Friday, October 16, 2009

Menengok Peninggalan Peradaban Islam di India






Di India, sisa-sisa peradaban umat Islam tersebar di banyak tempat. Padahal, sejak dulu, umat Islam merupakan masyarakat minoritas di sana.

India sedang berbenah. Juni 2008, ketika menginjakkan kaki di Indira Ghandi International Airport, New Delhi, sekitar pukul 21.00 waktu setempat, kesan itu langsung menyergap. Bandar udara tersebut sedang direnovasi. Debu di mana-mana dan banyak bagian dari bandar udara itu masih ditutupi tripleks.

Meski sudah diceritakan oleh pemimpin rombongan dari Magadh Travel & Tours, saya agak sedikit kaget juga dengan kondisi bandara yang seperti itu. Apalagi, saya dan rombongan masih belum bisa melupakan kenyamanan penerbangan dengan Thai Airways dari Jakarta ke Bangkok dan dari Bangkok ke New Delhi. Penerbangan Thai Airways memang tak langsung ke New Delhi, tapi transit dulu di Swarna Bhumi Airport, Bangkok, yang begitu indah dan modern, berbeda jauh dengan kondisi Indira Ghandi International Airport yang sedang dibenahi.

Ke luar dari bandara, semakin lengkaplah kesan tersebut. Saya melihat pembangunan infrastruktur di beberapa tempat di ibu kota India itu. Rupanya, mereka sedang mempersiapkan diri untuk menjadi tuan rumah bagi perhelatan Commonwealth Games yang akan berlangsung pada 2010 nanti, suatu pesta olahraga yang pesertanya adalah negara-negara bekas jajahan Inggris.

Paginya, kami harus terbang lagi, menuju Srinagar, ibu kota musim panas negara bagian Jammu-Kashmir, yang terletak di utara negerinya, yang berbatasan dengan Pakistan, Afghanistan, dan Cina. Ya, Jammu-Kashmir memang punya dua ibu kota. Kalau musim dingin, ibu kotanya pindah ke Jammu. Karena, sebagai lembah yang dikurung oleh Pegunungan Himalaya, Srinagar dan kawasan lain di Kashmir akan menjadi begitu dingin dan di beberapa bagiannya akan tertutup salju yang sangat tebal.

Untuk penerbangan domestik ke Srinagar dari New Delhi, kami berangkat dari Indira Ghandi Airport juga. Tapi, bukan bandara yang tempat kami mendarat kemarin. Namanya memang sama dengan bandara internasionalnya, tapi letaknya berbeda, sekitar 15 menit berkendara mobil dari bandara internasionalnya. Pemeriksaan di bandara sangat ketat dan setiap calon penumpang harus mengecek sendiri bagasi masing-masing sebelum dimasukkan ke pesawat! Soal pemeriksaan yang sangat ketat itu, saya bisa maklum. Karena, Kashmir sempat menjadi wilayah konflik, meski beberapa tahun belakangan ini telah mereda, terutama ketika Pakistan dan India memulai proses perdamaian pada tahun 2004. Seorang teman pernah mengatakan bahwa Kashmir adalah ”surga dunia yang ditetapkan India sebagai wilayahnya, diimpikan Pakistan sebagai tanahnya, dan dinantikan sebuah bangsa dari anak ras Aria murni sebagai negara yang merdeka”. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan resolusi berkali-kali yang menetapkan warga Kashmir untuk menentukan nasibnya sendiri, tapi pemerintah India rupanya masih enggan untuk melaksanakan resolusi itu.

Memang, berbeda dengan negara-negara bagian lain di India, mayoritas penduduk Jammu-Kashmir adalah muslim. ”Luas Kashmir sekitar 86 ribu mil persegi dan penduduknya sekitar 13 juta jiwa, yang lebih dari 80 persennya adalah muslim, sementara sisanya campuran Hindu, Kristen, dan agama lain. Islam di Kashmir dibawa oleh orang-orang Persia, lewat Jalan Sutera,” ujar Firdous Chaila, yang memandu kami selama di Kashmir.

