Sunday, November 1, 2009

Negara Abai!

Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Ekosokbud. Tapi, nyatanya, hak-hak masih banyak yang diabaikan oleh negara. Sampai kapan ini akan terus terjadi?


Menjelang 64 tahun Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada Agustus lalu, banyak status di Facebook menyerukan kata ‘Merdeka’ lengkap dengan tanda serunya. Namun, tak sedikit pula yang memberi tanda tanya setelah kata ‘Merdeka’ tersebut. Yang belakangan ini umumnya mencoba bersikap kritis terhadap situasi dan kondisi di Tanah Air selama 64 tahun dikelola oleh orang Indonesia sendiri, bukan oleh penjajah asing. Bisa ditafsirkan, sesuai dengan penggunaan tanda tanya setelah kata ‘Merdeka’ itu, mereka mungkin belum merasakan sepenuhnya makna kemerdekaan di republik ini.

Kenyataannya, memang, selama 64 tahun merdeka, masih banyak hak-hak asasi orang Indonesia yang dilanggar atau setidaknya diabaikan oleh negara, termasuk penyelesaian hukumnya. Lihat saja catatan akhir tahun 2008 dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang menilai negara gagal merespons penyelesaian hukum berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, baik itu dari kapasitas maupun kecepatan responsnya. Menurut Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim yang membacakan laporan tahunan tersebut, beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia yang masuk dalam kategori berat masih menumpuk di tangan penyidik. “Tak satu pun hasil penyelidikan Komnas HAM pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat ditindaklanjuti oleh kejaksaan untuk dibawa ke Pengadilan HAM. Debat prosedural dan politis tidak berkesudahan, lemahnya perangkat legislasi justru tak kunjung diantisipasi,” ujar Ifdhal.

Pada tahun 2008 itu, menurut catatan Komnas HAM, ada dua hal yang signifikan yang perlu dicatat, yakni dalam hal hak atas pencarian keadilan bagi korban kasus pelanggaran HAM macet dan meluasnya pelanggaran terhadap hak dasar dengan perilaku kekerasan mayoritas atas minoritas agama maupun politik. Selain itu, Ifdhal mengungkapkan, pemerintah juga tak memerhatikan hak ekonomi, sosial, dan budaya (hak ekosob) sebagai suatu hak asasi warga negara yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. “Hak ekosob ini tidak dijadikan sebagai paradigma dalam penyusunan kebijakan pembangunan, sehingga pembangunan terus berjalan, tetapi hak warga negara tetap dilanggar. Kepentingan dan nilai-nilai fundamentalisme pasar justru dilindungi dan meniadakan hak ekosob warga negara,” ujar Ifdhal.

Sampai menjelang tutup tahun 2009 ini rupanya kondisi seperti itu tidak banyak berubah. Setidaknya itulah yang dilihat oleh Hendrik Dikson Sirait, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia-Jakarta. Padahal, kata Hendrik, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekosokbud, bersama dengan 158 negara lain, pada 1 Desember 2008. “Dalam konteks hak asasi manusia,” tutur Hendrik, “hampir semua hak warga negara belum dipenuhi oleh negara. Misalnya hak untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak.” Hendrik mencontohkan, beberapa tahun belakangan ini marak kembali kasus-kasus penggusuran, terutama di daerah perkotaan. “Memang, secara hukum, mereka yang digusur itu menempati wilayah yang bukan tempat mereka. Tapi, di balik itu kan faktanya mereka tidak punya tempat tinggal. Dan, sebagai negara yang telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekosokbud dan mengimplementasikan ke dalam undang-undang, pemerintah Indonesia mestinya menjalankan kewajiban untuk memenuhi tempat tinggal yang layak bagi warganya,” ungkap Hendrik.

