Sunday, October 11, 2009

Para Pria yang Peduli Payudara Kaum Hawa

Jangan berpikir yang macam-macam dulu. Ketiga pria ini merupakan orang yang peduli dengan kesehatan payudara kaum Hawa, terutama yang berkaitan dengan kanker payudara.


Dokter Theddus O.H. Prasetyo, Sp.B.P.
“Dengan Bedah Plastik Bisa Dibuat Tonjolan Payudara Lagi”

“Sungguh berat perjuangan perempuan yang telah kehilangan payudara untuk bisa merasakan bahwa dirinya tetap seorang perempuan,” kata dokter ahli bedah plastik dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Dokter Theddus O.H. Prasetyo, Sp.B.P., yang akrab disapa Teddy. Karena itu, sudah seharusnyalah perempuan yang baru saja menjalani bedah onkologis untuk pengangkatan kanker di payudaranya selalu ditemani oleh pendamping dan mengikuti konseling. Selain itu, tambah Teddy, untuk kepentingan memperbaiki kualitas hidupnya, dia dapat menjalani bedah rekonstruksi, dengan mengunakan teknik bedah plastik. “Dokter bedah plastik adalah dokter yang memberikan bantuan untuk memperbaiki kualitas performans seorang klien penderita kanker payudara. Karena, biar bagaimanapun, payudara adalah organ seksual yang dibutuhkan perempuan,” tutur Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Indonesia ini.

Upaya memperbaiki kualitas hidup adalah upaya membantu si penderita untuk memiliki tonjolan payudara lagi, tentu diikuti dengan upaya membentuk puting dan areolanya juga. “Memang, hasilnya tidak bisa mulus seperti bentuk normal. Karena, dalam beberapa keadaan, orang yang mengalami pembuangan seluruh massa payudara beserta puting areolanya ada garis di pinggir pulau kulit baru bekas operasi. Yang ideal adalah pekerjaan pembuangan kanker di payudara yang ditindaklanjuti oleh rekonstruksi pada taraf yang sama, pada operasi yang sama, pada kondisi yang dini. Jadi, pasien menjalani rekonstruksinya pada kesempatan yang sama dengan merekonstruksi isinya. Ini kualitasnya sangat bagus, karena kulit, puting, dan areolanya masih aslinya,” ujar Teddy.

Sayangnya, meski sangat banyak perempuan yang telah menjalani pembuangan kanker payudara, masih sedikit sekali dari mereka yang kemudian menjalani terapi bedah rekonstruksi untuk mendapatkan tonjolan payudaranya lagi. “Tahun lalu saja saya di RSCM hanya menangani dua orang pasien bedah rekonstruksi yang berkaitan dengan kanker payudara. Saya geregetan, kenapa orang tak memanfaatkan kesempatan ini, karena sebenarnya tekniknya tersedia, mulai dari teknik yang konvensional sampai teknik bedah mikro. Bedah plastik di Indonesia juga relatif tidak ketinggalan dari negara maju,” ungkapnya.

Dokter Teddy sendiri pertama kali melakukan bedah rekonstruksi pada pasien penderita kanker payudara pada tahun 2000. “Tapi sebelum menjadi dokter ahli bedah plastik, saya sudah diminta membantu senior saya yang akan melakukan pembedahan rekonstruksi pada pasien kanker payudara. Saya sendiri sampai sekarang baru menangani tujuh pasien bedah rekonstruksi pasca-pembuangan payudaranya akibat kanker,” kata dokter yang masih lajang ini.

Dokter Teddy menyelesaikan pendidikan dokter umumnya di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya . Kemudian, ia mengambil spesialisasi bedah plastik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . “Sejak pertama kali diperkenalkan teknik bedah plastik ketika masih menjadi mahasis strata satu, saya langsung jatuh cinta pada bidang ini. Bagi saya, bedah plastik ini merupakan ilmu yang penuh tantangan,” ujar dokter yang hobi bermain musik ini.