Menginap di Atas Danau
Setelah menempuh penerbangan sekitar satu jam, kami tiba di bandara Srinagar, yang rupanya satu kompleks dengan pangkalan Angkatan Udara India. Tentu saja, terlihat tentara India di mana-mana—dan ternyata hampir seluruh wilayah Jammu-Kashmir dijaga oleh tentara India. Selama di Kashmir, kami menginap di Helal Houseboat, yang terletak di Danau Nagin, yang merupakan bagian dari Danau Dal, danau terbesar di sana, yang luasnya sekitar 18 kilometer persegi. Rumah perahu ini merupakan sisa-sisa peninggalan tradisi Inggris sewaktu menjajah India.

Rumah perahu ini terbuat dari kayu, yang dipenuhi dengan ukiran bermotif bunga dan geometris, khas peradaban Islam yang menghindari penggambaran hewan atau manusia dalam karya-karya seninya, Islam dengan peradaban taman, bukan peradaban padang pasir. Saya pun teringat pada ukiran Jepara dan batik, yang awalnya juga merupakan ekspresi seni umat Islam dengan peradaban taman. Saya agak percaya juga sekarang kalau ada yang mengatakan bahwa batik adalah hasil rembesan dari kebudayaan India, terutama kebudayaan umat Islamnya.

Sejarah mencatat, Kashmir mengalami masa keemasan pada abad ke-15, ketika berada di bawah pemerintahan Zain-Ul-Abidin (1422 — 1474). Era ini berlanjut di bawah kekuasaan para penguasa muslim sampai tahun 1587 hingga Kashmir dikuasai oleh Kaisar Akbar dari Kekaisaran Mughal dan dilanjutkan oleh putra Kaisar Akbar, Kaisar Sahin Jehanggir. Pada tahun 1752, Kashmir dikuasai oleh Raja Ahmad San Abadi, sebagai raja muslim terakhir, sebelum dikuasai oleh orang-orang sikh, kemudian oleh Inggris, dan sekarang oleh pemerintah Republik India.

Meski musim panas, dingin masih mengental. Apalagi, kami menginap di atas danau, di dalam boat kayu yang tanpa pemanas. Untunglah, pemandangan di Kashmir begitu indah. Di depan perahu terhampar danau dan Pegunungan Himalaya dengan sedikit salju di puncak-puncaknya. Sesekali lewat shikara (sampan) yang dipenuhi barang dagangan. Beberapa pedagang juga bertandang ke perahu tempat kami menginap, menawarkan kerajinan papier mache, baju, dan beragam perhiasan. ”Hasil utama penduduk Kashmir adalah tekstil, buah-buahan, bunga, dan kerajinan papier mache. Kualitas karpet Kashmir sudah terkenal ke seluruh dunia,” ungkap Firdous, yang akrab dipanggil Dos, dengan bangga. Di Kashmir banyak perkebunan almond, walnut, dan saffron (bumbu termahal di dunia).

Keesokan harinya, kami mengunjungi Shalimar Garden, masih di Srinagar, sekitar 15 kilometer dari pusat kota. ”Shalimar Garden dibangun oleh Raja Sahin Jehanggir dari Kekaisaran Mughal pada tahun 1616, sebagai ungkapan cinta kepada istrinya Nur Jahan. Aslinya taman ini bernama Farah Baksh, yang artinya tempat yang sangat menyenangkan. Selain di sini, Shalimar Garden juga dibangun Raja Sahin Jehanggir di Lahore, yang sekarang menjadi wilayah Pakistan. Bentuknya sangat mirip. Di Kashmir, Kekaisaran Mughal juga membangun beberapa taman lain,” kata Dos. Luas Shalimar Garden sekitar 12,4 hektare. Untuk masuk ke taman ini, pengunjung dewasa hanya perlu membayar 10 rupee (1 rupee sekitar Rp300) dan anak-anak separonya. Di sini pengunjung bisa berfoto dengan menggunakan baju tradisional Kashmir, yang banyak disewakan.

Kebanyakan pengunjungnya adalah warga India dari luar Kashmir. Memang, Kashmir adalah salah satu tempat favorit orang-orang India untuk berlibur. Alasan utamanya, ya, karena suhu di Kashmir sangat berbeda dengan banyak tempat lain di India, yang cenderung terik.

