Thursday, October 8, 2009

Profesor Dr. Siti Musdah Mulia, M.A., A.P.U.: “Esensi Perkawinan dalam Islam Adalah Monogami”

Polemik tentang poligami kembali mencuat di tengah masyarakat kita pada bulan lalu. Baik yang pro maupun yang kontra saling mengemukakan pendapatnya masing-masing lewat berbagai media massa, termasuk perdebatan di dunia maya. Dari sekian banyak yang melontarkan pendapat, sosok Siti Musdah Mulia paling banyak mendapat perhatian. Pasalnya, ia merupakan salah seorang perempuan yang tegas-tegas menyatakan hukum poligami adalah haram karena ekses-eksesnya, haram li ghairi.

Argumentasinya meyakinkan, dengan penafsiran atas Alquran dan Hadis yang mencoba “menerobos” penafsiran dominan yang hidup di tengah masyarakat—penafsiran yang oleh beberapa kalangan dianggap bias gender karena umumnya dilakukan oleh ulama berjenis kelamin laki-laki. “Sampai-sampai, sebagian besar umat Islam di Indonesia kalau membayangkan ulama pasti membayangkan sosok laki-laki. Pernah, pada tahun 1993, suatu kementerian negara mengajukan formulir isian ke pemerintah-pemerintah provinsi di seluruh Indonesia, untuk mendata ulama-ulama dan tokoh spiritual agama lain yang ada di daerah-daerah. Hasilnya, seluruh ulama dari Islam berjenis kelamin laki-laki, tidak ada yang perempuan. Setidaknya ini menunjukkan apa yang terjadi di tengah masyarakat kita,” kata guru besar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang juga salah seorang anggota Majelis Ulama Indonesia ini.

Perempuan kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, pada 3 Maret 1958 ini memang dikenal sebagai sosok yang sangat peduli dengan kesetaraan gender. Selain sebagai staf ahli Menteri Agama dan menjadi dosen pascasarjana di almamaternya, Musdah juga menjabat Direktur Institute for Religious and Gender Studies dan berbagai jabatan lain di sejumlah lembaga swadaya masyarakat, antara lain di Lembaga Pendidikan Al Wathaniyah, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), dan International Scientific Moslem Women’s Council. Di sela-sela kesibukannya, Purwadi Djunaedi dari eve mewawancarainya di kantor ICRP, di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Berikut petikannya.

Bagaimana penjelasan lebih jauh mengenai hukum haram li ghairi pada poligami itu?
Dalam mazhab Hanafi kan dikenal istilah haram li zati dan haram li ghairi. Haram li zati itu adalah haram karena memang zat atau perilakunya sudah haram, misalnya minuman keras. Sementara itu, haram li ghairi adalah haram karena ekses-ekses yang ditimbulkan sudah sangat krusial di masyarakat. Kalau ekses-ekses yang krusial itu sudah dapat dihilangkan, ya, kembali ke hukum asalnya: boleh.

Saya melihat praktik poligami di masyarakat kita, dengan sejumlah data yang saya miliki, sudah menimbulkan hal yang sangat krusial, sudah menjadi problem sosial yang amat-amat besar. Angka kasus kekerasan dalam rumah tangga tinggi dan banyak kasus penelantaran anak.

