Monday, October 12, 2009

Derap Perjuangan dari Ndalem Woerjaningratan


Lebih dari 40 tahun lalu, sebuah buku ditulis dengan judul Riwayat Singkat K.P.H. Woerjaningrat: Mahaputra Perintis Kemerdekaan Indonesia. Buku itu tipis saja, hanya 14 halaman dan ditulis tanpa kalimat yang berbuih-buih. Isinya disajikan dengan perantara mesin ketik manual, kecuali sampul luar dan sampul dalamnya yang dibuat dengan teknologi yang sedikit maju pada masanya, teknik cetak yang sebenarnya masih banyak memerlukan keterampilan tangan dan proses pencetakannya lebih panjang dibandingkan dengan masa sekarang.

Namun, ketika melihat dan membacanya, kita pun akan segera menjadi mafhum bahwa penerbitan buku itu adalah sebuah upaya mulia. Selain karena terdengar derap militan dari setiap lembar halamannya, penerbitan buku itu sendiri adalah sebuah langkah perjuangan melawan lupa, menghalau amnesia sejarah.

K.P.H. Woerjaningrat lahir pada 12 Maret 1885 di Kepatihan Surakarta, dengan nama kecil B.R.M. Saparas, dari pasangan K.R.A. Sosrodiningrat IV (Pepatihdalem Keraton Surakarta zaman Pakoebuwana IX) dan B.R.A.A. Sosrodiningrat (putri S.P.I.S. Kanjeng Susuhunan Pakoebuwana IX). Beliau menikah dengan G.R.A. Kustantinah, putri Sri Sunan Pakoebuwana X, pada 12 Juni 1814. Pasangan ini dikaruniai empat orang anak yang semuanya putra, yakni K.R.M.H. Saparno, K.R.M.H. Saparto, K.R.M.H. Saparso, dan K.R.M.H. Sawaras. Meski menjadi menantu Sri Sunan Pakoebuwana X, yang kekuasaannya terikat dengan pemerintah kolonial Belanda, K.P.H. Woerjaningrat justru memihak para pejuang kemerdekaan yang ingin mengusir Belanda dari negeri ini. Apalagi, Belanda ketika itu semakin menekan kebebasan rakyat Indonesia. ”Perjuangan Sultan Agung dan Pangeran Diponegoro yang pada hakikatnya merupakan gerakan perjuangan kemerdekaan ternyata memberikan hikmah pada jiwa patriotisme dan nasionalisme K.P.H. Woerjaningrat,” tulis buku itu.

Semangat beliau juga ikut terbakar melihat banyak rakyat Indonesia yang berjuang untuk membebaskan Ibu Pertiwi dari cengkeraman penjajah. Akhirnya, beliau ikut menceburkan diri dalam kancah perjuangan untuk memerdekakan bangsanya. Beliau terlibat aktif dalam perkumpulan Boedi Oetomo dan kemudian menjadi Ketua Pengurus Besar Boedi Oetomo sejak tahun 1916 sampai dengan tahun 1935.

Pada kongres di Jakarta tanggal 6 Juli 1917, Boedi Oetomo pun menyatakan diri sebagai organisasi yang melibatkan diri dalam arena politik. Kendati demikian, Boedi Oetomo masih bersikap kooperatif dengan pemerintah kolonial Belanda, mengingat banyaknya orang Indonesia yang menjadi pegawai di kantor pemerintahan kolonial Belanda. Namun, ketika Belanda akan mendirikan Volksraad, Boedi Oetomo bersama dengan beberapa perkumpulan bangsa lainnya lalu mendirikan National Committee.