Dari Shalimar Garden, kami lalu bertamasya ke Gulmarg, kawasan wisata musim dingin Kashmir. Di musim dingin, tempat ini dijadikan ajang untuk bermain ski dan snowboard. Di sini juga ada fasilitas kereta gantung, yang diklaim sebagai gondola tertinggi di dunia. Tarifnya Rs200 dari Gulmarg ke Kongdoor dan Rs500 dari Kongdoor ke Apherwat.

Kami sempat mampir ke masjid pertama yang didirikan di Kashmir, yang terletak di kawasan kota tuanya, Masjid Shah-i-Hamdan. “Masjid ini dibangun oleh Shah-i-Hamdan pada tahun 1395. Nama lengkap Shah-i-Hamdan adalah Mir Sayyid Ali Hamdani, berasal dari Hamdani, Persia,” ujar Dos. Masjid yang pernah terbakar pada tahun 1480 dan 1731 ini terbuat dari kayu, yang interiornya dilapisi dengan ornamen-ornamen dari papier mache.

Di Kashmir, kami juga mengunjungi obyek wisata Pahalgam, yang terletak di Lembah Liddar, Pegunungan Himalaya, 2.130 meter di atas permukaan laut. “Saya pribadi sangat senang ke tempat ini kalau musim panas,” kata Dos. Kawasan ini memang indah. Sungai Liddar yang berair jernih dan berarus cukup deras mengalir membelah lembah ini dengan penuh pesona. Di sekelilingnya apa lagi kalau bukan Pegunungan Himalaya dengan sedikit salju di atasnya karena kami datang ketika musim panas. Di Pahalgam inilah terdapat banyak perkebunan saffron, yang biasanya mekar setiap bulan November.

Ketika Dos menceritakan bahwa ada tempat sangat indah di atas dan biasa dipakai untuk syuting film-film Bollywood, kami kompak berseru untuk mengunjungi tempat itu. ”Tapi, tempat itu lumayan jauh. Kalau berkuda dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk mencapai tempat itu, jadi pergi-pulang sekitar dua jam,” ungkap Dos. Toh, tak ada seorang pun yang keberatan dengan itu, meski kami harus merogoh kocek lagi untuk menyewa kuda, yang seekornya disewakan Rs500.

Tadinya, saya kira jalan yang akan ditempuh selama berkuda adalah jalan aspal atau setidaknya jalan tanah yang lebar dan tidak begitu curam. Tapi, ternyata, jalan aspalnya hanya sedikit. Selebihnya kami harus berkuda menyusuri punggung gunung yang terjal dan berliku, yang membuat hati saya sering deg-degan dibuatnya, meski sang pengasuh kuda selalu berada di samping kudanya. Untuk menenangkan hati ini, saya berusaha membayangkan adegan-adegan dalam film cowboy.

Dos benar! Setelah berkuda sekitar satu jam, kami tiba di padang rumput luas yang dipagari oleh Pegunungan Himalaya. Cantik! Tapi, dinginnya minta ampun dan anginnya lumayan kencang.

Turun dari sana, sebagai pelepas stres akibat berkuda, kami langsung berpencar, menuju toko-toko yang berderet di sana. Belanja! Sampai-sampai, Dos dan teman-temannya kewalahan mengumpulkan kami untuk mengajak kembali ke penginapan. Walah!

Tiga Keinginan Akan Dikabulkan
Dari Kashmir, kami kembali ke New Delhi, lalu melanjutkan perjalanan ke Agra. Ya, kami akan berziarah ke makam Arjumand Banu Bagam alias Mumtaz Mahal, salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Bukankah ada yang bilang jangan mengatakan pernah ke India kalau belum mengunjungi Taj Mahal?

