Wednesday, October 14, 2009

Solo yang Tak Terlupakan

















Sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, Solo atau Surakarta tentu saja menyimpan banyak hal untuk dipelajari dan dinikmati. Di antaranya adalah sentra-sentra batiknya.

Saya selalu kangen dengan Solo, Jawa Tengah. Karena itu, ketika ada penugasan untuk meliput Festival Bantik Nusantara di Solo pada akhir Juli 2007 lalu, dengan semangat saya menyatakan kesediaan saya. Karena, bagi saya pribadi, Solo adalah kota yang menenangkan, dengan beragam makanan enak yang relatif tak mahal dan gedung-gedung tua yang bertebaran di mana-mana, di segenap penjuru kota sampai ke pinggir-pinggirnya, dengan aristekturnya yang khas.

Di Solo, kita masih bisa menemukan berbagai bangunan tua dengan gaya seni Jawa, Eropa, India, art deco, art nouvou, Tionghoa, hingga Timur Tengah, yang sebagian besar telah mengalami percampuran dengan unsur-unsur kebudayaan setempat. Dan, tentu saja, yang tak bisa dilupakan dari Solo adalah batik. Inilah salah satu surga bagi para pecinta batik. Pusat-pusat batik di Solo antara lain berada di Perkampungan Batik Laweyan, Perkampungan Batik Kauman, Pasar Klewer, dan Pusat Grosir Solo. Dan, tentu saja ada museum batik di sana, salah satunya yang besar dengan koleksi yang relatif lengkap adalah Galeri Batik Kuno Danar Hadi. ”Koleksi seluruhnya ada lebih dari sepuluh ribu kain batik dan tujuh ratus di antaranya adalah kain batik kuno,” ungkap Asti Suryo Astuti, Asisten Manajer Galeri Batik Kuno Danar Hadi.

Saya menginap di daerah Kabangan, Laweyan, di rumah milik fashion designer Poppy Dharsono Puspokencono, yang merupakan bekas rumah seorang saudagar batik. Rumah ini telah berusia lebih dari 200 tahun, yang kemudian direnovasi pada tahun 1997 lampau. “Bung Karno dikabarkan pernah menginap di rumah ini,” ujar Poppy.

Dari daerah Kabangan, saya hanya perlu berjalan kaki untuk sampai ke kawasan Kampung Batik Laweyan. Namun, sebelum menjelajah masuk dari gang ke gang di perkampungan itu, saya mampir dulu ke sebuah bangunan indah di pinggir jalan, tepatnya di Jalan Dr. Rajiman No. 501, yang dijadikan tempat penginapan dan tempat makan dengan nama Roemahkoe Bed & Breakfast. Rumah yang dibangun pada tahun 1938 ini dengan gaya art deco ini dulunya adalah bekas rumah saudagar batik juga dan kini dimiliki oleh Krisnina Akbar Tandjung.

Kampung Batik Laweyan
Setelah puas melihat-lihat bangunan tua yang dirawat dengan baik itu dan mencicipi makanan yang dihidangkan, kami pun masuk ke Perkampungan Batik Laweyan lewat pintu belakang Roemahkoe. Atmosfer batik pun semakin terasa. Di hampir setiap gang di perkampungan ini ada bentangan kain batik di atasnya atau ditempelkan ke dinding.

Dalam perjalanan sejarah batik Nusantara, Laweyan memang tak bisa diabaikan, terutama pada akhir abad ke–19 hingga awal abad ke–20. Masa kejayaan Laweyan sendiri sebagai sentra industri batik setelah Proklamasi Kemerdekaan, menurut Koordinator Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan, Alpha Febela Priyatmono, terjadi pada tahun 1950-an sampai 1960-an. “Pada masa kejayaannya itu, hampir sembilan puluh persen penduduk Laweyan bekerja dalam industri batik,” ujar Alpha, yang juga salah seorang pemilik perusahaan batik Mahkota. Kini, tambah Alpha, di Laweyan hanya ada sekitar 40 pengusaha batik.

Industri batik di Laweyan memang pernah mengalami masa-masa sulit setelah ditemukannya teknik cetak kain dengan mesin, yang harga produknya lebih murah ketimbang baik. Satu per satu, seiring perjalanan waktu, hanya tinggal beberapa pengusaha batik yang bertahan di Laweyan. Untunglah kemudian ada upaya dari masyarakat Laweyan untuk menghidupkan kembali industri batik di kampungnya. Dan, pada tahun 2004 lalu, Pemerintah Kota Solo menetapkan Laweyan sebagai kawasan wisata budaya, sebagai perkampungan batik.

Karena begitu luasnya kawasan Laweyan, saya naik becak agar bisa lebih banyak mengunjungi pabrik dan toko batik di sana. Karena beroperasi di perkampungan batik, becak di sana pun dilukis dengan motif batik. Hampir di setiap gang ada toko penjual batik. Dan, di sini kita bisa menemukan berbagai corak dan jenis batik, mulai dari batik tulis, cap, hingga printing. Tentu saja ada yang sudah berupa pakaian jadi, mulai dari kemeja hingga daster. Juga ada berbagai pernak-pernik dari batik dan ada pula pabrik pemintal yang memproduksi selimut dengan motif modern.

