Wednesday, October 7, 2009

Batik Bangkit!


Batik memiliki sejarah yang panjang dan sarat makna. Batik merupakan karya seni rakyat yang naik pamor karena “dilegitimasi” keraton. Sayangnya, pemerintah sekarang ini dianggap kurang pemberi perhatian terhadap perkembangan dunia batik. Bagaimana dengan Anda?


Hampir bisa dipastikan, dalam lemari pakaian sebagian besar rakyat Indonesia ada batik di dalamnya, berapa pun jumlahnya. Apalagi, sejak beberapa tahun lampau, batik juga terus dikembangkan sebagai bahan busana modern, seperti yang dilakukan antara lain oleh Iwan Tirta dan Carmanita.

Memang, meski perdebatan asal-muasal batik sendiri di kalangan ahli belum mendapatkan kata putus, batik sudah sejak seribuan tahun lampau menjadi bagian masyarakat di wilayah yang kini bernama Indonesia ini, terutama di Pulau Jawa. “Meski asal-usulnya belum jelas, batik sangat terkenal dan dikenal di Jawa. Seperti seni wayang, seni tari, seni karawitan, dan seni sastra, seni batik juga sangat berkembang di keraton-keraton di Jawa,” ungkap Ir. Sri Soedewi Samsi, pakar batik yang mantan menjadi Rektor Institut Ilmu Keguruan dan Pendidikan Yogyakarta, dalam seminar Festival Batik Nusantara, 28 Juli 2007. Menurut Sri, seni batik yang merupakan seni melukis dengan lilin (malam) mengandung unsur-unsur yang sangat penting, yakni sebagai wahana pendidikan watak dan sarana sosialisasi nilai-nilai estetika “halus”.

Dr. Dharsono, pakar kebudayaan Jawa dari Institut Seni Indonesia-Solo, sependapat dengan Sri. Menurut pria yang kerap memakai nama pena Sony Kartika dalam buku dan tulisan-tulisannya di media massa itu, batik dalam masyarakat Jawa memang tidak terlepas dari ajaran filsafat Jawa yang secara tersirat menjelaskan hubungan mikro-meta-makrokosmos. Pandangan tentang makrokosmos mendudukkan manusia sebagai bagian dari semesta. Manusia harus menyadari tempat dan kedudukannya dalam jagat raya ini. Metakosmos adalah konsep yang mengacu pada “dunia tengah”, dunia perantara antara manusia dan semesta atau Tuhan. Sementara itu, mikrokosmos adalah dunia batin, dunia dalam diri manusia.

Namun, berbeda dengan Sri, Dharsono mengungkapkan bahwa seni batik di Jawa pada mulanya berkembang di luar keraton, di dalam masyarakat. Pendapat ini sejalan dengan pendapat sejarawan terkemuka Prof. Dr. Taufik Abdullah, yang mengatakan bahwa keraton yang telah mengalami krisis kekuasaan politik dan ekonomi, karena dominasi Perkumpulan Dagang Hindia Belanda (VOC), dipaksa menjadi kekuatan kultural yang bercorak agraris, yang telah semakin terputus dari dinamika pasar dan pemikiran keagamaan. “Inilah zaman ketika Jawa mengalami apa yang disebut oleh seorang ilmuwan Belanda sebagai ‘periode Bizantium’, ketika perhatian utama keraton tertuju pada penghalusan kebudayaan, cultural refinement, bukan lagi pada kegairahan politik dan ekonomi,” tulis Taufik Abdullah dalam pengantar buku Mbak Mase: Pengusaha Batik di Laweyan Solo Abad 20 yang ditulis oleh Soedarmono.

Pada masa inilah—terutama setelah Mataram dibagi menjadi dua kerajaan, Surakarta dan Yogyakarta (1755), dan setelah Perang Diponegoro—batik “mulai” masuk keraton. “Jadi, batik itu muncul dari kalangan rakyat dan saudagar batik dulu, baru ke keraton. Namun, kemudian, pada abad ke-18, sekitar tahun 1769, susuhunan di Surakarta mengeluarkan suatu keputusan formal, pranatan, yang melarang pemakaian batik bercorak jilamprang oleh siapa pun kecuali oleh susuhunan sendiri dan putra-putrinya. Dan, di Yogyakarta, pada tahun 1785, Sultan Yogyakarta mencanangkan pola parang rusak bagi keperluannya pribadi. Kemudian, pada tahun 1792 dan 1798, lewat pejabat keraton dikeluarkan pembatasan-pembatasan selanjutnya atas pola-pola yang dipakai untuk keperluan tertentu di lingkungan keraton, yaitu menunjuk beberapa corak, seperti sawat lar, parang rusak, cumengkirang, dan udan liris,” tutur Dharsono.