Perjalanan dari New Dehli ke Agra kami tempuh dalam waktu sekitar enam jam, dengan mobil. Normalnya sekitar empat jam. Kami agak lambat karena di tengah perjalanan mampir ke sebuah toko untuk belanja! Rencananya, di toko itu hanya sebentar, sekadar melepas penat. Tapi, melihat berbagai aksesori bagus dengan harga yang relatif murah bila dirupiahkan, kami tergoda juga. ”Saya beli banyak gelang dari tulang unta,” ujar Olivia Zalianty dengan wajah sumringah. O, ya, perjalanan ke Agra ini sebagian besar lewat jalan tol. Tapi, jangan kaget, di jalan tol ini gerobak, sepeda motor, dan Bajaj juga boleh lewat—beberapa kali saya juga melihat ada kendaraan yang berjalan memotong arus di jalan tol, walau mestinya untuk satu arah. Padahal, selama di India, saya jarang melihat orang berkendara dengan kecepatan rendah, apalagi di jalan tol. Edan!

Di sisi jalan tol, di persawahan atau di tanah lapang, kami kerap melihat burung merak dan burung-burung lain. Umat Hindu di India meyakini bahwa burung-burung adalah kendaraan para dewa, jadi tak boleh diganggu. Umat Islam di Kashmir juga tampaknya menghormati kepercayaan itu. Burung-burung di sana tak ada yang diganggu oleh manusia. Di Kashmir, kami kerap menemui segerombolan gagak, elang, atau burung-burung lain dengan santainya hinggap di mana saja.

Kami tiba di Agra ketika matahari sudah lama terbenam. Makan malam di hotel, kemudian belanja lagi! Baru esok paginya kami menuju ke Taj Mahal, tapi sebelumnya mampir dulu ke Agra Fort.

Agra adalah ibu kota awal Kekaisaran Mughal di India, setelah Raja Babur dari Samarkand mengalahkan Kesultanan Delhi yang dipimpin oleh Raja Ibrahim Lodhi. Babur masuk ke Agra pada tahun 1526.

Agra Fort dibangun oleh cucu Raja Babur, Akbar the Great, pada tahun 1565 dan selesai tahun 1571. Benteng yang lebih terlihat indah ketimbang angker ini dibuat dari batu pasir, yang berwarna merah, dan hanya difungsikan sebagai markas pasukan Akbar. Baru setelah Sahin Jehanggir (anak Akbar) dan Shah Jahan (cucu Akbar) menjadi raja didirikanlah bangunan tambahan di dalam benteng, sebagai istana sang raja dan keluarganya. Ironisnya, di Agra Fort ini juga Shah Jahan dipenjarakan oleh anaknya sendiri, Raja Aurangzed, dalam bangunan tambahan dari marmer yang ia buat ketika masih menjadi raja.

Jarak dari Agra Fort ke Taj Mahal tak sampai tiga kilometer, dipisahkan oleh Sungai Yamuma. Dari Agra Fort akan terlihat dengan jelas Taj Mahal. Menurut pemandu kami, Sufi namanya, seorang muslim, Shah Jahan ketika dipenjara sering merenung memandang makam istrinya tercinta, dari sebuah tingkap di Agra Fort.

Seperti kita ketahui, Shah Jahan sangat mencintai istrinya, Arjumand Banu Bagam. Namun, sang istri yang berasal dari Persia itu mengembuskan napas terakhir ketika melahirkan anak yang ke-14 pada tahun 1631 dalam usia 39 tahun. Namun, semasa hidupnya, sang istri sempat berpesan, bila wafat, ia ingin dikenang dengan dibuatkan makam yang belum ia saksikan sepanjang hidupnya.

Maka, Shah Jahan pun lalu memulai membangun makam itu tak lama setelah sang permaisuri wafat dan baru selesai sekitar 20 tahun kemudian, dengan mengerahkan hampir 20 ribu tenaga kerja. Konon, bahan-bahan bangunannya didatangkan dari seluruh India dan Asia Tengah dengan menggunakan 1.000 gajah. Dua puluh delapan jenis batu-batuan indah dari berbagai wilayah di Asia digunakan. Batu pasir merah dari Fatehpur Sikri, jasper dari Punjab, giok dan kristal dari Cina, batu pirus dari Tibet, lapis lazuli dan safir dari Sri Lanka, batubara dan batu kornelian dari Arab, dan berlian dari Panna. Lantainya pun terbuat dari pualam yang bercahaya dari Makrana, Rajasthan.

