Sunday, October 25, 2009

Ibu-Ibu Inspiratif

Biar bagaimanapun, anak adalah amanah dari Sang Mahakuasa, yang harus dijaga dan dipelihara sebaik mungkin. Sikap itulah yang ada dalam diri para ibu di bawah ini, yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus—meski ada juga yang sempat tak bisa menerima kenyataan itu. Semoga mereka dapat menjadi inspirasi bagi kita.


Rovanita Rama
Belajar Banyak tentang Autisme
Awalnya, Rovanita Rama, 36 tahun, mengira anak keduanya, Zaky Khairi, memiliki masalah dengan pendengarannya. Karena, dalam usianya yang sudah lebih dari dua tahun, Zaky belum juga dapat bicara. “Ketika itu, tahun 1997, kami sekeluarga tinggal di Rumbai, Riau, karena suami saya ditugaskan di sana. Karena khawatir Zaky punya masalah dengan pendengarannya, saya membawa Zaky ke Jakarta, untuk diperiksa oleh ahli telinga, hidung, dan tenggorokan terkenal,” ujar ibu tiga anak yang sehari-hari dipanggil Anita ini.

Namun, setelah menjalani pemeriksaan dan serangkaian tes, dokter yang memeriksa Zaky menyimpulkan bahwa anak kedua pasangan Rovanita Rama dan Bagawan Isa Wahyudi itu tak punya masalah dengan pendengarannya. “Dokter itu bilang, Zaky hanya terlambat bicara saja,” kata perempuan yang menjadi dosen di Universitas Riau ini.

Meski sedikit lega mendengar penjelasan dokter itu, perasaan galau melihat kondisi Zaky masih mengendap dalam hati Anita. Apalagi, Zaky bukan hanya terlambat bicara, tapi juga sering berperilaku ganjil untuk anak seusianya, misalnya suka menyakiti diri sendiri atau bila dipanggil hanya melirikkan mata. Anita pun lalu meminta nasihat kepada pamannya yang dokter spesialis anak dan tantenya yang dokter rehabilitasi medis, apa yang mesti ia dan suaminya perbuat untuk mengatasi masalah Zaky. “Keduanya menyarankan saya dan suami untuk membawa Zaky ke ahli terapi bicara. Orang tua kami pun menyarankan demikian. Akhirnya, kami membawa Zaky berobat ke Singapura. Ketika itulah kami baru tahu bahwa Zaky adalah penyandang autisme,” ungkap ibu dari Atikah Khaira, Zaky Khairi, dan Dimas ini.

Mengenai autisme itu sendiri, Anita dan suaminya ketika itu mengaku buta sama sekali. “Pada tahun 1997 itu, kami benar-benar tak tahu apa itu autisme. Kami kemudian mencari informasi dari berbagai sumber, termasuk mencari informasi dari internet,” kata Anita. Kendati begitu, karena biaya terapi di Singapura begitu mahal, sementara Anita dan suami belum mendapatkan informasi mengenai lembaga terapi atau sekolah untuk anak autis di Indonesia, Zaky tak rutin menjalani terapi di Singapura. “Karena itu, tak ada perkembangan yang berarti pada diri Zaky,” tutur Anita, yang mengaku perasaannya pada masa itu sering kali risau manakala memikirkan masa depan Zaky.

Zaky baru mendapat terapi yang sangat serius di California, Amerika Serikat, dari tahun 1999 sampai tahun 2000. “Suami saya ditugaskan di sana dan saya tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Di sana, selain mengikuti berbagai terapi harian untuk anak autis, Zaky juga kami sekolahkan di sekolah umum yang memiliki kelas khusus untuk anak penyandang autisme. Pada hari-hari tertentu, anak-anak di kelas khusus itu dibaurkan dengan anak-anak yang lain, sebagai bagian dari terapi. Karena, penyandang autisme kan punya gangguan sosialisasi dan komunikasi. Yang menggembirakan, baik biaya terapi dan biaya sekolahnya, semua ditanggung oleh pemerintah Amerika Serikat. Mereka memang punya kebijakan seperti itu bagi para penyandang autisme,” kata Anita.

