Monday, October 26, 2009

Perempuan Langka di Jagat Raya

Menurut hasil riset Institut Statistik Unesco yang berbasis di Montreal, Kanada, sedikit sekali perempuan di dunia ini yang menekuni riset ilmiah, termasuk di negara-negara maju. Dan, inilah empat perempuan dari yang sedikit itu, yang semuanya berasal dari Indonesia.


Wiratni, S.T., M.T., Ph.D.
“Saya Ingin Memahami Alam dengan Sebaik-baiknya”
Usianya belum lagi genap 35 tahun. Namun, beberapa waktu lalu, perempuan yang meraih gelar doktor dari Chemical Engineering Department West Virginia University, Amerika Serikat, ini meraih penghargaan L’Oreal Indonesia Fellowship for Women in Science 2007, yang didukung oleh Unesco, untuk bidang material science. Penelitiannya tentang polimer alami berbasis sumber-sumber daya alam terbarukan, yang dikenal dengan istilah biopolimer. “Sebetulnya bidang saya ini campuran antara material science karena saya mempelajari polimer dan life science karena polimer saya itu diproduksi oleh sejenis bakteri. Tapi, fokus saya lebih ke materialnya, polimernya, bukan bakterinya, karena kompetensi saya dengan latar belakang teknik kimia adalah pada bidang material itu,” ujar dosen di Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, ini.

Ia tertarik meneliti biopolimer karena polimer sintetis atau plastik telah menjadi salah satu sumber masalah pelik bagi manusia. ”Polimer sintetis, plastik, merupakan salah satu penemuan terbesar dalam sejarah peradaban manusia karena terbukti polimer telah menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari bungkus makanan sampai komponen mobil. Walaupun begitu, plastik merupakan salah satu sumber masalah pelik bagi manusia. Di awal abad ke-21 ini mulai terasa beban lingkungan akibat penumpukan sampah-sampah plastik, terutama karena bahan ini resisten terhadap degradasi oleh mikroorganisme di alam,” urai ibu dari seorang putri berusia delapan tahun ini.

Wiratni pun lalu meneliti salah satu biopolimer yang paling menjanjikan, yakni polihidroksi butirat (PHB). “Biopolimer ini diproduksi di dalam sel oleh banyak bakteri yang dapat tumbuh pada jenis-jenis bahan yang sangat bervariasi, dari glukosa murni sampai limbah industri,” ungkap istri dari Budhijanto, Ph.D. ini. Menurut dia, PHB bukan saja potensial menggantikan plastik sintetis yang berbasis pada minyak bumi, tapi juga bersifat ramah lingkungan dan biocompatible.

Sejak kecil, Wiratni memang sudah akrab dengan dunia sains. Ayahnya, Sugiharto, adalah seorang insinyur mesin, dan ibunya, Sri Suryani, insinyur kimia. ”Orang tua saya selalu membantu mencarikan jawaban atas semua pertanyaan ’mengapa’ yang saya ajukan. Kalau mereka tidak tahu, mereka belikan bukunya. Saat saya di SD, ayah saya membelikan satu set buku Khasanah Pengetahuan bagi Anak-Anak, buku ilmu pengetahuan dengan banyak foto yang sangat menarik bagi anak seusia saya waktu itu. Kegemaran saya pada kimia dan matematika akhirnya membawa saya ke Jurusan Teknik Kimia UGM. Di sana pertama kali saya mengenal makna ’riset’ dan selanjutnya sangat menikmati aktivitas saya di laboratorium. Motivasi terjun ke dunia sains adalah karena alam ini begitu besar dan begitu banyak hal yang disediakannya untuk manusia. Saya ingin memahami alam dengan sebaik-baiknya, sehingga bisa menyelaraskan secara bijaksana, apa yang dibutuhkan manusia dengan apa yang disediakan oleh alam,” tuturnya penuh semangat.