Dokter Sutjipto, Sp.B.(K.)Onk.
“Kesadaran Perempuan Kita Masih Rendah”

Dokter yang lahir dan besar di Betawi ini mulai peduli dengan kanker payudara ketika sedang menjalani program wajib kerja setelah lulus sebagai dokter. “Saya wajib kerja di Kalimantan Barat. Ketika itu banyak sekali penderita kanker, terutama kanker payudara, tapi penanganannya tidak tepat secara medis. Banyak penderita kanker payudara yang datang ke dokter ketika stadiumnya sudah tinggi, sudah parah. Itu sekitar tahun 1975 sampai tahun 1980. Dari sanalah saya mulai peduli pada kanker payudara, terutama soal persepsi perempuan atas penyakit ini dan soal masih sangat rendahnya akses penderita kanker payudara di Indonesia dalam mendapatkan pengobatan yang berkualitas. Padahal di luar negeri sudah sangat maju,” ujar dokter lulusan Universitas Indonesia ini.

Itulah sebabnya, ketika akan mengambil pendidikan spesialisasi, Sutjipto memilih spesialis bedah sebagai pilihan pertama dan spesialis radiologi sebagai pilihan kedua. “Jadi, kalau saya tak bisa menjadi ahli bedah, saya berharap bisa ikut ambil bagian dalam upaya melawan kanker dengan menjadi dokter spesialis radioterapi. Alhamdulillah, saya berhasil menjadi dokter spesialis bedah dan kemudian berhasil lulus juga dalam pendidikan subspesialis bedah onkologis pada tahun 1996,” kata dokter yang sehari-hari berpraktik di RS Kanker Dharmais, Jakarta, ini.

Sebagai ahli bedah, ia sejak tahun 1990 sudah banyak menangani kasus pembedahan pasien penderita kanker payudara, selain pembedahan-pembedahan lain. “Namun, setelah saya lulus dari pendidikan subspesialis bedah onkologis tahun 1996, saya mengkhususkan diri hanya untuk kanker payudara. Karena, menurut saya, kanker payudara harus ditangani dengan benar, bukan dengan teknik dan pengobatan yang coba-coba,” ungkap suami dari Hariabadini ini.

Prosedur standar untuk pengobatan payudara sendiri, menurut Sutjipto, bergantung pada stadiumnya. “Stadium 1 sampai 3 memang harus dioperasi. Sementara itu, untuk stadium 4 yang sudah menjalar ke mana-mana biasanya tidak diambil tindakan operasi, hanya kemoterapi dan radiasi. Khusus untuk pembedahan, dulu sekitar 30 tahun lalu, untuk stadium 1 pun payudara penderita harus diangkat semuanya. Tapi, kini, stadium 2-A pun tidak langsung dilakukan tindakan pengangkatan payudara semuanya. Karena, ilmu pengetahuan medis semakin maju dan sudah lebih bisa mengenali sifat biomoluker sel-sel kanker. Dengan begitu, harapan untuk sembuh pada penderita kanker kini jauh lebih besar daripada dulu. Kalau dulu penderita kanker payudara stadium 3 sulit bertahan hidup sampai lima tahun, sekarang para penderita stadium tiga bisa bertahan sampai sepuluh tahun, bahkan lebih,“ tutur ayah dari tiga anak ini.

Sayangnya, tambah Sutjipto, sampai sekarang, yang sering datang ke rumah-rumah sakit untuk memeriksakan diri adalah para penderita kanker payudara stadium lanjut. “Yang paling sering saya tangani adalah penderita stadium 3. Penderita stadium dini paling-paling hanya 3-4 orang dalam sebulan,” ujarnya. Itulah sebabnya, untuk menggugah kesadaran semakin banyak orang, terutama kaum perempuannya, Sutjipto lalu menggagas dan mendirikan Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta pada tahun 2003 lalu, bersama Linda Agum Gumelar, Andy Endriartono Sutarto, dan Taty A.M. Hendropriyono. “Salah satu tujuan yang ingin dicapai organisasi ini adalah menurunkan prevalensi penderita kanker payudara stadium lanjut di Indoneia pada tahun 2020,” ujar Ketua Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta ini.

Menurut Sutjipto, kesadaran perempuan Indonesia untuk melakukan mammografi masih rendah. “Fenomena ini bukan hanya terjadi di kalangan orang yang berpendidikan rendah, tapi juga di kalangan yang berpendidikan tinggi. Masak ada sarjana dan master yang datang ke dukun untuk memeriksakan benjolan di payudaranya? Mereka baru datang ke rumah sakit setelah stadiumnya sangat lanjut. Yang seperti itu juga banyak datang dari golongan menengah ke atas, yang sebenarnya tak punya masalah dengan biaya pengobatan,” tutur pria kelahiran 20 April 1948 ini. Itulah sebabnya, Sutjipto dan orang-orang yang terlibat di yayasan tersebut berusaha keras menjalankan berbagai program untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap kanker payudara, antara lain lewat program pemeriksaan mammografi gratis. Inilah program utamanya yayasannya.

