Saturday, October 17, 2009

Mengenal Bank Syariah

Perkembangan lembaga keuangan syariah cukup pesat sejak beberapa tahun terakhir ini, termasuk di negara-negara dengan mayoritas penduduknya non-muslim. Apa bedanya dengan lembaga keuangan konvensional, selain tidak digunakannya sistem bunga dalam lembaga keuangan syariah?


Sekitar 30 tahun lalu, kaum jelata, kaum papa, yang senantiasa harus bekerja ekstrakeras hanya untuk mempertahankan hidupnya, perlahan-lahan mulai naik taraf kesejahteraannya. Pemicunya adalah kucuran dana pinjaman dari sebuah bank kepada mereka, yang dilakukan secara tak lazim pada masanya. Bank itu memberikan utang kepada pengemis, pengusaha kelas kuman, dan kaum yang senasib dengan mereka tanpa bunga dan tanpa jaminan. Tapi, kisah nyata itu tidak terjadi di Indonesia, melainkan di Bangladesh. Naman bank itu adalah Grameen Bank.

Pendirinya adalah Muhammad Yunus, seorang intelektual Bangladesh kelahiran 28 Juni 1940, yang telah menulis buku Banker to the Poor: Micro-Lending and the Battle Against World Poverty. Ia mendirikan ”bank dari desa” tersebut—grameen berarti ’dari desa’—pada tahun 1976. Dan, sampai September 2006, seperti dilansir www.grameen-info.org, Grameen Bank telah menyalurkan pinjaman tanpa bunga kepada 75.475 pengemis di Bangladesh dengan total US$1,11juta dan telah terbayar US$660ribu. Total pinjaman yang diberikan untuk pengemis, usaha mikro, kepemilikan rumah, pendidikan, dan sebagainya sejak 1976 mencapai US$5,77 miliar.

Sebanyak 94% saham Grameen Bank adalah konversi pinjaman oleh kaum papa Bangladesh. Sisanya dimiliki oleh pemerintah Bangladesh. Dengan cara seperti itu, kaum duafa menjadi merasa memiliki Grameen Bank, sehingga sebagian besar dari mereka merasa wajib mencicil pinjamannya agar uangnya juga bisa membantu orang lain yang senasib dengan mereka. Itulah sebabnya, kaum tak berpunya yang meminjam uang di Grameen Bank tak perlu memiliki jaminan apa pun, bahkan tak menandatangani kontrak hukum.

Pada tahun 2006 lalu, Yayasan Komite Nobel memberi ganjaran Nobel Perdamaian kepada Muhammad Yunus. “Dunia kedatangan pahlawan baru,” kata mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton setelah Yayasan Komite Nobel, Norwegia, mengumumkan pemenang Nobel Perdamaian tahun itu. “Mestinya ia mendapatkannya sejak lama,” ungkap Clinton seperti dikutip www.nobelprize.org.

Pinjaman tanpa bunga yang seperti dikeluarkan Grameen Bank itu—meski mungkin tidak sepenuhnya sama—sudah sejak beberapa tahun lalu bisa dimanfaatkan oleh siapa saja lewat bank syariah, yang marak bermunculan di berbagai penjuru dunia. Bank syariah ini adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Jadi, dalam bank syariah sebenarnya tidak dikenal pinjam-meminjam uang, apalagi dengan dikenakan bunga, karena filosofinya adalah jual-beli barang, sewa-menyewa, atau kerja sama. ”Misalnya, Anda mau beli mobil, bank syariah akan membelikan mobil itu, lalu dijual ke Anda dengan harga yang telah dilebihkan sebagai keuntungan, dan Anda membayar seharga yang telah ditetapkan bank dengan cara mencicil. Itu ada under lying asset-nya,” ujar Farouk Abudllah Alwyni, M.A., M.B.A, Direktur Al Ijarah Indonesia Sharia Finance.

Ajaran Islam memang melarang keras pengenaan bunga pada pinjaman, yang disebut sebagai riba. Dalam Alquran dinyatakan bahwa Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Dan, dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad menyatakan bahwa dosa yang paling ringan dari riba itu seperti dosa menzinai ibu kandung sendiri.

Lalu, bagaimana caranya bank syariah mendapatkan keuntungan untuk menjalankan usahanya dan menyejahterakan pekerjanya? Bank syariah memakai sistem bagi hasil.

Kalau dalam bank konvensional, yang menerapkan sistem bunga, penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak bank. Dalam sistem bagi hasil tidak seperti itu. Tapi, penentuan besarnya risiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi.

Penentuan besarnya persentase suku bunga pada bank konvensional berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Juga tidak tergantung kepada kinerja usaha. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meski jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik. Pembayaran bunganya pun tetap seperti yang dijanjikan, tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.

Sementara itu, dalam sistem bagi hasil, besarnya nisbah (rasio) bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh. Dan, besarnya tergantung pada kinerja usaha. Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak, pihak bank dan pihak nasabah.

Bank syariah juga hanya berinvestasi pada usaha yang halal, tidak seperti bank konvensional yang bisa dibilang bebas nilai dan hanya bernrientasi pada keuntungan semata. Hal lain yang membedakan bank syariah dan bank konvensional adalah pola hubungan antara bank dan nasabah. Dalam bank syariah, hubungan keduanya adalah hubungan kemitraan, sementara dalam bank konvensional adalah hubungan debitor-kreditor. Di bank syariah juga ada dewan pengawas syariah, yang selalu mengawasi agar bank syariah tetap dalam prinsip-prinsip syariah, yang halal, adil, dan berkeadilan sosial.