Rombongan kami memasuki Taj Mahal ketika matahari belum tinggi. Kendaraan berbahan bakar minyak tak boleh memasuki kawasan ini. Karena dikhawatirkan polusinya akan merusak marmer Taj Mahal. Itulah sebabnya, kawasan industri yang pernah ada di sana juga dipindahkan ke tempat lain. Tak boleh ada pabrik dalam radius 50 kilometer dari Taj Mahal. Untuk mencapai tempat ini, pengunjung bisa naik bus listrik gratis yang disediakan pemerintah atau naik becak. Masuk ke Taj Mahal juga diperiksa ketat. Telepon selular dan minuman dalam botol tak bisa dibawa masuk. Pengunjung hanya diperbolehkan membawa kamera foto dan dilarang memotret makam sang permaisuri. Kamera video bisa dibawa dengan izin khusus—artinya harus bayar lagi. Barang-barang yang tidak boleh dibawa masuk ditaruh di loker, yang kuncinya dibawa oleh pemilik barang.

Karena kami datang relatif pagi, pengunjungnya baru sekitar seratus orang. Siang sedikit, pengunjungnya berlimpah. ”Setiap hari, lebih-kurang ada 10 ribu turis mengunjungi Taj Mahal,” ujar Sufi.

Saya pun berpencar dari rombongan, menelusuri sendiri makam megah ini. Taj Mahal memang megah dan cantik. Terbuat dari marmer putih, bangunan ini benar-benar diperhitungkan dengan cermat pembuatannya. Taj Mahal sangat simetris, baik dalam bentuk maupun garisnya. Ornamen garis pada tiang-tiangnya, yang terbuat dari marmer hitam, sengaja diletakkan membentuk garis tajam ke atas dan ke bawah, sehingga menciptakan ilusi optik tiga dimensi bagi yang melihatnya dari kejauhan. Kaligrafi Alquran pada sebagian dindingnya juga dibuat dengan teknik sempurna, sehingga tidak terlihat mengecil meski letaknya di atas dan dilihat dari jarak jauh di bawahnya.

Di kawasan Agra ini, cendera mata yang banyak ditawarkan adalah barang-barang kerajinan yang terbuat dari marmer. ”Tapi, hati-hati, ada juga yang dibuat dari batu kapur, yang mirip marmer. Kalau mau belanja di pedagang asongan, pastikan juga apakah harga yang mereka sebutkan itu dalam rupee atau dalam dolar. Jangan sampai tertipu. Karena kalau kita sudah menawar dan tidak jadi membeli, mereka akan marah dan memanggil teman-temannya, untuk mengancam kita. Karena itu juga, kalau memang tidak ada niat untuk membeli, jangan pernah berkata apa pun kepada para pedagang asongan,” kata Sufi mewanti-wanti kami. Kenyataan memang begitu, pedagang asongan di sana memang terkesan memaksa pengunjung untuk membeli dagangannya. Mereka bisa terus mengikuti pengunjung sampai. Tapi, yang pasti, di India, jangan pernah enggan untuk menawar dengan harga 20 persen dari harga yang diminta pedagang, termasuk ketika berbelanja di toko.

Setelah dari Taj Mahal, kami mengunjungi Fahtepur Sikri, pusat pemerintahan Kekaisaran Mughal pada masa Akbar the Great berkuasa. Letaknya sekitar 40 kilometer dari Agra. Sebagai pusat pemerintahan, di dalamnya tentu saja banyak bangunan, termasuk tempat tinggal untuk tiga istri Akbar, yang berlainan agama: Islam, Katolik, dan Hindu. Menurut para ahli, arsitektur bangunan-bangunannya bergaya campuran Gujarat dan Bengali, yang diperkaya dengan ornamen-ornamen khas kebudayaan Islam.