Bukankah kasus-kasus semacam itu juga ada dalam kehidupan perkawinan monogami?
Monogami memang punya ekses yang sama. Tapi, begitu poligami, eksesnya lebih besar lagi. Dalam Islam, kalau kita membcarakan poligami, kita tidak bisa membicarakan poligami sendirian. Kita harus membicarakannya dalam bingkai perkawinan yang luas. Sebenarnya hukum perkawinan dalam Islam itu apa, sih? Tergantung pada kondisinya, kan? Perkawinan bisa menjadi haram juga, kan? Tapi, asal hukumnya adalah boleh. Jadi, artinya, perkawinan itu adalah sebuah pilihan, bukan kewajiban. Anda mau kawin atau tidak, silakan. Poligami harus berisi pesan-pesan keagamaan yang dituangkan dalam ayat-ayat Alquran tentan perkawinan. Penelitian saya mengungkapkan ada 106 ayat Alquran yang membicarakan soal perkawinan. Dalam Islam, perkawinan harus mengandung lima unsur pokok. Yang pertama, ada perjanjian atau komitmen yang sangat serius dari kedua belah pihak. Yang kedua, harus ada mawahdah wa rahmah, cinta yang amat dalam, yang susah diungkapkan dengan kata-kata, cinta tak bertepi. Karena itu, kita harus menerima pasangan kita apa adanya. Yang ketiga, harus ada sopan-santun, tenggang rasa, dan tidak boleh menyakiti pasangan kita. Tapi, coba lihat di masyarakat kita. Istri selalu diminta untuk tidak macam-macam, harus selalu memaafkan suami, agar bisa masuk surga. Sebaliknya, tak pernah diajarkan bahwa suami juga harus bersikap demikian kepada istrinya.

Yang keempat, harus ada kesetaraan, sama-sama menjadi subyek hukum. Tapi, di masyarakat kita, bahkan dalam Undang-Undang Perkawinan pun, perempuan masih menjadi obyek, bukan subyek. Contohnya, perempuan hanya bisa menggugat cerai. Tapi, kalau laki-laki langsung bisa menceraikan istrinya. Padahal, kalau perempuan menggugat, dia harus menghadapi selapis problem lagi. Itu artinya, perempuan yang sudah merasa tak nyaman harus menghadapi kondisi yang tak nyaman lagi. Kalau laki-laki, bisa setiap saat menceraikan istrinya.

Yang kelima, dari sejumlah ayat yang saya baca, esensi perkawinan dalam Islam adalah monogami. Tapi, orang begitu bicara poligami selalu mengatakan bahwa poligami ada ayatnya dalam Alquran, Surah Annisa ayat 3. Saya juga tahu ayat itu. Tapi, bagaimana kita membaca ayat itu?

Bagaimana Anda membacanya?
Baca dulu ayat 1-nya. Dalam Surah Annisa ayat 1, kita diminta oleh Tuhan untuk memperhatikan bahwa laki-laki dan perempuan itu diciptakan sama. Tidak ada perbedaan. “Kamu itu berasal dari satu spesies, karena itu kamu setara.” Lalu, pada ayat yang kedua, Allah mulai warning soal anak yatim. Karena, Islam datang untuk membebaskan masyarakat dari belenggu ketidakadilan, terutama ketidakadilan terhadap anak-anak yatim. Dan, ini terjadi pada semua masyarakat. Kelompok yang sangat rentan di masyarakat adalah kelompok yatim itu. Ayat ini sendiri turun setelah Perang Uhud, ketika banyak anak yatim yang telantar. Anak yatim itu tak semuanya miskin, sebagian dari mereka kaya. Nah, dari para wali yang dititipi anak-anak yatim itu ada yang culas, ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya itu dengan niat menguasai harta mereka, agar harta itu tidak berpindah ke tangan orang lain.

