Saturday, October 31, 2009

Membuka Jalan untuk Kenikmatan Hidup

Depresi lebih dari sekadar krisis kimiawi otak, tapi justru lebih banyak karena suatu krisis spiritual. Karena itu, antidepresan saja tidaklah cukup.


Baru-baru ini, seorang teman menelepon dan mengajak bertemu. Katanya, dengan nada suara yang kelabu, dia ingin curhat. Karena tak tega, saya menyanggupi, meski sebenarnya ada perasaan enggan. Dan, pada suatu sore yang mendung, pada awal Juli lalu, kami pun bertemu. Sebut saja teman saya itu Ina.

Sore itu, air mukanya mirip dengan warna langit. Terlihat juga kalau Ina kurang tidur. Dan, benar dugaan saya. Ia mengaku sudah hampir dua minggu mengalami kesulitan tidur. “Nafsu makan pun hilang. Gue lagi stres berat,” ujarnya. Rupanya, Ina memang sedang menghadapi banyak masalah. Kedua orang tuanya sedang dirawat di rumah sakit, kehidupan rumah tangganya sedang menghadapi cobaan yang cukup berat, dan ada beberapa persoalan lagi yang bikin mumet kepala.

Saya hanya mendengarkan saja. Saya teringat beberapa literatur yang pernah saya baca. Menurut saya, teman saya ini sedang mengalami serangan priode depresi ringan dalam hidupnya, tapi serangan itu tiba-tiba menjadi sangat buruk—suatu kasus yang berat dari depresi kecemasan. Umumnya para psikiater akan mengatakan bahwa Ina membutuhkan suatu antidepresan. ”Dan, mereka benar,” kata Henry Emmons, M.D., seorang psikiater umum dan holistik yang tinggal di Minneapolis-St. Paul, Amerika Serikat, seperti yang saya baca dari bukunya, The Chemistry of Joy. Menurut Henry Emmons, suatu antidepresan dapat dengan cepat dan manjur mengatasi depresi seperti yang dialami Ina itu. ”Namun, sering kali juga seluruh perawatannya berhenti hanya sampai di sana,” ujarnya.

Jika orang seperti Ina mengalami suatu serangan jantung, menurut Emmons, ahli jantungnya tidak akan memberikan resep untuk obat penurun kolestrol dan tekanan darah, tapi akan membiarkan saja. Ahli jantung hanya memberikan serangkaian nasihat: jangan merokok, perbaiki pola makan, berolahraga, dan pelajari cara mengatasi stres. ”Bahkan, psikiater yang baik sekalipun cenderung melihat pasien depresi sebagai orang sedang mengalami gangguan kimiawi otak ketimbang suatu kompleks integrasi dari pikiran, badan, dan jiwa,” tulis Emmons dalam bukunya. ”Meskipun dapat dipertanggungjawabkan, dokter yang peduli pun—termasuk psikiater yang menjalankan praktik umum—banyak yang tidak menyadari bahwa depresi membutuhkan suatu diet ’otak-sehat’ dan gaya hidup.” Kimiawi kenikmatan, tulis Emmons, dibangun di atas suatu fondasi berbagai nutrisi khusus, seperti bermacam vitamin B, asam lemak Omega-3, dan pelbagai antioksidan, yang memengaruhi kimia otak penyebab depresi.

Emmons lebih percaya pada mind-body medicine, sehingga dia pun mengambil kearifan dari sistem-sistem yang diwarisi oleh masyarakat Timur masa lampau, yakni Ayurveda dan filosofi Buddha. “Lewat Ayurveda, kita dapat menemukan tipe pikiran-tubuh yang khusus, yang menawarkan tanda-tanda untuk mendapatkan keseimbangan dalam hidup kita. Sementara itu, lewat studi filosofi Buddha, kita dapat mempelajari cara mengendalikan pikiran, mengatasi ketakutan-ketakutan kita, membuka hati kita, dan belajar memaafkan, yang membuka jalan untuk kenikmatan hidup,” ungkap Emmons.

Memang, seperti dikatakan oleh James S. Gordon, M.D., psikiater dan pendiri Center for Mind-Body Medicine di Washington, D.C., depresi lebih dari sekadar krisis kimiawi otak, tapi justru lebih banyak karena suatu krisis spiritual. “Depresi dan kecemasan berkembang dari cara seseorang merasakan dan melihat dunia, dalam kehidupannya,” kata Gordon pada situs WebMD. “Untuk mengatasi depresi bukanlah sekadar dikendalikan dengan antidepresan, tapi sering kali membutuhkan perubahan dari hidup si pasien secara keseluruhan. Karena, si pasien harus berdamai dengan bermacam kesulitan dan persoalan dalam hidupnya. Karena itu, kita dapat melihat depresi sebagai suatu kesempatan untuk melakukan perubahan besar,” ungkap Gordon. Lebih lanjut Gordon percaya bahwa pendekatan tradisional—seperti yang dijalankan Emmons—dapat membantu orang-orang mengatasi depresi mereka.

