Friday, October 23, 2009

Jerit Penderitaan Anak-Anak di Tengah Keindahan

Di laut lepas, keindahan terhampar. Laut biru, langit biru. Namun, di sana ternyata ada juga anak-anak yang menderita. Ujian bagi hati nurani.


Namanya Jaya. Usianya 12 tahun. Ia terpaksa berhenti sekolah karena ibunya meninggal dunia. Bapaknya sendiri ada di tengah laut dan tak pernah sekalipun melihat dirinya, bahkan selama 12 tahun itu tak pernah pergi ke darat. Jaya pun menyusul bapaknya. Dan, di tengah malam buta, Jaya tiba di tempat bapaknya, sebuah “kompleks” bangunan kumuh di tengah laut: jermal.

Ya, bangunan yang dibuat untuk menangkap ikan itu terletak di laut lepas. Jermal dibangun di atas tiang-tiang pancang yang terbuat dari kayu. Di sela-sela tiang-tiang itu dipasang jaring untuk menangkap ikan, yang terdiri dari tiga bagian: mulut, badan, dan kantong. Jaring jermal ini bentuknya bisa menyerupai tikar (jermal biasa), berbentuk kantong (bubu jermal atau jaring kantong jermal), atau berbentuk gabungan antara tikar dan kantong (kilung bagan, ambai jermal).

Di jermalah Jaya akhirnya bisa bertemu bapaknya untuk pertama kali. Tapi, kemudian, ada kepedihan mengiris. “Aku tak pernah punya anak,” kata seorang lelaki tambun, yang diberitahu oleh juru masak jermal bahwa Jaya adalah anaknya. Demikianlah adegan-adegan awal film Jermal karya bersama Ravi Bharwani, Rayya Makarim, dan Utawa Tresno, yang skenarionya juga digarap bersama oleh Rayya Makarim, Ravi Bharwani, dan Orlow Seunke.

Yang memerankan bapak Jaya dengan cemerlang adalah aktor kawakan Didi Petet. Jaya sendiri diperankan oleh seorang anak yang belum punya pengalaman bermain film sebelumnya, seorang anak kampung di Sumatra Utara yang berhasil lolos saringan pemandu bakat untuk film ini. Dia adalah Iqbal S. Manurung, yang bermain cukup wajar dan mampu menyentuh emosi penonton. Maka, kita akan melihat dalam film yang akan mulai diputar di bioskop pada 12 Maret ini sebuah gambaran nan memilukan hati, bukan saja yang berhubungan dengan anak dan bapaknya, tapi juga nasib anak-anak di jermal. Di laut lepas perairan Sumatra Utara, kita tidak hanya melihat keindahan alam yang memukau, tapi juga kerasnya kehidupan di tengah impitan kesepian yang mengental. Di sana bukan hanya ada hamparan laut biru-langit biru, tapi juga penderitaan dan perlakuan yang tidak manusiawi.

Di sana ada banyak anak-anak di bawah umur dipekerjakan, dengan upah yang minim pula. Anak-anak itu diharuskan bekerja untuk mengangkat jaring, siang dan malam, dengan istirahat sekadarnya. Tak ada hari libur dan jadwal kerja minimum di atas jermal adalah tiga bulan. Sering para pekerja ditahan di jermal sampai ada penggantinya. Tak sedikit pula dari mereka yang mengalami penyiksaan dan perundungan seksual. Kepedihan, kesepian, keterkucilan, dan penderitaan anak-anak yang menjadi buruh di jermal itu tergambarkan dengan baik dalam film ini.

Dalam realitas faktualnya, apa yang tergambar di film tersebut masih saja terjadi. Padahal, Pemerintah Provinsi Sumatra Utara sendiri pernah mencanangkan bahwa pada tahun 2004 tidak akan ada lagi buruh anak di jermal. Polisi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat pun kerap melakukan razia-razia ke jermal. ”Pola bekerja buruh anak di jermal biasanya berotasi selama tiga bulan. Kadang sama sekali tidak ada buruh anak, tapi bisa suatu ketika jumlah buruh anak sangat tinggi,” ujar Ketua Pelaksana Harian Komite Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak Sumatra Utara, Ariffani, beberapa waktu lalu. Data terakhir yang diperoleh komite itu menyebutkan, tahun 2006, dari 17 jermal di sepanjang pantai timur sedikitnya ada 14 buruh anak dipekerjakan.

