Saturday, October 10, 2009

Perempuan Menggugat!

Tak banyak yang tahu, pergerakan kebangsaan dan kebangkitan nasional Indonesia banyak dipengaruhi ide-ide Kartini. Karena, itu peringatan “100 Tahun Kebangkitan Indonesia” mestinya juga adalah peringatan “100 Tahun Kebangkitan Perempuan Indonesia”.

Tahun 2008 genap 100 tahun kebangkitan nasional Indonesia—meski sekarang ini Indonesia masih dalam keadaan terpuruk. Betapa kita sepatutnya bangga memiliki masa silam yang dipenuhi orang-orang yang berani, antipenindasan, dan tentu saja mencintai tanah airnya. Bayangkan saja, di tengah kekuasaan penjajah Belanda yang sangat mengekang, sebagian pemuda di tanah Jawa berkumpul untuk membentuk satu wadah organisasi pada 20 Mei 1908, Boedi Oetomo, untuk bersama-sama membantu masyarakat yang sedang ditindas penjajahan sekaligus berniat mengusir kaum penjajah dari negeri ini. Tentu saja, dalam konteks zamannya, pendirian Boedi Oetomo itu merupakan hal yang luar biasa. Tak mengherankan jika Mr. C. Th. van Deventer, penggagas politik etis pada masa Hindia Belanda, mengungkapkan ketakjubkannya ketika mengetahui deklarasi kelahiran Boedi Oetmo. ”Suatu keajaiban telah terjadi, Insulinde, putri cantik yang tidur itu, telah terbangun,” tulis Deventer dalam majalah De Gidds.

Dari sanalah agaknya mengalir ide tentang Hari Kebangkitan Nasional. Apalagi, setelah itu, muncul organisasi-organisasi pemuda serupa di berbagai daerah lain di wilayah Nusantara, yang kelak pada 28 Oktober 1928 berkumpul untuk mengangkat sumpah bahwa tanah air mereka adalah Indonesia; bahwa mereka adalah satu bangsa, bangsa Indonesia, dan; mereka bertekad untuk menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia—tanpa menafikan kehadiran bahasa-bahasa lain, baik bahasa daerah maupun bahasa asing. Jadi, meskipun Boedi Oetomo merupakan organisasi orang Jawa yang cenderung membatasi diri pada ”nasionalisme Jawa”—karena otak intelektual di belakangnya adalah aktivis senior kebangkitan Jawa, Wahidin Soedirohoesodo—kelahirannya merupakan bagian dari proses kebangkitan nasional, seperti diungkap oleh Manuel Kaisiepo dalam buku 1.000 Tahun Nusantara. Namun, tak banyak orang yang tahu bahwa beberapa tahun sebelum berdirinya Boedi Oetomo dan gagasan-gagasan tentang kebangsaan Jawa muncul dari tokoh-tokohnya—terutama dari Soetomo dan Wahidin Soedirohoesodo—Kartini telah mengungkapkan gagasannya tentang kebangsaan, sebagaimana dipaparkan Dr. Dri Arbaningsih dalam buku Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi ”Bangsa”.

Bangsa yang dimaksud Kartini ketika itu, kata Dri, adalah pengertian rasa berbangsa orang Jawa sebagai rakyat yang memiliki bahasa, wilayah, dan budaya. Jadi, Jawa dalam pengertian ini bukan sebatas pada pemahaman sebagai rakyat tanpa identitas. Pada tahun 1903, misalnya, Kartini telah menggunakan istilah nasion, yang membuat banyak pelajar Stovia (Sekolah Dokter Pribumi) terbakar semangat nasionalismenya.

Para pelajar Stovia ini juga bersama Kartini dan Roekmini secara informal membentuk komunitas Jong Java. ”Dalam suratnya kepada seorang pelajar Stovia, Kartini mengingatkan bahwa mereka adalah Jong Java, bangsa Jawa, yang berkewajiban mencerdaskan rakyat yang miskin dan bodoh agar mampu setara dengan Belanda. Tanpa kesepakatan dengan para pelajar Stovia bahwa sesungguhnya mereka adalah Jong Java, dengan segala kewajibannya itu, barangkali tidak akan pernah ada Boedi Oetomo pada tahun 1928, Sarekat Islam pada tahun 1911, Perhimpunan Indonesia pada 1922, Sumpah Pemuda pada tahun 1928, partai-partai dan organisai pemuda-pemudi, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, dan Deklarasi Djuanda pada tahun 1982 tentang batas wilayah laut Nusantara,” ungkap Dri.

Namun, sayangnya, dari sejarah yang sampai ke kita, seolah-olah yang berperan pada momen itu semuanya hanya lelaki, tidak ada perempuannya. ”Padahal, seperti diakui oleh Dokter Soetomo, Ketua Boedi Oetomo, dan teman-teman seperjuangannya pada masa itu, ide-ide Kartini memiliki peran besar dalam pergerakan kebangsaan Indonesia. Ini juga saya ketahui dari eyang saya, yang merupakan teman perjuangan Dokter Soetomo,” ujar Pinky Saptandari, M.A., staf khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan.