Boedi Oetomo juga memprakarsai pembangunan Tugu Kebangsaan Penumping Surakarta dan tanggung jawab pelaksanaannya diserahkan kepada K.P.H. Woerjaningrat, yang dihalang-halangi dengan hebat oleh pemerintah kolonial Belanda dan K.P.H. Woerjaningrat diancam akan diasingkan apabila terus mengupayakan berdirinya tugu tersebut. Toh, beliau tak gentar dan tugu itu pun tetap berdiri sampai sekarang. Selain itu, K.P.H. Woerjaningrat juga terlibat dalam penyelenggaraan kongres kebudayaan di Surakarta dan mengupayakan serta mengetuai kongres guru nasional, yang kemudian menjelma menjadi Persatuan Guru Republik Indonesia.

Langkah politik Boedi Oetomo semakin kental ketika berfusi dengan Persatoean Bangsa Indonesia untuk membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra). Partai ini diketuai oleh Dokter Soetomo dan K.P.H. Woerjaningrat ditunjuk menjadi wakilnya. Setelah Dokter Soetomo wafat, K.P.H. Woerjaningrat pun didapuk untuk memimpin Parindra (dari tahun 1938 sampai tahun 1940), sehingga pemerintah kolonial Belanda di Surakarta melarang beliau untuk menginjak tanah Gubernuran. Bahkan, beliau sempat diancam akan dibuang ke tempat pengasingan oleh pemerintah kolonial Belanda, namun tidak jadi. “Parindra memperjuangkan kemerdekaan bagi tanah air dan bangsa Indonesia, namun dengan senantiasa mengingat cara, jalan, dan waktu yang tepat sehingga tidak numbuk-numbuk saja,” tutur K.P.H. Woerjaningrat semasa menjadi Ketua Parindra.

Ketika Jepang masuk ke Indonesia, K.P.H. Woerjaningrat mengumpulkan beberapa perintis kemerdekaan untuk mengadakan rapat di paviliun rumahnya, yang dikenal sebagai Ndalem Woerjaningratan. Karena mengelilingi meja bundar, rapat ini oleh mereka disebut dengan istilah ”rapat meja bundar”. Hadir dalam rapat itu antara lain Dokter Soetomo, Mr. Soejoedi, Dokter Soekiman, Ki Hadjar Dewantoro, Soekardjo Wirjopranoto, dan R.P. Soeroso, selain K.P.H. Woerjaningrat sendiri. Hasil rapat itu, mereka sepakat untuk menuntut kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dan tetap meneruskan perjuangan.

Tak lama berselang, mereka kembali mengadakan rapat di tempat yang sama. Dalam rapat itu diambil keputusan, antara lain menuntut penguasa Jepang untuk mengembalikan Bung Karno dan Bung Hatta, yang waktu itu oleh Belanda dibuang ke Bengkulu dan Banda. Tuntutan tersebut oleh peserta rapat di Ndalem Woerjaningratan dianggap penting sekali, karena untuk meneruskan perjuangan kemerdekaan sangat dibutuhkan adanya persatuan yang bulat dan Bung Karno serta Bung Hatta adalah dua tokoh yang paling berpengaruh dalam mempersatukan rakyat Indonesia. Dalam rapat itu juga diputuskan, K.P.H. Woerjaningrat diberi tanggung jawab untuk menjadi pemimpin delegasi yang akan menemui penguasa Jepang di Indonesia, yang berkedudukan di Jakarta.

Sebelum berangkat ke Jakarta, mereka akan mengirim surat terlebih dahulu kepada penguasa Jepang, yang isinya mengungkapkan hasil rapat di Ndalem Woerjaningratan. Mengingat betapa penting suratnya dan sifatnya yang sangat rahasia, kurirnya mestinya adalah orang yang prokemerdekaan dan tentunya dapat dipercaya. Akhirnya, peserta rapat bersepakat bahwa yang akan mengantar surat itu ke Jakarta adalah putra kedua dari K.P.H. Woerjaningrat, yakni K.R.M.H. Saparto Woerjaningrat. Seingat Saparto, seperti tertulis dalam buku tipis itu, surat tersebut ditujukan kepada Saiko Sikikan, sedangkan pengirimnya ditulis ”Bangsa Indonesia”.