Di California ini juga Anita menjadi ikut tertarik untuk mendalami pengetahuan yang berhubungan dengan cara penanganan untuk penyandang autisme. “Sungguh sayang jika saya melewatkan kesempatan berharga ini. Apalagi, lewat terapi dan sekolah di sana, Zaky mengalami kemajuan yang luar biasa. Ia sudah bisa memanggil ‘Mama’ kepada saya dan memahami bahwa saya adalah ibunya,” tutur Anita, yang setibanya di Indonesia langsung mentransfer pengetahuan tentang cara penanganan anak autis ke banyak orang.

Tahun 2003, suaminya ditugaskan lagi ke Houston, Amerika Serikat. Lagi-lagi, kesempatan itu dimanfaatkan oleh Anita untuk kembali mengikutkan Zaky ke program terapi autisme yang ada di sana. “Saya juga mengambil pendidikan untuk penanganan anak autis. Zaky sendiri mengalami kemajuan yang luar biasa. Ia kini sudah dapat berempati. Misalnya, jika adiknya jatuh, dia akan teriak memanggil saya. Bagi anak autis, dapat berempati merupakan hal yang luar biasa. Kini, Zaky telah duduk kelas empat, di sekolah dasar negeri, yang ditunjuk pemerintah sebagai salah satu sekolah dasar inklusi,” ungkap Anita, yang kini bersama suami dan anak-anaknya tinggal di bilangan Jakarta Timur.

Sebenarnya, kata Anita dan suaminya, meski terapi bagi penyandang autisme merupakan hal penting, ada hal lain yang lebih penting dari itu, yakni perhatian dan kepedulian yang sangat tinggi dari kedua orang tua terhadap sang anak penyandang autisme. “Tanpa itu, terapi yang dijalankan dapat menjadi sia-sia. Kedua orang tua harus saling membantu dalam membuat program yang dapat membantu perkembangan sang anak, tak bisa sepenuhnya diserahkan kepada terapis,” ujar Bagawan Isa Wahyudi, suami Anita.

Gayatri Sarasvati
Berburu Diagnosa sampai ke Berbagai Negeri
Sama seperti Anita, Gayatri Sarasvati, 44 tahun, juga memiliki seorang anak penyandang autisme. Namanya Audwin Trito, yang lahir pada 6 November 1990 dan biasa dipanggil Ananda. “Secara fisik, pertumbuhan Ananda terbilang bagus. Pada usia sepuluh bulan dua minggu, misalnya, ia sudah dapat berdiri dan berjalan, tanpa proses merangkak yang terlalu lama. Tapi, ketika ia menginjak usia sebelas bulan, saya merasa ada sesuatu yang ‘berbeda’ dari dirinya dibandingkan dengan anak-anak sebayanya. Ia sering tidak memberikan respons jika namanya saya panggil. Kontak mata hampir tidak pernah terjadi,” kata istri dari Tommy ini.

Bukan hanya itu. Jika Gayatri memangku Ananda dan memanggil namanya, Ananda segera meronta dan berusaha untuk turun dari pangkuannya. “Di saat lain, jika saya mengulurkan tangan untuk memeluknya, ia tidak berusaha untuk meraih uluran tangan saya, seakan ia tak mengerti bahasa tubuh saya bahwa saya ingin memeluknya,” tutur Gayatri lagi.

Gayatri sendiri baru benar-benar menyadari bahwa Ananda memiliki kesulitan dalam mengekspresikan apa yang ia rasakan beberapa bulan kemudian. Kendati demikian, sampai bertahun-tahun setelah itu, Gayatri dan suaminya belum juga tergerak untuk memeriksakan Ananda ke dokter ahli. “Ketika usia Ananda dua tahun, saya membawa Ananda berobat ke seorang ahli pengobatan dengan tenaga prana. Karena, anak teman saya yang punya kesulitan berkomunikasi juga dibawa ke sana dan dapat merasakan manfaat dari pengobatan itu. Ananda juga ikut terapi kelompok untuk merangsang keinginan berkomunikasi dengan teman-teman sebayanya. Sayangnya, ia tidak tertarik,” ujar Gayatri.

