Monday, October 12, 2009

Menengok Puro Mangkunegaran













Acara puncak perayaan 250 tahun Puro Mangkunegaran diisi dengan pertunjukan sendratari kolosal Adeging Praja Mangkunegaran. Terlalu banyak yang ingin ditunjukkan dan terasa kurang persiapan.



Gamelan telah berdentang ketika matahari akan mencapai titik kulminasinya. Serombongan penari dengan pakaian hitam dan bermahkota bulu seperti kepala suku Indian mulai beraksi. Terdengar ramai suara gemerincing ketika para penari itu mengentakkan kaki-kaki mereka, yang berbalut sepatu boot hitam. Puluhan penonton pun mendekat. Juru foto sibuk mengabadikan tarian itu dari berbagai penjuru.

Siang itu, 11 November 2007, di alun-alun Puro Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, memang digelar pesta kesenian rakyat. Selain tari Topeng Ireng Dayakan yang dibawakan oleh Paguyuban Seni Jalan Krido Mulo asal Boyolali tersebut, juga digelar bermacam kesenian rakyat Solo dan sekitarnya. Inilah bagian dari puncak upacara peringatan 250 Tahun Puro Mangkunegaran, yang telah berlangsung sejak Maret lalu.

Sayangnya, entah kenapa, pada siang itu, sebagian besar warga Solo seakan tak tahu ada perhelatan besar tersebut. Setidaknya ini bisa dilihat dari jumlah masyarakat yang datang untuk menyaksikan acara yang dimaksudkan sebagai pesta rakyat itu. Masyarakat mulai ramai mendatangi alun-alun Puro Mangkunegaran menjelang sore hari, ketika rombongan kirab masuk keraton, setelah mengelilingi Kota Solo.

Itu pun relatif tak lama. Karena, ketika sore tiba, mega mendung menutupi langit dan angin kencang menderu-deru. Pohon-pohon bergoyang ke sana-kemari. Hujan deras tiba. Sebagian besar pengunjung meninggalkan arena, entah ke mana. Seusai magrib, hujan mereda, meski tak berhenti sama sekali. Gerimis menyiram, namun tak menyurutkan para undangan untuk menghadiri pergelaran sendratari kolosal Adeging Praja Mangkunegaran yang akan digelar di halaman dalam dan pendapa Puro Mangkunegaran. Jalan-jalan di Solo yang dekat puro itu pun mengalami kemacetan.

Pertunjukan tersebut disutradarai oleh seniman Solo yang juga menjadi pengajar di Institut Seni Solo, Daryono. Dan sekitar 2.000 undangan hadir pada malam itu, yang bukan hanya berasal dari Solo, tapi juga dari daerah-daerah lain di Indonesia. Tampak di sana antara lain Prof. Dr. Toety Herati Noerhadi, Soetrisno Bachir, Goenawan Mohamad, Guruh Soekarno Putra, Poppy Dharsono, Harmoko, dan Dewi Motik.

Ini memang perhelatan besar. Harga tanda masuk untuk bisa menonton pertunjukan itu pun dipatok Rp300 ribu sampai Rp6 juta. Untuk masyarakat yang tak mampu membeli tiket, di alun-alun puro disediakan layar raksasa yang menayangkan pementasan di halaman dalam dan pendapa puro. ”Selain untuk mengenang kepahlawanan Raden Mas Said atau Mangkunegara I, acara ini juga dimaksudkan sebagai ajang silaturahmi, memperkenalkan khazanah budaya yang ada di Mangkunegaran, dan untuk menggalang dana dari berbagai kalangan masyarakat yang peduli budaya bangsa, yang hasilnya nanti digunakan untuk merenovasi bangunan Puro Mangkunegaran,” ungkap Ir. Agus Haryo Sudarmodjo, Ketua Dewan Pelaksana Harian Peringatan 250 Tahun Puro Mangkunegaran.