“Sebelum bermain di film ini, saya sangat sedikit tahu tentang jermal. Sekarang jadi tahu ketertindasan mereka. Jermal mempekerjakan anak-anak, padahal harusnya sekolah, belajar. Dalam syuting film ini ada anak-anak asli jermal ikut bermain. Saya jadi mengenal mereka, belajar mengenai bagaimana mereka hidup. Mereka jadi begitu karena tuntutan ekonomi. Tapi sebenarnya mereka anak-anak yang lembut, hanya saja mereka berada di situasi yang keras,” kata Didi Petet.

Secara lebih lengkap, film Jermal mengisahkan tentang Jaya, 12 tahun, yang baru bertemu ayahnya, Johar, 48 tahun. Johar bekerja di sebuah jermal terpencil dan sulit dijangkau karena dibayangi masa lalu kelam, yang membuatnya tak bisa kembali ke daratan. Tepat 12 tahun yang lalu, Johar memergoki istrinya berselingkuh dengan laki-laki lain. Ia menyerang laki-laki itu dan meninggalkannya dalam keadaan sekarat. Johar pasti ditahan polisi bila kembali ke daratan. Ketika Jaya tiba di jermal, ia langsung ditolak Johar yang tidak pernah tahu bahwa ia punya seorang putra. Sadar sepenuhnya bahwa ia tak mungkin kembali ke daratan untuk mengantar si bocah, Johar pun terpaksa menerima Jaya bekerja di jermal tersebut.

Tidak mudah bagi ayah dan anak itu untuk menerima kenyataan dan menyesuaikan diri dengan situasi baru ini. Jaya mencoba bergabung dengan anak-anak pekerja jermal, tapi proses adaptasinya amat sukar. Penampilannya yang masih kanak-kanak dan sikapnya yang teratur layaknya anak sekolahan membuat dirinya tampak kontras dengan anak-anak pekerja jermal. Namun, Jaya melewatkan hari-harinya dengan bekerja keras dan menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, sambil terus berharap sang ayah mau mengakuinya. Tapi, Johar tegas-tegas membantah ia punya anak, meskipun ditantang dan diprovokasi temannya, Bandi, sang juru masak jermal.

Situasi menjadi semakin parah oleh kelakuan anak-anak pekerja yang terus-menerus mengganggu dan mengejek Jaya, yang kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya. Johar sama sekali tak membantu. Dengan menyangkal bahwa dia punya anak, Johar menghancurkan harapan Jaya akan tempat berlindung yang ia cari dan ia rindukan selama ini.

Karena merasa tak diinginkan, Jaya mencoba melarikan diri tapi gagal. Ia dibawa kembali ke jermal dan diberi pekerjaan-pekerjaan berat untuk hukumannya. Anak-anak jermal terkejut akan tindakan berani Jaya dan menjadi lebih hormat padanya.

Kehidupan di jermal berlanjut, tapi kali ini Jaya tak mau menyerah pada nasib. Ia tak lagi mengharapkan pengakuan ayahnya dan memusatkan segala daya upayanya untuk bertahan hidup di jermal. Jaya belajar keterampilan dan sikap yang dibutuhkan untuk bisa bertahan di jermal. Ia perlahan berubah menjadi seperti anak-anak pekerja di situ: tangguh, keras, seorang survivor.

