Saturday, September 19, 2009

Kerusuhan Mengancam Jakarta

Dengan begitu banyak masalah yang membebaninya dan kurangnya masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pembangunannya, Jakarta telah menjelma menjadi kota yang sakit. Bisakah dipulihkan kembali?



Jakarta di titik nadir. Bayangkan saja. Dalam sehari, sebagian besar warga Jakarta menghabiskan waktu kira-kira empat jam untuk perjalanan pergi-pulang dari rumah ke tempat kerjanya. Kemacetan yang luar biasa terjadi di lima wilayah kota. Bukan hanya di jalan-jalan utamanya, tapi juga melanda jalan-jalan penyangganya, termasuk ke jalan-jalan kecil di wilayah pemukiman padat penduduk.

Jelaslah, banyak pihak yang dirugikan gara-gara kemacetan tersebut. Sebuah lembaga menghitung, kerugian akibat macet di Jakarta mencapai Rp 43 triliun setahun, yang notabene lebih besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah DKI Jakarta tahun 2007, yang hanya sekitar Rp 20 triliun. ”Kota Jakarta memang sudah tidak sehat. Suatu kota disebut sehat antara lain kan kalau lalu lintasnya lancar. Itu indikator pertama. Indikator kedua, sehat atau tidaknya kota harus dilihat dari saluran airnya. Kalau saluran airnya juga tidak lancar, kota itu sudah tidak benar. Indikator ketiga adalah aliran informasi, susah atau tidak orang mencari informasi tentang kota itu. Kalau sulit, itu artinya kota itu juga sudah tidak benar. Dari tiga indikator itu saja sudah terlihat kalau Jakarta sudah tidak sehat,” ungkap Ir. Abdul Alim Salam, M.Sc., Ketua Ikatan Ahli Perencanaan.

Abdul Alim mengkhawatirkan, jika kondisi Jakarta dengan kemacetannya yang luar biasa dibiarkan berlarut-larut, penduduknya akan frustrasi, yang bermuara pada kerusuhan sosial. ”Mungkin, kalau kebanjiran, orang masih bisa menahan diri. Tapi, kalau setiap hari mengalami kemacetan, orang bisa lebih emosional. Dan, bukan tidak mungkin akhirnya akan menimbulkan kerusuhan sosial, seperti pernah terjadi beberapa tahun lampau,” ujar Abdul Alim.

Ketua Forum Warga Kota Jakarta, Azas Tigor Nainggolan, S.H., M.Si. juga punya kekhawatiran serupa. ”Kemacetan di Jakarta semakin menggila. Kalau tidak dibenahi, akan terjadi chaos,” katanya. Tambahan pula, proyek busway yang dimaksudkan untuk membantu mengatasi kemacetan justru semakin membuat lalu-lintas kendaraan di luar jalur khusus tersendat-sendat, bahkan tak jarang berhenti sama sekali selama lebih dari setengah jam, terutama di jam-jam sibuk. Proyek busway juga tak berhasil mengajak orang yang berkendaraan pribadi untuk beralih naik angkutan umum Trans Jakarta.

Pasalnya, pada jam sibuk, bus Trans Jakarta selalu penuh dan datangnya tak tentu, padahal janjinya dulu akan selalu ada setiap lima sampai sepuluh menit. ”Karena, busway yang ada di Jakarta sekarang ini bukanlah sistem busway yang sebenarnya, tapi hanya sistem angkutan umum biasa yang diberi jalur khusus. Busway itu konsep bagus dan sudah teruji. Idealnya, konsepnya seperti tulang ikan. Ada tulang utama dan ada tulang kecil-kecil. Yang kecil itu untuk pengumpan. Di sini memang ada bus pengumpan. Tapi, kok, jalur pengumpannya lebih panjang dari jalur utama? Sistem tiketnya juga tak jelas,” ungkap Tigor, yang pada tahun 2003 lalu pernah diundang sebuah lembaga swadaya masyarakat di Amerika Serikat untuk melakukan studi tentang busway di Bogota, Kolumbia.

Apalagi, kata Tigor, konsorsium pelaksananya juga dibentuk asal-asalan. ”Masak, PPD masuk? Padahal, sudah jelas PPD tak bisa mengurus dirinya sendiri dan hampir bangkrut. Jadi, manajemen Trans Jakarta ini manajemen korup. Apalagi, mereka disubsidi Rp 200-an miliar setahun. Orang bodoh sekalipun tahu, usaha transportasi di Jakarta tak ada yang rugi, walaupun itu model pelayanan sekalipun,” kata Tigor dengan nada geram. Hmmm.... Apa kabar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta?