Secara resmi, Puro Mangkunegaran berdiri setelah diadakan Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757, yang dilakukan antara Raden Mas Said dan Sunan Paku Buwono III atas permintaannya sendiri, dengan saksi utusan Sultan Hamengkubuwono I dan pihak VOC Belanda. Raden Mas Said hengkang dari Keraton Kartasura karena keraton yang dipimpin oleh Paku Buwono II itu ia anggap telah mengkhianati rakyat, dengan membiarkan VOC Belanda ikut campur terlalu jauh dalam kekuasaan. Raden Mas Said beserta 18 abdi dalem setianya kemudian memilih bergabung dengan orang-orang Cina di bawah pimpinan Sunan Kuning atau R.M. Garendi, yang melakukan pemberontakan terhadap VOC Belanda dan kekuasaan Paku Buwono II.

Lebih dari 16 tahun Raden Mas Said bergerilya dan melanglang ke 111 desa yang ada di wilayah Gunung Kidul, Wonogiri, Sukoharjo, dan Karanganyar. Perlawanan dilakukan dan lebih dari 250 kali peperangan terjadi antara pasukan Raden Mas Said melawan pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Tiga di antaranya yang paling dahsyat adalah pertempuran melawan pasukan Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwono I di Desa Kasatriyan, sebelah barat daya Ponorogo, Jawa Timur, tahun 1752. Yang kedua, perang paling besar, terjadi pada tahun 1756, melawan dua detasemen VOC Belanda di bawah pimpinan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan Rembang, tepatnya di Hutan Sitakepyak, Jawa Tengah. Perang ketiga terbesar terjadi ketika Raden Mas Said dan pasukannya menyerbu Benteng Vre Deburg Belanda dan Keraton Yogya-Mataram. Perang ini terjadi pada tahun 1757.

Yang mengagumkan, seperti diakui VOC, Raden Mas Said atau kelak bergelar Mangkunegara I merupakan raja Jawa pertama yang melibatkan kaum perempuan sebagai bagian dari pasukan perangnya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa Baron van Hohendorff memuji kehebatan Raden Mas Said, yang dijuluki juga sebagai Pangeran Sambernyawa karena dianggap musuh-musuhnya sebagai ”sang penyebar maut”. ”Pangeran yang satu ini sudah sejak muda terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan, sehingga tidak mau dibujuk untuk bergabung dengan Belanda; dan keterampilan perangnya itu diperoleh selama pengembaraannya di daerah pedalaman,” kata Hohendorff, seperti dikutip dari buku acara.

Peperangan terpaksa diakhiri setelah Paku Buwono III mengajaknya untuk berunding, yang kemudian melahirkan Perjanjian Salatiga 1757. Dalam perjanjian ini disepakati, Raden Mas Said mendapatkan hak mendirikan dan memimpin sebuah istana dari sebuah kadipaten. Bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Sri Mangkunegoro I, Raden Mas Said lalu membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepi Kali Pepe, tempat yang ia pilih sendiri. ”Karena itu, lewat momentum 250 tahun Puro Mangkunegaran, kami ingin membangkitkan kembali spirit perjuangan Raden Mas Said yang luar biasa, agar bisa dipelajari oleh generasi sekarang dan seterusnya. Raden Mas Said itu seorang ahli perang, politisi, ekonom, agamawan, dan negarawan hebat,” ungkap Ir. Agus Haryo Sudarmodjo.