Menjelang usia Ananda empat tahun, barulah Gayatri dan suaminya berburu diagnosa untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diri Ananda. “Saya sempat membawa Ananda ke dokter untuk memeriksakan apakah ia mengalami gangguan pendengaran. Ternyata, tidak ada kelainan apa pun pada pendengarannya,” tutur Gayatri.

Perburuan untuk mencari jawaban tersebut bahkan sampai ke berbagai negeri lain. Malah, Gayatri sekeluarga kemudian juga boyongan ke Australia dan menetap di sana sampai sekarang, demi Ananda. Berbagai terapi dan pemeriksaan telah dijalankan Ananda, namun baru pada usia sekitar sepuluh tahun Anda diketahui menyandang autisme. “Kini, Ananda sudah remaja dan banyak hal yang telah ia pelajari serta ia raih. Secara perlahan namun pasti, ia belajar untuk mandiri, semisal membersihkan kamar , memilih baju, menyusun buku pelajaran, dan mengerjakan Kumon. Dalam tugas rumah tangga pun, Ananda sering membantu kami, orang tuanya. Dan, di saat senggang, ia menikmati melakukan ‘perburuan’ lokasi atau obyek yang menarik untuk bidikan kameranya,” kata Gayatri, yang telah menuliskan pengalamannya menjadi sebuah buku berjudul Meniti Pelangi: Perjalanan Seorang Ibu yang Tak Kenal Menyerah dalam Menghadapi Putranya Keluar dari Belenggu ADHD dan Austisme (Elex Media Komputindo, 2004).

Susanti
Sempat Depresi
Memiliki anak yang diagnosa menderita ADHD awalnya membuat Susanti begitu sedih dan tak dapat menerima kenyataan. Istri dari Dono Harimurti ini malah sempat tak mau bertemu dengan orang lain karena merasa malu memiliki anak yang memiliki kelainan. “Sampai umur tiga tahun, Mulki tumbuh seperti anak-anak sebayanya. Karena itu, saya dan suami saya tak menaruh kecurigaan apa-apa melihat Mulki hiperaktif dan seakan tak mengenal lelah jika sedang bermain. Namun, suatu hari, ketika saya ajak bicara, ia bicara menggunakan bahasa yang sangat susah saya mengerti, seperti bahasa dari planet lain. Sejak itulah saya mulai khawatir. Apalagi, perkembangan motorik halusnya juga terlambat,” kata ibu dari Milka Hidayanti, Mulki Hidayanto, dan Malko Hidamukti ini.

Tanpa membuang waktu, Susan dan suaminya pun langsung membawa Mulki ke tempat praktik seorang psikiater. Setelah menjalani berbagai pemeriksaan diketahuilah bahwa anak kedua mereka itu menderita gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (attention deficit hyperactivity disorder, ADHD). “Kami lalu mengikutkan Mulki ke sebuah lembaga yang menyelenggarakan program terapi untuk anak yang memiliki kebutuhan khusus seperti Mulki. Alhamdulillah, setelah menjalani terapi itu beberapa waktu, Mulki mengalami berbagai kemajuan. Sikapnya yang dulu dengan yang sekarang sangat berbeda jauh, seperti bumi dan langit,” tutur Susan.

Ketika Mulki sudah waktunya masuk sekolah dasar, orang tuanya pun memasukkan Mulki ke sebuah sekolah dasar swasta yang sangat terkenal di Jakarta. “Tapi, setelah belajar beberapa waktu, guru-gurunya angkat tangan, menyerah. Mereka tak sanggup mendidik Mulki karena Mulki dianggap anak yang malas dan tak punya perhatian terhadap apa yang diajarkan. Biarpun sudah saya jelaskan bahwa Mulki menderita ADHD, mereka tetap saja tak bisa mengerti dan tetap menganggap Mulki sebagai anak yang malas, tak punya perhatian, dan kadang tak bisa diatur,” ungkap Susan.

