalam jenjang pernikahan, hanya dalam hitungan hari, Alan sudah menunjukkan watak aslinya. Bahkan, kemudian Alan juga berselingkuh.

Ironisnya, Sassy adalah seorang perempuan pengusaha biro jodoh, yang diberi nama Tea for Two dan punya moto ‘hidup bahagia selama-lamanya”. Dan, Tea for Two memang bukan biro jodoh yang sekadar mempertemukan kliennya dengan sembarang orang, tapi selalu berupaya agar kliennya mendapat pasangan yang benar-benar tepat. Banyak orang telah dibantu Sassy dan Tea for Two-nya untuk mendapatkan pasangan. Selain itu, Sassy juga juga kerap menangani pekerjaan sebagai wedding organizer dan wedding planner.

Moderator diskusi, Syahmedi Dean, merasa penasaran dari mana ide Clara mencampurkan soal kekerasan rumah tangga dengan bisnis biro jodoh. Clara menjelaskan bahwa ide itu dapatnya tidak sengaja. “Saya ingin membuat sesuatu ‘tabrakan’ supaya orang dapat dengan jelas melihat isu pernikahan yang ingin saya angkat. Kebanyakan kan, yang saya temukan di novel-novel, pernikahan adalah akhir dari suatu cerita dan tidak dilanjutkan bagaimana sisi kelam dari pernikahan itu. Walaupun ada, yang saya temukan adalah isu perselingkuhan atau isu sakit yang menyebabkan suatu pernikahan yang menjadi goyang. Saya jarang menemukan isu pernikahan yang menyangkut kekerasan dalam rumah tangga,” papar Clara.

Lalu, mengapa Clara mengambil topik biro jodoh? “Karena, ya, itu. Saya lihat dalam biro jodoh kan pernikahan merupakan ending dari suatu cita-cita yang manis. Jadi, saya pikir, kenapa tidak saya benturkan saja sekalian,” kata Clara lagi.

Berbagai pertanyaan pun kemudian diajukan oleh para peserta diskusi, mulai dari apa bedanya menulis novel untuk orang dewasa dengan menulis anak-anak, bagaimana sebenarnya latar belakang tokoh Alan sampai punya perilaku seperti itu, sampai bagaimana seharusnya seorang perempuan bersikap seandainya mengalami nasib seperti Sassy.

Menurut Clara, menulis novel untuk orang dewasa dan menulis cerita anak-anak sebenarnya sama, sama-sama menggunakan imajinasi. “Dan, yang saya olah juga sama-sama dari realitas. Namun, kalau saya menulis untuk novel, biasanya saya mulai dengan mengamati keadaan hubungan masyarakat di sekitar saya. Penulis itu harusnya bisa menjadi ‘spons’, bisa menyerap segala-galanya. Jadi, dia sensitif sekali. Dia menyerap, mendengar, memperhatikan. Karena itu, kalau saya diminta untuk memberi arahan kepada calon penulis, saya selalu mengatakan, yang pertama harus kita lakukan adalah shut up. Kalau masuk ke lingkungan sosial, kita diam, kita mengamati sekitar dan menyerap sebanyak-banyaknya. Bahkan, kalau perlu, kita membawa catatan untuk mencatat apa perkataan orang, bagaimana tingkah laku orang, bagaimana wajah mereka. Itu bisa menjadi modal yang besar bagi seorang penulis ketika dia menuliskan ceritanya,” tutur Clara.

Untuk tingkat kesulitannya, Clara mengaku lebih sulit untuk membuat buku cerita anak-anak, walaupun ia selalu merasa keasyikan dalam menulisnya. “Karena sulit, saya membuat buku anak satu seri biasanya memakan waktu setahun penuh. Dan, saya lakukan itu apabila naskah novel untuk orang dewasa saya sudah kelar. Jadi, saya tidak bisa multitask. Karena, memang, itu dua dunia berbeda. Kalau saya ingin menulis buku anak, saya harus memisahkan itu dulu, masuk ke dunia anak, mengamat anak-anak, dan banyak membaca buku anak-anak,” ujar Clara.

Karena banyak pertanyaan menyangkut soal kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri, selain mengenai aspek intrinsik novel yang dibahas, akhirnya mantan finalis Face of eve yang juga psikolog lulusan Universitas Indonesia, Ajeng Raviando, didaulat untuk maju ke depan. Ajeng diminta menjelaskan berbagai aspek yang berkaitan dengan KDRT dari perspektif psikologi. Apalagi, ada peserta yang memang meminta Ajeng sebagai psikolog untuk menjawab pertanyaannya. “Mbak, rumah tangga Sassy dan Alan sudah hancur-hancuran, ya. Menurut Mbak, apa rumah tangga yang seperti masih bisa dipertahankan kalau dari sisi seorang psikolog?” kata peserta itu.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Ajeng mengungkapkan bahwa memang banyak dalam kasus seperti itu perempuan berada dalam posisi sebagai korban. “Yang saya perhatikan, banyak perempuan, yang ketika dipukul, merasa bahwa hal itu adalah sesuatu yang mengagetkan, syok berat, dan akhirnya tidak bisa melawan. Dan, ketika dia sangat ingin mempertahankan perkawinannya, dia tidak lagi memikirkan mau dipukul seperti apa, mau disengsarakan seperti apa. Saya sendiri punya klien, yang telah 20 tahun berumah tangga dengan seorang pria yang tidak bekerja, hanya di rumah. Kalau sedang marah, pria itu memukul istrinya.

Tapi, karena alasan agama, mereka tidak bercerai,” tutur Ajeng. Dengan berbagai penjelasan Ajeng soal KDRT, acara eve’s Book Club kali ini terasa semakin menarik. Apalagi, kemudian, seluruh peserta juga disediakan hidangan yang lezat plus voucher senilai Rp100 ribu dari Cheese Cake Factory dan bingkisan dari Elizabeth Arden. Sementara itu, tiga penanya terbaik juga mendapat hadiah tambahan dari Elizabeth Arden. Menyenangkan! Pedje

No comments:

Post a Comment