Kendati demikian, sebagai orang tua, Wiratni mengaku tidak secara khusus mengarahkan anaknya untuk mengikuti jejaknya di bidang sains. ”Suami saya juga dosen dan peneliti di Jurusan Teknik Kimia UGM. Namun, kami membiarkan anak kami menikmati hal-hal yang ia senangi. Sekarang dia sedang senang belajar menari dan main biola. Kalau ditanya apa cita-citanya, dia bilang, ’Jadi kasir.’ Dalam hal pengembangan kecerdasannya, kami memang tidak pernah mengindoktrinasi dia bahwa dia harus menyukai sains seperti kami berdua. Walaupun demikian, pada berbagai kesempatan, kami tunjukkan apa guna sains untuk kehidupan sehari-hari. Kami juga berusaha menjawab semua pertanyaannya secara ilmiah, dalam bahasa yang sesuai dengan usianya. Kami sangat menikmati pertanyaan-pertanyaan orisinal dari Kiki, anak kami. Misalnya dia pernah bertanya, ’Kalau seorang ibu melahirkan dengan bedah caesar, dia kan dibius. Kok, bayinya waktu lahir bisa nangis, tidak ikut terbius?’ Dia juga pernah bertanya, ’Kenapa sabun mandiku warnanya hijau tapi, kok, busanya berwarna putih?’ Kami juga sangat mendorong Kiki untuk menulis, karena kami yakin menulis dapat meningkatkan kemampuan berbahasa dan salah satu modal utama seseorang untuk sukses di berbagai bidang adalah kemampuan bahasa. Saat dia gembira sekali atau jengkel sekali, dia akan menuliskan perasaan-perasaannya di mana pun, sembarang sobekan kertas,” ujar peraih Study Award dari Asia Rice USA Foundation untuk preliminary research dalam bidang pemanfaatan cyanobacteria untuk biofertilizer di sawah basah ini.

Dr. Munti Yuhana, S.Pi., M.Si.
“Penelitian Adalah Salah Satu Cara untuk Menghargai Kekayaan Hayati“
Perempuan yang satu ini sangat rendah hati. Meski gelar akademisnya sudah berderet dan aktivitasnya di bidang ilmu pengetahuan sudah layak diacungkan jempol, dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB) ini merasa belum pantas menyandang sebutan ilmuwan. “Apakah saya sudah pantas disebut ilmuwan? Rasanya, saya baru menapak kaki menuju arah itu,“ kata satu dari dua pemenang L’Oreal Indonesia Fellowship for Women in Science 2007 yang didukung Unesco untuk bidang life science ini.

Dalam ajang bergengsi tersebut, Munti mengajukan penelitian yang berjudul “Eksplorasi Keragaman Komunitas Mikroba dalam Microbial Flocs untuk Upaya Peningkatan Produktivitas pada Tambak Udang Intensif“. “Penelitian saya ini berupaya untuk mengungkapkan kekayaan alam hayati Indonesia, khususnya keragaman mikroba yang memang selama ini belum banyak terungkapkan, yang saya sebut sebagai the hidden world. Tujuan utama penelitian ini untuk mengetahui keragaman populasi mikroba, baik berupa prokaryotik (bakteri, archaea) maupun eukaryotik (alga, diatom, invertabrata mikroskopis), dari sampel microbial flocs yang akan diisolasi dari salah satu tambak udang intensif di Lampung,“ ujar doktor lulusan Department of Microbiology, Institute of Plant Biology, University of Zuerich, Swiss, yang lahir di Pacitan, Jawa Timur, pada 20 Desember 1969 ini.

Perempuan lajang ini mengaku, yang menjadi sumber inspirasinya selama ini adalah kedua orangnya, yang kini telah wafat. “Beliau berdua adalah guru SD semasa hidupnya dan selalu mendorong kami untuk belajar sampai akhir hayat. Yang juga berjasa dalam memuluskan jalan saya menuju dunia sains adalah guru-guru saya, mulai dari SD sampai S-3. Sementara itu, yang mengenalkan dan menginspirasi saya untuk mencintai dunia mikrobiologi yang luar biasa indahnya adalah Prof. Dr. Antonius Suwanto dari IPB,“ ungkap perempuan yang hobi memetik gitar dan menabuh gamelan ini.

