Sunday, November 22, 2009

Liar, tapi Tidak Vulgar

Cerdas dan tangkas. Itulah kesan dari banyak peserta diskusi terhadap penulis buku Cari Aku di Canti, Wa Ode Wulan Ratna. Diskusi pun berjalan seru.


Karya sastra memang bukan sekadar apa yang ingin diucapkan, tapi cara pengucapannya juga menjadi pertimbangan penting. Justru, cara pengucapannya itulah yang membedakan karya sastra dengan karya tulis lain. Bahasa dalam karya sastra bukan sekadar untuk memenuhi fungsi komunikasi, tapi juga didayakan sebagai ‘alat’ untuk mengekspresikan rasa keindahan penulisnya.

Dalam 12 cerita pendek (cerpen) karya Wa Ode Wulan Ratna yang terkumpul di buku Cari Aku di Canti (Lingkar Pena, 2008), hal-hal tersebut dapat kita lihat. Sampai-sampai, pada diskusi buku bulan Mei lalu yang digelar eve's Book Club di Kedai 2 Nyonya, Cikini, Jakarta Pusat, banyak peserta diskusi yang memuji cara penuturan Wulan dalam cerpen-cerpennya, termasuk moderator diskusi, Syahmedi Dean. “Senang sekali sore ini penulisnya bisa datang dan kita bisa mengobrol, bisa mencari tahu bagaimana dia menggali kata-kata cinta, bagaimana sih dia menemukan ide-ide tentang menerangkan malam yang ‘ketika langit dan laut tak ada batas warna dan hanya bintang yang membatasinya’. Bagus sekali,” ujar Dean mengawali diskusi.

Semua itu, ungkap Wulan, tak bisa dilepaskan dari kebiasaannya membaca puisi. Karena, lazimnya, di puisi kita akan mendapatkan penyegaran kata-kata yang tidak biasa. “Kebetulan juga saya suka menulis puisi. Tapi, menurut para penyair, puisi saya enggak bagus, bentuknya seperti prosa liris. Beberapa cerpen yang ada, termasuk ‘Kembang Sri Gading’, saya buat dari rangkaian puisi, yang katanya prosa liris itu,” tutut Wulan.

Atika, salah seorang finalis Face of eve yang rajin hadir dalam eve's Book Club, punya pendapat senada dengan Dean dan sebagian besar peserta diskusi yang lain. Bagi Atika, cerpen-cerpen Wulan dalam buku tersebut bagus sekali dan ia menjadi lebih mengenal Indonesia lebih dalam. “Terutama adat-istiadatnya,” tutur Atika.

Menurut Wulan, proses penulisan cerpen-cerpennya tidak sekali jadi. “Kadang penggalan-penggalan yang ada dalam suatu cerita itu sebenarnya tidak utuh. Biasanya hari ini saya menemukan kata ini, besok ini, besok ini, kemudian saya tulis cerita, besoknya saya baca, ada kata-kata yang baru saya temukan, saya masukkan ke dalam cerita. Ketika menulis cerpen, kan bukan langsung duduk menulis sampai habis, tapi melalui semacam penemuan kata-kata,” ujar Wulan, yang kini tengah sibuk menyelesaikan skripsi untuk meraih gelar sarjana sastra dari sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta.

Warna lokal juga sangat kuat dalam cerpen-cerpen Wulan. Begitu pula dengan citraan alam yang digunakan Wulan dalam cerpen-cerpennya. Semua itu, ungkap Wulan, mungkin karena dirinya seorang perempuan. “Mungkin karena saya perempuan, saya selalu mengidentikkan perempuan dengan natural, perempuan dekat dengan alam. Jadi, semakin dekat semakin indah secara alami. Perpaduan antara perempuan dan alam itu menurut saya punya kekuatan yang romantis. Lebih eksotis. Saya merasa begitu, selain karena saya ingin mencari sesuatu yang beda,” ujar Wulan dengan tangkas.

Mungkin juga karena itulah ada peserta diskusi yang berpendapat, cerpen-cerpen yang ditulis Wulan terasa liar sekali, berbeda dengan sosok Wulan yang tampak lembut dan feminin. “Saya menjadi ingin bertanya, pengalaman-pengalaman atau inspirasi-inspirasi apa saja yang pernah didapat oleh Wulan sampai keliaran-keliaran itu bisa terlintas dalam cerpen-cerpennya yang ada dalam kumpulan Cari Aku di Canti?” ujar peserta yang bernama Yuka itu.