Dengan prinsip seperti itu, tak mengherankan jika banyak orang yang kemudian menaruh kepercayaan kepada bank-bank syariah, baik untuk menaruh uangnya maupun untuk mencari ”pinjaman”. Yang tertarik pun bukan hanya orang-orang Islam, tapi juga orang-orang di luar Islam. Karena, bank-bank syariah itu sendiri tidak membatasi nasabahnya hanya untuk orang-orang Islam saja, tapi buat siapa saja, sesuai dengan ajaran Islam sebagai rahmat untuk semesta. Apalagi, kini, produk yang ditawarkan oleh bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya juga semakin beragam.

”Dalam abad ke-21 ini, kita memang menyaksikan perkembangan lembaga keuangan Islam yang cukup pesat. Diperkirakan aset lembaga keuangan Islam itu US$500 miliar sampai dengan US$1 triliun. Memang, kalau dibandingkan dengan aset lembaga keuangan non-syariah, angka itu masih terbilang kecil. Tapi, perkembangan lembaga keuangan Islam diestimasikan mencapai 20% sampai 30% per tahun,” ungkap Farouk.

Menurut pria kelahiran Jakarta yang pernah bekerja selama delapan tahun di Islamic Development Bank ini, dengan perkembangan yang seperti itu, beberapa negara yang mayoritas penduduknya non-muslim pun mulai mengadopsi lembaga keuangan syariah. ”Misalnya di Inggris. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown sudah menyatakan bahwa ia ingin menjadikan London sebagai Islamic finacial capital. Lalu Jerman belum lama ini mengeluarkan sukuk, obligasi syariah, sekitar €100 juta untuk salah satu negara bagiannya. Terakhir, Jepang juga mulai melakukan mengeksplorasi,” ujar Farouk.

Hong Kong Service Authority, tambah Farouk, juga sudah menyatakan siap untuk menjadikan Hong Kong sebagai pusat keuangan syariah di Asia. ”Hong Kong bersaing dengan Singapura. Tapi, Singapura sudah mendirikan bank Islam besar. Namanya Islamic Bank of Asia, yang didirikan oleh Development Bank of Singapore, milik pemerintah Singapura. Saham Development Bank of Singapore di Islamic Bank of Asia ada 51%, sisanya dicari dari investor yang berasal dari negara-negara Teluk, khususnya Bahrain dan Arab Saudi. Dari sana kita bisa lihat, justru di negara-negara yang penduduknya mayoritas non-muslim yang berkembang cepat,” tutur Farouk.

Itu bisa terjadi, kata Farouk lagi, karena mereka sudah memiliki infrastuktur keuangan yang lebih bagus dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. “Sistem hukum, transparansi, dan sebagainya lebih bagus. Good governance mereka lebih in place. Jadi, mereka lebih siap,” kata Farouk.

Kendati demikian, Farouk melihat, fenomena itu terjadi semata-mata karena urusan bisnis. ”Ini soal peluang bisnis saja bagi mereka. Karena, kita melihat, harga minyak sekarang ini kan luar biasa, yang tertinggi dalam sejarah. Nah, negara-negara Teluk yang banyak menghasilkan minyak itu kan negara-negara kecil. Paling besar Arab Saudi, itu pun penduduknya hanya 20 juta orang. Negara-negara Teluk yang lain penduduknya hanya beberapa ratus ribu orang. Nah, orang-orang dari negara-negara non-muslim lalu membaca, ekonomi negara-negara kecil itu tidak akan bisa menyerap overliquidity dari warganya. Maka, di negara-negara non-muslim itu pun lalu didirikan lembaga keuangan syariah,” ungkap Farouk.

Masalahnya, sejauh mana bank-bank syariah di negara-negara non-muslim itu menjalankan filosofi ekonomi Islam, yang bertumpu pada keadilan sosial? ”Pada dasarnya, penekanan keadilan pada ekonomi Islam sangat kuat. Dalam Islam, kekayaan tidak boleh berputar hanya pada sekelompok orang dan ekonomi Islam itu sangat peduli terhadap kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Kemajuan atau kesejahteraan di dunia tidak boleh mengorbankan kesejahteraan di akhirat. Sementara itu, saya melihat perkembangan bank-bank syariah di negara-negara non-muslim lebih banyak digerakkan oleh motif-motif bisnis semata, sekadar shariah compliance,” kata Farouk.

Kendati demikian, di sana tetap ada dewan pengawas syariah. Karena, setiap produk yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan syariah harus disetujui oleh dewan tersebut. ”Dan, meski hasilnya akhirnya kelihatan sama, proses yang dijalankan oleh lembaga keuangan syariah berbeda dengan yang non-syariah. Dari akadnya saja sudah berbeda,” ujar Farouk lagi.

Kalau dilihat dari sisi bisnis semata, sejauh ini orang-orang yang saya temui mengatakan, meminta bantuan pembiayaan kepada bank syariah lebih menguntungkan daripada kepada bank konvensional. Begitu pula dalam hal menabung. ”Saya pernah membukakan tabungan sebesar Rp500 ribu untuk anak saya di sebuah bank syariah. Entah kenapa, saya dan anak saya lupa kalau punya tabungan di sana. Buku tabungannya pun terselip entah di mana,” ujar Aquardina, seorang ibu rumah tangga di Tangerang, Banten. Beberapa tahun kemudian, ketika sedang membenahi rumah, Aquardina ternyata menemukan buku tabungan itu kembali. ”Iseng-iseng, saya datangi banknya dan saya tanyakan ke petugas di sana, apakah rekening anak saya itu masih hidup. Setelah dicek ternyata masih hidup dan setelah dicetak tahulah saya bahwa saldonya justru bertambah, tidak berkurang seperti halnya kalau kita menabung di bank konvensional dengan nilai uang sebesar itu. Pertambahan saldonya juga relatif besar,” ungkap Aquardina. Wah! (Pedje)

No comments:

Post a Comment