Pernah suatu ketika, gurunya membuat ulangan dan menulis soal di bawah tulis sebanyak 20 soal dan kemudian sepuluh soalnya dihapus oleh Mulki. “Mulki kesal karena menganggap soal itu kebanyakan. Mulki memang seperti itu, mengalami kesulitan dalam menulis, karena perkembangan motorik halusnya lambat,” ujar Susan.

Bukan hanya guru sekolahnya. Guru-guru kursusnya pun menyerah, kecuali guru kursus bahasa Inggrisnya karena Mulki sangat menyenangi pelajaran bahasa Inggris. “Akhirnya, kami memindahkan Mulki ke sekolah lain, yang dapat menerima anak seperti Mulki dan memiliki program yang baik untuk mendidik mereka,” papar Susan.

Donna Turner
Berharap Bermanfaat bagi Orang Banyak
Meski bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus, anak indigo membutuhkan penanganan yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Di Indonesia sendiri, menurut beberapa kalangan, fenomena anak indigo memang belum ada yang meneliti. Kendati demikian bukan berarti di Indonesia tak ada anak indigo, yakni anak-anak yang lahir mulai tahun 1980-an dan memiliki intuisi, insting, dan perasaan yang tajam. Dalam bahasa yang berbeda, anak indigo juga dikenal sebagai anak yang lahir mulai tahun 1980-an dan memiliki kemampuan untuk melihat atau berinteraksi dengan hal-hal yang berwujud gaib, yang tak dapat terlihat dengan mata biasa. Ciri yang lain di antaranya, ya, aura anak indigo yang berwarna biru keunguan (indigo) bila difoto dengan alat khusus. Itulah sebabnya anak-anak seperti itu dinamakan anak indigo.

Salah seorang yang diduga anak indigo di Indonesia adalah putra pertama pasangan Donna Turner dan Ano Sajid, Milo Putra Mata Dewa, yang lahir pada 12 Juli 2001 . “Sejak bayi, saya perhatikan dia memang sering seperti sedang melihat sesuatu, yang tak jarang membuat dia tertawa-tawa. Tadinya, saya anggap biasa karena katanya bayi memang seperti itu, lebih peka dengan kehadiran makhluk yang tak kasat mata di sekitarnya. Tapi, ketika sudah agak besar, ketika usianya hampir dua tahun dan sudah bisa bicara, dia sering menceritakan bahwa dia melihat sesuatu, yang oleh kami tidak kelihatan. Misalnya, waktu sedang liburan di Solo, dia pada suatu sore mengatakan ada orang yang datang dengan pakai baju model kuno dan rambutnya dikonde. Padahal, saya dan suami saya tidak melihat siapa pun di sana. Saya lalu menemui saudara kami yang mengerti hal mistik dan menanyakan hal itu. Saudara kami itu pun mengatakan bahwa yang dilihat Milo itu seorang perempuan tua berkemben dan rambutnya disanggul,” ujar Donna.

Toh, sampai sejauh itu Donna dan Ano belum memberi perhatian khusus terhadap keistimewaan yang dimiliki anaknya itu. “Tapi, setelah kejadian-kejadian semacam itu terus dialami Milo, terutama setelah ia sering mengatakan bahwa ada teman atau saudara kami yang dia kenal mau datang bertamu dan ternyata benar barulah kami memberi perhatian yang lebih serius,” tutur Ano. Mereka lalu membawa Milo ke seorang dokter ahli jiwa yang dikenal punya perhatian terhadap anak indigo. “Tapi, saya datang ke sana lebih untuk meminta saran bagaimana menangani anak saya itu, yang sangat hiperaktif dan tampaknya punya kemampuan visual yang lebih peka dari orang kebanyakan,” kata Donna, yang juga seorang psikolog lulusan Universitas Indonesia.