Wulan menjawab bahwa inspirasi cerpen-cerpennya bisa datang dari pengalaman orang lain, pengalaman dirinya sebagai perempuan, dan juga karena pengalamannya melihat banyak hal di lingkungan sekitar dirinya. “Soal keliaran itu, mungkin karena saya sudah capek juga, ya, terlalu patuh pada konvensi. Namun, saya tetap mempertahankan keliaran itu tidak vulgar. Saya tidak vulgar. Karena, keliaran di sini memang imajinasi, tapi ada nilai-nilai yang saya bawa juga bahwa untuk menyampaikan sesuatu itu tidak perlu vulgar. Misalnya bisa kita baca di ‘Bulan Gendut di Tepi Gangsal’, ada di situ membicarakan tentang selangkangan, tetapi sama sekali bukan selangkangan perempuan. Di situ kita membicarakan bagaimana kaitannya perempuan dengan ilegal logging, hukum-hukum ketika memerkosa perempuan,” tutur Wulan.

Untuk tema-tema yang diusung, menurut Wulan, ia lebih cenderung pada tema-tema problematis seputar perempuan dan seputar yang ada sekarang ini. “Jadi, yang sedang terlihat saja, terutama benturan-benturan antara lokalitas dengan modernitas,” ungkapnya.

Hampir semua peserta diskusi menyukai cerpen ‘La Runduma’, yang menjadi bagian pembuka buku kumpulan cerpen Wulan. “Pas baca buku itu saya takjub. Bayangan saya ketika baca buku itu, saya pikir Wa Ode itu umurnya sudah 30 atau 35, ternyata masih dua puluhan. Saya kaget. Saya berharap ia tidak berhenti untuk menghasilkan karya-karya baru. Saya paling suka ‘La Runduma’ karena sangat eksotis. Kebetulan juga di daerah saya di Banjarmasin ada seperti itu,” ujar seorang peserta.

Cerpen ‘La Runduma’ itu sendiri kini tengah digarap oleh Wulan untuk dijadikan novel. “Pada dasarnya, ‘La Runduma’ memang novel. Yang dijadikan cerpen itu satu fragmen saja. Jadi, saya sebenarnya hanya mengangkat tokoh Jopra dengan La Runduma, dengan sisipan tokoh Riwa. Mungkin masih ada tiga fragmen berikutnya yang akan saya ceritakan karena sebenarnya tokoh perempuan di situ ada empat. Dalam cerpennya kan satu tokoh saja yang saya angkat, Jopra. Tunggu saja lanjutannya,” kata Wulan.

Inspirasi cerpen ‘La Runduma’ merupakan kenangan masa kecil Wulan sewaktu di Buton, Sulawesi Tenggara. “Saya pernah ikut dan merasakan posuo, semacam pingitan kalau di Jawa. Lalu, saya pun menuliskannya dan sampai sekarang itu masih berlangsung di Buton,” ungkap Wulan.

Wulan sendiri lahir di Jakarta pada 23 Agustus 1984. Ia sering memenangkan berbagai sayembara penulisan cerpen, di antaranya sayembara Creative Writing Institute, sayembara cerpen yang diadakan Dewan Kesenian Riau, sayembara Krakakatau Award Dewan Kesenian Lampung, sayembara yang diadakan Kedutaan Besar Swiss bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena. Pada 2008 lalu, Wulan juga mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award untuk kategori penulis muda.

Tentu saja, diskusi buku kali ini pun ditutup dengan pemberian hadiah kepada tiga penanya yang dianggap moderator telah mengajukan pertanyaan yang menghidupkan diskusi. Ketiganya masing-masing mendapat voucher Rp100 ribu dan bingkisan batik dari Kedai 2 Nyonya, yang diserahkan oleh pemilik Kedai 2 Nyonya, Dana Iswara dan Dewi Mallarangeng. Selain itu, seluruh peserta diskusi mendapat suguhan kudapan yang memanjalan lidah dari Kedai 2 Nyonya dan jauh-jauh sebelumnya juga mendapat buku Cari Aku di Canti dari penerbit Lingkar Pena. Asyik, bukan? Ayo, segera bergabung dengan eve's Book Club.(Pedje)

2 comments:

  1. Wah, keknya asyik tuh Dje, ikutan diskusi rutin eve. Terbuka untuk umum kan? Jadwal tepat dan tetapnya, dong.

    ReplyDelete
  2. Prioritasnya untuk kaum perempuan, Bek.

    ReplyDelete