Sebenarnya, kata M. Agus Subardono, Wakil Kepala Dinas Tata Kota Provinsi DKI Jakarta, perencanaan jaringan jalan sudah lengkap di Jakarta, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi kemacetan. ”Tapi kan untuk mewujudkannya tidak bisa sekaligus, karena butuh anggaran yang sangat besar. Rencananya, kami juga akan bikin mass rapid transportation. Mungkin tahun 2009 akan mulai dilakukan pembangunan fisiknya, dari Lebak Bulus ke Kota, subway, tapi tidak sepenuhnya subway. Ini rencana lama. Tapi, karena biayanya besar sekali dan pemda tidak bisa membiayai sendiri, lalu dibuatlah busway terlebih dulu,” ujar Agus.

Pada dasarnya, ungkap Tigor, permasalahan-permasalahan yang membuat Jakarta menjadi kota sakit bersumber dari cara pengelolaannya yang bergaya preman. ”Jakarta dikelola semau-maunya, yang penting duit, tanpa memikirkan warganya. Cara seperti ini sudah berlangsung sejak zaman Belanda. Dulu penjajah kan menduduki Jakarta untuk mencari keuntungan semata, tidak berpikir untuk membangun kota. Malah memarginalkan warganya, terutama warga miskin. Sampai-sampai, waktu zaman Belanda itu, warga miskin tak bisa menikmati Sungai Ciliwung dan tidak boleh ke tengah kota. Sekarang itu juga terjadi. Orang miskin tidak pernah bisa mengakses kota, secara umum. Kita kan tidak tahu Jakarta mau dibangun ke arah mana,” tutur Tigor.

Karena dikelola semau-maunya aparat pemda saja, tata kota dan lingkungan hidup Jakarta pun amburadul. Sepengamatan Tigor, banyak ruang terbuka hijau di Jakarta yang beralih fungsi menjadi mal, pusat perdagangan, atau peruntukan yang lain. ”Banyak mal berdiri di lahan yang seharusnya menjadi ruang terbuka hijau. Misalnya Megamal Pluit. Itu dulu daerah resapan. Begitu juga Mal Taman Anggrek, Plaza Senayan, Cibubur Juncktion, dan Tamini Square. Dampaknya bukan cuma pada lingkungan, tapi juga banyak pedagang kecil yang kehilangan penghasilan,” kata Tigor.

Agus Subardono membantah. Menurut dia, lahan yang dijadikan semua mal itu telah sesuai peruntukannya. ”Ya, pasti aparat pemda bicara seperti itu karena mereka kan sudah mengeluarkan izinnya, mal-nya sudah berdiri. Tapi, kalau mal-mal itu dianggap sudah sesuai peruntukannya, berarti tata ruangnya yang salah, yang tidak benar. Misalnya, kalau suatu pusat kegiatan diperkirakan akan memacetkan lalu-lintas, ya, jangan dibuat di perempatan. Jangan pakai pola pikir pedagang kaki lima dong, yang menganggap perempatan itu strategis karena dilewati orang dari berbagai arah. Kalau konsumennya naik mobil, letak itu kan tidak penting. Karena kalau mereka butuh, ya, mereka akan datang. Tapi, coba lihat Plaza Semanggi. Itu kan gila, kegiatan yang sangat menarik lalu-lintas ditaruh di persimpangan. Kalau itu dianggap benar, berartti yang salah tata ruangnya. Perempatan itu mestinya untuk ruang terbuka,” ujar Abdul Alim Salam.

Idealnya, ruang terbuka hijau di sebuah kota, apalagi di kota sepadat Jakarta, adalah 30 persen dari luas wilayahnya. ”Tapi, di Jakarta sekarang ini, ruang terbuka hijaunya tinggal 7,2 persen,” kata Tigor. Pantas saja jika Jakarta menjadi semakin rentan terhadap banjir. Baru hujan beberapa jam sudah banjir. Awal tahun 2007 saja, lebih dari 70 persen wilayah Jakarta menjelma lautan selama berhari-hari dan akhir tahunnya, tanpa didahului hujan, sebagian wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara terendam banjir.