Jangan heran bila Anda melihat banyak rumah tua berpagar tembok tinggi di Laweyan. Itulah rumah-rumah para saudagar batik atau bekas saudagar batik, peninggalan masa lampau. Mereka memang sengaja membuat pagar tembok setinggi tiga sampai lima meter agar proses pembuatan batik tidak diketahui kompetitornya sekaligus juga sebagai upaya “unjuk diri” kepada para bangsawan di Keraton Surakarta bahwa mereka pun bisa survive dan makmur seperti para bangsawan itu. Maklumlah, pada masa lampau, para perempuanlah yang berkuasa di Laweyan dan para perempuan saudagar batik yang biasa disebut sebagai mbok mase itu sangat membenci gaya hidup sebagian besar pria bangsawan Keraton Surakarta yang senang berpoligami.

Di balik tembok-tembok tinggi itu terdapat bangunan megah dengan arsitektur yang umumnya perpaduan arsitektur Eropa dan Jawa, seperti rumah Poppy Dharsono yang saya inapi dan Roemahkoe itu. Di Jalan Sidoluhur No. 18, Laweyan, juga ada bangunan megah bergaya art nouvou bekas rumah saudagar batik Tjokro Soemarto, yang masih dirawat dengan baik oleh keturunannya. Rumah seluas 1.800 meter persegi yang berdiri di lahan 3.000 meter persegi ini dibangun pada tahun 1915 dan merupakan tempat bersejarah karena pernah dijadikan tempat perundingan gerilyawan Republik Indonesia dan tentara Belanda pada 12 November 1949. “Sekarang, rumah ini kami buka untuk umum, sementara rumah yang ada di belakang rumah ini, yang bergaya art deco, kami sewakan untuk berbagai keperluan,” kata Harry Hadi, cicit Tjokro Soemarto.

Selain sebagai kawasan industri batik, Laweyan memang tempat bersejarah. Di sinilah tempat berdirinya Sarekat Dagang Islam yang dipelori oleh K.H. Samanhudi. Juga ada masjid tua, Masjid Laweyan, yang dibangun pada tahun 1546 dan terletak di seberang Sungai Kabanaran. Di belakang masjid ini ada makam Kiai Ageng Ngenis, keturunan Brawijaya V, yang menurunkan raja-raja Mataram.

Kampung Wisata Batik Kauman
Tak seperti Laweyan yang berada di pinggir Kota Solo, Kampung Kauman terletak di tengah Kota Solo, tepatnya di sisi barat depan Keraton Kasunanan. Pada awalnya, kampung ini untuk tempat tinggal ulama keraton dan keluarganya. Tak mengherankan jika nama-nama gang di Kampung Kauman sampai sekarang banyak menggunakan istilah-istilah yang biasa dipergunakan kaum muslim Jawa, misalnya Pengulon (dari kata penghulu keraton/masjid agung), Trayeman, Sememen, Kinongan, Modinan, dan Gontoran. Belakangan, di kampung ini tumbuh industri batik, yang kemudian tumbuh besar menyaingi kebesaran Laweyan. Dan, karena dekat dengan keraton, batik Kauman umumnya sangat kental dipengaruhi oleh corak batik bangsawan keraton. Kini ada sekitar 20 pabrik dan toko batik di Kauman, yang menyajikan berbagai jenis batik dan barang-barang yang lain yang berhubungan dengan batik.

Pasar Klewer
Pusat batik di Solo yang letaknya dekat juga dengan keraton adalah Pasar Klewer. Pasar ini merupakan pusat aktivitas bagi sebagian besar warga Solo. Pasar ini didominasi oleh para pedagang tekstil, khususnya batik. Selain itu ada pedagang pernak-pernik perhiasan dan banyak pula pedagang makanan khas Solo. Ada lebih dari 1.000 pedagang yang mengais rezeki di dalam pasar yang dibangun pada tahun 1970 ini.

Galeri Batik Kuno Danar Hadi
Kalau Anda ke Solo, jangan lupa mampir ke Galeri Batik Kuno Danar Hadi yang terletak di Jalan Slamet Riyadi No. 261. Di tempat ini, Anda dijamin akan puas melihat koleksi batiknya yang mencapai lebih dari 10.000 jenis dan 700 di antaranya adalah batik kuno yang telah berusia ratusan tahun. Koleksi batiknya mulai dari batik klasik dari Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, Puro Pakualaman, batik Belanda, batik Cina, batik Djawa Hokokai, batik Jambi, sampai batik Indonesia. “Batik Indonesia adalah gagasan Bung Karno. Batik ini memadukan ragam hias pola batik keraton dengan teknik pewarnaan pesisiran yang menerapkan warna-warna cerah khas pesisiran, yang mulai dibuat sekitar tahun 1950. Seniman dan pengusaha batik yang berperan dalam perkembangan batik Indonesia adalah Bapak K.P.T. Hardjonagaro, Ibu Bintang Soedibyo, dan Bapak M.D. Hadi,” kata Asti Suryo Astuti, Asisten Manajer Galeri Batik Kuno Danar Hadi. Hingga kini, tambah Asty, batik Indonesia tetap hadir dan merupakan wajah batik masa kini.

Selain melihat koleksi batiknya, pengunjung Galeri Batik Kuno Danar Hadi juga dapat melihat para pengrajin batik, tulis dan cap, yang sedang bekerja membuat batik. Di galeri ini kerap digelar pertunjukan kesenian tradisional Jawa Tengah dan sekitarnya serta pertunjukan-pertunjukan seni lainnya. Jangan khawatir, di sini pun Anda bisa berbelanja produk-produk batik Danar Hadi yang eksklusif dan bermutu, berikut bermacam souvenir khas Solo dan sekitarnya. (Pedje)

No comments:

Post a Comment