Sunday, October 4, 2009

Selayang Pandang Penulisan Berita

Coba ingat, kapan Anda terakhir bebas dari berita? Maksudnya, dalam sehari, pernahkah Anda tanpa sengaja tidak membaca atau mendengar suatu berita sama sekali? Rasanya mustahil sejak beberapa tahun belakangan ini, kecuali jika Anda pernah terdampar di suatu pulau tak berpenghuni atau tersesat di hutan tanpa membawa perangkat telekomunikasi.

Ya, berita telah menjadi bagian dari menu kehidupan kita sehari-hari, terutama bagi kita yang hidup di kota besar dan memiliki akses ke berbagai media informasi dan komunikasi. Bahkan, boleh jadi, ada di antara kita yang sering kebanjiran berita atau merasa terkepung oleh berbagai berita.
Berita sendiri, dalam batasan jurnalistik, merupakan laporan peristiwa yang disiarkan lewat media massa, baik cetak maupun elektronik. Lazimnya, orang membaca atau mendengarkan berita karena ingin mengetahui apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya atau bagaimana perkembangan yang berlangsung dalam bidang atau subyek yang ia minati.

Karena itu, berita haruslah berisi laporan peristiwa yang dianggap penting oleh sebagian besar pembaca/pendengar/pemirsanya. Dan, tentu saja, tingkat kepentingan ini bergantung pada khalayak yang dituju. Misalnya, berita soal kemenangan Tiger Woods kemungkinan besar tak akan dianggap penting oleh Bang Miun yang sehari-hari berjualan ketoprak.

Berita yang memiliki daya tarik tinggi juga umumnya adalah berita tentang peristiwa yang baru terjadi atau setidaknya yang dianggap masih menempel dalam ingatan sebagian besar orang. Jadi, bukan tentang peristiwa yang telah lama berlalu dan sebagian besar orang sukar mengingatnya kembali.

Peristiwa yang diangkat sebagai berita selayaknya juga unik, untuk merangsang rasa ingin tahu khalayak. Umpamanya—yang sering menjadi contoh dalam berbagai pelatihan jurnalistik—soal orang menggigit anjing. Kalau orang digigit anjing, itu hanya peristiwa biasa. Yang lebih seru lagi dan memiliki nilai berita tinggi jika orang dan anjing saling menggigit!

Yang juga bisa menjadikan suatu peristiwa sebagai berita adalah aspek keterkenalan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya atau popularitas latar peristiwanya. Contohnya: Barack Obama naik delman mengelilingi kawasan Monas.

Selain itu, aspek kedekatan suatu peristiwa dengan calon pembaca/pemirsa dapat membuat orang ingin membaca/melihat beritanya. Kedekatan di sini bisa secara geografis, bisa pula secara emosional. Ingat kasus film
Fitna yang heboh beberapa waktu lalu. Peristiwa yang memiliki efek atau pengaruh yang besar juga sangat layak diangkat sebagai berita. Begitu pula dengan fenomena yang sedang menjadi tren di masyarakat luas, seperti semakin banyaknya orang yang melakukan operasi plastik.

Lalu, bagaimana cara menulis berita agar dapat merangsang keingintahuan pembaca/pemirsa? Tentu saja, dalam media cetak atau media on-line, yang pertama harus diperhatikan adalah penulisan judul beritanya, sebagai inti dari berita. Usahakan menulis judul yang pendek saja namun dapat memproyeksikan isi berita secara keseluruhan. Misalnya ”Purnawirawan AD Risaukan HAM”.

Judul dengan menggunakan kalimat aktif biasanya juga cukup efektif untuk merangsang orang untuk mengetahui isi beritanya lebih jauh. Coba bandingkan mana yang lebih menarik ”Penggunaan Listrik di Kantor Akan Diawasi oleh Pemerintah” atau ”Pemerintah Akan Mengawasi Penggunaan Listrik di Kantor”. Kendati begitu, kadang, judul dengan kalimat pasif justru lebih memiliki daya tarik ketimbang yang menggunakan kalimat aktif. Umpamanya, judul ”Pembebasan Lahan BKT Dipercepat” tentu lebih menarik dibanding dengan ”Pemrov DKI Jakarta Mempercepat Pembebasan Lahan BKT”.

Seperti kita ketahui, berita yang baik umumnya memiliki unsur-unsur yang kita kenal dengan singkatan 5 W + 1 H:
who (siapa), what (apa), where (di mana), when (kapan), why (mengapa), dan how (bagaimana). Dan, surat kabar harian atau media on-line yang melakukan updating dalam hitungan menit akan meramu unsur-unsur itu dalam bentuk berita keras (hard news) ketimbang berita lunak (soft news). Berita keras adalah berita yang langsung ke pokok persoalan, yang ditulis dengan bahasa yang lugas dan relatif singkat (straight), dengan mengurutkan fakta-fakta berdasarkan tingkat kepentingannya, yang sering dikatakan sebagai gaya penulisan model piramida terbalik. Berikut ini contoh penulisan berita keras.



Ditahan, Dua Tersangka di Pemkot DKI

Rabu, 23 April 2008 | 01:20 WIB

Jakarta, Kompas - Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menahan dua tersangka dugaan korupsi pengadaan multipurpose filling cabinet atau lemari besi tahan api di wilayah Pemerintah Kota Jakarta Selatan, Selasa (22/4) malam. Dua tersangka itu—Tri Sasongko Witjaksono, Kepala Subbagian Pemeliharaan dan Perawatan Bagian Perlengkapan Wali Kota Jakarta Selatan, dan Wawan Subhan Zhabeth, Direktur CV Darmakusumah—dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur.