Ia memang lebih menyukai life science ketimbang material science. “Karena, saya sejak SMP sudah meyenangi hal-hal yang berbau biologi daripada fisik, material science, sebab bersentuhan langsung dengan sesuatu yang hidup. Tapi, bukan berarti saya tidak menyenangi bidang ilmu fisik. Sampai saat ini, mata pelajaran yang paling saya sukai adalah matematika, kemudian kimia, dan baru biologi/fisika. Saya tidak terjun menekuni secara khusus matematika, tapi subyek ini yang akan terus menjadi way of thinking saya untuk menekuni bidang life science,“ ujar perempuan yang sering diundang sebagai pembicara seminar ilmiah di berbagai negara ini. Bagi Munti, misteri alam ini sangat luar biasa. Potensi kekayaan alam hayati kita belum tergali secara optimal. “Dan, penelitian adalah salah satu cara untuk menghargai kekayaan hayati dan menguak sedikit demi sedikit dari misteri alam itu. Dengan cara demikian kita akan semakin bijak menghargai alam,“ tuturnya.

Dr. Uun Yanuhar, S.Pi., M.Si.
“Saya Suka Mempelajari Sesuatu yang Tak Kasat Mata“
Inilah perempuan yang juga meraih L’Oreal Indonesia Fellowship for Women in Science 2007 yang didukung Unesco untuk bidang life science. Lahir di Surabaya, pada 4 April 1973, Uun menyelesaikan pendidikan S-1, S-2, dan S-3 di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, yang kesemuanya ditopang oleh beasiswa. Gelar doktornya di bidang ilmu kedokteran kekhususan biomedis. Kini, selain mengajar dan meneliti, Uun juga menjabat Ketua Laboratorium IIP & Bioteknologi Kelautan di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. “Orang-orang yang berjasa dalam perjalanan karir saya sebagai seorang ilmuwan adalah ayah saya, eyang putri saya, suami saya, kakak saya, ibu saya, serta tokoh-tokoh besar yang mendorong saya untuk belajar dan mengikuti jejak beliau, seperti Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, yang merupakan tokoh pertama yang saya kenal sejak saya mengikuti olimpiade matematika di ITS Surabaya ketika saya masih duduk di bangku SMA, kemudian Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie dan Prof. Dr. Pratiwi Sudarmono,“ kata ibu dari Aisha Surya Ananda ini.

Penelitiannya yang memenangkan penghargaan dari L’Oreal Indonesia dan Unesco tersebut berjudul lumayan panjang: “Ekspresi Peptida-Peptida Reseptor Ikan Kerapu yang Mengenali Antigen Viral Nervous Necrosis untuk Pengembangan Antiviral sebagai Upaya Pembuatan Starter Bibit Unggul". “Pada intinya, dalam penelitian itu saya ingin mengupayakan ikan yang tidak mudah terserang penyakit yang saat ini mematikan, untuk industri budi daya ikan kerapu yang diketahui berharga mahal dan jadi produk ekspor. Manfaatnya ke depan, penemuan itu bisa bermanfaat untuk petani pembudidaya ikan kerapu. Kalau ikan ini harganya murah, pertumbuhannnya cepat, bisa produksi banyak, dan mudah pemeliharaannya, bisa dipasarkan di dalam negeri. Karena, selama ini, ikan kerapu dalam kondisi hidup hanya untuk pangsa ekspor,“ ujar perempuan yang suka mencoba bermacam resep masakan kala punya waktu senggang ini.

Life science menjadi pilihannya karena Uun, seperti ia akui sendiri, memang pada dasarnya suka mempelajari sesuatu yang hidup dan penuh fenomena teka-teki yang perlu dipecahkan. “Terutama mempelajari sesuatu yang tak tampak, tak kasat mata, seperti sel, bakteri, atau virus, yang semuanya bernyawa dan dapat berinteraksi dengan jiwa dan perasaan kita. Meski tidak kelihatan oleh mata kita secara langsung, mereka ada dan banyak memberikan informasi yang bermanfaat untuk kita kembangkan,“ tutur istri dari Heru Suryanto, S.T., M.T. ini.