Sejalan dengan perkembangan batik memasuki Istana Surakarta pada abad ke-18, tambah Dharsono, bersama itu pula sekelompok pengrajin batik rakyat memasuki keraton. ”Para pengrajin batik rakyat diangkat kedudukannya dan kemudian mendapat status abdi dalem di lingkungan keraton. Misalnya, sekelompok pengrajin batik dari perusahaan keluarga Wicitran yang memasuki istana Keraton Surakarta Hadiningrat dianugerahi gelar kebangsawanan di lingkungan keraton. Ny. Reksowicitro, seorang pembatik asal Soniten, Surakarta, mengalami peningkatan kedudukan, dari kawulo menjadi abdi dalem kriya dengan pangkat hamong kriya. Jadi, yang dikenal sebagai batik klasik itu sebenarnya adalah batik rakyat yang mendapatkan cap aristokrat sebagai batik produk istana,” ujar pria yang lahir pada 14 Juli 1951 ini.

Rupanya, fenomena itu membuat batik ”naik daun” di mata masyarakat. ”Batik klasik pun kemudian menjadi barang yang dianggap eksklusif di mata rakyat, sehingga tidaklah mustahil apabila nantinya bentuk dan ragam motif-motif batik istana tersebut akan menjadi sumber acuan pembuatan batik selanjutnya,” kata Dharsono. Di mata masyarakat, ungkap Dharsono lagi, keraton merupakan pusat kebudayaan. ”Pandangan ini sangat melekat. Itulah sebabnya batik sampai sekarang tetap merupakan barang yang digemari oleh masyarakat Jawa,” kata doktor seni rupa lulusan Institut Teknologi Bandung ini.

Bahkan, ketika produksi batik istana merosot akibat adanya boikot dari pengusaha pemegang linsensi penjual kain mori dan kemudian muncul daerah-daerah penghasil batik di luar keraton, perkembangan batik daerah itu tetap mengacu pada batik istana sebagai nilai dan status, sebagai sumber inspirasi pengagungan terhadap raja mereka, wakil Tuhan di bumi. Daerah induk batik itu terletak di Bekonang, Kedunggudel, Matesih, Laweyan, dan Tembayat. ”Perkembangan batik di daerah—Surakarta dan sekitarnya—mulai mencapai kejayaannya sekitar tahun 1930 sampai 1960-an,” ungkap Dharsono.

Doktor berambut gondrong ini sendiri cenderung berpendapat—dari hasil tinjauannya terhadap fakta yang ditemukan oleh banyak ahli—bahwa batik yang berkembang di Nusantara, khususnya di Jawa, memiliki akar di India, di Pantai Koromandel, terutama untuk segi teknik dalam proses pembuatannya. ”Batik masuk ke Nusantara dari India sebagai barang yang mewah,” kata Ketua Lembaga Pengkajian dan Konservasi Budaya Nusantara ini.

Pakar kebudayaan Islam, Nasir Tamara, pun punya pendapat yang sama. ”Batik diperkenalkan ke Nusantara oleh pedagang-pedagang India pada abad ke-14, yang pada masa itu India berada dalam kekuasaan kerajaan Islam Parsi, Persia. Itulah sebabnya, kebudayaan Islam sangat berpengaruh pada perkembangan awal batik di Nusantara. Dibanding dengan pengaruh kebudayaan dan agama-agama lain, pengaruh Islamlah yang paling tua. Lihat saja motif-motif batik tua, yang lebih banyak mengangkat motif dekoratif, arsitektur, abstrak, tumbuhan-tumbuhan, dan hewan. Jarang ada motif bergambar orang, kecuali wayang. Di batik mana ada motif yang mengarah ke pornografi?” tutur Nasir Tamara.

Dharsono pun setuju. ”Meski dibawa oleh India, ketika orang yang tinggal di Nusantara ingin membuat batik, mereka membuat batik dengan memakai estetika Islam, yang di Jawa adalah estetika Islam Jawa,” ujar ahli estetika Nusantara ini.

Bagi Nasir, batik merupakan contoh karya seni yang dengan baik merefleksikan ajaran-ajaran yang ada dalam Alquran. ”Selain motif-motif tersebut, batik itu kan indah, bersih, dan dirawat dengan wewangian. Alquran itu mengajarkan keindahan, kebersihan, dan keharuman. Nabi Muhammad itu sangat menyukai parfum. Hal itu semua terproyeksikan dalam batik,” kata mantan wartawan yang pernah meliput Revolusi Iran pada tahun 1979 ini.

Sayangnya, kata Nasir Tamara, pengaruh Islam ini jarang dibicarakan orang. ”Yang banyak dibicarakan justru pengaruh India, Cina, dan Belanda. Padahal, pengaruh Islamlah yang paling tua dan batik menjadi karya yang bernilai tinggi, ya, karena pengaruh Islam. Yang mengembangkan batik di Nusantara ini, termasuk di Jawa, ya, orang Islam, mulai dari pembuatnya sampai pedagangnya. Sebelum Islam masuk ke Nusantara, belum ada batik di sini,” tutur peraih gelar doktor ilmu sosial dari University of Paris, Prancis, ini. Namun, tambah Nasir, semua itu seakan diabaikan karena selama ini ada elite Indonesia yang mau melupakan bahwa kita bagian dari dunia Islam. ”Padahal, sebagian besar penduduk Indonesia kan beragama Islam,” katanya.

