Saturday, August 28, 2010

Carmanita: “Saya Terfasilitasi dengan Keadaan Saya Sendiri”

Kreativitasnya seakan tak pernah kering. Ia juga rajin bereksperimen dan tak takut karyanya ditiru.


Kami datang berlima: Editor in Chief eve Indonesia Amy D. Wirabudi, Managing Editor Sri Puwandhari, Fashion Editor Nabila Fitria, saya, dan fotografer lepas Faizal Rachman. Yang kami tuju adalah "padepokan" Carmanita di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kami sepakat untuk "mengisi baterai" tentang fesyen dan tekstil tradisional lewat perbincangan dengan sang empunya padepokan. Karena, kami mafhum, beliau adalah sosok dengan pengalaman dan wawasan yang sangat memadai untuk kedua hal tersebut. Bukan sekadar menghasilkan desain dan karya-karya gemilang, tapi Carmanita juga memiliki cinta yang besar terhadap kekayaan budaya negeri ini, terutama tekstilnya, yang membuat dirinya seakan tak pernah kekurangan energi untuk membicarakannya.

Maklumlah, pengalamannya yang hampir 30 tahun dalam dunia kreatif dan bisnis fesyen serta kegemarannya mendatangi para pengrajin kain di berbagai pelosok Indonesia membuat Carmanita kaya dengan pengalaman di lapangan, di samping perbendaharaan teoretis. Karena itu, berbincang-bincang dengan perempuan manis ini sungguh mengasyikan. Ada saja yang diceritakan, mulai soal pengrajin kain di pedalaman Bali sampai teknik jumputan dalam tekstil Jepang, dan tentu saja tentang batik.

Untuk batik, ceritanya bisa menjadi panjang-lebar, karena Carmanita sejak kecil sudah terbiasa melihat canting, malam (lilin), bentangan kain mori, dan pasti juga pengrajin batiknya. Setiap kali Carmanita kecil ke rumah mbahnya, pastilah ia melihat orang yang sedang membatik. Karena, neneknya itu adalah Saridjah Niung Bintang Soedibio, yang lebih dikenal dengan panggilan Ibu Soed, kreator dan pengusaha batik yang juga dikenal sebagai pencipta lagu anak-anak dan lagu perjuangan. “Nenek saya itu dekat dengan Bung Karno dan kerap berpameran batik di istana-istana kepresidenan. Ketika saya kecil, beliau sering mengajak saya untuk ikut. Mungkin karena cara beliau menerangkan sesuatunya memikat, saya menjadi suka mendengarkannya,” tutur Carmanita.

Perempuan yang lahir di Bandung pada 10 Juli 1956 pun mengakui bahwa neneknya itulah orang yang paling berpengaruh dalam perjalanan karirnya sebagai seorang fashion designer. "Tapi, walau nenek saya dikenal sebagai ahli batik, saya belajar pembatikan dan pewarnaannya secara otodidak. Saya tidak pernah mau menyentuh lingkungan beliau. Bahkan kami tidak pernah berdiskusi, sebagai sesama seniman. Tapi, ketika saya terjun ke dunia fesyen, dia sering mengkritik saya habis-habisan,” kenang Carmanita tentang Ibu Soed, yang wafat pada tahun 1993 dalam usia 85 tahun. Sejak beberapa tahun terakhir, Carmanita juga aktif membina pengrajin batik di berbagai daerah di Indonesia.

Padahal, waktu kecil sampai remaja, Carmanita tidak pernah bercita-cita untuk menjadi pekerja seni. Ia malah ingin menjadi pebisnis seperti ibunya. Karena itu, Carmanita menuntut ilmu bisnis dan keuangan di University of San Francisco, Amerika Serikat, dari tahun 1977 sampau 1980. Di sela-sela kuliahnya, ia pernah menjadi asisten dosen, lalu bekerja paro waktu di The Bank of America dan The I Magnin Department Store.

