Saturday, August 21, 2010

Papua nan Malang…

Kesaksian harus diberikan. Keterbungkaman harus disuarakan. Itulah yang mendorong Anindita S. Thayf untuk menulis novel Tanah Tabu, yang dibicarakan pada acara eve’s Book Club bulan lalu.


Hampir bisa dipastikan, sebagian dari kita yang tinggal di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan sekitarnya membayangkan betapa terasa jauhnya Papua, wilayah paling timur dari republik ini. Apalagi, informasi yang lebih sering diterima oleh orang yang tinggal di Pulau Jawa khususnya tentang Papua lebih banyak berkenaan dengan destinasi wisata. Itu pun kerap dengan kacamata eksotisme.

Maka, semakin terasa jauhlah jarak Papua. Akibatnya, kalau ada informasi atau berita lain tentang Papua, biasanya hanya disimak sepintas lalu. Padahal, sejak zaman kolonial Belanda sampai kini, air mata penderitaan masyarakat Papua masih terus mengalir karena berbagai sebab, terutama karena masih merajalelanya ketidakadilan di sana dan tingkat kemakmuran yang rendah.

Kesaksian pun harus diberikan. Keterbungkaman mesti disuarakan, agar orang-orang Indonesia yang lain tergugah untuk lebih memperhatikan nasib saudara sebangsanya di tanah Papua. Kesadaran seperti itulah yang mendorong seorang perempuan bernama Anindita S. Thayf untuk menulis sebuah novel yang berkisah tentang kehidupan sebagian masyarakat Papua: Tanah Tabu, yang pertama kali diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada tahun lalu. Padahal, Anindita mengaku belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya ke tanah Papua.

Sebelum diterbitkan sebagai buku, novel ini diikutkan dulu pada "Lomba Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta" tahun 2008 dan berhasil menjadi pemenangnya. Itulah sebabnya, kami tertarik untuk mengundang Anindita dan membicarakan novelnya pada eve’s Book Club yang diselenggarakan Maret lalu. Acaranya digelar di restoran Bibliotheque, Jakarta, dengan moderator Nova Rianti Yusuf, seorang dokter yang juga penulis dan sejak beberapa waktu lalu menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Walau Tanah Tabu merupakan novel pertama Anindita, secara literer dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, cara Anindita mengolah peristiwa dan pesan yang ingin disampaikan lewat tulisan terasa pas dan memikat. Buktinya, ya, itu tadi: memenangkan lomba penulisan novel. Anindita menggunakan tiga sudut pandangan penceritaan dalam novelnya ini, yakni sudut pandang tokoh aku, Pum, dan Kwee. Dua yang belakangan itu adalah anjing dan babi.

Begitu banyak persoalan yang diungkap dalam novel ini. Papua yang kaya dengan sumber daya alam ternyata hanya seperti sapi perahan bagi kaum pendatang, yang sedikit sekali memberikan "susu" kepada penduduk aslinya. Sebagian besar penduduk asli Papua masih hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan serta terus terpinggirkan oleh derap lalu-lintas kaum pendatang yang mengeruk rezeki di sana. Ketika ada penduduk asli yang mencoba mempertanyakan ketidakdilan tersebut, orang itu malah dianggap sebagai pemberontak dan mengalami intimidasi yang tak jarang berakhir pada kekerasan secara fisik, seperti dialami oleh nenek tokoh aku, Mabel.

Bisa dikatakan, Mabel adalah pusat pengisahan dalam novel ini. Ia digambarkan sebagai perempuan yang memiliki tubuh sebesar gunung dan mampu mematahkan leher orang dewasa. Walau sudah tua, tenaganya masih luar biasa. Perempuan berani ini dilahirkan di Lembah Baliem pada masa penjajah Belanda masih bercokol di sana. Mabel sendiri kemudian diangkat anak oleh pasangan keluarga Belanda, yang kemudian membawanya ke luar Lembah Baliem dan menjadikan dirinya terbebas dari buta aksara, walau tidak mengenyam pendidikan formal di sekolah.

Mabel hidup mandiri ketika orang tua angkatnya hengkang ke Belanda, karena Papua masuk ke dalam wilayah Indonesia. Mabel kemudian menikah, namun suaminya meninggal dunia karena terjadi perang suku. Ia menikah lagi, tapi suami keduanya pergi setelah para penambang emas berdatangan. Selanjutnya, Mabel hanya hidup ditemani anaknya dan sahabat karibnya, Johanis dan Pum. Untuk mempertahankan hidupnya, ia berladang.

Namun, suatu hari, Mabel ditangkap orang-orang berseragam dan bersenjata karena dituduh melindungi kaum pemberontak. Ia disikan dan mengalami perlakuan tidak manusiawi lainnya, tapi kemudian dilepaskan karena tak ada bukti-bukti yang cukup. Alih-alih menjadi ciut nyalinya, penangkapan dan penyiksaan itu malah membuat Mabel menjadi perempaun kritis dan berani. Ia telah berubah menjadi sosok perempuan yang kritis dan tak takut untuk menggugat ketidakadilan.