Tak dapat disangkal, dari pengobatan ala Barat, kita mendapat pengetahuan tentang kimiawi otak. Keseimbangan kimiawi otaklah, dalam skala besar, yang mengontrol mood kita, level energi kita, bahkan pandangan kita tentang hidup. Ketidakseimbangan kimiawi otak—serotonin, dopamine, dan norepinephrine—bermuara pada depresi. Berangkat dari pengetahuan itu, program ’otak-sehat’, menurut Emmons, membutuhkan bermacam gizi khusus yang akan membantu menguatkan zat-zat kimia dalam otak. Nutrisi khusus ini tergantung pada tipe depresi yang diderita seseorang, apakah kecemasan, kegelisahan, atau kelambanan.

Dalam kasus yang seperti Ina, yang mengalami depresi kecemasan, karena level serotonin-nya rendah, Emmons dalam bukunya menganjurkan agar orang itu melakukan diet ketat dengan karbohidrat kompleks (umbi-umbian seperti ubi, whole grains, kacang-kacangan, legumes) dan sedikit protein setiap makan. Orang itu harus makan beberapa kali dalam sehari dalam porsi sedikit atau tiga kali dalam sehari dalam porsi yang lebih banyak, plus sedikit makanan ringan. Juga harus mengonsumsi makanan yang banyak mengandung asam lemak omega-3, seperti ikan salmon. Emmons pun menganjurkan orang yang menderita depresi kecemasan untuk mengonsumsi suplemen yang mengandung B-6, B-12, folat, omega-3, vintamin C dan E, betakaroten, dan selenium. Suplemen multimineral dengan kalsium, magnesium, khromium, copper, zinc, dan manganese juga penting, meski umumnya multivitamin yang bagus mengandung mineral-mineral itu.

Sementara itu, Ayurveda yang telah digunakan selama berabad-abad di India mengenal tiga jenis mind-body, yakni udara, api, dan bumi. ”Masing-masing berdasarkan tipe tubuh kita, apakah kurus, kencang, kuat dan berotot, atau sedikit gemuk. Jenis Ayurveda yang dibutuhkan seseorang juga dilihat dari kemampuan orang itu berdapatasi dengan cuaca tertentu, jenis rambutnya, kebiasaan buang airnya, dan kemampuan tidurnya,” papar Emmons.

Kalau mengikuti petunjuk Emmons, teman saya itu bertipe udara, karena Ina dari dulu kurus, ketika baru melahirkan sekalipun. Secara alamiah, ia adalah orang yang kurus. Umumnya, orang seperti itu, menurut Emmons, pikirannya cenderung aktif, jarang beristirahat. ”Orang seperti itu perlu melakukan sesuatu yang akan menenangkan sistem kecemasannya, seperti olahraga ringan tapi berulang-ulang, misalnya berjalan kaki dan naik sepeda. Beraktivitas di alam bebas juga akan membantu orang-orang yang memiliki tipe udara. Sementara itu, gerakan-gerakan tubuh yang berulang-ulang, repetitif, akan meningkatan level serotonin. Cara ini terbukti manjur,” tulis Emmons.

Orang seperti Ina juga perlu mengembangkan struktur dalam kehidupan sehari-harinya: pola makan yang lebih teratur dan olahraga rutin. Jadwal tidur yang teratur juga akan membantu menjaga hormon-hormon tubuh bekerja dengan baik, yang merupakan suatu faktor penting dalam melawan depresi. Selain itu, orang yang seperti Ina sebisa mungkin harus menambahkan kehangatan dalam kesehariannya—dengan makanan dan minuman, mandi air hangat, dan pemijatan. Latihan pernapasan juga akan membantu orang-orang seperti Ina mengatasi depresinya.

Cara lain untuk mengatasi depresi, menurut Emmons, adalah dengan mempelajari filosofi Buddha. Dengan mempelajari filosofi Buddha, seseorang dapat mengatasi depresi akibat krisis spiritual. ”Depresi merupakan suatu tanda dan penting bagi kita untuk mendengarkan apa yang tanda itu katakan. Sering, itu berarti kita perlu mengubah diet kita dan lebih sering lagi berolahraga. Tapi, itu mungkin juga berarti kita perlu menjalani kehidupan spiritual yang lebih dalam. Kita harus mengubah dinamika kehidupan kita yang memicu terjadinya depresi,” kata Emmons. Latihan konsentrasi seperti banyak dilakukan oleh umat Buddha, tambah Emnons, dapat membantu seseorang mengubah pola-pola pikirannya. Latihan ini akan menajamkan kemampuan seseorang untuk fokus pada momen yang sedang dihadapinya. ”Itu merupakan suatu cara menghadapi berbagai masalah yang sedang kita lawan, suatu cara mengendalikan pikiran-pikiran kita. Cara ini memberikan kesempatan kepada otak kita untuk menjadi tenang, sehingga pikiran-pikiran kita tidak begitu aktif. Pada gilirannya, kita dapat tetap bekerja dengan sepenuh kemampuan kita meski sedang menghadapi berbagai masalah,” tutur Emmons. Anda mau mencoba? (Pedje)

1 comment:

  1. Saya butuh dan pengen bgt baca buku the chemistry of joy.. Udah nyari kemana2 ga nemu.. Bisa bantu saya?

    ReplyDelete