Tuesday, October 13, 2009

Selamat Datang Kembali, Krisis!

Tak ada satu pun negara yang kebal terhadap krisis keuangan yang sedang melanda dunia sekarang ini. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Masih tepatkah berinvestasi dan memulai binsis baru di masa krisis ini?

Judul di atas mungkin terdengar arogan dan seolah menantang. Tak ada maksud untuk itu. Karena, tujuan tulisan ini sebenarnya justru untuk mengingatkan kembali tentang krisis keuangan global yang sedang melanda dunia sekarang. Bukan untuk ditakuti sehingga menimbulkan kepanikan, tapi untuk dihadapi. Karena, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, krisis memang sedang terjadi dan tak ada satu pun negara yang kebal terhadap krisis kali ini, termasuk negara-negara Arab yang kaya, yang beberapa waktu lalu telah meraup keuntungan dari harga minyak dunia yang melonjak tak terkira. Bahkan, para ekonom Amerika Serikat yang tergabung dalam National Association for Business Economics pada pertengahan November lalu, sebagaimana diberitakan MarketWatch, telah secara resmi menyatakan bahwa perekonomian Amerika Serikat sudah resmi berada dalam resesi, yang akan berlanjut sampai tahun 2009. Padahal, kita mafhum, Amerika Serikat selama puluhan tahun telah menjadi negara superkuat, termasuk dalam bidang ekonomi.

Krisis keuangan dunia saat ini sendiri diawali dari Amerika Serikat, akibat terjadinya kredit macet di sektor properti yang luar biasa besar. ”Kredit macet ini meyebabkan ambruknya lembaga pendanaan perumahan Fraddie Mac and Fannie Mae. Bencana finansial di Amerika juga membuat bangkrut Lehman Brothers, salah satu perusahaan investasi terbesar di sana, yang sudah beroperasi 150 tahun lebih. Krisis keuangan di Amerika Serikat menyebar ke pasar finansial lainnya di dunia, bahkan berimbas kepada bursa komoditas yang ditandai dengan merosotnya harga komoditas minyak mentah, kelapa sawit, produk pertambangan beserta turunannya. Kondisi terakhir inilah yang banyak menyebabkan terpuruknya perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang perkembangan ekonominya banyak diuntungkan dari ekspor produk komoditas,” papar Adrian Rusmana, pengamat pasar modal yang juga Anggota Dewan Penasihat Asosiasi Analis Efek Indonesia.

Lebih parah lagi, tambah Adrian, krisis di Amerika Serikat memaksa pemerintahnya melakukan intervensi ke pasar finansial dengan cara meningkatkan belanja negara dan menerbitkan surat utang dalam jumlah sangat besar. ”Kondisi ini menyebabkan dolar Amerika Serikat yang berkeliaran di dunia tersedot kembali ke negaranya, sehingga menyebabkan menguatnya nilai tukar dolar AS terhadap mata uang dunia lainnya, termasuk rupiah. Sebenarnya, dengan melemahnya rupiah, ekonomi Indonesia bisa diuntungkan. Namun, karena harga komoditas andalan negara juga turun, Indonesia tidak bisa mendapatkan keuntungan dari situasi sekarang,” ujar Director of Research and Institutional Sales PT HD Capital Tbk. Ini.

Namun, bila dibandingkan dengan krisis ekonomi tahun 1997-1998, kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini relatif lebih kuat. “Disebut relatif karena krisis keuangan yang terjadi sekarang bukan hanya melanda Indonesia, tetapi global. Dengan kata lain, magnitude permasalahannya jauh lebih dahsyat dibandingkan yang terjadi pada tahun 1998, yang hanya melanda beberapa negara di kawasan Asia. Bahkan, menurut beberapa ekonom kawakan, krisis saat ini adalah yang terburuk sejak the great depression tahun 1930-an,” tutur Adrian, yang meraih gelar master of business administration dari Cleveland State University, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat.

Cadangan devisa Indonesia sendiri saat ini sebesar US$50 miliar lebih, bahkan Juli lalu sebesar US$60 miliar. Sementara itu, saat krisis tahun 1998, cadangan devisa hanya US$17 miliar. Selain itu, pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir cenderung stabil di antara rentang 5,5% - 6,5%. Bahkan menurut data Badan Pusat Statistik, selama kuartal ketiga tahun 2008, ekonomi Indonesia masih tumbuh 6,1%, ketika pertumbuhan ekonomi negara maju jalan di tempat atau bahkan negatif, seperti Inggris yang hanya 0,3%, Jepang -0,1%, Singapura -0,5%, dan Amerika Serikat 0,8%. “Suku bunga, walau cenderung meningkat di sekitar 11%, masih jauh lebih rendah dibandingkan saat krisis 1998 yang 40% sampai 60%,” ujar Adrian.