Di sini juga terdapat Masjid Jama dan makam guru Raja Akbar, Salim Chisti. Anehnya, hanya bangunan makam ini yang terbuat dari marmer, padahal semua bangunan yang ada di sana dibuat dari sandstone. ”Tadinya, bangunan makam ini juga dibuat dengan sandstone. Tapi, kemudian ditutupi oleh marmer. Mungkin sebagai bentuk penghormatan kepada waliyullah Salim Chisti,” tutur Sufi. Setiap hari makam ini dipenuhi oleh para peziarah dan turis. Para peziarah bukan hanya kalangan muslim, tapi umat yang beragama lain. Karena, banyak yang percaya, setelah mengunjungi makam ini tiga keinginan kita akan dikabulkan Tuhan, asalkan kita tak memberi tahu siapa pun sampai keinginan kita itu terwujud.

Sebelum kembali ke Jakarta, di New Delhi kami sempat mengunjungi Ghandi Memorial di kawasan Rajghat. Di sana diletakkan abu Bapak Bangsa India, Mahatma Ghandi, setelah dikremasi. Di dalam lokasi ini juga terdapat dua museum yang didekasikan untuk Ghandi serta memorial Proklamator India Jawaharlal Nehru dan mantan presiden Indira Ghandi. Setelah itu, kami mengunjungi Lotus Temple, rumah ibadah agama Baha’i dan India Gate, monumen yang didirikan pemerintah kolonial Inggris untuk mengenang tentara India yang membantu mereka. Dan, acara terakhir yang tak kalah pentingnya bagi sebagian besar anggota rombongan kami adalah... belanja!

Kami berbelanja di Janpath. Di sini dijual berbagai macam barang khas India dan Tibet, mulai dari perhiasan, tas, pakaian, sampai buku bekas. Harganya relatif murah—apalagi kalau lihai menawar. Sampai-sampai, beberapa orang dari kami hampir tak dapat mengontrol semangat belanjanya. Maka, bisa ditebak, hampir semua orang dari rombongan kami kelebihan beban bagasi dari yang telah ditetapkan pihak Thai Aiways. Dan, ”juara”-nya adalah... Olivia Zalianty! ”Saya memang berbelanja banyak sekali, terutama perhiasan dan pakaian, karena untuk dijual lagi kepada teman-teman saya dan teman-teman ibu saya,” ujar putri Tetty Liz Indriati ini. India yang menakjubkan pun akhirnya kami tinggalkan. Saya merasa lelah, tapi puas. Apalagi, dalam penerbangan menuju Bangkok, saya duduk di kelas bisnis Thai Airways yang sangat nyaman, dengan fasilitas dan makanan yang istimewa. Mantap! (Pedje)

Catatan Kecil

  1. Meski dikurung oleh Pegunungan Himalaya sehingga udaranya dingin, di Kashmir tidak ada toko resmi yang menjual minuman beralkohol. Sebaliknya, di New Delhi banyak sekali toko khusus yang menjual minuman beralkohol.
  2. Di Kashmir hampir tak ada papan nama jalan, jadi kadang suka membingungkan para pendatang.
  3. Banyak yang menyewakan jaket untuk wisatawan yang kedinginan di Kashmir.
  4. Di semua tempat wisata di Kashmir, pengunjung dilarang membawa kantong plastik keresek (polyethylene bag).
  5. Di India, sering-sering membunyikan klakson kendaraan justru dianjurkan. Kalimat ”Horn please” banyak ditulis di belakang bus dan truk.
  6. Tak ada taksi resmi dengan mobil sedan. Taksi resmi di sana adalah Bajaj—ada yang berargo dan ada juga yang tidak.
  7. Selalu berikan uang pas jika membeli barang dari pedagang asongan atau warung kecil. Karena, banyak pedagang asongan dan warung kecil yang tak mau memberikan uang kembalian dan memaksa pembeli untuk membeli barangnya yang lain.
  8. Pada kemasan barang-barang keluaran pabrik selalu disertai harga. Jadi, harga barangnya mestinya tak boleh lebih dari yang tercantum.
  9. Banyak-banyaklah bersabar, terutama di bandara. Karena, pemeriksaan yang begitu ketat dan banyak petugas yang berlambat-lambat dalam melakukan pemeriksaan.
  10. Jangan lupa bawa obat anti-diare, untuk berjaga-jaga bila perut Anda ”berontak” karena kerap mengonsumsi makanan berempah.

No comments:

Post a Comment