Wednesday, October 21, 2009

Pejabat Publik Wajib “Ditelanjangi”

Setidaknya ada empat aturan hukum di Indonesia yang mengatur soal pencemaran nama baik. Kepentingan siapa yang dilindungi?

Apa yang tersisa dari kasus penahanan dan penuntutan terhadap Prita Mulyasari? Rasa takut sebagian orang untuk berekspresi dan bersikap kritis, terutama terhadap pejabat publik dan pelayanan publik. Karena, bila ada orang atau pihak yang kurang berkenan terhadap ekspresi dan sikap kritis kita, kita bisa di-“prita”-kan, dipidanakan dengan tuntutan pencemaran nama baik. Dan, di republik ini ada banyak undang-undang yang menjadi payung hukum bagi kasus pencemaran nama baik. Setidaknya ada empat aturan hukum untuk itu, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektokronik (ITE), Undang-Undang Penyiaran, dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

“Pidana pencemaran nama baik sudah terbukti menjadi senjata ampuh untuk membungkam kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, dan kemerdekaan pers di Indonesia,” kata Koordinator Divisi Hak Asasi Manusia Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Anggara.

Dengan menyadari risiko akan hilangnya kebebasan warga sipil karena adanya aturan hukum seperti itulah Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada awal Mei lalu menyerukan kepada pemerintah dari negara-negara anggotanya untuk menghapus aturan pidana pencemaran nama baik. Bahkan, setiap tahun, Komisi Pelapor Khusus untuk Kebebasan Berekspresi PBB mengeluarkan seruan serupa itu: hapuskan kriminalisasi kasus pencemaran nama baik. Apalagi, di Indonesia, sampai kini belum ada definisi hukum yang tepat tentang apa yang disebut sebagai pencemaran nama baik.

Mestinya, kasus pencemaran nama baik masuk ke perkara perdata, bukan pidana. “Tapi, okelah, kalau itu memang belum bisa kita terima, cukuplah diatur oleh KUHP. Itu pun dengan menghilangkan ancaman hukuman penjaranya. Bukan malah diduplikasi atau justrui ditriplikasi lewat berbagai aturan lain,” ujar Anggara.

Tidak ada negara hukum di dunia ini yang punya delik penghinaan, tambah Anggra, yang diatur di banyak tempat seperti Indonesia. Di negara-negara maju saja, meski ada juga yang mengatur soal delik penghinaan, aturan hanya ada dalam satu ketentuan, yakni di aturan semacam KUHP. “Itu pun tidak pernah digunakan. Karena, orang lebih memilih jalur perdata. Kan, buat apa mengirimkan orang ke penjara? Mending hartanya saja disita. Jadi, kerugian akibat penghinaan dimaterialkan dalam bentuk uang,” ungkap Anggara.

Di Amerika Serikat, misalnya, tidak dikenal pertanggungjawaban pidana untuk tindakan pencemaran nama baik atau penghinaan. Karena, itu dianggap bertentangan dengan First Amandement dalam konstitusi Amerika Serikat, yang menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Di Belanda, negara tempat kelahiran KUHP dan KUH Perdata Indonesia, ketentuan tentang pencemaran nama baik dalam perangkat perundang-undangannya pun telah berubah, seperti pernah diungkapkan profesor hukum dari University of Amsterdam, Jan de Meij, dalam sebuah kesempatan. “Ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP Belanda telah berubah sejak tahun 1978,” kata Jan de Meij. Kalaupun ada tuntutan pidana, biasanya hukuman yang diberikan adalah denda, bukan pidana penjara.

Menurut ahli perbandingan hukum internasional Toby Daniel Mendel, sanksi pidana untuk kasus pencemaran nama baik memang sudah tidak relevan lagi di dunia modern. “Banyak negara sudah meninggalkan ketentuan itu dan menggantinya dengan sanksi perdata. Sanksi pidana dinilai tidak proporsional dan berlebihan untuk menghukum suatu tindak pencemaran nama baik,” ungkap Toby Daniel Mendel dalam keterangannya sebagai ahli pada sidang uji materi terhadap KUHP terkait pasal pencemaran nama baik yang diajukan dua pekerja pers, tahun 2008 silam.

