Friday, September 25, 2009

Mengenang Masa Lalu di Medan




















Medan telah menjadi kota internasional sejak berabad-abad lalu. Ada banyak peninggalan masa lalunya yang mengesankan.


Anda pernah ke Medan? Kalau belum, segeralah ke Medan. Karena, kota besar ketiga di Indonesia ini benar-benar asyik untuk dikunjungi. Warganya multi-etnis, yang berbaur dan terlihat jelas dalam aktivitas keseharian. Terasa benar kalau Medan adalah kota internasional, berbeda dengan kota-kota besar lain di Indonesia. Tempat makan enak juga banyak. Dan, di salah satu sudut kotanya ada kawasan yang masih memiliki bangunan-bangunan tua yang menawan peninggalan masa kolonial Belanda, kawasan Kesawan namanya. Tepatnya di sepanjang Jalan Ahmad Yani. Pemerintah Kota Medan sendiri telah menetapkan Kesawan sebagai kawasan cagar budaya.

Tapi, siapa yang tahu sampai kapan Kesawan sebagai cagar budaya bisa bertahan? Kita sama-sama mafhum, di negeri ini, uang bisa begitu berkuasa, yang bisa menyihir peraturan, undang-undang, dan sejenisnya hanya tinggal huruf-huruf di atas kertas, tak lebih.

Dalam beberapa tahun terakhir ini saja, di Medan sudah banyak bangunan tua yang memiliki arsitektur indah diratakan dengan tanah. Sebut saja eks Kantor Bupati Deli Serdang di Jalan Brigjen Katamso, bangunan bersejarah Balai Kerapatan Adat di Jalan Brigjen Katamso, eks Kantor Dinas Pekerjaan Umum Medan di Jalan Listrik, dan puluhan rumah melayu di Kompleks Perum Kereta Api. Di Jalan Suka Mulia, eks Kantor Badan Kepegawaian Daerah Sumatra Utara juga sudah lenyap. Bangunan bersejarah dengan arsitrektur perpaduan Eropa dan tropis, eks Gedung PT Mega Eltra, pun kini tinggal cerita. Menyedihkan, bukan?

Jadi, sebelum kebodohan dan keserakahan itu merajela, sehingga bangunan-bangunan tua yang indah dan bersejarah itu tergusur dari Kesawan, roboh karena tak diurus, atau bersalin rupa, datanglah ke sana dan nikmati langsung keindahannya. Rasakan atmosfer masa kejayaan Kesawan sewaktu masih menjadi kawasan makmur di Medan.

Menurut catatan sejarah, sebelum tahun 1880, penghuni Kampung Kesawan umumnya adalah orang Melayu. Seiring berjalannya tahun, banyak orang Tionghoa dari Malaka dan Tiongkok tinggal dan menetap di kawasan ini, sehingga Kesawan kemudian menjadi pecinan. Setelah terjadi kebakaran besar pada tahun 1889 yang menghabiskan rumah-rumah kayu di Kesawan, para warga Tionghoa di sana mulai mendirikan ruko-ruko dua lantai, yang sebagian masih tersisa hingga kini.

Salah seorang tokoh Tionghoa yang terkenal, yang dijuluki sebagai Bapak Kota Medan, adalah Tjong A Fie. Dia adalah seorang pengusaha yang mendapat kedudukan sebagai mayor dalam masyarakat Tionghoa di Medan, suatu kedudukan tinggi yang mewakili pemerintah kolonial Belanda. “Tjong A Fie datang ke Deli, Medan, pada tahun 1875, dalam usia 15 tahun, dari Desa Moy Hian, Provinsi Kanton. A Fie merantau hanya bermodalkan beberapa keping uang perak,” ungkap Kuswoyo, teman saya yang memang menjadi pemandu wisata di Kota Medan dan sekitarnya.