Lulus kuliah, ia kembali ke Tanah Air dan langsung terjun ke bisnis garmen. “Saya berbisnis garmen karena yang booming waktu itu adalah garment bussiness, yang banyak pabriknya di Pulogadung, Jakarta. Saya sendiri tak punya pabrik, karena tak mau capek mengurus karyawan yang banyak. Tapi, sejak awal saya ingin menciptakan sesuatu yang menjadi gaya saya, branding saya,” ungkap Carmanita, yang sempat menimba pengalaman kerja sebagai tenaga pemasaran produk Arthur Harland pada tahun 1981.

Pada tahun 1982, ia pun mendirikan PT Amtrend Sentana Garment. Perusahaan ini mencoba menciptakan kreasi fesyen yang dinamis, yang tetap berakar pada karya-karya tradisional, di samping yang non-tradisional. “Dari awal, kecenderungan saya memang sudah etnis, meneruskan tradisi, karena nenek saya memang seperti itu. Mbah saya itu kan yang mendekor seluruh istana presiden negeri ini. Mungkin dari sana saya ditanamkan kesadaran bahwa saya itu orang Indonesia, bukan Jawa semata. Memang, awalnya saya mengerjakan batik,” kata Carmanita.

Sampai sekarang, selain dikenal sebagai fashion designer, Carmanita dikenal sebagai ahli batik. Beragam bahan pernah ia batik, termasuk mobil Mercedes Benz C250 CGI, yang beberapa waktu lalu diluncurkan dan berhasil dibeli oleh Piyu, personel kelompok musik Padi, seharga Rp1 miliar dalam sebuah lelang. “Yang belum saya batik hanya kertas,” ungkap Carmanita sambil tersenyum.

Sekitar sepuluh tahun yang lalu, Carmanita pernah diminta oleh DuPont Lycra untuk melakukan studi dan riset mengenai kemungkinan membuat batik dari bahan Lycra. Selama satu tahun tujuh bulan, ia pun berkutat mencari teknik yang tepat dan terbaik membatik di bahan serat yang lembut tersebut. Hasilnya ternyata tidak mengecewakan, yang kemudian diberi nama batik strech dan diluncurkan pada 11 Oktober tahun 2000. “Fokus saya memang lebih ke hal teknisnya, bukan pada desainnya. Karena bahan nilonnya lebih banyak, saya susah sekali mendapat warna yang saya mau,” tutur Carmanita, yang juga pernah membatik di bahan wool dengan hasil yang memuaskan pada tahun 1994 lampau. Belakangan, ia juga berhasil membatik di kain songket. “Tapi, memang, yang paling sulit itu membatik di bahan wool,” katanya. Berikut petikan perbincangan kami dengan perempuan perancang busana dan tekstil yang pernah mengikuti Pret a Porter-Paris pada tahun 1987 ini.

Aktivitas Anda begitu banyak, termasuk rajin mendatangi dan membina para pengrajin kain tradisional di berbagai pelosok daerah di Indonesia. Tidak merasa lelah?

Tidak. Saya menikmati saja. Saya malah senang dapat mengenal banyak pengrajin di berbagai pelosok Tanah Air, bukan hanya pengrajin kain, tapi juga pengrajin yang lain. Karya mereka bagus-bagus, tapi kan tidak ada yang membawanya ke kota. Dengan ke pelosok begitu, saya menjadi tahu kekayaan negeri ini. Saya sempat bertemu dengan seorang nenek berusia 85 tahun di pelosok Bali. Beliau membuat kain kotak-kotak, tapi bukan kain poleng, yang bagus banget. Kotaknya beragam, dari besar sampai kecil. Harganya cuma Rp1.250.000.

Pelajaran apa yang Anda dapat kunjungan Anda ke pelosok-pelosok daerah itu?

Saya semakin menyadari bahwa negeri ini punya banyak kekayaan yang bisa diolah. Dalam mengolahnya, saya tidak mengubah patternity, tapi memperbaikinya dengan daya olah yang kemudian hasilnya bisa dipakai oleh masyarakat yang lebih luas, baik dari dalam maupun luar negeri. Misalnya, tadinya hasil kain mereka kan kaku, kami ganti benangnya agar bisa lebih enak dipakai orang, bisa masuk ke toko.

