Friday, October 30, 2009

Bincang Santai dengan Mark Eley

eve dan Brirish Council memfasilitasi beberapa fashion designer terkemuka Indonesia untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan fashion designer, textile designer, graphic designer, dan interior designer Mark Eley, yang bersama Wakako Kishimoto mendirikan rumah desain Eley Kishimoto.


”Mark Eley adalah salah seorang pemain penting dalam industri kreatif di dunia internasional, terutama di Eropa. Karena itu, begitu diberitahu dia akan datang ke Jakarta atas undangan British Council, eve tak menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Eve pun langsung mengontak British Council, meminta diberi kesempatan mengundang Mark Eley untuk berbincang-bincang satu-dua jam dengan para fashion designer di Indonesia. Siapa tahu perbincangan itu mendatangkan inspirasi bagi fashion designer Indonesia,” ujar Amy D. Wirabudi, Editor in Chief eve Indonesia.

Maka, di Jumat sore 20 April lalu, beberapa fashion designer terkemuka Indonesia berkumpul di Hotel Mulia, Jakarta. Mereka tampak antusias berbincang dan bertukar pikiran dengan Mark Eley. Hadir dalam acara yang dipandu oleh fashion designer Era Soekamto itu antara lain fashion designer Poppy Dharsono, Musa Widyatmodjo, Samuel Wattimena, Denny Wirawan, Didi Budiharjo, Taruna, dan Sekretaris Eksekutif Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia E.G. Ismy.

Mark Eley sendiri adalah sarjana fashion dan tenun lulusan Brighton Polytechnic. Di bawah bendera Eley Kishimoto, karya-karyanya banyak dipesan oleh desainer internasional, antara lain Marc Jacobs, Louis Vuitton, Joe Casely-Hayford, Hussein Chalayan, dan Alexander McQueen. “Saya dan Wakako Kishimoto memulainya dari nol. Kendati Eley Kishimoto kini sudah banyak dikenal, kami tak bermaksud menjadikannya besar, karena kami selalu ingin melayani klien kami secara lebih personal,” ungkap Eley. Pria kelahiran Bridgend, Wales, pada tahun 1968 ini mengaku harus bekerja keras untuk membangun reputasi Eley Kishimoto. “Kami juga sempat mengalami kesulitan finansial dalam membangun usaha ini,” tutur pria berkumis gondrong itu dengan nada lembut.

Namun, menurut Taruna dalam acara bincang-bincang santai tersebut, Eley Kishimoto bisa survive di dunia internasional karena industri kreatif di negaranya sudah maju. Saat ini saja, tambah Taruna, industri kreatif di Inggris telah menjadi sektor kedua terbesar setelah jasa perbankan (finansial), dengan menyerap sekitar dua juta tenaga kerja. “Biarpun Eley Kishimoto bisa survive tanpa dukungan langsung dari pemerintah Inggris, pemerintah di sana mendukung lewat berbagai cara, antara lain lewat peraturan-peraturan yang jelas dan melindungi industri kreatif mereka. Selain itu, banyak perusahaan lain yang juga tertarik dan memanfaatkan kreativitas para desainer itu,” ungkap Taruna.

Tidak demikian halnya dengan Indonesia. Menurut Taruna, industri fashion di Indonesia kurang mendapat dukungan dari pemerintah dan sering mendapat perlakuan diskriminatif dari banyak pihak. “Misalnya, banyak department store lebih menyukai menampilkan brand internasional dan tak memberi ruang bagi karya-karya desainer Indonesia. Medianya pun begitu, kurang sekali memberi ruang bagi karya-karya fashion designer dalam negeri. Pemerintah juga tidak banyak membantu, sehingga yang kecil tetap menjadi kecil dan yang besar semakin besar. Ada memang program-program yang dibuat pemerintah sebagai upaya memajukan dunia fashion, tapi kebanyakan program-program itu berjalan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi,” kata Taruna K. Kusmayadi, yang juga Ketua Umum Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI).