“Cerita film ini memang kuat,” kata Mira Lesmana, yang ditemui usai menonton pemutaran khusus film Jermal di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus khusus, Jakarta, bulan lalu. Karena itu, sempatkanlah untuk menonton film ini. Meski bergerak agak lambat, film ini bisa mendatangkan pencerahan bagi Anda. Setidaknya, inilah saat Anda menguji diri Anda sendiri, apakah kepekaan Anda terhadap persoalan sosial yang ada di negeri ini masih cukup tajam. Semoga saja begitu. (Pedje)


26 Hari di Laut Lepas
Beberapa waktu lalu, saya sempat berbincang-bincang dengan Rayya Makarim, Ravi Bharwani, dan Didi Petet di Grand Mahakam Hotel, Jakarta Selatan. Kami ingin tahu lebih banyak tentang proses produksi film Jermal. Didi Petet masih tampak lelah, ada bulan sabit hitam di bawah matanya, meski tetap tidak kehilangan selera humor dan kehangatannya. “Saya sempat bertanya, kenapa baru seumur ini dapat peran seperti di Jermal, peran yang sangat menantang,” ujar Didi. Dalam film ini, Didi memang membawa beban psikologis karakter Johar yang berat.

Latar belakang tokoh yang ia perankan adalah seorang guru, yang istrinya ia pergoki sedang bersama pria lain ketika ia baru saja pulang mengajar di luar kota. Johar kemudian menikam pria itu, lari ke tengah lautan, dan belasan tahun tak kembali ke darat, sampai tak tahu bahwa ia sebenarnya punya seorang anak laki-laki, dan baru bertemu dengan anak lelakinya setelah 12 tahun di jermal. Dalam suatu adegan, Didi bahkan harus meloncat ke laut lepas. “Tadinya, saya minta untuk dijaga oleh Pasukan Katak Marinir. Tapi, berhubung tidak ada, ya, yang menjaga saya adalah beberapa orang dari daerah sana,” ungkap Didi Petet.

Adegan yang juga menguras emosi Didi adalah adegan ketika Johar harus berkali-kali membenamkan Jaya ke dalam bak berisi air. “Itu emosi tinggi. Tapi, ketika saya sedang melakukan adegan itu, tiba-tiba penata kamera berteriak, ‘Cut..., cut..., cut....’ Saya marah, karena dia tidak berhak melakukan itu, yang berhak adalah sutradara. Rupanya, penata kamera melakukan itu karena tidak tahan melihat adegannya. Dia sampai menangis dan berurai air mata. Dia teringat anaknya. Saya pun jadi maklum,” tutur Didi sambil menarik napas. Berikut petikan pembicaraan saya dengan ketiga pekerja kreatif yang militan tersebut.

Bagaimana ceritanya sampai film Jermal dibuat?
Rayya Makarim: Awalnya, ada beberapa orang Indonesia, termasuk saya dan Ravi Bharwani, yang diundang oleh Orlow Seunke, seorang sutradara Belanda, untuk mengikuti script development workshop. Yang diundang ke workshop ini memang bukan orang yang baru dalam dunia film. Masing-masing peserta membawa gagasan ke workshop itu. Nah, Ravi membawa lokasi jermal ini dan ternyata Orlow sangat suka dengan ide ceritanya. Lalu, Ravi meminta saya untuk menuliskan skenarionya. Orlow sendiri, karena suka, mau menjadi produser. Tapi, prosesnya panjang. Workshop ini kan berlangsung empat tahap dan masing-masing tahap memakan waktu tujuh hari. Pada workshop pertama hanya membicarakan sinopsis, digodok, dimatangkan, baru masuk tahap selanjutnya, sampai akhirnya ke tahap script writing.

