Monday, August 23, 2010

Man Jadda wajada!

Lewat novelnya, A. Fuadi berhasil membuat banyak orang ingin tahu lebih dalam tentang dunia pesantren sebagai pusat keunggulan, termasuk dari kalangan non-muslim. Sebagian besar peserta eve’s Book Club pada Desember lalu pun bersikap seperti itu.


Rasanya aneh kalau eve’s Book Club tak membicarakan novel-memoar Negeri 5 Menara karya A. Fuadi. Karena, novel karya anak negeri ini dalam beberapa bulan terakhir banyak dibicarakan berbagai kalangan. Fenomenanya hampir menyerupai novel-memoar Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.

Seperti halnya Laskar Pelangi, secara kuantitas, Negeri 5 Menara memang cukup mencengangkan untuk ukuran penerbitan buku di Indonesia. Hanya kurang dari tiga bulan, novel-memoar terbitan Gramedia Pustaka Utama ini telah mengalami tiga kali cetak ulang, dengan jumlah penjualan lebih dari 50 ribu eksemplar. Karena itu, kami pun sedikit mengubah agenda eve’s Book Club yang telah dijadwalkan semula, agar bisa secepatnya mengangkat Negeri 5 Menara sebagai bahan perbincangan. Apalagi, pihak penerbit telah memberikan lampu hijau. Begitu pula A. Fuadi sang penulis. Maka, pada 8 Desember lalu, perbincangan mengenai Negeri 5 Menara pun akhirnya terlaksana di sebuah restoran asyik di Jalan Cikini Raya No. 33, Jakarta Pusat, Vietopia, yang memiliki menu khas Viet Nam. Acara ini kembali dipandu oleh Syahmedi Dean dan tentu saja A. Fuadi hadir, lengkap dengan beberapa buku yang menjadi ‘panduan’-nya ketika menulis Negeri 5 Menara—karena ini novel pertamanya—dan juga beberapa buku tulis berisi catatan pelajaran selama ia menimba ilmu di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

Ya, novel-memoar ini memang bersandar pada pengalaman Fuadi dan kawan-kawannya selama menjadi santri di pondok pesantren tersebut. Sosok Fuadi dalam novel ini dipersonafikasikan ke dalam tokoh bernama Alif. Alkisah, setelah lulus madarasah tsanawiyah (setingkat SMP), Alif berkeinginan untuk meneruskan studinya ke sekolah menengah atas umum. Alif yang cerdas ingin sekali seperti B.J. Habibie, ilmuwan Indonesia yang punya reputasi internasional. Namun, sang ibu punya kehendak lain.

Ibunya ingin Alif masuk pesantren. Karena, sejak masih di dalam kandungan, ibunya berharap Alif dapat menjadi ahli agama yang cerdas seperti ulama kharismatik asal daerah mereka, Buya Hamka. Bagi ibunya, justru Alif yang cerdas harus masuk pesantren, agar orang-orang yang berkecimpung dalam dunia dakwah Islam adalah orang-orang yang terbaik, bukan orang-orang yang terpaksa masuk pesantren karena kemampuan intelektualnya kurang memadai.

Awalnya, Alif ngambek. Namun, akhirnya ia menyetujui keinginan ibunya tersebut dengan satu syarat: lokasi pesantren yang akan ia masuki bukan di ranah Minang, tapi di Pulau Jawa. Dan, sesuai "arahan" pamannya, Alif mendaftar di Pondok Madani, yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur.

Maka, merantaulah Alif ke Jawa, untuk meneruskan sekolah. Di Pondok Madani, ia bersahabat dengan Baso dari Gowa (Sulwesi Selatan), Raja dari Medan (Sumatra Utara), Dulmajid dari Sumenep (Pulau Madura, Jawa Timur), Atang dari Bandung (Jawa Barat), dan Said dari Surabaya (Jawa Timur). Menjelang magrib, mereka kerap berkumpul di bawah menara masjid. Biasanya, di bawah menara itu, mereka saling membicarakan mimpi dan harapan mereka masing-masing. Karena kebiasaan inilah mereka dijuluki oleh kawan-kawannya sebagai Sahibul Menara, ‘orang yang memiliki menara’. Dan, seiring berjalannya waktu, berkat kesungguhan mereka dalam belajar, masing-masing anggota Sahibul Menara dapat meraih mimpi-mimpi mereka. Bahkan, Baso yang berhenti sekolah di tengah jalan karena harus merawat neneknya akhirnya dapat berkuliah di Universitas Al Azhar, Kairo, seperti yang ia cita-citakan.

