Monday, November 30, 2009

Living Dangerously

Hidup Anda datar-datar saja dan sering membosankan? Kenapa tidak mencoba olahraga yang dapat memacu adrenalin, seperti yang dilakukan tiga perempuan ini? Tapi, tetap harus hati-hati, agar tak terjadi kecelakaan fatal.

Pingkan Natalia Mandagi, 33 Tahun, Penerjun
“Parasut Saya Pernah Tidak Mengembang dengan Sempurna”
Betapa indahnya melihat parasut berkembang di bawah langit biru. Melayang-layang di udara bagai ubur-ubur di dalam laut dan kemudian mendarat di suatu tempat. Mengagumkan. Tapi, beranikah Anda melakukannya, menikmati pemandangan lewat udara dengan hanya bergantung pada sebuah parasut?

Pingkan Mandagi berani. Sejak kecil, karena sering melihat ayah dan pamannya sering berlatih terjun payung, Pingkan Mandagi sudah berhasrat untuk mengembangkan parasut di angkasa. “Tapi, saya baru bisa mewujudkan hasrat itu setelah duduk di bangku kelas satu SMA. Karena, usia minimal untuk penerjun payung adalah 16 tahun,” ujar Pingkan. Sebelumnya, ia harus ikut pendidikan dulu. Perempuan yang lahir pada 15 Desember 1974 ini ikut pendidikan terjun di Kalijati, Subang, Jawa Barat, bareng dengan Wanita Angkatan Udara. “Yang diajarkan dalam pendidikan itu antara lain cara melipat parasut, teori menyetir parasut, posisi badan saat terbang atau melayang, dan cara menghadapi saat darurat. Setelah beberapa hari saya dan kawan-kawan belajar teori, kami sudah diperbolehkan terjun. Metode pendidikan terjun yang digunakan sekarang disebut accelerated free fall, yakni para calon penerjun didampingi dua orang jump master di kiri dan kanannya, sehingga metode ini sangat aman,” ungkap ibu dari Darel Kynan Aditya ini.

Kendati demikian, rasa takut sempat muncul juga di hati Pingkan. “Rasanya campur aduk, antara takut dan senang, sampai saya sakit perut, ha-ha-ha…. Walaupun sudah sering lihat, tetap saja namanya melihat pintu pesawat terbuka pasti takutlah, apalagi pas melihat semua yang di bawah begitu serbakecil. Saat itu saya sempat berpikir, ngapain juga, ya, gue ikut-ikutan kayak beginian dan sempat hampir mundur juga. Tapi, ternyata di situlah tantangannya, saat harus mengalahkan ketakutan pada terjun-terjun pertama. Kata pelatih, kalau engga takut, justru enggak normal. Karena, biasanya orang yang enggak takut saat pertama terjun punya kecenderungan overconvidence, yang notabene berbahaya bagi seorang atlet terjun payung,” tutur istri dari Budiman Muhammad ini. Ternyata, setelah beberapa kali memberanikan dirinya untuk terjun, tambahnya, rasa takut itu hilang. ”Justru rasanya menjadi kecanduan. Kalau kelamaan enggak terjun, bisa sakaw, ha-ha-ha...,” kata Pingkan, yang bergelar sarjana seni rupa dari sebuah perguruan tinggi di Bandung.

Pada tahun 1992, di Perth, Australia, Pingkan pernah mengalami kecelakaan, yang hampir merenggut nyawanya. ”Parasut saya tidak mengembang dengan sempurna karena ada tali yang menyangkut. Parasut sempat berputar kencang, sampai akhirnya saya melakukan cut-away, melepas parasut utama, dan mencabut parasut cadangan. Kemungkinan saya agak kurang teliti saat melipat parasut. Puji Tuhan, setelahitu, sampai saat ini saya tidak pernah mengalami kecelakaan apa pun,” ujar perempuan yang sehari-hari berprofesi sebagai desainer interior dan dosen ini. Toh, Pingkan tidak kapok. Bahkan, kalau sedang latihan intensif di luar negeri, ia bisa sepuluh kali terjun dalam sehari.