Dan, hampir sebagian besar adegan pertunjukan Adeging Praja Mangkunegaran pada malam itu diisi dengan penggambaran perjuangan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. ”Pementasan ini melibatkan sekitar 400 orang pemain, yang terdiri dari penari Soeryosumirat, dari Institut Seni Indonesia, Wayang Orang Sriwedari, Wayang Orang RRI, dan berbagai elemen masyarakat, termasuk masyarakat dari etnis Cina. Lewat penggarapan pementasan ini kami ingin meneruskan keteladan Raden Mas Said yang merangkul seluruh lapisan masyarakat serta ingin mengungkapkan bahwa pemimpin itu mestinya seperti itu dan harus didukung oleh rakyat,” ujar Daryono, sang sutradara. Konsep pergelarannya sendiri, tambah Daryono, adalah upaya memahami ruang yang ada di Puro Mangkunegaran, baik ruang secara fisik maupun ruang metafisika, seperti perjalanan sejarah, yang bersifat proses. ”Dari sana kami lalu memilih sudut-sudut pandang dan materi yang cocok untuk menggambarkannya,” kata pria yang pernah menyutradarai pertunjukan Mahakarya Borobudur ini.

Pertunjukan dibuka dengan adegan pemberontakan yang dilakukan laskar Cina yang dipimpin Sunan Kuning. Suasana kacau pun tercipta di halaman Puro Mangkunegaran. Setelah itu masuklah seorang lelaki gagah dengan segenap pasukannya dan kemudian bertempur dengan pasukan VOC Belanda, yang disokong oleh prajurit dari Bugis, Bali, dan Mataram. Pasukan Belanda kocar-kacir.

Adegan peperangan terus terjadi, sampai akhirnya berhenti ketika tiga orang laki-laki berdiri di tengah kolam. Rupanya, itulah visualisasi dari Perjanjian Salatiga. Sesudahnya muncul iringan-iringan dan penonton pun seakan tak percaya bahwa mereka melihat gajah berjalan perlahan di depan rombongan itu. “Dalam sejarahnya, gajah tak pernah digunakan oleh Raden Mas Said dalam perjuangannya. Gajah itu dipakai dalam pementasan ini sebagai simbolisasi dari keagungan dan kebesaran Raden Mas Said, yang sedang menjalani proses jumenengan, yang diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Sri Mangkunegoro I,” ungkap Daryono.

Pertunjukan lalu beralih ke pendapa. Tari bedaya digelar, diikuti dengan tari-tarian lain, seperti fragmen tari topeng dengan lakon Panji Sekartaji, tari langendriyan dengan cerita Menak Jingga Lena, dan pertunjukan wayang orang. Dari sana adegan bergeser kembali ke halaman sampai akhirnya masuk adegan nebu sauyun, yakni pembacaan maklumat oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara IX, yang kini memimpin Puro Mangkunegaran. Dalam maklumat itu ditekankan pentingnya kesatuan dari seluruh anak bangsa dan pernyataan mengenai eksistensi Mangkunegara. ”Inti dari adegan nebu sauyun itu adalah mengumpulkan seluruh trah yang ada di Mangkunegaran, yang notebene sampai sekarang masih suka kurang akur. Selain itu, maklumat ini juga dimaksudkan sebagai pernyataan bahwa Mangkunegaran tidaklah eksklusif,” kata Daryono.

Apa pun, pergelaran sedratari kolosol yang berlangsung sekitar dua setengah jam itu terasa sangat panjang dan cenderung membosankan. Terlalu banyak peristiwa yang ingin ditunjukkan dalam potongan-potongan adegan yang sulit diidentifikasi perbedaannya oleh penonton. ”Saya tidak bisa menikmati. Banyak sekali yang ditunjukkan. Tapi, memang mungkin maksudnya bukan untuk dinikmati, tapi untuk dilihat saja. Jadi, kalau kita mengharapakan suatu pertunjukan seni yang memuaskan, ya, mungkin tidak bisa. Khalayak kan datang ke sini untuk merayakan 250 tahun Mangkunegaran,” ujar budayawan Goenawan Mohamad.

Sementara itu, Guruh Soekarno Putra berpendapat, pertunjukan seperti itu bermanfaat untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia, khususnya kebudyaaan Jawa. ”Sayangnya, penataan tempat duduknya membut penonton kurang bisa menyaksikan pertunjukan dengan nyaman,” ungkap Guruh. (Pedje)

No comments:

Post a Comment