Sebagian dari para wali itu memang tidak mengawininya, tapi menghalangi anak-anak yatim itu untuk menikah. Keculasan inilah yang ingin “ditembak” oleh ayat ini. Sampai-sampai, ayat yang ketiga berbunyi begini (Musdah membacakan Alquran dalam bahasa aslinya), “Supaya kamu tidak berlaku aniaya kepada anak-anak yatim, jangan kamu kawini anak-anak yatim itu, tetapi pilihlah yang lain, dua, tiga, atau empat.” Jadi, suasana dari ayat inilah yang kita baca. Ini kan ada konteks sosiokultural, sosiohistoris, yang harus kita baca: “Supaya kamu tidak menganiaya yatim itu, kamu bolehlah kawin dua, tiga, atau empat.” Dan, kemudian ujungnya berbunyi (Musdah kembali membaca ayat Alquran), “tapi kalau kamu tidak bisa berlaku adil, ya, satu saja.” Itu kan artinya, “dengan orang lain pun, yang bukan anak yatim, kamu tidak boleh berlaku macam-macam. Kalau tidak bisa berlaku adil, satu saja.” Jadi, ayat-ayat itu bukan tentang poligami, tapi tentang proteksi anak yatim. Tapi, yang ditangkap soal bolehnya poligami itu saja dan melupakan anak yatim. Itulah yang terjadi dalam masyarakat kita. Di mana-mana poligami terjadi, sementara anak yatim terlantar, tidak ada yang mengurus. Apakah itu esensi agama yang diturunkan kepada kita semua?

Dja’far al-Shadiq, ulama besar pada periode awal Islam, menjelaskan bahwa dalam perkawinan Islam hanya ada dua pilihan bagi suami: hidup bersama istri dengan penuh kedamaian atau berpisah dengan cara yang santun, sebagaimana dilansir ayat lain dalam surah yang sama. Jadi, tak ada pilihan ketiga!

Tapi, Nabi Muhammad kan melakukan poligami?
Data-data historis secara jelas menginformasikan bahwa ribuan tahun sebelum Islam turun di Jazirah Arab, masyarakat di berbagai belahan dunia telah mengenal dan bahkan secara luas mempraktikkan poligami, sehingga ketika itu sulit sekali menemukan bentuk perkawinan monogami, termasuk pada masyarakat Arab yang tekenal jahiliyah. Poligami yang berlangsung saat itu tidak mengenal batas, baik dalam jumlah istri maupun syarat moralitas keadilan. Lalu, Islam datang melakukan koreksi total secara radikal terhadap perilaku yang tidak manusiawi itu. Koreksi Islam menyakut dua hal. Yang pertama, Islam membatasi jumlah istri hanya empat. Yang kedua, ini yang paling radikal, Islam memperbolehkan poligami bagi suami yang menjamin keadilan untuk para istrinya. Perubahan drastis inilah yang diapresiasi sosiolog terkenal asal Amerika, Robert Bellah, yang mengatakan Islam sebagai agama yang sangat modern untuk ukuran masa itu.

Nah, pembatasan poligami yang sangat ketat dalam ajaran Islam seharusnya dibaca sebagai suatu cita-cita luhur dan ideal Islam untuk menghapuskan poligami secara gradual dalam kehidupan masyarakat. Layaknya kasus khamer, minuman memabukkan, larangan khamer tidak diturunkan sekaligus. Demikian pula larangan perbudakan. Tapi, dilarang secara bertahap sehingga terbangun kesiapan masyarakat untuk menerimanya secara mental dan sosial.

Semua pesan moral Alquran menggunakan ungkapan sesuai dengan keadaan masa turunnya, tapi pesan moral Alquran tidaklah dibatasi oleh waktu yang bersifat historis itu. Pesan moral keagamaan di balik ayat-ayat poligami, perbudakan, dan larangan minuman keras adalah menyadarkan manusia akan martabat kemanusiaannya, bahwa manusia makhluk Tuhan yang paling bermartabat. Manusia harus menghormati sesamanya tanpa perbedaan apa pun, jangan menganiaya diri sendiri, apalagi menganiaya orang lain.