Nasir lebih lanjut mengungkapkan, batik-batik tua Nusantara yang berumur ratusan sampai seribuan tahun yang tersimpan di berbagai museum di Eropa dan Amerika Serikat juga menunjukkan pengaruh Islam yang kuat. ”Selain motif-motif yang saya sebutkan tadi, batik-batik tua itu ada yang bermotif burung, perahu, dan waringin nyungsang,” tuturnya. Motif-motif itu memang biasanya dipakai sebagai perlambang oleh kalangan tasawuf, yang ajarannya cepat berkembang di Nusantara karena masyarakat Nusantara sangat menyukai hal-ihwal mistik. Hamzah Fansuri misalnya. Sastrawan Melayu yang juga seorang sufi ini menulis antara lain ”Syair Perahu” yang sangat terkenal itu. ”Waringin nyungsang atau beringin sungsang itu sendiri oleh sebagian umat Islam di Nusantara dipakai sebagai penggambaran dari upaya melindungi makam Sayidina Ali, sahabat sekaligus menantu Rasulullah Muhammad, yang sangat dihormati kalangan syiah. Dan, syiah itu sudah sejak lama masuk ke Nusantara karena, ya, itu tadi, Islam yang masuk ke Nusantara kan berasal dari India yang dikuasai Parsi, yang sebagian besar penduduknya merupakan kalangan syiah. Sultan Iskandar Muda dari Aceh itu juga kan syiah,” ujar Nasir.

Lebih jauh Nasir mengungkapkan, mestinya batik bisa menjadi jalan masuk bagi pemerintah untuk mengampanyekan wajah Islam yang toleran. ”Karena, batik itu kan mencerminkan ’peradaban taman’ dalam masyarakat Islam, bukan peradaban padang pasir. Masyarakat Islam dalam peradaban taman itu lebih toleran terhadap perbedaan. Sayangnya pemerintah kita kurang mengerti,” tutur Nasir lagi.

Para peserta seminar Festival Batik Nusantara pun tampaknya sepakat dengan pendapat yang mengatakan pemerintah kurang memahami arti pentingnya batik. Itulah sebabnya, seusai seminar dua hari tersebut, sebagian besar dari mereka membuat pernyataan yang diberi tajuk ”Seruan Surakarta”.

Dalam seruan itu, mereka antara lain mengharapkan para pembuat kebijakan menjadikan batik—yang merupakan warisan Nusantara dan dunia—sebagai bagian penting dalam strategi kebudayaan Indonesia. Dan, menurut mereka, strategi kebudayaan mengenai batik harus dapat menghadapi tantangan globalisasi budaya, globalisasi nilai-nilai atau etika, serta globalisasi di bidang ekonomi, teknologi, dan telekomunikasi. ”Untuk memfasilitasi implementasi strategi tersebut, kami menyerukan untuk dibentuknya sebuah wadah yang merupakan forum kerja sama bagi seluruh komunitas batik di Nusantara sebagai mitra pemerintah untuk menempatkan batik Nusantara sebagai produk unggulan Indonesia yang juga diakui sebagai warisan budaya dunia,” seru mereka, yang dibacakan oleh aktor Ray Sahetapi.

Salah seorang pengusaha batik di Laweyan, Dhany Arifmawan, juga mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan industri batik. ”Mestinya pemerintah membuat aturan-aturan yang dapat dijadikan alat untuk menghalau halangan-halangan yang merintangi perkembangan batik. Umpamanya, pemerintah membuat aturan untuk mengatasi persaingan usaha yang tidak sehat,” ujar pemilik Graha Batik Cempaka itu. Beberapa peserta seminar yang lain juga berharap pemerintah berperan aktif melindungi hak kekayaan intelektual dari batik karya anak bangsa. Misalnya memfasilitasi warga Indonesia yang ingin menuntut pembajak motif batik di luar negeri.

Yang pasti, batik nan cantik dan memiliki sejarah sarat makna itu memang sangat patut kita hargai keberadaannya. Sudah saatnya kita lebih banyak memberi perhatian kepada karya anak bangsa yang menjadi warisan dunia ini. Apalagi, sekarang ini, lokalitas diberi tempat terhormat di mana-mana, di berbagai penjuru dunia. Karena itu, jangan lupa untuk membeli batik lagi kalau Anda akan berbelanja nanti. Ayo, kita sama-sama mengembalikan kejayaan batik. Batik harus bangkit kembali di negeri ini. Setuju? (Pedje)

1 comment: