Friday, October 16, 2009

Empu Batik Itu Telah Berpulang






Atas prakarsa Presiden Soekarno, dia menciptakan Batik Indonesia, yang mengawinkan batik klasik keraton dengan batik gaya pesisir utara Jawa Tengah. Filosofinya nunggak semi.


Berita duka itu datang kala senja. Salah seorang penjaga kebudayaan Indonesia, Jawa khususnya, telah tiada, dipanggil menghadap Yang Mahakuasa pada hari Rabu, 5 November 2008 lalu. Namanya Go Tik Swan, namun kemudian lebih dikenal sebagai Panembahan Hardjonagoro. Beliaulah orang Tionghoa pertama yang memperoleh anugerah derajat tertinggi keraton, karena dedikasi dan kontribusinya yang luar biasa terhadap kebudayaan Jawa. ”Ia bukan orang Tionghoa pertama yang diangkat sebagai abdi dalem karaton, tetapi dialah orang Tionghoa pertama yang memperoleh anugerah derajat tertinggi karaton, yaitu sebagai Panembahan Hardjonagoro,” tulis Prof. Dr. Rustopo, S.Kar., M.S., dalam buku Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro (2008). Sepanjang hidup Go Tik Swan, ungkap Rustopo dalam buku tersebut, pada hakikatnya dilakoni untuk pencarian dan pemantapan jatidirinya sebagai Jawa yang ditakdirkan melekat sejak dilahirkan oleh ibunya.

Mungkin, tak banyak dari kita yang mengenal sosok beliau. Apalagi, Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro selama hidupnya bukanlah orang gemar publikasi. Namun, siapa pun yang mengaku sebagai pemerhati kebudayaan Jawa atau orang yang mengaku sebagai pencinta batik tentulah belum lengkap pengetahuannya apabila tak mengetahui karya-karya dan aktivitasnya, meski barangkali belum pernah bertemu langsung dengan beliau semasa hidupnya.

Beliaulah orang yang mendapat “titah” dari Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, untuk membuat Batik Indonesia. Bagi Go Tik Swan, seperti dipaparkan dalam otobiografinya, permintaan Bung Karno tersebut adalah amanat yang harus dijalankan. ”Terus terang, saya sangat terkejut dengan permintaan itu. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya. Perasaan bingung dan bimbang pun menjadi satu. Namun, karena itu amanat, bagaimanapun dan apa pun yang akan terjadi, saya harus menjalankannya,” tutur Go.

Setelah menempuh perjuangan yang melelahkan fisik dan mental, termasuk melakukan ”ritual” nglakoni seperti yang lazimnya dilakukan oleh orang-orang Jawa, Go Tik Swan akhirnya berhasil menciptakan Batik Indonesia, yang diterima dengan baik oleh Bung Karno dan kemudian dilegitimasi serta diperkenalkan oleh Bung Karno sebagai Batik Indonesia. ”Pada dasarnya, Batik Indonesia yang saya buat adalah hasil perkawinan batik klasik karaton—terutama gaya batik Surakarta dan Yogyakarta—dengan batik gaya pesisir utara Jawa Tengah, terutama Pekalongan,” paparnya.

Gaya batik klasik keraton Surakarta dan Yogyakarta yang introvert dikawinkan dengan gaya batik pesisir utara Jawa Tengah (Pekalongan, Juwana, Lasem) yang ekstrovert. Teknik sogan, pewarnaan dengan soga, pada batik Surakarta dan Yogyakarta dikawinkan dengan teknik pewarnaan multicolor pada batik pesisir. Di samping itu, pola-pola perubahan bentuk pada batik Cirebon dan motif-motif tenun Bali kadang juga digunakan untuk menyemarakkan perkawinan kedua gaya batik tersebut.

”Kalau dulu dunia pembatikan Solo hanya kenal latar hitam, latar putih dengan sogan, dan pantai utara seperti Pekalongan hanya kenal kelengan berwarna, batas-batas itu dengan lahirnya Batik Indonesia menjadi terhapus. Namun, nilai-nilai falsafah dalam pola-pola batik masih yang lama,” tutur Go Tik Swan. Landasan berpikir seperti itulah yang kemudian ia ungkapkan sebagai filosofi nunggak semi, yang diambil dari kata tunggak yang berarti ’tonggak’ atau ’tunggul kayu’ dan semi yang berarti ’tumbuh’, ’bersemi’, ’bertunas’.

Tonggak itu diibaratkan sebagai kebudayaan (Jawa) tradisional dan semi diibaratkan sebagai pertumbuhan atau perkembangan kebudayaan tradisional. Jadi, nunggak semi adalah suatu konsep pengembangan kebudayaan yang menekankan bahwa pengembangan suatu kebudayaan seharusnya tidak menghasilkan pertumbuhan secara liar, melainkan didasarkan atas pokok atau tonggak kebudayaan yang lama (tradisional atau klasik).

”Saya tidak menyatakan bahwa batik kita harus tetap seperti yang kuno. Saya tidak antiperubahan dan kemajuan. Saya hanya mengajak untuk mencari keseimbangan; suatu titik temu yang harmonis dalam proporsi seni dan tekniknya. Ini tidak bisa lain dari suatu karya yang nunggak semi. Mengenal yang lama untuk mencipta yang baru, tidak hanya tekniknya atau lahiriahnya, tetapi sampai ke penghayatannya. Ini tidak bisa dilakukan tanpa menciptakan lingkungan hidup berkebudayaan,” ujar Go Tik Swan pada tahun 1984 lampau dalam sebuah kesempatan. Oleh Go Tik Swan, pola-pola batik yang rumit, kecil, dan halus dipertegas, diperkuat, atau kalau perlu agak dirombak, tanpa meninggalkan tunggak-nya.

Lewat karya-karya batiknya, kita bisa menyaksikan cintanya yang menggelora kepada batik bukanlah cinta yang membekukan dan kemudian menjadikan batik sekadar warisan kebudayaan lama, yang harus dielus-elus sebelum akhirnya tenggelam diterkam gelombang zaman. Cinta Go Tik Swan kepada batik adalah cinta yang membebaskan, yang membuat batik mampu beradaptasi dalam arus deras perubahan zaman tanpa kehilangan kesejatiannya sebagai warisan budaya masa silam dengan nilai-nilai penting di dalamnya. Batik di tangan kreatif Go Tik Swan adalah suatu hasil dialog panjang antara masa silam yang rumit sekaligus elegan dengan masa depan yang dipenuhi harapan sekaligus kecemasan.

Menjadi Jawa sejak Kecil
Go Tik Swan lahir di Desa Kratonan, Serengan, Surakarta pada 11 Mei 1931, sebagai anak sulung dari empat bersaudara, dari pasangan Go Dhiam Ik dan Tjan Ging Nio. Ayahnya adalah pengusaha di berbagai bidang, termasuk dalam bisnis batik. Akan halnya ibunya adalah putri dari pasangan Tuan dan Nyonya Tjan Khay Sing, pemilik perusahaan batik yang cukup besar di Kota Solo, yang pusat pembatikannya berada di Kestalan, Limunan, dan di Jalan Kratonan 101. “Jumlah orang yang bekerja di perusahaan batik mereka tidak kurang dari 1.000 orang,” ungkap Go Tik Swan dalam buku otobiografinya.

Meski darah Tionghoa mengalir dalam dirinya, leluhurnya sebenarnya tak seluruhnya berasal dari daratan Tiongkok, tapi ada juga yang lebih kental darah Jawanya. Mungkin karena itulah, seperti diungkapkan Rustopo, Go Tik Swan sudah menjadi Jawa sejak kecil, yaitu senantiasa berdialog dengan dan melebur ke dalam nilai, simbol, dan idiom-idiom Jawa.

Selain dikenal sebagai empu batik, Go Tik Swan atau Panembahan Hardjonagoro juga dikenal sebagai empu keris. Semasa hidupnya, beliau menjadi salah seorang anggota Dewan Empu di Institut Seni Indonesia, Solo, Jawa Tengah, dan dikenal sebagai kolektor benda-benda cagar budaya—yang telah ia wasiatkan untuk diserahkan kepada negara setelah dirinya wafat. Beliau juga menjadi Ketua Presidium Yayasan Radya Pustaka, yang mengelola Museum Radya Pustaka di Solo. Atas jasa-jasanya terhadap kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2001 menganugerahkan Tanda Kehormatan Satyalencana Kebudayaan kepada beliau. Ia juga mendapat Bintang Srikabadya dari Keraton Surakarta.

Selamat jalan, Empu! (Pedje)

No comments:

Post a Comment