Ia berjuang untuk melawan ketidakadilan yang diciptakan para pengelola tambah emas, pihak militer yang tak sungkan menggunakan kekerasan kepada rakyat jelata, dan para suami yang suka memukuli para istri. Mabel adalah sosok pejuang yang membela kaum tertindas.

“Saya menulis Tanah Tabu ini tidak sengaja menemukan temanya. Saya sebenarnya hendak menulis buku nonfiksi untuk anak-anak tentang kekayaan alam di Indonesia. Nah, di tengah proses penelitiannya, proses mencari bahan tentang kekayaan yang ada di Tanah Papua, saya menemukan kenyataan yang tidak diketahui banyak orang. Orang tahunya Papua itu sangat indah alamnya, eksostis. Tapi, ternyata di balik semua itu ada kenyataan yang memiriskan hati dan kehidupan di sana tragis,” kata Anindita membuka pembicaraan mengenai novelnya.

Tadinya, Anindita juga mengira, apa yang tidak diketahui banyak orang itu hanya kenyataan kecil saja. “Tapi, begitu saya makin menggali berbagai informasi tentang Papua dan penduduknya, saya melihat begitu banyak kenyataan tragis yang seakan-aakan ada yang ingin menutupinya. Saya pun menjadi bimbang, apakah saya akan meneruskan penulisan tentang kekayaan alam Indonesia atau menuliskan kehidupan masyarakat Papua yang kurang diekspose itu. Saya pun memutuskan untuk menulis yang terakhir.. Karena, saya berpikir, saya sudah mengetahui berbagai informasi mengenaskan tentang Papua. Kalau saya pura-pura tidak melihatnya, saya merasa seperti sedang menipu diri sendiri,” ungkap sarjana teknik elektro ini.

Ia mengaku, dirinya menulis itu benar-benar didorong atas keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat Papua. “Saya ingin apa yang saya ketahui dapat tersampaikan kepada pembaca. Jadi, saya tak memikirkan bahwa dari novel ini saya kelak akan terkenal atau akan mendapatkan penghargaan dan sebagainya,” kata penulis yang tinggal bersama suaminya di Yogyakarta ini.

Riset untuk penulisan novel Tanah Tabu dilakukan Anindita selama dua tahun. “Risetnya hanya riset pustaka. Saya belum pernah ke Papua, karena terbentur masalah dana. Tapi, saya maju saja terus. Jadi, selama dua tahun saya mengumpulkan buku, mengkliping berita-berita koran tentang Papua, dan browsing di internet serta mengikuti mailing list orang-orang asli Papua sambil belajar bahasa Papua,” katanya.

Baik novelnya sendiri maupun proses penulisannya tentu saja memancing animo para peserta untuk bertanya dan menggali informasi lebih jauh dari Anindita, yang datang ke Jakarta ditemani oleh suaminya. Hampir semua peserta mengacungkan jari tangan begitu moderator membuka sesi tanya-jawab. Bahkan, moderator sendiri ikut mengajukan beberapa pertanyaan.

“Berapa lama, ya, Mbak, proses penulisannya itu sendiri, dalam arti duduk dan menulis, di luar risetnya?” kata Nova Riyanti.

“Enam bulan,” jawab Anindita.

“Prosesnya bagaimana, Mbak? Kan ada tuh penulis yang sampai tidak keluar rumah berbulan-bulan ketika mulai menulis. Mbak Anin sendiri seperti apa prosesnya?” tanya Nova Riyanti lagi.

Menurut Anindita, karena sudah memutuskan untuk menjadi penulis, ia berusaha untuk selalu mendisiplinkan diri dalam menulis. “Setiap pagi, setelah membereskan pekerjaan rumah tangga dan suami berangkat bekerja, saya langsung duduk di depan komputer untuk menulis. Kebetulan kami belum punya anak, jadi saya sendiri. Dari pagi pukul delapan sampai sore ketika suami saya pulang, saya di depan komputer saja, entah itu untuk menulis atau hanya untuk mengelompokkan bahan-bahan penulisan. Saya ini penulis tipe mesin diesel, yang lama panasnya. Tapi, begitu sudah mengalir kadang malah sampai lupa waktu, bisa sampai tengah malam,” kata Anindita.

Mungkin, bila Gunawan Wijaya sebagai pembawa acara tidak mengingatkan bahwa hari telah hampir menjelang malam dan acara harus diakhiri, tanya-jawab peserta dengan Anindita masih terus berlangsung. Dan, seperti biasa, acara ini diakhiri dengan pemberian hadiah kepada tiga penanya terbaik serta penandatangan buku. Juga menyantap kudapan lezat yang disediakan pihak Bibliotheque. Hmmm…, gendang gendut tali kecapi; kenyang perut, senanglah hati. Plus…, pengetahuan menjadi bertambah! Itulah enaknya ikut acara eve’s Book Club. Pedje

1 comment:

  1. makasih mas Pedje atas ulasannya:)

    salam,
    anin

    ReplyDelete