Ravi atau Anda sendiri memang sebelumnya sudah pernah ke jermal?
Rayya Makarim: Belum. Ravi juga belum. Dia waktu itu cuma baca dari artikel-artikel.
Ravi Bharwani: Saya pertama kali baca artikel soal jermal itu di koran, sekitar tujuh tahun lalu. Dari situ tu saya lihat lokasi sepertinya oke banget kalau dibikin film. Artinya, secara estetika bagus, di tengah laut. Lalu, konsep sebuah lokasi di tengah laut itu terisolasi, manusia-manusia di tengah laut itu. Dan, saya punya kecenderungan suka dengan tema-tema seperti itu. Jadi, lokasi dengan temanya menyatu. Kekuatannya justru karena kami mulai dengan tema dan ruang yang sudah menyatu. Dengan begitu, kalau ada hal yang kurang di skrip, kami langsung mengoreksi. Lebih-lebih, kami kan mengerjakan skripnya bertiga. Kami saling mengoreksi.
Rayya Makarim: Jadi, kami datang membawa lokasi dan tema itu. Lalu, kami cari sebuah cerita yang bisa mengakomodasikan kedua hal tersebut. Kami pun mencoba mencari sebuah cerita yang universal, hubungan bapak dan anak. Dua orang ini dipaksakan untuk bertemu di atas jermal dan tidak bisa lari. Di situlah konflik yang akan terjadi karena jermalnya sendiri adalah tempat yang terisolasi dan karakter si bapak juga terisolasi secara psikologis.

Ketika akan menulis skrip itu apa datang dulu ke jermal?
Rayya Makarim: Waktu bikin cerita, kami hanya berdasarkan riset literatur. Baru setelah dapat garis besar, emotional story-nya, kami ke sana, untuk mencocokkan dengan apa yang kami tulis itu atau menambahkan yang masih kurang. Juga untuk melihat atmosfernya, keadaannya, dan kejadian yang lucu-lucu. Misalnya, ketika akan naik ke atas jermal, orang harus menarik diri ke atas dengan tambang, dengan sebelumnya menjaga keseimbangan sejak dari kapal. Saya bilang, saya enggak mungkin melakukan itu. Jadi, yang mereka lakukan adalah menurunkan ember ikan yang besar dan saya masuk ke dalamnya, lalu ditarik ke atas. Dan itu masuk ke dalam skrip, ketika Jaya pertama kali datang ke jermal. Dia kan anak sekolah, datang dari darat. Itu inspirasinya dari pengalaman saya sendiri. Dan ternyata, setelah datang ke sana memang banyak yang perlu ditambahkan, terutama detail-detailnya yang mengerikan dan menegangkan.

Berapa lama proses pembuatan skenarionya?
Rayya Makarim: Workshop yang kami ikuti sendiri berlangsung selama setahun, jadi kira-kira satu skenario itu setahun.
Didi Petet: Secara struktural, skenarionya sangat kuat. Sampai-sampai, saya berani sekali waktu baca langsung mengatakan “yes”. Dengan membacanya saja orang menjadi ingin tahu terus apa yang akan terjadi selanjutnya. Semuanya terjaga dan tidak bergenit-genit, tidak seperti Hollywood.
Rayya Makarim: Skenario ini juga mendapat penghargaan tertinggi di Locarno Film Festival, Swiss, bersama Photograph yang juga dari Indonesia.

Ketika itu belum dibuat film, kan?
Rayya Makarim: Belum. Sebagian dari biaya produksi filmnya justru dari Locarno Film Festival itu. Kami pun mendapat bantuan pembiayaan dari Berlin Film Festival dan Rotterdam Film Festival. Kami juga bekerja sama dengan Dutch Film Company. Jadi, 75% penyandang dananya dari luar negeri dan 25% lokal.
Didi Petet: Cara bekerja seperti itu bisa dibilang sebagai terobosan. Skenarionya jadi dulu, kemudian beredar dulu, baru dibuat filmnya.
Ravi Bharwani: Orlow itu sangat disiplin. Kalau ada tahapan yang belum benar banget, belum oke banget, itu tidak mungkin diajukan ke tahap berikutnya. Jadi, ketika ini sudah matang, sudah tidak ada yang diutak-utik lagi, ya, sudah ini tinggal bagian produksi yang menjalani. Apa yang ada diproduksi itu hanya eksekusi.

Jadi, proses di lapangan menjadi relatif mudah, ya?
Ravi Bharwani: Tetap saja problem di lapangan banyak.

Misalnya?