Awalnya, ia membuka kedai untuk melayani kebutuhan kuli-kuli Cina Daratan yang baru tiba dan bekerja di Tanah Deli. Nama kedainya Bun Yon Tjong dan tumbuh pesat dalam waktu yang relatif tak lama. Ia bersama kakaknya lalu melebarkan sayap bisnisnya ke bidang perkebunan dan pengadaan barang untuk perkebunan-perkebunan Eropa. Pada tahun 1886, ia memindahkan imperium bisnisnya ke Medan, sebagai kota yang baru dijdaikan sebagai ibu kota Sumatra Timur. Pada masa itu, Medan hanyalah sebuah kampung kecil yang berada di antara Sungai Deli dan Sungai Babura. A Fie sendiri membangun rumahnya di Kesawan, di atas bekas persawahan penduduk lokal yang masih banyak pacet dan kemudian berkembang menjadi pusat bisnis baru.

Bisnisnya terus melesat, karena Tjong A Fie juga dikenal sebagai seorang dermawan dan memiliki kekuatan politik yang besar karena kedekatannya dengan Sultan Deli dan pejabat tinggi Hindia Belanda. Pengaruhnya terbentang mulai dari Sumatra, Jawa, Penang, Hong Kong, Cina, hingga daratan Eropa. Ia dikenal sebagai pengusaha, bankir, industrialis Tionghoa yang paling dihormati di Asia Tenggara. Karena berbagai kiprahnya dalam pembangunan Kota Medan itulah A Fie dianggap sebagai salah satu pendiri Kota Medan.

A Fie memang memiliki peran penting dalam pendirian sejumlah bangunan penting di Medan. Sekitar tahun 1888, misalnya, Sultan Deli yang sedang berkuasa, Sultan Makmun Al Rasyid, hendak membangun sebuah istana di Medan dan A Fie kabarnya menyumbang sampai sepertiga biaya pembangunan istana, yang sampai sekarang masih berdiri.

Ada juga yang mengatakan bahwa A Fie adalah orang pertama di balik pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan Kota Medan dengan wilayah Pelabuhan Belawan (Deli Spoorweg Maatschappij). A Fie pula yang menjadi donatur utama pembangunan Masjid Raya Al Mahsun, yang berada tak jauh dari Istana Maimon.

Sampai sekarang, rumah A Fie di Kesawan pun masih berdiri. Desain rumahnya bergaya campuran art deco-Tionghoa. Belum ke Medan rasanya kalau belum mampir ke tempat ini. A Fie sendiri kemudian memindahkan pusat bisnisnya ke Kesawan pada tahun 1886. Medan, khususnya Kesawan, ketika itu memang sudah menjadi salah satu pusat bisnis di Asia, terutama bisnis tembakau. Tak jauh dari rumah A Fie waktu itu telah berdiri Witte Societeit, yang posisinya persis di sisi Kantor Pos Besar. Bangunan ini diciptakan untuk memenuhi kebutuhan rekreasi komunitas Eropa. Hotel De Boer (sekarang Hotel Inna Darma Deli) dibangun 10 tahun kemudian (1896), yang merupakan hotel pertama di Kota Medan. Semua itu, menurut seorang peneliti, Dirk A. Buiskool, tak terlepas dari pendirian Deli Company pada tahun 1869. Perusahaan ini didirikan oleh Sultan Deli bekerja sama dengan G.C. Clemen, P.W. Jannssen, dan J. Nienhuy yang tergabung dalam The Netherlands Trading Company.

Sejak berdirinya perusahaan itu, gedung-gedung baru pun banyak didirikan di Kesawan dan daerah lain di Kota Medan. “Salah satunya adalah bangunan bagus yang sampai sekarang masih bisa kita lihat, yang dibangun pada tahun 1909 sebagai kantor Perusahaan Perkebunan Inggris Harrisons & Crsofield,” kata Kuswoyo. Letak gedung ini tepat di sudut Kesawan (gedung London Sumatra). Gedung ini lalu berubah nama menjadi Gedung Juliana dan merupakan gedung pertama di Sumatra yang memakai lift.