Selain itu, tambahnya, dirinya punya keinginan kuat untuk menekuni bidang sains justru karena ia merasa banyak hal yang belum ia ketahui. “Jadinya, saya ingin tahu lebih jauh. Karena, menurut saya, sebenarnya segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan ada maksud dan tujuannya, untuk dimanfaatkan manusia di muka bumi ini,“ papar putri seorang tentara ini.

Kepercayaannya kepada Tuhan juga yang membuat Uun tak pernah menyerah ketika menemui kegagalan dalam proses penelitiannya. “Kalau menemui kesulitan dan kegagalan, saya sabar saja dan tetap berdoa agar diberi jalan keluar oleh Tuhan. Alhamdulillah, dengan cara ini saya bisa bangkit kembali untuk memecahkan fenomena apa yang sebenarnya terjadi,“ kata penggemar warna biru dan putih ini.

Stella Shirley Mansur, S.Ked.
“Dunia Sains Merangsang Saya untuk Tahu Lebih Banyak“
Beberapa bulan lalu, pada tahun 2007 ini, Stella baru saja pulang dari Belanda. Ia menjadi salah seorang mahasiswa kedokteran Indonesia yang dikirim ke negeri itu untuk melakukan riset mengenai kultur jaringan, terutama yang berhubungan dengan kanker leher rahim. “Di sana, saya juga mempelajari cara mencegah kanker leher rahim dengan vaksinasi. Karena, kanker leher rahim kan disebabkan oleh infeksi,“ ujar perempuan kelahiran Surabaya pada 21 September 1982 ini.

Ia memang baru saja menyandang gelar dokter, yang ia raih dari Universitas Indonesia. Namun, prestasinya lumayan panjang. Perempuan lajang ini antara lain pernah meraih Winner of Outstanding Medical Students Competition dari Universitas Indonesia pada tahun 2004; Winner of UFJ Foundation Scholarship Certificate Japan pada tahun 2004; 4th Winner of EXPO 2006 Women’s Health Research Competition, dan; baru-baru lalu ia memenangkan penghargaan dari Biocamp Indonesia 2007 yang diadakan oleh Novartis, sehingga berhak untuk ikut Novartis International Biotechnology Leadership Camp 2007 di Jepang.

Biocamp sendiri, seperti diungkapkan Corporate Communication Manager Novartis Indonesia, Wanda Firmansyah, bukan ajang untuk periset, melainkan ajang untuk mencari profil yang memiliki latar belakang sains sekaligus memiliki kemampuan manajerial, untuk lebih memahami bioteknologi. “Novartis berbikir bahwa bioteknologi bukan sekadar urusan sains, tapi juga berhubungan dengan manajemen, bagaimana kita membuat sesuatu yang bisa bergiuna dan bisa kita pasarkan,“ ungkap Stella.

Selain itu, Stella juga pernah melakukan riset sendiri mengenai efektivitas pijat dalam mempercepat penambahan berat badan bayi yang lahir prematur. “Terbukti, pemijatan dengan menggunakan minyak kelapa murni membuat bayi yang lahir prematur menjadi lebih cepat bertambah berat badannya. Pemijatan ini merupakan upaya memperbanyak stimulus pada saraf dan pembuluh darah, yang pada gilirannya akan memperlancar peredaran nutrisinya. Pemakaian minyak kelapa juga menambah nutrisi bagi bayi, karena minyak kelapa itu diserap kulit bayi,“ ujar perempuan yang kini sehari-hari bekerja sebagai staf pengajar di almamaternya ini.

Dunia sains dan riset, bagi Stella, merupakan dunia yang menarik. “Karena merangsang saya untuk tahu lebih banyak tentang beragam hal, terutama yang berhubungan dengan makhluk hidup,“ kata Stella. (Pedje)

No comments:

Post a Comment