Rayya Makarim: Cuaca. Tidak pernah ada waktu yang pasti kapan pasang surut dan kapan pasang naik. Kami kadang harus berangkat pukul 07.00 di jadwal, tapi akhirnya harus menunggu di hotel sampai pukul 09.00 karena kapalnya belum bisa datang, belum bisa keluar dari tempatnya. Kadang, kami juga terdampar di atas jermal. Jadi, tidak pernah pasti jadwalnya. Juga kadang dua hari ada badai dan itu artinya kami tidak bisa syuting sama sekali.
Didi Petet: Lokasinya syutingnya juga relatif sempit.
Rayya Makarim: Ya, secara teknis, lokasinya kecil. Sampai-sampai, kalau kami mau menyimpen generator mesti berhari-hari berdebat, ha-ha-ha.... Akhirnya memang di simpan di jermal, dicari tempat yang paling dapat meminimalkan suaranya. Tapi, ya, kalau kami syuting di sini, kami harus memidahkan generator dan orang-orang sekaligus ke lain tempat.

Syutingnya sendiri berapa lama?
Rayya Makarim: Syuting di sana 26 hari. Pokoknya kami di daerah itu sekitar lima minggu. Dan, anak-anak itu dua minggu sebelum syuting sudah latihan. Sekali-kali kami bawa mereka ke jermal, kami suruh mereka menginap di sana, dengan begitu mereka bisa membaur. Mereka kan berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

Memangnya ada syuting di tempat lain?
Rayya Makarim: Tidak, seluruhnya di sana. Jadi, dalam film ini, dari awal sampai akhir lokasinya di tengah laut.
Didi Petet: Ini juga membantu secara emosional. Emosi kami di sana menjadi tinggi sekali, ha-ha-ha.... Karena, yang kami temui kan “lu lagi, lu lagi...”.
Rayya Makarim: Makanannya juga, itu lagi, itu lagi....

Anak-anak itu dari sanggar teater?
Rayya Makarim: Bukan. Semua amatir.

Anak jermal?
Rayya Makarim: Beberapa anak jermal, tapi beberapa lagi ada anak pesantren, ada yang punya warung baso, dan sebagainya. Jadi, benar-benar anak dari daerah sana.

Ada kesulitan menyutradarai mereka?
Ravi Bharwani: Ternyata menyutradarai mereka jauh lebih mudah daripada yang pernah kami bayangkan. Memang, untuk mendapatkan mereka perlu waktu yang lama. Mereka dari berbagai latar belakang. Ada yang dari pesantren, anak sekolah di Medan, anak pesisir di sana, anak jermal sendiri, dan ada anak jalanan. Seleksinya lumayan ketat dan mungkin ini yang membantu kami. Mereka bermain natural sekali, sehingga kami tidak terlalu berat menyutradarainya.
Didi Petet: Mereka sudah jadi secara alami, tak perlu latihan terlalu lama.

Kalau pemilihan Didi Petet sendiri bagaimana?
Rayya Makarim: Sejak awal skenarionya ditulis, kami sudah sepakat bahwa yang harus jadi Johar, tokoh utamanya itu, ya, Didi Petet. Karena, selain sosoknya cocok dengan karakter Johar, kami juga perlu aktor yang bisa melakukan transisi dari karakter yang sangat tertutup sampai tambah lama tambah lama tercongkel juga dinding ketertutupannya itu. Kami merasa Didi Petetlah yang bisa.
Didi Petet: Peran itu benar-benar menantang. Jarang ada karakter yang seperti itu dalam film Indonesia. Raya memang gila, ha-ha-ha.... Saya sendiri berantem berkali-kali sama dia, untuk mendapatkan ini-itunya, sejak masih dalam proses pembacaan skenario, ha-ha-ha.... (Pedje)

2 comments:

  1. Wah, updated terus nih postingannya.Siplah, nanti sering2 kubaca-baca.

    ReplyDelete
  2. Ini artikel-artikel lama gw yang pernah dimuat di beberapa media, Bek. Kalau masih ada file-nya, ya, gw muat di sini. Dengan ditaruh di blog ini, semoga saja bisa lebih bermanfaat untuk lebih banyak orang lagi. Thanks udah nengokin blog ini, Bek.

    ReplyDelete