Profesor Dr. Meutia Hatta Swasono, Menteri Pemberdayaan Perempuan, juga merasa prihatin dengan penulisan sejarah yang sarat dengan bias gender. “Sangat disayangkan publikasi tentang kiprah perempuan bagi kemajuan bangsa dan negara kurang diekspos secara besar sebagaimana laki-laki,” kata Meutia. Menurut putri Proklamator Bung Hatta itu, bukan hanya Kartini yang dapat menjadi ikon perjuangan atau pergerakan perempuan Indonesia. “Sejak lama perempuan Indonesia secara budaya telah teruji kemampuannya sebagai pemimpin dalam konteks budaya lokal dan nasional, dari masa ke masa. Lihatlah perjuangan Cut Nya’ Dhien, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, Nyi Ahmad Dahlan, Rohana Koeddoes, Soewarni Pringgodigdo, S.K. Trimurti, dan masih banyak lagi. Bahkan, kiprah perempuan dalam politik telah teruji berhasil hingga ke jenjang tertinggi, yakni ketika Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden Republik Indonesia,” tutur Meutia.

Soal Kartini, Meutia pun mengungkapkan bahwa pemikiran Kartini tentang wawasan kebangsaan, tentang nasionalisme, sangat maju melampaui batas ruang dan waktu. “Pemikiran Kartini sangat maju dan telah mengilhami para tokoh perjuangan sesudah masanya untuk mengembangkan gagasan kebangkitan bangsa,” ungkap Meutia.

Hal senada juga diungkapkan oleh Nina Akbar Tandjung, Ketua Umum Yayasan Warna-warni, yang peduli terhadap keberagaman dan budaya bangsa. “Kartini itu bukan sekadar pejuang emansipasi perempuan, tapi juga sangat peduli dengan nasib bangsanya, yang dalam masa itu adalah masyarakat Jawa yang tertindas,” kata Nina.

Tapi, entah kenapa, kata Pinky, dalam peringatan Hari Kartini, aspek yang ditonjolkan justru aspek perjuangannya dalam urusan emansipasi perempuan saja dan kemudian sikapnya yang menerima menjadi istri kedua dari seorang bupati. Maka, sudah puluhan tahun berlangsung, Hari Kartini umumnya diperingati dengan lomba kebaya, lomba masak, atau hal-hal lain yang berkenaan dengan peran domestik perempuan. “Kebesaran Kartini telah direduksi,” ujar Pinky.

Persepsi yang melenceng itu kemungkinan besar terjadi karena orang-orang hanya mengenal sosok Kartini dari buku kumpulan surat-surat Kartini yang terkumpul di tangan Mr. J.H. Abendanon, Direktur Pendidikan, Ibadah, dan Kerajinan Pemerintah Otonomi Hindia-Belanda (1900-1905), Door Duisternis tot Licht, yang terbit pada April 1911, tujuh tahun setelah Kartini wafat. Dri Arbaningsih menduga, buku itu merupakan upaya pengalihan perhatian orang dari inti pemikiran dan perjuangan Kartini mengenai kebangkitan Jawa sebagai suatu nasion, bangsa, melalui pendidikan nalar dan akhlak. “Puncak karya pikir Kartini tertuang pada sebuah nota yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan Seberang Lautan Kerajaan Belanda, yang intinya adalah meminta kepada Kerajaan Belanda untuk memberikan pendidikan bagi bangsa Jawa, dimulai dari pendidikan bagi para bangsawan dan para perempuan bangsawan. Ia juga mengimbau didirikan selain sekolah kepandaian putri, tapi juga sekolah bagi para pamong praja dan jaksa bumiputra serta menyarankan agar obat-obatan tradisional diperkenalkan oleh para dokter Jawa,” papar Dri.

Soal Kartini yang tidak hanya bergelut dalam masalah-masalah domestik juga pernah ditulis oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Panggil Aku Kartini Saja (1962). Dalam buku itu diperlihatkan bagaimana kiprah dan pemikiran Kartini tentang banyak hal, termasuk buku-buku asing yang dibaca oleh Kartini. Menurut Pram, pada Kartini justru tak ada tanda-tanda provinsialisme. “Buat pekerjaan bersama mengangkat derajat rakyat Hindia Belanda, ia (Kartini) pandang setiap orang pribumi yang terpelajar, yang tidak lenyap ditelan alam leluhurnya atau lebur menjadi Belanda cokelat, adalah sejawat-sejawat yang harus bergandengan tangan, bantu membantu, dan isi-mengisi,” tulis Pram dalam buku tersebut. Ini terbukti antara lain dari penghargaan Kartini terhadap Abdul Rivai, dokter Jawa lulusan 1894 yang berasal dari Sumatra Barat. Kartini kagum karena Rivai rela melepas semua jabatannya di Hindia Belanda untuk meneruskan pelajaran di Belanda, tapi ketika akan menempuh ujian tidak diperbolehkan oleh Menteri Dalam Negeri Belanda. ”Oh, sekiranya kami dapat mengadakan kontak dengan pemuda-pemuda kami yang beradab dan maju, seperti Abdul Rivai, dan lain-lain...,” tulis Kartini dalam salah satu suratnya kepada Nyonya Abendanon.