Kendati demikian, Adrian mengaku sulit menganalisis keadaan sekarang ini untuk mengetahui apakah ekonomi Indonesia bisa melewati krisis finansial global yang sedang terjadi. “Hanya Tuhan yang mengetahui,” katanya. Masalahnya, alasan Adrian, selain krisis sekarang berasal dari luar negeri, jumlah negara yang terinfeksi krisis juga sangat banyak. ”Dengan begitu, krisis keuangan saat ini sangat kompleks untuk dianalisis dan dibenahi oleh kita sendiri,” kata mantan Vice President, Head of Research Division, PT BNI Securities ini.

Wandy Nicodemus Tuturoong, praktisi pasar modal yang juga konsultan corporate social responsibility untuk berbagai korporasi dari Amerika Serikat dan Kanada, punya pendapat senada. “Skala krisis finansial yang kita hadapi sekarang jauh lebih dahsyat dari krisis finansial sebelumnya yang pernah ada. Dibutuhkan dana mahabesar untuk mengatasi krisis ini. Karena itu, fundamental ekonomi negara mana pun menjadi tidak berarti,” ujar Wandi, yang beberapa waktu lalu bersama sejumlah tokoh muda lain mengumumkan Deklarasi Ekonomi-Politik untuk Kedaulatan Nasional, gerakan moral untuk membangkitkan perekonomian nasional.

Indonesia, di mata Wandy, akan kerepotan menghadapi krisis sekarang karena selama ini menganaktirikan pembangunan sektor riil. “Modal lebih terkonsentrasi ke pasar finansial atau pasar modal yang dianggap lebih menguntungkan. Padahal, sebelum terjadi krisis, investor pasar modal diperkirakan hanya berjumlah kurang dari 300.000, dengan nilai kapitalisasi mencapai Rp1.000 triliun. Coba bandingkan ini dengan 200 juta lebih penduduk Indonesia saat ini. Akibatnya, ketika terjadi krisis di pasar finansial, kita kurang bisa mengandalkan sektor riil,” ujar pendiri Komunitas Belajar Pondok Anak Pertiwi yang juga bergiat di Lembaga Kajian dan Penerbitan Asia, Latin America, and Africa Solidarity ini.

Galakkan Solidaritas Sosial
Sampai kapan krisis ini akan berlangsung? ”Terus terang, saya tidak tahu. Tapi, Bernard Lietaer, ahli moneter terkemuka asal Belgia yang juga tokoh di balik lahirnya mata uang Euro, memperkirakan, yang terburuk bisa selama satu dekade. Yang pertama kali kena dampaknya tentu saja investor pasar modal, setelah itu perbankan. Kalau perbankan sudah kena, berarti seluruh lapisan masyarakat bisa kena. Sebab, perbankan itu ibarat jantung perekonomian, yang memompa darah atau likuiditas keuangan ke seluruh sektor,” ujar Wandy.

Adrian lebih optimistis. Ia memperkirakan krisis sekarang ini akan berlangsung enam sampai dua belas bulan. ”Namun bukan berarti krisis tidak bisa berakhir lebih cepat dari perkiraan saya. Percepatan pemulihan berpeluang terjadi jika, salah satunya, dana-dana yang keluar dari Indonesia kembali masuk sehingga rupiah kembali menguat dan standar hidup masyarakat meningkat,” tuturnya.

Menurut Adrian, untuk menghadapi krisis ekonomi tidak ada jalan lain yang harus dilakukan kita selain berhemat dan mengurangi pinjaman. ”Berhemat tidak berarti kita harus berhenti untuk belanja atau melakukan pengeluaran, namun belanjalah dengan sangat hati-hati. Melakukan pinjaman terutama untuk kebutuhan konsumtif sangat tidak dianjurkan. Karena, biasanya, saat krisis, bunga pinjaman akan naik dan pendapatan bersih kita menurun karena tingginya harga,” tutur ayah dari tiga anak ini.

Sementara itu, Wandy menyarankan, dalam menghadapi krisis sekarang, di tingkat masyarakat perlu digalakkan kembali solidaritas sosial atau gotong royong. ”Bangun kembali solidaritas sosial! Lebih baik bekerja sama daripada menghadapi krisis ini sendiri-sendiri. Ini juga baik untuk mencegah meluasnya krisis sosial seperti tahun 1998,” kata Wandy.

Mengingat yang terjadi adalah kelangkaan uang, tambah Wandy, bila perlu dipikirkan untuk mendirikan komunitas-komunitas barter seperti yang terjadi di Jepang saat terjadi deflasi pada tahun 1990. ”Inti perekonomian kan pertukaran barang dan jasa. Kalau alat tukarnya sulit didapatkan, ya, kenapa tidak bertukar-tukaran secara langsung?” katanya. Sejalan dengan itu, tambah Wandy, usahakanlah untuk berbelanja secara tunai dan belilah barang yang dianggap paling prioritas.

”Walau kelihatannya barang yang kita ingin miliki berharga murah, kita tetap perlu berhati-hati. Sesuatu yang murah belum tentu layak atau harus kita miliki. Selain itu, sesuatu yang murah juga belum tentu memiliki kualitas yang baik. Pilihlah barang yang sesuai dengan kebutuhan dan memiliki kualitas baik, sehingga kita tidak jatuh ke dalam kategori konsumen yang konsumtif,” saran Adrian.