Sang psikiater pun menceritakan soal anak indigo dan berbagai cirinya, yang banyak juga dimiliki oleh Milo. “Tapi, karena dia masih kecil dan tak punya masalah dengan sosialisasi, kami tak intensif membawa dia ke psikiater itu. Tapi, kami sempat ikut perkumpulan orang tua yang memiliki anak indigo beberapa kali dan di sana kami saling membagi pengalaman,” ungkap ibu dari Milo Putra Mata Dewa dan Vigo Putra Maha Wangsa ini.

Meski sudah mulai dapat memahami keistimewaan sang anak, baik Donna maupun Ano tak mengubah pola pengasuhan yang selama ini diterapkan kepada Milo. “Paling-paling, bila dia sedang menceritakan sesuatu yang ia lihat tapi tak terlihat oleh kami, saya akan menanyakan kepada dia, apa yang dia lihat dan saya informasikan juga bahwa saya tak melihat apa yang dia lihat. Ini untuk menyiapkan mental dia bahwa apa yang ia alami itu tidak dialami oleh semua orang. Dengan begitu kami harapkan dia kelak tidak kaget jika ada orang yang merasa heran dengan apa yang ia ceritakan mengenai apa yang dia lihat itu. Terus kalau dia sangat takut atas apa yang dia lihat, saya dan suami saya menyarankan agar dia tak melihat terlalu lama,” ujar Donna, yang merelakan diri meninggalkan karirnya demi lebih fokus mengurus kedua anaknya, terutama mengurus Milo. Baik Donna maupun Ano berharap, jika memang benar Milo punya keistimewaan, keistimewaan kelak dapat bermanfaat bagi orang banyak.

Inna Wongso
Sempat Frustrasi
Yang juga dianggap anak indigo di Indonesia adalah Liong Vincent Christian, anak pertama pasangan Inna Wongso dan Liong Jun Hok yang lahir pada 20 Mei 1985. Vincent, begitu biasa ia disapa, kini telah kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya, Jakarta, dan dikenal sebagai orang yang aktif menyebarkan gagasan-gagasan dan pendapatnya di berbagai mailing-list, antara lain mailing-list yang ia kelola sendiri (vincentliong@yahoogroups.com) dan mailing-list psikologi_transformatif@yahoogroups.com. Selain itu, Vincent juga mengaku sedang menekuni dunia metafisika, sejak beberapa tahun lalu. Itulah sebabnya oleh beberapa temannya ia dianggap sebagai “dukun”.

Ketika masih duduk di bangku SMP, Vincent telah banyak menulis tentang berbagai soal yang ia renungkan, termasuk masalah sosial, ekonomi, politik, dan kemanusiaan. Karena tulisan-tulisannya memang memiliki kualitas yang baik dengan cara pandang yang berbeda dengan anak SMP pada umumnya, tulisan-tulisan Vincent itu kemudian diterbitkan oleh penerbit Grasindo dengan judul Berlindung di Bawah Payung (2001). Tak mengherankan jika seorang wartawan harian terkemuka di negeri ini menganggap Vincent sebagai anak yang berbeda dari anak-anak sebayanya—meski bukan anak yang aneh—dan kemudian menuliskan soal Vincent di media besar tempat ia bekerja itu. Sejak itulah Vincet dianggap sebagai anak indigo oleh banyak kalangan. Apalagi, Vincent di masa SMA-nya juga kemudian menulis ulasan panjang tentang aspek manusia dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, yang memiliki bobot istimewa sebagai kritik sastra, sehingga dimuat dalam sebuah buku yang memperbincangkan karya-karya Pramoedya.