Pembangunan gedung-gedung perkantoran di kawasan Kesawan semakin gencar pada tahun 1930-an. Yang menjadi pemicunya antara lain berdirinya Kantor Perusahaan Dagang Belanda pada tahun 1929. Gedung-gedung yang masih berdiri sampai sekarang antara lain Gedung Jakarta Lloyd (dulu kantor The Netherlands Shipping Company dan sempat menjadi kantor Rotterdam’s Lloyd) dan Kafe Tip Top.

Kesultanan Deli Tentu saja, melawat ke Kota Medan belum lengkap kalau belum mengunjungi Istana Maimoon, istana Sultan Deli, yang indah. Letak istana ini tak jauh dari kawasan Kesawan, tepatnya di Jalan Brigjend Katamso. Istana ini dibangun pada tahun 1888 pada masa Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah. Arsitek istana ini orang Italia.

Pembangunan istana yang berdiri di atas lahan seluas 2.772 meter persegi ini menghabiskan biaya satu juta gulden Belanda. Bangunannya terdiri dari dua lantai, yang terbagi dalam tiga bagian, yakni bangunan induk, sayap kiri, dan sayap kanan. Di dalam balairung, pengunjung akan menjumpai singgasana yang didominasi warna kuning.

Juga ada lampu-lampu kristal, yang jelas menandakan pengaruh Eropa di Kesultanan Deli. Pengaruh itu juga tampak pada perabotan istana yang lain, mulai dari kursi, meja, lemari, sampai pintu dorong menuju balairung. “Ruangan seluas 412 meter persegi ini digunakan untuk acara penobatan Sultan Deli atau acara adat lainnya,” ujar Tengku Abdullah, kerabat Sultan Deli yang ada di istana itu ketika saya berkunjung. Balairung juga dipakai sebagai tempat sultan menerima sembah sujud dari sanak familinya pada hari-hari besar Islam. Dalam istana ini ada 40 kamar: 20 kamar di lantai atas tempat singgasana sultan dan 20 kamar di bagian bawah. Belum lagi ruangan untuk kamar mandi, dapur, dan penjara di lantai bawah.

Desain istana ini juga boleh dibilang perpaduan antara tradisi Islam dan kebudayaan Eropa. Selain yang terlihat di balairung, dasar bangunan juga menunjukkan pengaruh Eropa. Apalagi, sebagian material bangunannya memang diimpor dari Eropa, seperti ubin, marmer, dan teraso. Sementara itu, pengaruh Islam yang kental terlihat pada bentuk lengkungan pada sejumlah bagian atap istana, yang dikenal sebagai lengkungan Persia, yang juga banyak dijumpai pada bangunan di kawasan Timur Tengah, Turki, dan India.

Di depan istana ini, di seberang jalan, berdiri Masjid Al-Mahsun, yang lebih dikenal dengan nama Masjid Raya Medan. Masjid raya ini juga merupakan salah satu peninggalan Kesultanan Deli di Sumatra Utara, yang dibangun pada tahun 1906 oleh Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah dan sampai kini masih dipergunakan oleh umat muslim untuk beribadah. Arsitekturnya bergaya Moor, yang dirancang oleh arsitek Belanda. Masjid ini berbentuk oktagonal (segi delapan) dan memiliki empat sayap, yang berbentuk seperti bangunan utama namun berukuran lebih kecil. Luas keseluruhan bangunan masjid ini 5.000 meter persegi. Sebagian materialnya berasal dari Italia dan Jerman. Tempat khatib berkhotbah sendiri terbuat dari marmer Italia, yang atapnya merupakan pemberian Ratu Belanda.

“Selain Masjid Raya Al-Mahsun ini, Kesultanan Deli sebelumnya juga pernah membangun masjid, yang bergaya India, Masjid Labuhan. Masjid ini di jalan raya Medan-Belawan, kira-kira 13 kilometer dari pusat Kota Medan,” ujar Kuswoyo. Sayangnya, saya tidak sempat mengunjungi masjid itu. Namun, kunjungan ke Medan tetap mengesankan bagi saya, terutama karena peninggalan-peninggalan masa lalunya. (Pedje)

No comments:

Post a Comment