Dalam jumpa pers, Kepala Kejari Jaksel Hidayatullah mengemukakan, pada proses pengadaan lemari besi tahan api itu, Tri Sasongko Witjaksono bertindak sebagai ketua pengadaan barang dan jasa. Sebagai panitia lelang, dia seharusnya menetapkan patokan harga barang dan melakukan survei komprehensif.


”Namun, patokan harga barang tidak ada. Bahkan, survei hanya dilakukan di satu toko alat kesehatan di daerah Cempaka Putih,” kata Hidayatullah.


Namun, surat kabar harian atau media on-line pun biasanya tak mengharamkan pemuatan berita lunak. Isi dari berita lunak memang bukan sesuatu yang berat, biasanya tentang sisi-sisi kemanusiaan (human interest) dari satu peristiwa, dengan cara penuturan yang tidak begitu lugas. Dalam wilayah berita lunak ini ada juga yang disebut sebagai berita dengan gaya penyajian khas (
news features), yakni berita yang lebih menonjolkan fakta-fakta di luar fakta utama—biasanya yang menyangkut sisi kemanusiaan—dengan cara penyajian yang lentur dan strukturnya tidak kaku. Misalnya cerita tentang persiapan anggota KPK menangkap Al Amin dan bagaimana susahnya para intel KPK itu membuntuti orang-orang yang dicurigai.

Tentu saja, berita harus dituliskan berdasarkan fakta-fakta yang sahih, bukan hasil rekayasa atau karangan (asumsi) si wartawan. Pengumpulan fakta-fakta itu antara lain melalui reportase dan wawancara dengan narasumber yang berkompeten, saksi mata, di samping lewat kliping media lain dan berbagai dokumen. Repotarse dan wawancara merupakan sumber-sumber primer, sementara kliping dan dokumen masuk dalam kategori sumber sekunder dan tersier.

Bill Kovach, seorang praktisi dan pakar jurnalisme di Amerika Serikat, bersama dengan Tom Rosenstiel yang juga jurnalis, merumuskan sembilan elemen jurnalisme agar berita yang dilaporkan wartawan akurat dan dapat dipercaya. Masing-masing elemen itu memiliki kedudukan yang sama. Namun, Kovach dan Rosenstiel meletakkan ”pencarian kebenaran” sebagai elemen pertama.


Yang dimaksud dengan kebenaran di sini bukanlah kebenaran dalam tataran filosofis, melainkan kebenaran fungsional. Menurut Kovach dan Rosenstiel, masyarakat memerlukan prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional.

Elemen jurnalisme kedua yang dilansir Kovach dan Rosenstiel adalah mengenai loyalitas utama jurnalisme, yakni kepada masyarakat. Suatu berita sudah semestinyalah tidak mengabdi kepada kepentingan apa pun, kecuali kepada kepentingan masyarakat.

Elemen jurnalisme yang ketiga adalah disiplin dalam melakukan verifikasi. Dengan adanya disiplin ini, seorang wartawan akan mampu membedakan mana asumsi, kebohongan, desas-desus, dan mana fakta yang sebenarnya. Dengan demikian, informasi yang didapat dan kemudian disiarkan oleh sang wartawan adalah informasi yang akurat. Disiplin dalam melakukan verifikasi inilah sebenarnya yang bisa dikatakan sebagai obyektivitas dalam jurnalisme. Jadi, obyektivitas bukanlah tujuan, melainkan metode, antara lain dengan melakukan liputan yang berimbang, fairness, dan akurat.

Ada lima langkah yang ditawarkan oleh Kovach dan Rosenstiel untuk menjaga disiplin dalam verifikasi, yakni ”dilarang menambah apa pun”; ”dilarang mengecoh dan menyesatkan pembaca, pemirsa, atau pendengar”; ”bersikap setransparan dan sejujur mungkin tentang cara dan niat Anda dalam melakukan reportase”; ”mengutamakan reportase Anda sendiri sebagai sandara”, dan ”senantiasalah bersikap rendah hati”.

Seorang jurnalis juga harus selalu independen terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang ia liput. Inilah elemen jurnalisme yang keempat yang dilansir oleh Kovach dan Rosenstiel. Independensi ini harus selalu berada dalam urutan pertama dalam jiwa seorang jurnalis di tengah banyaknya label sosial yang melekat dalam dirinya.

Elemen jurnalisme yang kelima adalah ”jurnalisme merupakan juru pantau indenpenden bagi pihak yang berkuasa dan menjadi penyambung lidah kaum yang tertindas”. Sementara itu, elemen yang keenam adalah ”jurnalisme sebagai forum publik”, memberikan ruang bagi publik untuk ikut berpartisipasi.

Yang juga menjadi elemen jurnalisme adalah cara penyajian, yang merupakan hal penting agar karya jurnalistik menjadi menarik dan relevan. Yang dimaksud menarik di sini tidak selalu berarti menghibur, tapi lebih pada cara penyajian beritanya. Inilah elemen yang ketujuh dalam jurnalisme versi Kovach dan Rosenstiel.

Adapun elemen jurnalisme yang kedelapan adalah kewajiban bagi jurnalis untuk menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Proporsional dan komprehensif memang bisa menjadi subyektif. Namun, justru karena itu, seorang wartawan, menurut Kovach dan Rosenstiel, harus selalu ingat untuk menulis berita secara proporsional.

Yang terakhir, elemen jurnalisme yang kesembilan, jurnalis harus memiliki kemampuan untuk mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dengan kemampuan mendengarkan hati nurani, seorang wartawan akan tak termudah tergoda rayuan atau tak mudah menyerah ketika mendapat tekanan atau intimidasi. (
Pedje)

No comments:

Post a Comment