Saturday, September 26, 2009

Musa Widyatmodjo: “Karya Desainer Indonesia Harus Berbeda”

Dalam jagat fashion Indonesia, Musa Widyatmodjo bukanlah nama yang asing atau sekadar sayup-sayup terdengar. Kiprahnya sebagai desainer sekaligus pengusaha di bidang fashion serta aktivitasnya untuk turut memajukan industri fashion di Tanah Air membuat banyak orang menaruh respek kepada dirinya. Tambahan pula, rasa nasionalismenya cukup tinggi. Padahal, ia lumayan lama tinggal di Amerika Serikat. Pria kelahiran Jakarta pada 13 November ini sejak tahun 1985 sampai 1991 mempelajari hal-ihwal fashion pada sebuah perguruan tinggi di Negeri Uwak Sam itu. “Sebelumnya, saya sempat kuliah dulu setahun di jurusan liberal art. Setelah itu, tadinya saya ingin pindah kuliah, mengambil jurusan bisnis. Namun, ketika saya tahu ada sebuah universitas yang memiliki jurusan fashion, saya pun mendaftarkan diri ke sana, setelah saya berhasil meyakinkan orang tua saya bahwa dunia fashion juga prospektif,” ungkapnya.

Kembali ke Indonesia, Musa berniat untuk bekerja di perusahaan yang bergerak dalam industri fashion. Namun, pada tahun 1991 itu, kesempatan kerja dalam industri fashion di negeri ini sangat kecil. “Yang dibutuhkan pun umumnya bukan desainer. Karena itulah saya kemudian membuka usaha sendiri. Kebetulan, ketika itu ada adik teman adik saya yang minta dibuatkan baju untuk pesta ulang tahun ketujuh belasnya. Saya pun mulai merancang, mencari bahan, memotong bahan itu, menjahit sendiri, sampai akhirnya baju itu jadi,” ujar Musa. Berkat kerja dan pencarian kreativitas yang seakan tanpa henti, lambat laun usahanya berkembang dan namanya semakin dikenal sebagai perancang busana sekaligus pengusaha di industri fashion. Tak mengherankan bila ia kemudian dipercaya untuk menjadi Ketua Asosiasi Pengusaha Perancang Mode Indonesia selama dua priode, sejak tahun 1999 sampai 2005. Berikut petikan perbincangan senior feature eve Purwadi Djunaedi dengan perancang busana yang pada masa kuliahnya banyak menerima penghargaan ini.

Bagaimana Anda memulai usaha Anda?
Saya memulainya dengan modal nekat pada akhir tahun 1991, dengan meminjam mesin jahit kepunyaan orang tua saya waktu ada pesanan dari adik teman adik saya. Setelah itu, kepada seorang penjual jamu gendong, saya minta dicarikan orang yang akan membantu saya menyelesaikan baju, seperti pasang kancing dan setrika. Penjual jamu itu lalu membawa seorang anak putus sekolah. Saya juga kemudian meminta dia untuk mencarikan seorang penjahit. Setelah penjahit ada, saya pun memulai usaha saya di garasi rumah orang tua saya. Tanpa ada pesanan dan tanpa tahu ke mana harus dipasarkan, saya membuat berbagai macam busana dengan dibantu dua orang itu. Seiring dengan berjalannya waktu mulai ada teman atau kenalan yang minta dibikinkan baju. Saya lalu meminjam uang ke orang tua untuk membeli mesin jahit, mesin obras, dan mesin lubang kancing.

Kapan busana rancangan Anda mulai masuk department store?
Tahun 1992. Ceritanya, saya bertemu dengan teman SMA saya dan dia menginformasikan bahwa Metro Department Store akan dibuka di Pondok Indah Mal, yang ketika itu juga baru dibuka. Katanya, Metro sedang mencari produk-produk fashion. Saya pun lalu datang ke pihak pengelolanya. Ketika diwawancarai oleh orang Singapura langsung, saya katakan bahwa kapasitas produksi perusahaan saya ketika itu sudah mencapi 500 pieces dan mereka ternyata percaya. Setelah dipajang di Metro, baju-baju saya kemudian masuk ke Keris Gallery, Pasaraya Blok M, Sarinah, sampai Plaza Senayan. Perusahaan saya mengalami perkembangan yang cukup pesat pada priode 1996 sampai tahun 2000. Karena, produk saya pada masa itu bisa dibilang tepat sasaran, sampai-sampai banyak ditiru orang.

Ada yang berpendapat, busana karya perancang Indonesia terlalu mahal harganya, yang kadang menyaingi harga busana dari brand internasional. Komentar Anda?
Mahal dalam hal apa? Kalau seorang datang ke desainer membawa kain, katakanlah untuk dibuatkan kebaya, proses pengerjaannya berbeda dengan proses pengerjaan seorang tukang jahit atau rumah jahit, modiste. Kalau di modiste, mungkin, orang itu diukur, kain digelar, kemudian dipotong dan dijahit. Yang mengerjakan hanya satu atau dua orang. Tapi, kalau datang ke desainer, setelah orang itu diukur, kainnya tidak langsung dipotong, tapi dipikirkan dulu posisinya yang baik dan sebagainya. Kemudian dibuatkan rancangannya oleh desainer dan dibuatkan polanya oleh orang yang lain lagi. Lalu, kain mulai dipotong oleh orang yang lain, dijahit oleh orang yang lain lagi, diselesaikan oleh orang yang lain lagi, dan disetrika oleh orang yang berbeda. Jadi, setidaknya ada enam orang yang terlibat dalam pembuatan sebuah baju, yang memang benar-benar ahli di bidang masing-masing. Itu sebabnya biaya produksinya lebih mahal.

Kalau begitu, bagaimana caranya agar karya perancang busana Indonesia bisa bersaing dengan brand internasional, yang begitu derasnya masuk ke pasar Indonesia sekarang ini?
Karya desainer Indonesia harus berbeda dengan busana-busana yang ditampilkan brand internasional itu. (Pedje)

No comments:

Post a Comment