Selain karena pengaruh nenek Anda waktu Anda masih kecil, siapa lagi yang memengaruhi Anda sehingga Anda begitu menghargai apa yang bangsa ini miliki?

Ibu saya. Beliau sering membawa saya ke daerah-daerah dengan mobil yang disetirnya sendiri untuk melihat berbagai pertunjukan seni. Kalau ke Solo, kami juga pasti mampir ke rumah Om Go Tik Swan, yang pembatik. Selain itu, saya semakin belajar untuk menghargai apa yang bangsa kita miliki waktu diajak ikut melihat rumah David Bowie, musisi terkemuka dari Inggris. Rumahnya memakai kain-kain tradisonal bangsa kita, mulai dari batik sampai kain bugis. Juga memakai saka guru. Semua barang Indonesia dipindahkan ke rumahnya. Ini gila sekali. Kenapa kita tak bisa seperti itu? Di sana juga saya belajar apa saja yang diinginkan oleh masyarakat kelas atas.

Anda tampaknya selalu memperhitungkan sisi bisnis dari suatu karya, ya?

Ketika melihat sesuatu, saya memang langsung memikirkan apakah karya itu bisa dijual atau tidak. Mungkin saya lebih banyak berpikir pada desain produknya, ya. Bisa dibilang, saya memang sudah belajar berbisnis sejak kecil. Waktu kecil, kalau saya kebanyakan main, orang tua saya suka menghukum saya dengan tidak memberi uang saku. Nah, agar tetap punya uang saku, saya sewakan buku-buku saya ke teman-teman. Orang tua saya memang suka membelikan buku-buku cerita dalam bahasa Belanda, yang biasanya dibeli di sebuah toko yang sekarang dinamakan Jalan Veteran. Jadi, tak salah kalau saya juga akhirnya kuliah di jurusan bisnis.

Dan kemudian masuk juga ke wilayah kreatif, ya….

Mau tak mau saya larut juga ke dalam dunia kreatif. Karena, saya terfasilitasi dengan keadaan saya sendiri, sehingga saya bisa melakukan apa yang saya inginkan, mau begini-mau begitu tak ada batasnya. Terfasilitasi itu maksudnya untuk sumber daya manusianya, yang mengerjakan finishing-nya. Saya didukung dari rumah saya sendiri. Jadi, kenapa tidak mencoba? Atmosfer kreatif di rumah sangat tinggi. Waktu kecil, kalau orang tua saya dari luar negeri, saya juga sering dibawakan mainan yang harus dirakit dulu, seperti boneka-bonekaan, aksesori, dan rumah-rumahaan. Jadi, saya dari kecil dikasih permainan yang untuk memaikannya harus berpikir dulu. Mungkin ini juga yang mengasah kreativitas dan jiwa seni saya.

Itu juga yang menjadi alasan mengapa Anda akhirnya terjun ke bisnis fesyen, ya?

Saya berbisnis garmen karena yang booming waktu itu adalah garment bussiness, yang banyak pabriknya di Pulogadung, Jakarta. Saya sendiri tak punya pabrik, karena tak mau capek mengurus karyawan yang banyak. Tapi, sejak awal saya ingin menciptakan sesuatu yang menjadi gaya saya, branding saya. Saya lalu iseng-iseng ikut lomba perancang mode yang diadakan sebuah majalah, tahun 1987, eh, juara ketiga. Tidak ada yang serius dalam hidup saya, semua hanya main-main. Saya hanya serius waktu harus memikirkan membayar pekerja saya setiap bulan. Itu baru bikin saya stres. Ha-ha-ha…

Waktu kuliah di University of San Francisco dulu, Anda kan sempat bekerja di sebuah bank ternama dan department store walau hanya paro waktu. Waktu kembali ke Indonesia, Anda tidak menyesal meninggalkan pekerjaan itu?

