Saturday, October 3, 2009

Membicarakan Kekasih yang Tersembunyi

Diskusi seru berlangsung dalam acara eve Book Club bulan lalu. Yang dibahas karya seorang perempuan warga negara Prancis, yang merupakan tafsir bebas bernas atas mahakarya kesusastraan Jawa, Serat Centhini.


Pada mulanya adalah pesona, yang muncul dari sebuah kitab tua, yang ditulis pada tahun 1802 dan baru selesai tahun 1810. Kitab itu kemudian dikenal sebagai Serat Centhini. Dan, yang terpesona adalah seorang perempuan mantan jurnalis warga negara Prancis, Elizabeth D. Inandiak.

Maka, Elizabeth pun membuat tafsir atas karya yang dianggap sebagai kitab sakral bagi sebagian orang Jawa dan oleh sebagian orang Jawa yang lain dianggap sebagai karya cabul, sebuah buku berjudul Centhini: Les Chants de Lile a` Dormir Debout, Le Livre de Centhini yang terbit tahun 2003. Dan, pada tahun 2004, karya Elizabeth setebal 500 halaman tersebut mendapat penghargaan dari Association Des Ecrivains De Langue Francoise, sebagai buku Asia terbaik yang ditulis dalam bahasa Prancis sepanjang tahun 2003. Buku Elizabeth ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Babad Alas pada tahun 2008 lalu dengan judul Centhini: Kekasih yang Tersembunyi.

Aslinya, kitab yang oleh banyak ahli disebut sebagai ensiklopedi Jawa ini terdiri dari 12 jilid dan ditulis menggunakan aksara Jawa dengan tinta kuning emas. Ada 4.200 halaman dalam cetakan aslinya, yang berisi 722 tembang dengan 2.000 bait. Sampai sekarang belum ada terjemahan seluruh kitab itu dalam bahasa Indonesia, meski sejak beberapa puluh tahun lalu telah diupayakan. Boleh dibilang, buku Elizabeth D. Inandiak tersebut adalah "gaya bebas" dari Chentini. Karena, Elizabeth D. Inandiak bukan sekadar menerjemahkan, tapi mencoba "menceritakan kembali" karya besar itu tanpa merusak inti sari cerita. Ia menyadur dan bahkan menambahkan potongan karya sastra lain dalam bukunya itu. Kita pun dapat menemukan potongan puisi Victor Hugo dan Baudelaire serta kutipan ajaran sufi Islam Ibn Arabi, al-Jili, dan Jalalludin Rumi dalam buku Centhini: Kekasih yang Tersembunyi.

Bulan lalu, tepatnya tanggal 3 Juni 2009, bertempat di Magenta Asian Cuisine, Jalan Wijaya IX/16, Jakarta Selatan, eve Book Club membahas buku karya Elizabeth D. Inandiak tersebut. Tentu saja, kami juga menghadirkan Elizabeth, yang datang dari Yogyakarta. Diskusi buku kali ini juga menjadi istimewa karena dihadiri juga oleh seorang ahli javanologi yang juga guru besar di Universitas Indonesia, Prof. Dr. Budya Pradipta. Adapun yang menjadi moderatornya adalah Syahmedi Dean, yang dapat membawa acara diskusi dengan renyah meski subyek pembicaraannya terbilang berat.

Belum lagi Elizabeth bercerita mengenai proses kreatifnya dalam menulis buku itu, Atika, seorang finalis Face of eve yang rajin ikut acara eve Book Club, mengatakan, “Your book is amazing!” Dan, seperti pertanyaan yang juga ada dalam benak banyak peserta diskusi, Atika pun menanyakan mengapa Elizabeth yang warga negara Prancis memilih untuk mengupas budaya Jawa dan menuliskannya menjadi sebuah karya yang indah, yang bahkan terjemahannya dalam bahasa Indonesia pun begitu indah.

“Sebenarnya bukan saya yang memilih Jawa, tapi Jawa yang memilih saya,” ujar Elizabeth sambil tertawa. “Itu benar, saya hanya mengikuti arus dari sungai kehidupan.”

Pertama kali datang ke Indonesia, tahun 1988, Elizabeth datang ke Pulau Jawa, karena ditugaskan untuk menulis artikel tentang hubungan antara kejawen dan Islam. Ketika itulah ia mulai mengenal Centhini lewat berbagai pembicaraan dan kemudian dapat membaca ringkasan Serat Centhini, yang akhirnya mendorong dirinya untuk melakukan perjalanan spiritual yang panjang dalam menekuni kebudayaan Jawa, walau ia tidak bisa berbahasa Jawa.

Profesor Budya Pradipta sendiri tidak dapat menyembunyikan kekagumannya kepada kegigihan dan kecintaan Elizabeth D. Inandiak. Karena, menurut dia, karya-karya seni dan sastra budaya Jawa merupakan karya yang kompleks dan excellent. “Ada banyak sekali karya sastra yang berasal dari Pulau Jawa, lebih dari 10.000 judul tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Belum lagi di keraton-keraton atau di perpustakaan daerah dan di luar negeri,” ungkapnya.

Lebih jauh, Profesor Budya Pradipta mengatakan bahwa Centhini dipercaya dibuat untuk mengimbangi epos Ramayana atau Mahabharata, yang ditulis oleh orang India dan memiliki pengaruh yang dalam pada kehidupan orang Jawa. Dalam kedua epos itu biasanya tokoh yang menjadi pesuruhnya adalah laki-laki, seperti Petruk dan Gareng. Sementara itu, dalam Serat Centhini, pembantu atau pesuruhnya adalah perempuan—ya, Centhini itu.