Sejarah pun mencatat, perjuangan mereka ternyata membuahkan hasil, seperti diungkapkan dalam memoar Jenderal Jenderal Hitoshi Imamura, Panglima Besar Pertama Angkatan Darat Jepang Ke-16 yang menduduki Pulau Jawa. Menurut memoar tersebut, pemerintahan militer Jepang menerima permintaan dari pemuda-pemuda Indonesia agar Jepang membebaskan Bung Karno yang sedang dibuang di Bengkulu. Maka, Imamura pun meminta Barisan Propaganda (Sendenbu) Jepang di Jawa yang waktu itu dipimpin Letnan Kolonel Keiji Machida untuk mencari Bung Karno di Sumatra dan kemudian dipulangkan ke Jawa. Padahal, pembesar-pembesar Nanpo Sogun (Markas Besar Tertinggi Jepang di Daerah Selatan) yang ada di Singapura waktu itu ragu-ragu, karena khawatir timbul dampak yang luar biasa atas pembebasan Bung Karno, seorang nasionalis militan. Toh, Jenderal Imamura tidak peduli dan Bung Karno serta Bung Hatta akhirnya dapat kembali ke Jawa.

Peran Ndalem Woerjaningratan tidak hanya sebatas itu. Rumah K.P.H. Woerjaningrat sekeluarga yang telah didiami sejak 14 Juli 1914 tersebut kerap menjadi tempat pertemuan berbagai aktivitas kaum pergerakan. Pada zaman Jepang, rumah ini juga dijadikan sebagai markas Badan Pembantu Keluarga Korban Perang (BPKKP), yang diketuai oleh K.P.H. Woerjaningrat sendiri. Menurut Saparto yang juga menjadi bagian dari kaum pergerakan, ayahanda Ibu Tien Soeharto, K.R.T. Soemarjono, ikut serta dengan segenap tenaga dan pikirannya dalam mengurus BPKKP dan terlibat dalam gerakan perintis kemerdekaan, siang dan malam. Kadang, Soeharto yang pada masa itu masih berpangkat letnan satu (Pembela Tanah Air) datang juga ke Ndalem Woerjaningratan, untuk ikut mengatur strategi perjuangan kemerdekaan.

Pihak Jepang sendiri, sebagai hasil sidang istimewa parlemennya di Jepang, pada tanggal 7 September 1944 mengumumkan bahwa Hindia Belanda (Indonesia) diperkenankan merdeka “kelak di kemudian hari”. Pernyataan tersebut muncul karena Jepang semakin terjepit posisinya dalam Perang Asia Timur Raya. Sekutu berhasil menduduki wilayah-wilayah kekuasaan Jepang, seperti Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Kepulauan Marshall. Bahkan, Kepulauan Saipan yang letaknya sudah sangat dekat dengan Jepang berhasil diduduki oleh Amerika pada bulan Juli 1944. Sekutu kemudian menyerang Ambon, Makassar, Manado, Tarakan, Balikpapan, dan Surabaya.

Menghadapi situasi yang kritis itu, pemerintah pendudukan Jepang di Jawa yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Kumakici Harada pada tanggal 1 Maret 1945 mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada tanggal 28 Mei 1945 dilangsungkanlah upacara peresmian BPUPKI bertempat di Gedung Cuo Sangi In, Jalan Pejambon, Jakarta, dihadiri oleh Panglima Tentara Jepang Wilayah Ke-7 Jenderal Itagaki dan Panglima Tentara Ke-16 di Jawa Letnan Jenderal Nagano. K.P.H. Woerjaningrat menjadi salah seorang anggota BPUPKI.