“Sebetulnya, kami sebagai orang tuanya tidak tahu apakah Vincent itu indigo atau bukan, meski memang ada ciri-cirinya dan pernah kami bawa ke sebuah klinik kejiwaan. Dokter di klinik itulah yang pertama kali mengatakan Vincent sebagai anak indigo. Tapi, kami sebagai orang tua tetap bersikap ‘hati-hati’ dengan pemberian label itu, karena bisa menjadi beban yang berat bagi Vincent. Bagi saya dan ibunya, istilah atau pemberian label itu sendiri tidak begitu penting,” kata Liong Jun Hok, sang ayah.

Yang pasti, Inna Wongso sebagai ibu dari Vincent mengaku sempat frustrasi ketika mengasuh dan membesarkan Vincent, terutama dalam urusan sekolah. “Nilai-nilai pelajarannya selalu buruk dan ia juga malas mencatat pelajaran. Padahal, saya tahu dia bukan anak yang bodoh. Ketika usianya belum lagi dua tahun, misalnya, ia sudah hafal lagu kebangsaan Indonesia Raya, padahal kami tak pernah mengajarkannya. Itulah sebabnya, saya menerapkan disiplin yang sangat keras terhadap Vincent agar ia bisa menyelesaikan sekolahnya. Setiap kali mau ujian, saya selalu sibuk memfotokopi catatan-catatan dari teman-temannya, karena ia tak pernah punya catatan dari semua pelajaran yang telah diberikan di sekolahnya. Tapi, terus-menerus seperti itu membuat saya akhirnya kelelahan dan menyerah, membiarkan Vincent seperti apa adanya saja,” ujar Inna Wongso. Apalagi, Vincent juga bukan tipe anak yang menurut, meski punya perhatian yang luar biasa terhadap sesuatu dan responsif. Kendati demikian, pihak sekolah akhirnya dapat memahami Vincent karena ia dianggap telah mengharumkan nama sekolah lewat karya-karya tulisnya.

Toh, kekhawatiran masih melanda kedua orang tua Vincent, karena anaknya itu mereka anggap masih kurang disiplin dalam belajar. Sampai-sampai, karena khawatir Vincent tak siap menghadapi masa depan, mereka lalu mengirimkan Vincent ke luar negeri selama sebulan, sewaktu Vincent masih SMA. “Dengan bersikap seperti itu, kami berharap dia bisa melihat dunia yang lebih luas lagi sehingga semangatnya untuk belajar kembali terpacu. Kami juga berharap dia bisa memperlancar bahasa Inggrisnya, sebagai bekal masa depannya, kalau-kalau urusan sekolahnya kacau,” kata Inna.

Vincent dibiarkan pergi sendiri ke luar negeri. Padahal, di negara yang ia tuju itu tak ada satu pun sanak-kerabat atau temannya. “Pulang dari luar negeri, tetap saja urusan sekolah Vincent masih berantakan. Sampai-sampai, kami harus memindahkan dia ke sekolah lain. Untunglah, di sekolah barunya itu para gurunya banyak membantu dia,” ungkap Inna. (Pedje)

4 comments:

  1. hebaaaaat yaaaaa......
    tapi sayangnya ini posting panjang amat,kayak jadinya kayakbaca kerta print-nan. Tapi yaaaa. semangat trus ngeblog bossss.

    ReplyDelete
  2. Thanks, Fles. Ini memang artikel-artikel gw yang pernah dimuat di beberapa media, Fles, jadinya, ya, memang panjang untuk ukuran blog. Semoga aja apa yang gw tulis bisa bermanfaat bagi lebih banyak orang.

    ReplyDelete
  3. Yaaa ndak apa apa panjang, artikelnya oke. Cuma postingannya di akalin dengan read more. Jadi halaman depan cuma ada cuplikan paling menarik, atau headline nya aja. Jadi juga bisa beberapa artikel langsung muncul di halaman depan. alaaa...sotoy neh....kaya garamin air laut aja, alias ngajarin yang lebih pandai....sorry ya bos Pedje.

    ReplyDelete
  4. Justru gw mau nanya caranya, Fles. Gw kan emang gaptek nih sama yang begituan. Ajarin dong.

    ReplyDelete