Cecep Adjid Bustomi
“Pria Juga Perlu Mengetahui Kanker Payudara”

Suatu hari, Cecep Adjid Bustomi mendapat kabar yang mengejutkan hatinya. Kakak perempuannya didiagnosa menderita kanker payudara oleh seorang dokter. Sebagai adik yang baik, Cecep lalu mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai kanker payudara, termasuk berbagai info mengenai terapi medis yang dapat melenyapkan penyakit mematikan itu. Dari sanalah kemudian timbul kesadarannya untuk menyebarkan informasi yang ia miliki ke sebanyak mungkin orang, terutama kaum perempuan, dengan harapan semoga saja penderita penyakit ini akan berkurang. “Pertumbuhan penderita kanker payudara di Indonesia begitu masif karena memang pengetahuan orang, terutama kaum perempuannya, mengenai penyakit ini masih sangat sedikit,” kata Cecep, yang sehari-hari pekerja sebagai public relations & campaign officer di Yayasan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (Yappika).

Upayanya untuk menyebarkan informasi mengenai kanker payudara semakin terealisasi dengan sistematis ketika lembaga tempatnya bekerja membuat program untuk mengangkat isu pelayanan publik. “Untuk tiga tahun ke depan, Yappika akan akan mengangkat isu mengenai pelayanan publik. Salah satunya adalah mengenai kesehatan. Di antara sekian banyak masalah yang mucul di bidang kesehatan, saya dan teman-teman menyepakati bahwa yang sangat krusial itu adalah soal kesehatan perempuan, termasuk di dalamnya bahaya kanker payudara,” ujar ayah dari satu anak ini.

Langkah pertama yang dilakukan Cecep dan kawan-kawannya di Yappika adalah melakukan sosialisasi di tingkat akar rumput, supaya masyarakat tahu dan punya kesadaran yang lebih baik mengenai besarnya bahaya penyakit kanker payudara. “Pada langkah awal, kami melakukan sosialisasi di lima kelurahan di Jakarta. Kami bekerja sama dengan Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta melakukan pemeriksaan mammografi gratis,” kata Cecep, yang terjun langsung ke lapangan untuk menjalani program itu, dengan mengajak banyak relawan. Dari pemeriksaan ini diketahui ada 5 persen dari 200 perempuan yang memeriksakan diri ketika itu diindikasikan menderita kanker payudara. “Untuk memastikannya perlu pemeriksaan lebih lanjut. Karena itu, kami juga menginformasikan rumah sakit mana saja yang memiliki ahli dan perlengkapan yang cukup memadai untuk pemeriksaan kanker payudara lebih lanjut,” ujar sarjana ekonomi lulusan Universitas Negeri Jakarta ini.

Sebelum memfasilitasi pemeriksaan mammografi gratis itu, Cecep dan teman-temannya terlebih dulu melakukan penyuluhan di lima kelurahan tersebut. “Dalam penyuluhan itu, kami tidak hanya mengundang kaum perempuan saja, tapi juga kaum prianya. Karena, pengetahuan dan kesadaran yang baik mengenai kanker payudara juga perlu dimiliki kaum pria, agar sang pria dan perempuan bisa saling mengingatkan anggota keluarganya masing-masing mengenai bahaya penyakit ini dan cara penanganannya. Alhamdulillah, sekitar 20 persen dari yang hadir adalah kaum pria,” tuturnya.

Sebagai tindak lanjut dari program ini, Yappika mendesak Departemen Kesehatan agar memberi subsidi khusus bagi anggota masyarakat berpenghasilan rendah yang ingin melakukan pemeriksaan kesehatan payudaranya di rumah-rumah sakit milik negara. “Sampai sekarang, kami masih melakukan kampanye penyadaran agar pihak-pihak yang terkait dengan masalah ini segera ikut terlibat mengatasi masalah yang ada,” ujar pria kelahiran Cibarusah, Bekasi, pada 21 November 1975 ini. (Pedje)

No comments:

Post a Comment