Bagi Toby Daniel Mendel, kebebasan berpendapat adalah dasar sebuah negara demokrasi. Sebagai hak dasar, kebebasan ini bisa saja dibatasi, asalkan dilakukan secara sah. Pembatasan harus dilakukan dengan undang-undang, memiliki tujuan yang sah, atau untuk melindungi tujuan yang sah. Namun, pembatasan harus dilaksanakan secara hati-hati dan tidak boleh memiliki efek membunuh, yang membuat orang menjadi tidak berani mengemukakan pendapatnya.

Dalam KUHP Indonesia sendiri, pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang. Ketentuannya terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP, khususnya pada pasal 310, 311, 315, 317, dan pasal 318. Pasal pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang secara umum diatur dalam pasal 310, pasal 311 ayat (1), pasal 315, pasal 317 ayat (1), dan pasal 318 ayat (1). Pada semua pasal itu, ancaman hukuman penjaranya di bawah lima tahun.

Berbeda halnya dengan delik penghinaan yang ada dalam beberapa undang-undang, yang ancaman hukumannya di atas lima tahun. Karena itu, Anggara menduga pembuatan undang-undang yang mencantumkan kembali delik penghinaan atau pencemaran nama baik itu—padahal sudah diatur dalam KUHP—sarat kepentingan. “Kita lihat saja, delik judi yang di KUHP mendapat ancama hukuman penjara 10 tahun, eh, di Undang-Undang ITE malah turun ancamannya menjadi 6 tahun. Aneh, bukan? Jadi, sebenarnya, pembuatan undang-undang itu untuk kepentingan siapa? Untuk melindungi siapa?” tutur Anggara.

Sementara itu, untuk delik penghinaan, dalam KUHP cukup jelas aturannya dan lebih melindungi ketimbang aturan di berbagai undang-undang itu. “Dalam KUHP itu, ada unsur di “depan umum” untuk bisa menjerat orang dengan delik penghinaan, tapi kalau di undang-undang lainnya tidak ada itu. Jadi, kalu kita kirim e-mail ke seorang teman kita, misalnya, dan teman kita itu tidak senang dan merasa terhina dengan apa yang kita tulis dalam e-mail itu, dia bisa mengadukan kita dengan tuduhan penghinaan atau pencemaran nama baik, dengan memakai Undang-Undang ITE,” ujar Anggara.

Yang lebih repot lagi, karena ancaman hukuman untuk delik penghinaan dalam tiga undang-undang itu enam tahun penjara, orang bisa kehilangan banyak hak sipilnya selama-lamanya. “Kan, tidak lucu, gara-gara kirim e-mail ke seorang teman dan teman itu merasa terhina, kita dipenjara selama enam tahun, sehingga kehilangan banyak hak sipil kita. Kita tidak bisa menjadi advokat, tidak bisa menjadi polisi, tidak bisa menjadi hakim, pegawai negeri sipil, tidak bisa menjadi presiden, dan sebagainya, gara-gara pernah dihukum selama enam tahun,” kata Anggara.

Undang-Undang Pemerintahan Daerah lebih konyol lagi. Di sana, ungkap Anggara, bahkan calon kepala daerah saja tidak boleh dikritik. Yang mengkritik bisa dijerat dengan delik penghinaan. “Dalam kampanye tidak boleh menghina seseorang, calon kepala daerah, calon wakil kepala daerah, dan partai politik. Kan beda tipis antara kritik dan penghinaan. Beberapa ahli hukum memang ada yang berpendapat, yang dipidanakan itu bukan mengkritiknya, tapi menghinanya. Lalu, bagaimana membedakan keduanya? Dalam hukum pidana kan mesti ada aturannya. Tapi, ini kan sulit, karena perasaan orang per seorangan kan sangat subyektif, tidak terukur. Itulah sebabnya PBHI menolak soal penghinaan ini,” tutur Anggara lagi.