Ketika Jepang membubarkan BPUPKI dan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 7 Agustus 1945, para kaum pergerakan kemudian menambah sendiri anggota-anggotanya dari pihak Indonesia, lepas dari pengendalian Jepang. Di Solo, tak lama berselang, badan ini juga dibentuk dan bergerak langsung ke tengah masyarakat, menjelaskan tentang kemerdekaan dan menggugah rasa persaudaraan bangsa Indonesia. Yang menjadi ketuanya adalah K.P.H. Woerjaningrat, dengan anggota-anggota adalah Mr. Soekasno, R.T. Brodjonagoro, dr. Kartono, dan R. Ng. Darmopranoto.

Setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sehari kemudian K.P.H. Woerjaningrat membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Daerah Surakarta dan beliau dipilih menjadi ketuanya. Sebagai ketua, beliau juga mengikhtiarkan pembentukan Badan Keamanan Rakyat dan Komite Nasional Indonesia di daerah-daerah kabupaten se-Surakarta.

Dengan segenap perjuangan dan rasa cinta tanah airnya yang mendalam seperti itu tak mengherankan jika K.P.H. Woerjaningrat diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung begitu Republik Indonesia berdiri pada tahun 1945. Beliau menduduki posisi ini sampai tahun 1950 dan kemudian menjadi wakil rakyat, tapi akhirnya mengundurkan diri atas inisiatifnya sendiri pada tahun 1951 karena usianya telah lanjut dan juga karena ingin memberi kesempatan kepada generasi muda untuk mengabdi kepada Nusa dan Bangsa lewat parlemen.

Seiring dengan itu, lewat keputusan Menteri Sosial, K.P.H. Woerjaningrat ditetapkan menjadi perintis kemerdekaan dan berhak mendapat uang jasa serta bantuan dari pemerintah setiap bulannya. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat atas keputusan tersebut, K.P.H. Woerjaningrat menolak pemberian uang jasa serta bantuan dari pemerintah itu. Alasannya, apa yang telah beliau lakukan untuk Nusa dan Bangsa merupakan sutau kewajiban. Selain itu, beliau juga menyatakan bahwa masih banyak saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air yang menderita. Apalagi, ungkapnya, keuangan negara juga masih dalam kondisi kurang sempurna.

***


Sebenarnya, sebelum terlibat dengan organisasi sosial dan kemudian organisasi politik, lalu menjadi kaum pergerakan, K.P.H. Woerjaningrat sudah bersikap kritis terhadap penindasan kaum penjajah. Ketika menjadi wedono parentah di Pusat Pemerintah Negeri Surakarta pada tahun 1914, misalnya, ia melakukan banyak perubahan dalam sistem administrasi dan kewenangan pada jajarannya, yang ternyata tidak disukai pemerintah kolonial Belanda.

Oleh Belanda, beliau diminta untuk mengubahnya kembali kalau tidak ingin dipecat, namun beliau tidak bersedia. Tapi, Belanda tak jadi memecat beliau karena S.P.I.S. Pakoebuwana X, mertua K.P.H. Woerjaningrat, tidak berkenan. K.P.H. Woerjaningrat akhirnya hanya dimutasikan ke dalam keraton.

Di keraton, semangatnya ternyata tak pernah padam. Beliau justru mengusulkan dibentuknya badan atau dewan yang memberi pertimbangan-pertimbangan kepada S.P.I.S. Kanjeng Susuhunan Pakoebuwana X. Gagasannya ini diterima, yang kemudian dikenal sebagai Parampara Nata—sebelumnya bernama Raad (Dewan) Negara dan diubah menjadi Raad Karaton. K.P.H. Woerjaningrat menjadi anggotanya dan pada tahun 1945 diangkat sebagai wakil ketua.

Pasca-kemerdekaan, ketika terjadi gejolak sosial di Solo pada tahun 1946, K.P.H. Woerjaningrat diangkat menjadi penjabat Pepatihdalem Keraton Surakarta. Pada masa ini, beliau menahan gerakan-gerakan yang ingin melenyapkan daerah istimewa Surakarta. Alasannya, pertama, S.P.I.S. Pakoebuwana XII telah menyatakan berdiri di belakang Pemerintah Republik Indonesia dan daerah Kasunanan adalah wilayah Republik Indonesia. Kedua, S.P.I.S. Pakoebuwana XII telah menerima piagam dari Presiden Republik Indonesia, Soekarno. Ketiga, gerakan-gerakan itu dapat melemahkan persatuan, padahal Indonesia masih berhadapan dengan penjajah.