Agar perputaran uang tetap lancar di masyarakat, Wandy menganjurkan agar kita lebih sering berbelanja di pasar tradisional. ”Dengan begitu, perputaran uang akan terjadi di kalangan masyarakat kita sendiri dan bukannya dikirim ke luar negeri. Sekarang saatnya mengandalkan kekuatan sendiri. Pemerintah juga mesti didorong untuk tidak bergantung pada pasar luar negeri. Think outside the box! Kita masih punya sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Itu modal besar kita dalam menghadapi krisis,” tuturnya.

Tetap Berinvestasi
Meski dalam keadaan krisis, baik Adrian maupun Wandy menganjurkan agar kita tetap berinvestasi. ”Rencana investasi tentunya harus terus dilakukan meski di saat krisis. Karena, melalui investasilah kita dapat menjamin terpenuhinya pengeluaran atau kebutuhan dana kita pada masa mendatang,” ujar Adrian. Adapun jenis investasi tentunya berbeda bagi setiap individu, bergantung pada waktu kapan kebutuhan dana kita harus terpenuhi, apakah jangka pendek atau jangka panjang. ”Bila kebutuhan dana kita dalam jangka waktu pendek, tentunya kita mencari produk investasi jangka pendek yang dapat mengunci kebutuhan dana kita tersebut saat ini. Jenis investasi jangka pendek sangat bervariasi saat ini, seperti deposito perbankan, obligasi jangka pendek, dan reksadana pasar uang. Karakteristik dari jenis investasi jangka pendek adalah risiko investasi yang sangat kecil,” papar Adrian.

Sebaliknya, kata Adrian lagi, jika kebutuhan dana kita adalah jangka panjang, kita harus mencari jenis investasi yang sesuai, seperti investasi di pasar modal (saham dan obligasi jangka panjang), produk reksadana saham dan obligasi, asuransi, emas, tanah, atau properti. ”Dalam jangka waktu pendek biasanya investasi ini belum tentu menguntungkan, bahkan bisa rugi. Tapi, keuntungan jangka panjang lebih terjamin,” ungkap Adrian.

Dalam melakukan investasi jangka panjang tentunya kita harus memilih jenis investasi atau aset yang berkualitas. ”Misalnya, dalam memilih saham, kita harus menganalisis saham-saham yang memiliki kinerja fundamental baik. Jangan lupa juga, dalam berinvestasi, prinsip diversifikasi perlu diterapkan. Artinya, kita tidak boleh bergantung hanya pada satu jenis investasi. Dengan diversifikasi, risiko yang terkandung dalam setiap produk investasi bisa dikurangi dan hasil dari investasi bisa dioptimumkan,” ujar Adrian, yang pernah menjadi nominator most popular analyst versi majalah Prospektif serta laris manis menjadi narasumber untuk media nasional dan internasional.

Memang, ungkap Adrian, berinvestasi dalam waktu krisis terasa berat. Karena, dana yang bisa kita alokasikan untuk investasi berkurang. Selain itu, biasanya, saat krisis, keyakinan kita untuk berinvestasi juga menurun karena harga produk investasi, seperti saham, obligasi, dan reksadana, yang akan kita miliki juga merosot. ”Padahal, menurut saya, saat ini adalah waktu yang baik untuk berinvestasi jangka panjang, mengingat relatif murahnya harga-harga saham, obligasi, reksadana, dan emas,” tuturnya.

Bagaimana jika baru ingin memulai bisnis dalam masa krisis sekarang ini? ”Usaha yang relatif aman tentunya consumer goods atau bahan-bahan pokok. Kebutuhan paling primer ini tentu akan selalu tinggi permintaannya dibandingkan jenis-jenis usaha yang lain,” kata Wandy.

Sementara itu, Adrian menyarankan, jika Anda baru ingin membuka usaha, carilah usaha yang memiliki prospek bagus, produk yang tetap dibutuhkan setiap masa, atau usaha yang akan Anda buat memiliki entry barrier yang besar, walaupun kedua hal ini sering bertentangan. ”Biasanya usaha yang memiliki prospek bagus akan dihadapi oleh banyak pesaing. Sebaliknya, usaha dengan entry barrier yang besar memerlukan modal besar,” ungkap Adrian. Selain itu, pilihlah bidang usaha yang Anda sukai dan Anda memiliki kemampuan untuk menjalankannya. ”Ini penting saat usaha Anda dihadapi oleh kondisi sulit. Dengan menyukai usaha yang Anda bangun, mudah-mudah Anda tetap menikmati usaha Anda,” ujarnya.

Yang pasti, dalam kondisi krisis sekarang ini, Adrian dan Wandy sama-sama mengingatkan kita untuk lebih berhati-hati dalam membelanjakan dana kita. ”Bila kita hidup hemat, cermat dalam membelanjakan dana, konsisten berinvestasi, dan didukung sifat kerja keras, secara tidak langsung kita bisa membantu mengatasi krisis berat yang dihadapi oleh negara kita,” kata Adrian. Setuju! (Pedje)

No comments:

Post a Comment