Ada yang berpendapat, yang dimaksud “menghina” dalam KUHP adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang biasanya merasa malu. “Kehormatan” yang diserang di sini maksudnya hanya mengenai kehormatan tentang nama baik, bukan kehormatan dalam lapangan seksual.

Namun, Anggara tidak sependapat, terutama bila menyangkut pejabat publik. Bagi Anggara, pejabat publik wajib “ditelanjangi”. “Karena, mereka dipilih oleh masyarakat. Bahkan, pada tingkat calon pun harus bisa ditelanjangi, karena kan mereka akan memimpin negara ini dalam beberapa tahun ke depan. Kalau tidak bisa seperti itu, kita akan mendapat informasi apa dari mereka?” tuturnya. Apalagi, tambah Anggara, para penyelenggara negara dibayar oleh masyarakat melalui pajak. Karena itu, masyarakat berhak mengawasi jalannya penyelenggaraan negara. “Artinya, semua aspek kehidupan mereka otomatis dibayar oleh masyarakat,” kata Anggara.

Namun, pejabat publik kita dengan adanya beberapa undang-undang yang memuat delik penghinaan itu jelas-jelas dilindungi. Berbeda halnya dengan di negara maju, yang warga negaranya bisa mengawasi para pejabat negara bahkan ke ruang yang dianggap pribadi. Di Inggris, misalnya, baru-baru ini Menteri Dalam Negeri Jacqui Smith menyatakan mundur. Ia mengundurkan diri karena kabarnya ia menggunakan uang tunjangan parlemen yang ia dapatkan untuk membayar tagihan penyewaan film porno suaminya. “Itu kan sebenarnya masalah pribadi. Tapi, karena dia pejabat negara, dia tidak boleh sewenang-wenang menggunakan uang rakyat, walaupun itu gajinya. Karena itu, partai politik, pejabat publik, anggota DPR itu wajib hukumnya ditelanjangi, karena merekalah yang menjalankan amanat negara,” ungkap Anggara lagi. Bahkan, kata Anggara, di negara-negara maju, pejabat publik pun tidak boleh menggunakan gugatan perdata untuk kasus yang ia anggap sebagai pencemaran nama baik atau penghinaan. “Bisa dikatakan, pejabat publik itu sudah tidak punya lagi kehidupan pribadi,” tutur Anggara.

Menyangkut Undang-Undang ITE, Anggara berpendapat undang-undang itu perlu, tapi yang tanpa pasal-pasal delik penghinaan atau pencamaran nama baik. “Kami sepakat dengan Undang-Undang ITE karena memang belum ada aturannya, untuk mencegah kejahatan di dunia maya, misalnya. Untuk hal-hal seperti itu, silakan saja. Namun, ketika masuk ke ranah kebebasan sipil, perlu dipertanyakan maksud pembuatan undang-undang itu apa,” kata Anggara.

Astuty Liestianingrum, Koordinator Jaringan Advokat Publik LBH Masyarakat, punya pendapat senada. Menurut dia, secara keseluruhan, semangat Undang-Undang ITE adalah ingin adanya akses keterbukaan informasi, siapa pun bisa mengakses informasi. “Namun, pada kenyataannya, kalau kita lihat pasar per pasalnya, khususnya pasal 27 dan seterusnya sangat merugikan masyarakat. Pasal-pasal itu menutup akses untuk memberikan informasi yang benar. Ini berbeda dengan KUHP, misalnya pasal 310,” ujar perempuan yang akrab disapa Lies ini. Di KUHP, tambah Lies, justru memberi ruang. “Apabila itu demi kebenaran dan untuk kepentingan umum, informasi semacam itu boleh disiarkan. Pada Undang-Undang ITE, itu tidak ada. Jadi, menurut saya, Undang-Undang ITE, Undang-Undang No. 11/2008, memang sangat mengukung kebebasan berpendapat,” tutur Lies.