Hal senada juga diungkapkan Didi Budiharjo seusai acara bincang-bincang itu. “Pemerintah kita memang kurang memberi dukungan, sehingga agak sulit bagi fashion designer kita untuk melangkah ke dunia internasional. Padahal, fashion designer Indonesia bisa dikatakan lebih maju ketimbang rekan-rekan mereka dari negara-negara Asia yang lain, kecuali Jepang. Contohnya, beberapa kali saya ikut dalam Hong Kong Fashion Week, media massa di sana selalu memberi tanggapan yang sangat positif terhadap karya-karya fashion designer dari Indonesia. Masalahnya, menurut saya, fashion designer Indonesia kurang promosi di dunia internasional. Selain itu, untuk memulai bisnis ini di dunia internasional tidak mudah, karena ada berbagai izin yang harus diurus, sehingga dapat menjadi hambatan bagi fashion designer kita. Mestinya, pemerintah ikut membantu dalam hal ini. Dulu, Badan Pengembangan Ekspor Nasional pernah melakukan upaya untuk membantu, tapi sekarang tidak jalan,” papar Didi. Untuk pasar dalam negeri, menurut Didi, bisa dikatakan fashion kita sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kecuali untuk pakaian yang ready to wear.

“Pemerintah kita sebenarnya peduli,” kata E.G. Ismy, “tapi ya sebatas peduli, enggak ada aksinya. Produk kita susah bersaing di kancah internasional antara lain karena tak adanya kepastian-kepastian dalam banyak hal. Dalam urusan energi saja, misalnya, kenaikan harga BBM bisa terjadi dua kali dalam setahun. Belum lagi masalah dalam urusan pendanaan, buruh, dan infrastruktur,” tutur Ismy.

Toh, dalam acara bincang-bincang itu, Poppy Dharsono lebih setuju dengan cara yang dilakukan oleh Mark Eley dengan Eley Kishimoto-nya. “Desainer memang harus mampu membuat brand image sendiri,” ujar Poppy. Karena, kalau brand image seorang desainer sudah dikenal, desainer itu dapat mencari pasar sendiri. “Karena, orang sudah tahu reputasi kita. Mungkin tidak semua produk bisa menguntungkan, tapi brand-nya bisa mendatangkan keuntungan. Contohnya Channel. Produk yang menguntungkannya justru tas dan sepatu,” kata Poppy. Jadi, tambah Poppy, brand image memang harus dibangun. “Caranya antara lain dengan menggelar fashion show setiap tahun, membuat produk below the line, dan berhubungan dengan media,” tuturnya.

Samuel Wattimena pun mengungkapkan hal serupa. “Persoalan di Inggris dan di sini sebenarnya hampir sama. Desainer memang seharusnya dapat survive sendiri. Untuk meluaskan pasar ke negara-negara lain, desainer harus proaktif sendiri. Kita yang di Indonesia harus realistislah. Urusan pemerintah kita kan banyak dan orientasinya lebih ke masalah-masalah lain, jadi mestinya industri fashion harus siap sendiri. Kita harus menjemput bola untuk bisa menjadi pemain internasional,” ujar Samuel.

Soal adanya perlakuan diskriminatif dari banyak pihak terhadap fashion designer Indonesia, Samuel tidak melihat hal tersebut. ”Persoalannya bukan diskriminasi, tapi keberpihakan mereka memang bukan di situ. Mereka melihat pada nilai ekonomisnya dan, seperti dikatakan Mark Eley, ini persoalan global, bukan hanya di Indonesia,” ungkap Samuel.

Mark Eley sendiri menganjurkan agar fashion designer Indonesia menjadi pemain global. “Apalagi, di Indonesia ini banyak sekali orang yang kreatif,” katanya. Bisakah kita? Bisa! (Pedje)

No comments:

Post a Comment