Untuk menjaga keselamatan pemerintah pusat Republik Indonesia, persatuan bangsa, Kasunanan Surakarta, dan Mangkoenagaran, K.P.H. Woerjaningrat sewaktu menjadi penjabat Pepatihdalem Keraton Surakarta juga mengusulkan di dalam rapat para menteri Republik Indonesia yang diadakan di Javasche Bank, Surakarta—yang dihadiri pula oleh S.P.I.S. Pakoebuwana XII dan S.P.K.G.P.A.A. Mangkoenagaro beserta pepatih—agar Pemerintahan Kasunanan dan Mangkoenagaran diserahkan kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia untuk sementara waktu guna diatur lebih lanjut dan setelah pengaturannya selesai dikembalikan lagi kepada penguasanya masing-masing. Usul ini disepakati oleh semua pihak yang hadir.

Semasa hidupnya, K.P.H. Woerjaningrat memang aktif dalam berbagai bidang, mulai dari bidang sosial sampai budaya, mulai dari bidang politik sampai dan bidang pendidikan. Pada tahun 1914 sampai tahun 1926, misalnya, beliau menjadi Ketua Paheman dan Museum Radya Pustaka. Beliau sempat mengadakan Kongres Kesusastraan Jawa, yang antara lain dihadiri oleh wakil Gubernemen Belanda, wakil dari pemerintah Kasunanan, Kalsultanan Yogya, Mangkunagaran, dan Paku-alaman. Kongres ini berhasil menyatukan ejaan Jawa, yang kemudian diajarkan di sekolah-sekolah dan dikenal sebagai ejaan Sriwedari.

Beliau juga pernah menjadi Ketua Mardi Guna, perkumpulan kesenia Jawa; Ketua Perguruan Murni (1919—1944); Ketua Narpowandono, perkumpulan keluarga Karaton Surakarta; Ketua Mulya Narpowandono; Ketua Mulya Perkumpulan Kawula Surakarta (1939—1941), dan; menjadi Ketua Pengurus Rumah Miskin Wangkung. K.P.H. Woerjaningrat-lah yang mengusulkan pemindahan Rumah Miskin Wangkung dari Desa Wetan Bengawan Solo ke Pajang, agar tidak terendam air bila musim penghujan. Pemindahan ini dihalang-halangi oleh pemerintah Belanda di Surakarta, meski akhirnya dapat dilaksanakan dengan baik.

Perintis kemerdekaan yang tak pernah jera dalam berjuang ini dipanggil menghadap Ilahi pada 13 September 1967, dalam usia 85 tahun. Beliau dimakamkan di Imogiri dengan upacara kenegaraan. Jasanya yang tak terperi pada kemajuan dan kemerdekaan bangsa ini mendorong Pemerintah Republik Indonesia untuk menganugerahi Bintang Mahaputra. Beliau juga ditetapkan sebagai perintis kemerdekaan.

Sementara itu, Ndalem Woerjaningratan, yang sempat tidak terawat selama puluhan tahun setelah sepeninggal beliau, sejak beberapa tahun lalu telah direnovasi oleh Santosa Doellah. Tempat tinggal K.P.H. Woerjaningrat sekeluarga yang dibangun oleh ayahnya, K.R.A. Sosrodiningrat, ini telah diperbaiki dan dikembalikan ke bentuk aslinya, yang kini dijadikan sebagai Rumah Danar Hadi. Inilah salah satu upaya yang lain lagi untuk melawan amnesia sejarah—yang dari hari ke hari semakin banyak saja pengidapnya di negeri ini. (Pedje)

No comments:

Post a Comment