Mestinya, kalau semangat undang-undang itu memang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tambah Lies, pasal-pasal yang menyangkut delik penghinaannya harus lebih dijelaskan. “Misalnya soal penghinaan seperti apa, apa yang dimaksud penghinaan. Kalau tidak, itu akan seperti pasal-pasal karet,” kata Lies. Pasal-pasal karet adalah pasal-pasal yang bisa ditafsirkan seenaknya oleh pemegang kekuasaan. Lies memprediksi, kalau undang-undang ini tidak direvisi, terutama pasal-pasal yang menyangkut penghinaan, kemungkinan akan banyak orang yang akan bernasib seperti Prita.

Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Sutanto, mengatakan bahwa Undang-Undang ITE mengancam kebebasan pers. “Dalam undang-undang itu, pekerja pers bisa langsung dipenjara apabila ada pihak yang tidak suka dengan isi pemberitaan di media online. Hukuman penjara diterapkan tanpa melalui proses pengadilan,” ungkap Leo dalam seminar tentang kebebasan pers, yang diselenggarakan LBH Pers, Democratic Reform Support, dan Aliansi Jurnalis Independen Padang, pertengahan Juni lalu. Eksesnya, pers hanya bisa memilih untuk memberitakan hal-hal yang baik atau mengambil risiko ketika memberitakan kasus korupsi atau penyelewengan tertentu.

Melihat betapa bahayanya undang-undang yang memuat pasal-pasal penghinaan itu, berbagai elemen masyarakat pun telah mencoba mendesak pihak yang berwewenang untuk menghapus pasal-pasal tersebut. Desakan itu antara lain disampaikan oleh Aliansi Jurnalis Independen. Malah, PBHI telah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Kosntitusi untuk meninjau kembali pasal-pasal yang mereka anggap berbahaya bagi kebebasan warga sipil itu. “Namun, permohonan kami ditolak. Mahkamah Konstitusi tampaknya sangat protektif. Mahkamah Konstitusi tak mau menimbang, karena bagi Mahkamah Konstitusi soal penghinaan itu konstitusional. Mahkamah Konstitusi lebih menganggap penting soal reputasi dan penghormatan daripada kebebasan berpendapat,” kata Anggara.

Toh, kendati demikian, menurut Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Abdul Kadir Mappong seperti dikutip dari Tempo Interaktif, pasal pencemaran nama baik tidak tertutup kemungkinan untuk dihapus. Abdul Kadir pun meminta hakim di tingkat bawah untuk hati-hati menerapkan pasal peninggalan Belanda tersebut. “Tidak tertutup kemungkinan kita akan hapus, supaya tidak menyulitkan hakim dalam penerapan kasus-kasus yang demikian itu,” kata Abdul Kadir Mappong.

Ia bahkan menyorot pasal-pasal penghinaan yang ada di KUHP, yang sebenarnya di satu sisi lebih baik ketimbang pasal-pasal penghinaan yang ada dalam beberapa undang-undang. “Itu pasal karet, sama dengan membuat orang tidak nyaman, bisa dipanjangpendekkan,” kata Abdul Kadir. Keadaan sekarang, tambah Abdul Kadir, sudah berbeda dengan saat pasal-pasal tersebut dibuat oleh Belanda. Menurut dia, undang-undang justru menjamin kebebasan menyampaikan pendapat sebagaimana yang telah dilakukan Prita dengan menulis lewat e-mail. “Kebebasan penyampaikan pendapat itu sebagai bagian dari hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun,” ungkapnya. Setuju! (Pedje)

No comments:

Post a Comment