Tidak. Kan, saya tahu apa yang akan saya lakukan. Lagi pula, kalau bekerja sama orang kan saya hanya mengikuti arus.

O, ya, bagaimana ceritanya Anda bisa mengikuti ajang fesyen bergengsi Pret a Porter-Paris pada tahun 1987 itu?

Waktu itu kan BPEN, Badan Pengembangan Ekspor Nasional, sedang giat-giatnya membawa desainer-desainer kita ke Prancis. Tiba-tiba, anehnya, ada agen orang Arab-Prancis yang membawa saya dan seorang desainer Malaysia ke sana, saya disewakan booth di tempat yang lumayan, yang dekat dengan booth dari brand ternama. Saya benar-benar seperti orang beloon di sana karena waktu itu belum mengerti benar bisnis fesyen. Tapi, agen itu kemudian meninggal dunia, setelah saya dua tahun bekerja dengan dia.

Beberapa tahun lalu, Anda juga kan masih mengirim produk-produk karya Anda ke Prancis, ya?

Ya. Ceritanya, saya mengenal orang Prancis bernama Bernadette, yang membuka Indonesian eclectic gallery bernama Wayang Lali di dekat Lyon. Lucu tempatnya. Dia membeli barang-barang saya. Tapi, kemudian dia menikah, punya bayi, dan lebih memprioritaskan barang-barang kecil yang lebih cepat berputar, sehingga belum memesan lagi dari saya.

Dari begitu banyaknya proyek yang Anda buat sejak tahun 1982 sampai sekarang, proyek apa yang paling membuat Anda senang?

Semuanya sangat menyenangkan. Karena, setiap proyek punya jiwanya sendiri. Waktu mengerjakan itu juga saya tidak pernah memikirkan nantinya bagaimana, akhirnya seperti apa, saya hanya melakukan pekerjaan saya.

Anda juga kan mengeksplorasi motif-motif dari negara lain dengan teknik batik dan jumputan, seperti motif kain dari India. Apa yang mendorong Anda melakukan itu?

Kan, sebenarnya itu juga yang dilakukan nenek moyang kita. Mereka mengagumi kain-kain tradisional dari India seperti sari dan kerala, lalu membuatnya dengan teknik batik. Begitu juga dengan kain tradisional Jepang, sehingga lahirlah batik hokokai. Hanya saja, kita sekarang lebih ekspansif dengan kekayaan kain dan pewarnaan yang ada sekarang dibanding nenek moyang kita. Beberapa waktu lalu, saya juga baru membuat kimono dengan motif perkawinan megamendung Indonesia dan megamendung Jepang. Dan, megamendung itu sendiri kan pengaruh batik hokokai. Saya pribadi sangat menyukai tekstil India dan Jepang. Saya juga mempelajari sendiri berbagai teknik jumputan Jepang, seperti sibori, origami, dan arashi.

Masih suka bereksperimen?

Eksperimen tetap jalan. Hampir semua bahan sudah dibatik, kecuali kertas.

Apa Anda sudah menyiapkan upaya regenerasi?

Buat saya, yang penting, manusia-manusia lain bisa berjalan lebih jauh dari saya. Di tempat saya, siapa pun yang mau magang diterima. Banyak juga peserta magang dari luar negeri. Mereka mempelajari tekstil, batik, dan fesyen. Saya tidak takut di-copy. Ini juga kan bukan punya saya, kebetulan saja ada di sini. Biarkan saja. Dengan begitu, saya kan jadinya dikejar untuk menciptakan yang baru.

Sebenarnya Anda lebih senang disebut sebagai apa?

Tidak tahu. Saya kan tidak bisa menyebut diri saya sendiri sebagai apa. Mungkin seniman tekstil, ya? Tidak mengerti saya. Ha-ha-ha…. Carmanita is Carmanita, no miss, mistress, or what. Just Carmanita. Ha-ha-ha…. Pedje

No comments:

Post a Comment