Tapi, mungkinkah mengembalikan ruang terbuka hijau di Jakarta menjadi 30 persen lagi? ”Bisa saja. Gusur saja mal-mal yang berdiri di lahan yang tadinya merupakan daerah resapan air. Kalau tak mau, bikin biofori sebanyak-banyaknya dan buat program perbaikan lingkungan. Dananya jangan diambil dari rakyat lagi, tapi dari retribusi kerusakan lingkungan hidup. Acuannya adalah rencana tata ruang wilayah yang masih menggambarkan ruang terbuka hijau 30 persen. Nah, pemilik bangunan yang berada di kawasan resapan air itu dikenai retribusi lingkungan hidup. Dana itulah yang digunakan untuk perbaikan lingkungan. Kalau mau, ini bisa kok dilakukan,” ungkap Tigor.

Lalu, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan Jakarta kembali, sebagai kota yang aman, nyaman, dan sehat? Agus Subardono optimistis, dengan kerja keras, Jakarta bisa kembali sehat dalam waktu sepuluh tahun. ”Mungkin saja. Tapi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak bisa jalan sendiri. Di sini kan ada pemerintah pusat dan masyarakatnya heterogen. Masyarakat harus diberdayakan dan dilibatkan dalam prosesnya,” kata Abdul Alim.

Memang, semestinya, kata Dr. Ir. Lana Winajanti, M.C.P., Kepala Bidang Kebijakan Strategik Perumahan Swadaya Kementerian Negara Perumahan Rakyat, masyarakat dilibatkan dalam proses perencanaan kota. ”Kota itu sebenarnya untuk siapa? Di dalamnya kan ada beragam masyarakat, sehingga kepentingan mereka harus dipikirkan ketika membuat suatu rencana kota. Masyarakat juga harus dilibatkan. Kota kan bukan hanya bangunan fisik, tapi juga ada masyarakatnya,” ujar Lana.

Kalau sekarang masyarakat seakan tak peduli dengan pembangunan kota dan aparat pemda akhirnya kewalahan mengurus Kota Jakarta, itu karena tadinya masyarakat tak pernah didekati. ”Pemerintah daerah kurang melakukan sosialisasi,” tutur Lana.

Soal kurangnya sosialisasi rencana pembangunan kota itu diakui oleh Agus Subardono. ”Sosialisasi secara rutin tentang recana tata ruang memang tidak ada. Tapi, kita kan punya peta-peta rencana kota sampai tingkat kecamatan. Itu bisa diakses masyarakat, bisa ke kecamatan, ke dinas tata kota, atau ke suku dinasnya. Setiap tahun, pemda juga membuat musyawarah perencanaan pembangunan. Kami mengundang lurah dan camat, yang membawa usulan dari masyarakat. Banyak usulan dari masyarakat. Tapi, karena anggarannya terbatas, perlu waktu untuk mewujudkan masukan dari masyarakat itu,” kata Agus.

Namun, Azas Tigor membantah keterangan Agus. Menurut dia, musyawarah perencanaan pembangunan (musrembang) hanya basa-basi. ”Saya pernah menjadi ketua rukun warga. Formulir isian musrembang itu baru dibagikan Jumat malam dan Seninnya harus dikembalikan ke kelurahan. Dari kelurahan mungkin ke kecamatan, lalu ke walikota, setelah itu tak kedengaran lagi kabarnya. Konsepnya bagus, tapi pelaksanaannya payah. Mereka tak pernah mau belajar ke rakyat dan tak pernah mengajak bicara rakyat. Tak ada pendekatan partisipatif,” papar Tigor.

Padahal, Tigor memberi contoh, di banyak kota di Amerika Latin, yang kondisinya mirip dengan Jakarta, warganya sudah dilibatkan dalam penyusunan anggaran pemerintah daerahnya. ”Dalam anggaran itu, 60 persen biaya pembangunan langsung ke masyarakat dan 40 persen untuk operasional. Ini bukan cuma aksesori, tapi benar-benar riil. Sementara itu di Jakarta, biaya operasionalnya 80 persen dan buat pembangunan masyarakat cuma 20 persen. Itu pun buat rakyat miskin tinggal beberapa persen saja. Padahal, rakyat miskin Jakarta ada 60 persen,” tutur Tigor.

Itulah potret buram ibu kota republik kita yang tercinta. Tentu saja, selain masalah kemacetan, banjir, dan tata ruang yang amburadul, masih banyak masalah lain yang membebani Jakarta. Pedulikah Anda? (Pedje)

No comments:

Post a Comment