Bahkan, Kartini yang telah menerima beasiswa untuk melanjutkan studi di Belanda kemudian tidak mempergunakan kesempatan itu. Ia malah memohon agar beasiswa itu diserahkan kepada Agus Salim, pemuda kelahiran Sumatra Barat, yang ketika itu Kartini kira berasal dari Riau. Kartini pun menulis surat kepada Nyonya Abendanon pada 29 November 1901, yang ia harapkan diteruskan kepada suaminya, Mr. J.H. Abendanon, Direktur Pendidikan, Ibadah, dan Kerajinan Pemerintah Otonomi Hindia-Belanda. Demikian tulis Kartini:


Pemuda itu bernama Salim, seorang Sumatra dari Riau, yang tahun ini lulus ujian HBS dan no. 1 dari ketiga-tiga HBS yang ada. Pemuda ini ingin sekali pergi ke Holland buat meneruskan pelajaran jadi dokter, sayang keuangannya tidak mengizinkan. Ayahnya hanya bergaji f150.

Kalau perlu mau dia menjadi kelasi, asal bisa ke Holland saja.

Tanyailah Hasim tentang dia, karena dia pernah mendengar pidatonya di Stovia. Pemuda itu adalah seorang yang pandai, berani, yang patut sekali dibantu.

Waktu kami dengar tentang dirinya dan tentang angan-angannya timbullah hasrat besar dalam hati kami untuk memudahkan dia. Maka teringatlah kami pada keputusan pemerintah tertanggal 7 Juli 1903—keputusan yang sangat kami harap-harapkan tetapi yang dengan berduka-cita kami terima.

Haruskah buah kerja kawan-kawan yang mulia, harapan-harapan kami, doa dan hasrat kami, mesti lenyap tanpa guna?

Tak mungkinkah orang menggunakannya? Pemerintah menyediakan bagi kami f4.800 buat menyelesaikan pelajaran kami; tidakkah itu bisa diberikan kepada orang lain, yang barangkali lebih dari kami, tetapi sudah pasti tidak bakal kurang daripada kami selayaknya mendapat bantuan?


Menurut Tamalia Alisjahbana, putri budayawan besar Sutan Takdir Alisjahbana yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Gedung Arsip Nasional Indonesia, ayahnya pernah mengatakan bahwa Kartini kemungkinan besar urung mengambil beasiswa yang telah ia terima itu karena bujukan Nyonya Abendanon. ”Karena, keputusan itu terjadi setelah Nyonya Abendanon menemui Kartini. Menurut ayah saya, Kartini dibujuk untuk tidak mengambil beasiswa itu karena partai yang sedang berkuasa di Belanda ketika itu khawatir Kartini akan dijadikan alat oleh Partai Sosialis, yang menjadi oposisi partai yang sedang berkuasa, setelah lulus kelak. Karena, Kartini bersahabat dengan banyak tokoh, termasuk dengan Estelle Zeehandelaar, aktivis Partai Sosialis dan beasiswa itu merupakan hasil upaya anggota Parlemen Belanda dari Parti Sosialis. Sementara itu, suami Abendanon adalah salah seorang pejabat dalam pemerintahan yang sedang berkuasa. Jadi, masalahnya sebenarnya politis sekali, bukan seperti yang selama ini kita kira bahwa Kartini tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena dipaksa menikah. Justru ayahnya telah mengizinkan Kartini untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda,” ungkap Tamalia dengan semangat. Karena kecewa tak bisa melanjutkan studi ke Belanda, duga Tamalia, Kartini akhirnya bersedia menikah dengan seorang bupati yang telah beristri dan memiliki enam orang anak.

Namun, yang pasti, republik ini berdiri bukan hanya karena kiprah kaum laki-laki. Begitu pula munculnya kesadaran untuk membentuk suatu bangsa di negeri ini, tidak hanya monopoli kaum pria. Bahkan, dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan, kaum perempuan memiliki peran yang tak kalah penting dengan laki-laki. Coba bayangkan bagaimana kondisi para pejuang kita di medan laga itu bila kaum perempuannya enggan mendirikan dapur umum, misalnya.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan sendiri untuk memperingati ”100 Tahun Kebangkitan Nasional” telah menyiapkan beberapa program yang bertujuan mengingatkan bangsa ini tentang peran perempuan dalam pergerakan nasional, sehingga bangsa ini menyadari bahwa tak mungkin ada kebangkitan nasional Indonesia tanpa kebangkitan perempuan Indonesia. ”Kami antara lain akan mengadakan 'Kampanye Kiprah Perempuan Indonesia', berupa seminar dan kunjungan ke seratus sekolah lanjutan atas dan lima perguruan tinggi. Juga akan menerbitkan buku ’Aksi Perempuan Indonesia: Buku Potret 100 Perempuan Pejuang Indonesia’, Pameran ’Dri Perempuan untuk Indonesia’, dan sebagainya,” papar Meutia Hatta. Hidup perempuan! (Pedje)

No comments:

Post a Comment