Thursday, October 29, 2009

Bank Syariah Bergerak!

Islam tak melarang berbisnis. Bahkan, sebelum diangkat sebagai nabi, Rasulullah Muhammad S.A.W. adalah seorang pedagang. Namun, memang, tidak semua bisnis dihalalkan oleh Allah. Bisnis barang atau jasa haram tentu saja dilarang dalam Islam. Juga bisnis yang diwarnai tipu daya dan riba.

Dalam hal riba, yang dalam pengertian paling umum berarti “menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam”, Islam bersikap sangat keras. Dalam Alquran, Allah dengan tegas mengharamkan riba. Sementara, dalam sebuah hadits-nya, Rasulullah pernah mengatakan bahwa dosa riba yang paling ringan itu seperti dosa menyetubuhi ibu kandung sendiri—semoga kita dilindungi Allah dari perbuatan semacam itu.

Kendati begitu, dalam praktiknya, riba masih kerap mendominasi kegiatan ekonomi yang dilakukan umat Islam, terutama yang berurusan dengan perbankan. Selama berabad-abad, umat Islam banyak memanfaatkan jasa perbankan yang bertumpu pada sistem riba, baik itu untuk urusan penyimpanan uang maupun untuk pinjaman penambahan modal usaha. Bertolak dari kondisi yang seperti itu belakangan muncullah kesadaran dari sebagian umat Islam untuk kembali menerapkan sistem ekonomi syariah dalam aktivitas bisnis mereka. Gerakan inilah yang kemudian melahirkan gagasan untuk mendirikan bank-bank syariah.

Bank syariah pada dasarnya adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Jadi, dalam bank syariah sebenarnya tidak dikenal pinjam-meminjam uang, apalagi dengan dikenakan bunga, karena filosofinya adalah jual-beli barang, sewa-menyewa, atau kerja sama.

”Misalnya, Anda mau beli mobil, bank syariah akan membelikan mobil itu, lalu dijual ke Anda dengan harga yang telah dilebihkan sebagai keuntungan, dan Anda membayar seharga yang telah ditetapkan bank dengan cara mencicil. Itu ada under lying asset-nya,” ujar Farouk Abudllah Alwyni, M.A., M.B.A, mantan Direktur Al Ijarah Indonesia Sharia Finance yang kini menjadi salah seorang direktur pada Bank Muamalat Indonesia.

Untuk mendapat keuntungan dari usahanya, bank syariah memakai sistem bagi hasil. Kalau dalam bank konvensional, yang menerapkan sistem bunga, penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak bank. Dalam sistem bagi hasil tidak seperti itu. Tapi, penentuan besarnya risiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi.

Penentuan besarnya persentase suku bunga pada bank konvensional berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Juga tidak tergantung kepada kinerja usaha. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat, meski jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik. Pembayaran bunganya pun tetap seperti yang dijanjikan, tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.

Lain halnya dengan bank syariah. Dalam sistem bagi hasil yang diterapkan bank syariah, besarnya nisbah (rasio) bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh. Dan, besarnya tergantung pada kinerja usaha. Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak, pihak bank dan pihak nasabah.

Seperti telah disinggung di atas, bank syariah pastilah hanya berinvestasi pada usaha yang halal, tidak seperti bank konvensional yang bisa dibilang bebas nilai dan hanya berorientasi pada keuntungan semata. Hal lain yang membedakan bank syariah dan bank konvensional adalah pola hubungan antara bank dan nasabah. Dalam bank syariah, hubungan keduanya adalah hubungan kemitraan, sementara dalam bank konvensional adalah hubungan debitor-kreditor. Di bank syariah juga ada dewan pengawas syariah, yang selalu mengawasi agar bank syariah tetap dalam prinsip-prinsip syariah, yang halal, adil, dan berkeadilan sosial.

Banyak umat Islam menyambut gembira kehadiran bank syariah. Selain karena bisa terbebas dari persoalan riba ketika berhubungan dengan bank, mereka umumnya juga mengaku lebih untung secara finansial karena menjadi nasabah bank syariah. Tak mengherankan jika perkembangan bank syariah dari tahun ke tahun meningkat pesat, bukan saja di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi juga di negara-negara yang sebagian besar penduduknya non-muslim. Karena, bank-bank syariah memang tidak membatasi nasabahnya hanya untuk orang-orang Islam, tapi buat siapa saja, sesuai dengan ajaran Islam sebagai rahmat untuk semesta. Apalagi, kini, produk yang ditawarkan oleh bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya juga semakin beragam.