Masalahnya, kata seorang peserta diskusi, mengapa Centhini yang dijadikan tokoh sentral? “Apakah memang sudah dari dulu, perempuan menjadi subyek yang dapat menarik perhatian dalam segala hal?” ujar Dean sang moderator menambahkan.

Sebenarnya, ungkap Elizabeth, tokoh utama dalam serat itu adalah laki-laki, Amongraga. Aslinya, kitab suluk ini berjudul Suluk Tembang Raras. Tembang Raras itu adalah majikan Centhini, istri dari Amongraga.

Alkisah, Amongraga adalah seorang anak Sultan Giri Prapen, yang bernama asli Jayengresmi. Ketika kerajaannya diserbu oleh Sultan Agung dan pasukannya, Jayengresmi beserta saudara-saudaranya melarikan diri dan kemudian berpencar ke seluruh Pulau Jawa, agar tak terlacak oleh pasukan telik sandi Sultan Agung. Jayengresmi sendiri lari ke Mojokerto, lalu ke Blitar, dan seterusnya sampai ke tanah Pasundan. Di setiap tempat persinggahannya, ia banyak menimba ilmu dari para kiai dari pertapa, sampai akhirnya ia mengubah nama menjadi Seh Amongraga dan menikah dengan Tembang Raras, putri ulama Ki Bayi Panurtam yang tinggal di Majalengka.

Dalam serat tersebut, Centhini hanya muncul sesekali, terutama dalam adegan malam pengantin Amongraga dan Tembang Raras. Ketika majikannya itu berhubungan intim, Centhini setia menjaga di luar dan tak memejamkan mata sampai fajar menjelang. Ia pun dengan saksama mendengarkan wejangan Amongraga soal hubungan ruh dan tubuh.

Sampai sekarang, menurut Elizabeth, masih merupakan misteri kapan sebenarnya judul tersebut berubah menjadi Serat Centhini. Namun, bagi Elizabeth sendiri, pemberian judul Centhini pada bukunya bukan tanpa maksud. Elizabeth memahami peran perempuan zaman itu sebagai sesuatu yang sangat mistik. “Mengamati agama atau budaya kuno, perempuan merupakan rahim yang mengandung semua yang mengembara di dalamnya,” demikian tertulis di sampul bukunya. Bagi Elizabeth, itu merupakan esensi dalam keseluruhan cerita di Serat Centhini: perempuan hanya diam dan laki-laki mengembara di dalam dirinya. Namun, beberapa abad setelah itu, pengertian itu dimanipulasi, seakan-akan laki-lakilah yang memiliki kekuatan dahsyat rahim yang sebenarnya dimiliki perempuan. Dan, Centhini membawa kembali pesan orisinal tersebut.

Dalam kesempatan ini, Profesor Budya Pradipta juga berkenan membagi ilmunya tentang kebudayaan Jawa. Menurut dia, kalau kita bicara soal kebudayaan Jawa, kita tidak bisa lepas dari tiga komponen, yaitu Jawa, Islam, dan Kejawen. “Jawa berpikir secara kultural, Islam secara religius, dan Kejawen berpikir dengan keduanya. Kejawen sering dianggap sebagai perpaduan antara Jawa-Islam. Contohnya cara pandang mengenai seks. Di Jawa, ‘tidur’ dengan perempuan yang bukan istrinya merupakan hal biasa dan tidak terlalu tabu, sepanjang suka sama suka. Namun, ini sungguh bertentangan dengan ajaran agama Islam dan seluruh agama pada umumnya,” ungkap sang profesor.

Mendengar itu, Atika langsung berkomentar. “Berarti orang Jawa punya split personality dong, Pak? Separo berkata tidak boleh melakukan seks bebas, separo lagi mengizinkan dan menghalalkannya,” katanya.

Komentar itu ditanggapi oleh Profesor Dr. Budya Pradipta dengan sedikit bergurau, yang membuat para peserta diskusi tertawa. “Ya, bisa saja. Saya sendiri juga suka geleng-geleng kepala,” ujar Profesor Budya Pradipta. Namun, sang profesor percaya, ketakwaan dan kebaikan seorang manusia lebih penting dibanding cara mereka menahan nafsu berahinya.

Diskusi buku kali ini memang tak kalah serunya dengan diskusi yang diselenggarakan eve Book Club sebelumnya. Sampai-sampai, tak terasa bila di luar hari telah menjadi gelap karena malam telah datang. Akhirnya diskusi kali ini pun ditutup dengan memberi hadiah kepada tiga penanya yang membuat suasana diskusi menjadi hidup. Mereka masing-masing mendapat bingkisan dari Madame Korner. Begitu pula Elizabeth D. Inandiak, mendapat bingkisan yang sama. Akan halnya seluruh peserta diskusi mendapat voucher dari Madame Korner dan Magenta Asian Cuisine, masing-masing senilai Rp100 ribu—selain tentunya buku Centhini: Kekasih yang Tersembunyi dari penerbit Babad Alas dan hidangan yang lezat dari Magenta selama diskusi berlangsung.

Yang tak juga dilewatkan oleh peserta diskusi adalah “acara” meminta tanda tangan dari sang penulis buku. Dan, yang membuat setiap peserta diskusi ini bertambah gembira dan merasa spesial, Elizabeth bukan sekadar memberi tanda tangan, tapi juga membubuhkan kata-kata personal yang berbeda untuk masing-masing pemilik buku. Benar-benar tak terlupakan! (Pedje/Laporan Hessy A. Kameron)

No comments:

Post a Comment