Nah, Muhammad Rasulullah di tengah lingkungan tradisi poligami justru memilih monogami. Rasul menikahi Siti Khadijah ketika 25 tahun dan perkawinan Rasul yang monogami dan penuh kebahagiaan ini berlangsung selama 28 tahun: 17 tahun dijalani sebelum kerasulan dan 11 tahun sesudahnya. Kebahagiaan pasangan ini menjadi inspirasi dalam banyak doa pengantin yang dilantunkan pada jutaan prosesi perkawinan umat Islam. Kalau poligami mulia, mengapa Rasul tidak melakukannya sejak awal? Padahal, di mata masyarakat Arab ketika itu, Rasul sangat pantas berpoligami. Semua persyaratan poligami dimilikinya: mampu berbuat adil; keturunan tokoh Quraisy terkemuka; simpatik dan berwajah rupawan; tokoh masyarakat yang disegani; pemimpin agama yang kharismatik; dan terlebih lagi Khadijah tak memberikan anak laki-laki yang hidup sampai dewasa. Namun, Rasul bergeming, tetap pada pilihannya untuk monogami. Ketika Khadijah wafat, Rasul mengalami kesedihan yang luar biasa, sampai-sampai tahun kematian Khadijah diabadikan dalam sejarah Islam sebagai amul azmi, tahun kepedihan.

Tiga tahun berlalu dari wafatnya Khadijah, Rasul dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk mengembangkan syiar Islam ke Yastrib dan juga ke luar Jazirah Arab. Kondisi masyarakat yang bersuku-suku di kala itu memaksa Rasul harus menjalin komunikasi yang luas dengan berbagai suku agar mereka dapat mendukung perjuangannya; dan perkawinan menjadi alat komunikasi yang strategis. Demikianlah Rasul kemudian menikahi beberapa perempuan demi terlaksananya syiar Islam. Perempuan pertama yang dinikahi Rasul setelah Khadijah wafat adalah Saudah binti Zam’ah, yang berumur 65 tahun, bahkan ada yang meriwayatkan 72 tahun; sedangkan usia Rasul 54 tahun. Rasul mengawini Saudah demi melindungi janda tua itu dari keterlantaran dan tekanan keluarganya yang masih musyrik. Mungkin juga sebagai balas budi atas jasa suaminya, Sakran ibn Amar, ketika masih hidup, yang menyertai Rasul dalam perjalanan hijrah ke Abessinia.

Setelah itu, Rasul mengawini Aisyah, satu-satunya istrinya yang perawan dan masih muda, bahkan terlalu muda. Pada masa itu, mengawini anak-anak belum dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hak anak. Selanjutnya Rasul mengawini beberapa perempuan lain. Semua perkawinan itu berlangsung di Madinah dan dalam rentang waktu yang sangat pendek, 5 tahun. Rasul wafat tahun 632 Masehi atau tiga tahun setelah perkawinannya yang terakhir. Dan, tidak ada satu pun dari para istrinya yang pernah diceraikan. Rasul juga memperlakukan para istrinya secara adil dan bijaksana. Rasul tidak memilih perempuan muda dan cantik sebagaimana lazimnya dilakukan laki-laki. Tujuan perkawinan Rasul bukan untuk memenuhi hasrat biologisnya, melainkan untuk kepentingan yang lebih mulia, yaitu menjaga umat menuju tegaknya masyarakat Madinah yang didambakan.

Jika umat Islam ingin mengikuti sunah Rasul dalam perkawinan, pilihan bijak tentulah mengikuti perkawinan monogami Rasul yang penuh kebahagiaan dan berlangsung sekitar 28 tahun, bukan perkawinan dengan banyak istri yang hanya berlangsung kurang-lebih 6 tahun. Lagi pula, Rasul sendiri tidak setuju anak perempuannya, Fatimah az-Zahra, dimadu. Rasul marah dan mengecam menantunya yang berniat berpoligami, sebagaimana diungkapkan banyak Hadis sahih, dengan redaksi yang persis sama. Dalam perspektif ilmu Hadis, itu mengindikasikan Hadis tersebut diriwayatkan secara lafzi, yakni sangat terjamin kesahihannya. Hadis tersebut juga bisa mengandung makna, betapa beratnya tanggung jawab suami dalam poligami sehingga hanya manusia setingkat Rasul yang mampu melakukannya secara adil sesuai ketentuan syariah. (Pedje)

No comments:

Post a Comment