“Saya berterima kasih kepada Mas Fuadi. Karena, setelah membaca novel ini, anak saya yang tadinya ingin berhenti dari pondok pesantren menjadi semangat lagi,” kata seorang peserta eve’s Book Club sore itu. Dalam acara kali ini, peserta diskusi memang tak seperti biasanya, lebih banyak, ada lebih dari 40 orang. Sebagian dari mereka adalah wajah-wajah baru, yang baru pertama kali mengikuti acara eve’s Book Club.

Memang, kalau dilihat dari alurnya, novel-memoar ini berderap lambat. Penyebabnya antara lain karena hubungan kausalitas dari berbagai peristiwa yang ada tak begitu terasa. Alur seolah dibangun dari rangkaian fragmen peristiwa yang sebagian besar berdiri sendiri. Ini diakui oleh Fuadi. “Terus terang, walau saya mantan wartawan Tempo, saya belum terbiasa menulis panjang. Novel ini sendiri adalah novel pertama saya, yang awalnya saya maksudkan sebagai hadiah ulang tahun istri saya. Saya juga berterima kasih kepada istri saya, Yayi, yang telah menjadi editor pertama novel saya ini. Dialah yang memperbaiki dan menyunting novel ini sebelum ditawarkan ke penerbit,” ujar Fuadi.

Kebetulan, istri Fuadi ikut hadir pada kesempatan itu. Moderator pun meminta Yayi, panggilan istri Fuadi, untuk memberikan testimoni bagaimana bentuk awal novel karya suaminya tersebut. “Wah, awalnya kacau sekali, ha-ha-ha…. Saya harus kerja keras untuk menyuntingnya,” tutur Yayi sambil tersenyum. Sama seperti sang suami, Yayi juga mantan wartawan majalah Tempo.

Namun, terlepas dari itu, novel-memoar ini sarat dengan kisah inspiratif dan nilai-nilai moral, yang diikat oleh satu pepatah Arab: man jadda wajada, ‘siapa yang bersungguh- sungguh akan berhasil’. Keyakinan para tokohnya atas kebenaran pepatah itulah yang menjadi daya tarik utama novel ini. Dengan keyakinan tersebut, mereka berjuang untuk mewujudkan mimpi masing-masing, bahkan mimpi yang tampaknya muskil sekalipun. Daya tarik lainnya adalah dunia pesantren itu sendiri, yang memang sangat jarang diangkat oleh para penulis fiksi di Tanah Air. Tak mengherankan jika banyak peserta yang juga bertanya soal pesantren kepada Fuadi, selain hal-hal yang berkenaan langsung dengan novel Negeri 5 Menara. “Sebelum membaca novel ini, saya kira pesantren itu hanya berisi orang-orang yang membutuhkan pertolongan untuk mengatasi persoalan mereka, seperti masalah kecanduan. Tapi, ternyata di Gontor tidak seperti itu, ya,” kata Atika, seorang peserta, dengan nada takjub.

Menjawab keheranan itu, Fuadi pun lalu menjelaskan bagaimana proses penerimaan santri baru di Pondok Modern Gontor. “Untuk masuk, ujiannya berat. Jadi, tidak mungkin calon santri yang tidak belajar atau kurang belajar dapat lulus masuk ke Gontor. Waktu saya saja, dari sekitar tiga ribu calon santri yang mendaftar, hanya sekitar empat ratus orang yang diterima,” ungkap Fuadi. Setelah masuk pun, seperti terungkap dalam novel tersebut, dibutuhkan ketahanan mental dan disiplin pribadi yang tinggi untuk bisa mengikuti proses belajar di sana. Rencananya, Fuadi akan menulis dua novel lanjutan dari Negeri 5 Menara. “Kalau novel pertama ini diikat oleh man jadda wajada, rencananya novel kedua akan bersandar pada ungkapan ‘siapa yang bersabar akan beruntung’ dan yang ketiga diikat oleh ‘siapa yang memulai perjalanan akan sampai pada tujuan’,” ungkap Fuadi.

Diskusi eve’s Book Club kali ini pun ditutup dengan acara menyantap kudapan lezat yang disediakan oleh Vietopia. Dan, tentu saja, ada acara penandatanganan buku oleh sang penulis. Plus kehebohan para peserta untuk bisa berfoto bersama A. Fuadi. Man jadda wajada! Pedje

No comments:

Post a Comment