”Dalam abad ke-21 ini, kita memang menyaksikan perkembangan lembaga keuangan Islam yang cukup pesat. Diperkirakan aset lembaga keuangan Islam itu US$500 miliar sampai dengan US$1 triliun. Memang, kalau dibandingkan dengan aset lembaga keuangan non-syariah, angka itu masih terbilang kecil. Tapi, perkembangan lembaga keuangan Islam diestimasikan mencapai 20% sampai 30% per tahun,” ungkap Farouk, yang pernah bekerja selama delapan tahun di Islamic Development Bank.

Di Inggris, ungkap Farouk, Perdana Menteri Gordon Brown sudah menyatakan bahwa ia ingin menjadikan London sebagai Islamic financial capital. “Lalu Jerman telah mengeluarkan sukuk, obligasi syariah, sekitar €100 juta untuk salah satu negara bagiannya. Terakhir, Jepang juga mulai mengeksplorasi,” ujar Farouk.

Hong Kong Service Authority, tambah Farouk, juga sudah menyatakan siap untuk menjadikan Hong Kong sebagai pusat keuangan syariah di Asia. ”Hong Kong bersaing dengan Singapura. Tapi, Singapura sudah mendirikan bank Islam besar. Namanya Islamic Bank of Asia, yang didirikan oleh Development Bank of Singapore, milik pemerintah Singapura. Saham Development Bank of Singapore di Islamic Bank of Asia ada 51%, sisanya dicari dari investor yang berasal dari negara-negara Teluk, khususnya Bahrain dan Arab Saudi. Dari sana kita bisa lihat, justru di negara-negara yang penduduknya mayoritas non-muslim yang berkembang cepat,” tutur pria kelahiran Jakarta yang mantan aktivis mahasiswa ini.

Semua itu bisa terjadi, kata Farouk lagi, karena mereka sudah memiliki infrastuktur keuangan yang lebih bagus dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. “Sistem hukum, transparansi, dan sebagainya lebih bagus. Good governance mereka lebih in place. Jadi, mereka lebih siap,” kata Farouk.

Tapi, memang, tambah Farouk, fenomena itu terjadi semata-mata karena urusan bisnis. ”Ini soal peluang bisnis saja bagi mereka. Karena, kita melihat, harga minyak beberapa waktu lalu kan luar biasa, yang tertinggi dalam sejarah. Nah, negara-negara Teluk yang banyak menghasilkan minyak itu kan negara-negara kecil. Paling besar Arab Saudi, itu pun penduduknya hanya 20 juta orang. Negara-negara Teluk yang lain penduduknya hanya beberapa ratus ribu orang. Nah, orang-orang dari negara-negara non-muslim lalu membaca, ekonomi negara-negara kecil itu tidak akan bisa menyerap overliquidity dari warganya. Maka, di negara-negara non-muslim itu pun lalu didirikan lembaga keuangan syariah,” ungkap Farouk.

Apakah bank-bank syariah di negara-negara non-muslim itu juga menjalankan filosofi ekonomi Islam, yang bertumpu pada keadilan sosial? ”Pada dasarnya, penekanan keadilan pada ekonomi Islam sangat kuat. Dalam Islam, kekayaan tidak boleh berputar hanya pada sekelompok orang dan ekonomi Islam itu sangat peduli terhadap kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Kemajuan atau kesejahteraan di dunia tidak boleh mengorbankan kesejahteraan di akhirat. Sementara itu, saya melihat perkembangan bank-bank syariah di negara-negara non-muslim lebih banyak digerakkan oleh motif-motif bisnis semata, sekadar shariah compliance,” kata Farouk.

Biarpun begitu, tentu saja bank-bank syariah di negara-negara yang mayoritas penduduknya non-muslim itu tetap di bawah kontrol dewan pengawas syariah. Karena, setiap produk yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan syariah harus disetujui oleh dewan tersebut. ”Dan, meski hasilnya akhirnya kelihatan sama, proses yang dijalankan oleh lembaga keuangan syariah berbeda dengan yang non-syariah. Dari akadnya saja sudah berbeda,” ujar Farouk lagi. (Pedje)

No comments:

Post a Comment