Hak lain yang juga masih diabaikan negara adalah hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan. “Dalam kondisi krisis global sekarang ini, kan pemutusan kerja terjadi di mana-mana. Bahkan, prediksi International Labour Organization, di Indonesia akan terjadi dua juta pengangguran baru akibat krisis global. Tapi, kita lihat, tidak ada upaya dari negara untuk melindungi hak warga negara dalam mencari nafkah. Kita juga sering menyaksikan terjadinya penggusuran pedagang kaki lima, dengan alasan kebersihan, ketertiban, dan keindahan. Hak mereka mencari nafkah diabaikan dan dilanggar oleh negara, karena memang hampir semua produk hukum di negeri ini, mulai dari undang-undang sampai peraturan daerah, tidak mengacu ke dimensi hak asasi manusia,” tutur Hendrik. Dalam kasus pedagang kaki lima itu, tambah Hendrik, mestinya mereka “ditata”, bukan “ditertibkan”. “Di Belanda, kaki lima bisa tertib karena ada penataan di sana. Kalau cuma penertiban, ya, tidak akan ada solusi. Dalam beberapa kasus memang ada solusi, tapi solusi itu dimonopoli oleh negara, tidak melibatkan pedagang,” ujar Hendrik.

Padahal, dalam kasus penggusuran pedagang bunga di kawasan Barito, Jakarta Selatan, misalnya, tambah Hendrik, para pedagang di sana sudah membuat konsep mengenai relokasi lahan usaha mereka. “Bahkan, mereka juga bersedia membiayai sendiri relokasi itu, sesuai dengan pertimbangan ekonomi. Mereka juga mengajukan alternatif lain: tak perlu pindah, tapi akan melakukan penataan lingkungan yang baik. Mereka telah punya konsepnya. Namun, pemerintah menutup mata. Mungkin karena anggaran untuk penggusuran sudah tersedia atau ada pertimbangan bisnis lain,” ungkap Hendrik.

Wakil Ketua Komnas HAM, Ridha Saleh, juga punya pendapat senada. Menurut dia, mencermati kondisi umumnya warga negara yang tinggal di perbatasan serta kelompok miskin kota, negara ditengarai masih mengabaikan hak ekosob warga negara. “Padahal, persoalan seperti permukiman, pemenuhan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan tanah merupakan aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dan dipenuhi negara untuk menjamin kesejahteraan warga negara,” ujar Ridha, seperti dikutip Kompas edisi 31 Agustus 2009.

Lebih jauh Ridha mengungkapkan, proses pembangunan tampaknya keluar dari ruang hak asasi manusia atau tidak dirancang atas dasar untuk memajukan hak asasi manusia. “Pembangunan masih berorientasi pada pertumbuhan, bukan pada manusia,” kata Ridha. Untuk itu, menurut Ridha, sebaiknya pemerintah mengevaluasi kinerja pembangunan nasional. “Presiden beserta jajarannya, khususnya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, nantinya selayaknya meletakkan proses pembangunan sebagai sarana untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara. Esensinya adalah pada kemanusiaan, bukan sekadar fisiknya,” tutur Ridha lagi.

Pengabaian hak warga negara oleh negara, dalam hal ini pemerintah, juga dilihat dan dirasakan oleh sejumlah ulama. Bulan Agustus lalu, sejumlah pengurus Nahdhatul Ulama dari sejumlah wilayah di Jawa Timur mengecam keras pemerintah provinsi dan daerah yang tidak memberikan hak perlindungan kesehatan bagi masyarakatnya. Mereka mengeluarkan fatwa haram untuk itu, karena melihat tingginya angka kematian yang disebabkan tata kelola pelayanan kesehatan sejak tahun 2006-2008.

“Yang harus kita pertegas, jika masih ada warga negara yang masih tidak mendapatkan akses kesehatan, pemerintah telah bertindak zalim, khianat, dan hukumnya haram. Tindakan pemerintah yang bisa dikategorikan haram apabila ada temuan besaran anggaran publik untuk alokasi kesehatan, baik di provinsi ataupun di kabupaten/kota, tak sebanding dengan pengeluaran belanja kepada aparatur pemerintahan. Subtansinya adalah berapa besar pemerintah bekerja melindungi dan mengakomodasi pemenuhan hak-hak dasar masyarakat,” kata seorang ulama itu, K.H. Abd Rozak Sholeh, seperti dimuat http://perhimpunanlink.or.id.

Sampai kapan hak-hak warga negara akan terus diabaikan oleh negara? Entahlah. “Selama tidak ada kemauan politik dari pemerintah sebagai penyelenggara negara, ya, susah. Karena, yang punya otoritas untuk mengambil kebijakan kan pemerintah,” tutur Hendrik Dikson Sirait. (Pedje)

No comments:

Post a Comment