Untunglah, suami Pingkan seorang penerjun juga, sehingga bisa memaklumi aktivitas putri dari penerjun Theo Mandagi (almarhum) dan Uci Mandagi ini. ”Suami saya penerjun dari Club Aves, Bandung, sementara saya dari Club Manguni 165, Manado. Jadi, sebenarnya kami rival, yang kena cinta lokasi, ha-ha-ha.... Enaknya punya suami sehobi, jadi enggak pernah melarang-larang saya, malah kami saling dukung. Anak kami juga, sejak usia empat bulan sudah mulai menemani saya saat bertanding terjun. Karena saya memberi ASI eksklusif dan tidak ingin terputus, saya selalu membawa dia ke lapangan agar bisa tetap di dekat saya,” ungkap penerjun yang telah menjalani lebih dari 1.350 kali penerjunan ini. Dalam lomba, atlet terjun yang satu ini memiliki spesialisasi pada nomor ketepatan mendarat dan kerja sama di udara.

Fahira Fahmi Idris, 39 Tahun, Pemburu
”Pertama Kali Memegang Senapan, Saya Sudah Bisa Menembak”

Bayangkan Anda berada di dalam rimba raya tengah malam. Hanya ada sedikit cahaya di sana, dari lampu yang Anda bawa. Suara-suara binatang yang belum pernah Anda dengar sebelumnya terdengar ramai di telinga. Bagaimana perasaan Anda? Boleh jadi, Anda akan merasa merasa takut. Tapi, tidak demikian halnya dengan Fahira Fahmi Indris. Sudah sering ia mengalami situasi dan kondisi seperti itu, karena perempuan pengusaha ini punya hobi menembak, khususnya berburu.

Awalnya, Fahira mengaku tidak pernah tertarik untuk terjun ke olahraga menembak, meski pada tahun 1980-an suka melihat ayahnya latihan menembak. ”Ayah saya ketika itu bersama beberapa teman wartawannya mendirikan Aries Shooting Club dan saya bersama ibu saya sering melihat menunggui beliau latihan menembak di Lapangan Tembak, Senayan,” kata sarjana ekonomi lulusan Universitas Indonesia ini. Ia justru masuk ke dunia tembak-menembak secara tidak sengaja, diajak oleh seorang temannya pada tahun 2004. ”Tadinya dia mengundang saya untuk melihat dia latihan menembak. Saya pun datang. Eh, teman saya meminta saya untuk mencoba menembak. Dia kasih pinjam senapannya. Saya pun mencoba dan sasaran yang saya tembak kena semua, sampai-sampai dua instruktur menembak yang ada ketika itu berpikir bahwa saya sering latihan menembak di rumah bersama ayah saya. Padahal, saya tidak pernah latihan sama sekali sebelumnya. Jadi, pertama kali memegang senapan, saya sudah bisa menembak,” ujar perempuan yang kini menjadi Ketua Umum Aries Shooting Club ini.

Sejak itu, Fahira menjadi semangat untuk menekuni olahraga menembak. Ia pun lalu mendatangi ayahnya untuk meminjam senapan. ”Tapi, Ayah malah melarang. Saya pun lalu membeli senapan sendiri, buatan Bandung, dan sejak itu saya giat berlatih,” ungkapnya. Ayah Fahira baru mendukung aktivitas putrinya itu ketika Fahira pada awal 2005 membuat kejuaraan menembak. ”Saya membuat Night Hunting Competition pada Maret 2005, yang persiapannya dilakukan sejak Januari. Ini merupakan kompetisi simulasi berburu, dengan sasaran bergerak. Hadiahnya adalah parsel, karena usaha parsel saya ketika itu tersendat akibat adanya larangan memberikan parsel oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketika lapor ke Ayah, beliau kaget dan lalu mendukung dan kemudian memberi senapan untuk pemenang. Pesertanya membludak, dari seluruh Indonesia,” kenang Manajer Tim Atlet Menembak Indonesia pada SEA Games 2007 di Bangkok ini.

Sekitar sebulan seusai mengadakan kejuaraan itu ada kegiatan safari berburu di Bengkulu. Fahira pun meminta izin ke ayahnya agar diperbolehkan ikut. ”Saya diizinkan, tapi saya tidak boleh membawa senjata dulu. Karena, untuk berburu kan yang dipakai senjata api dan peluru tajam. Saya harus magang dulu. Jadi, saya cuma boleh melihat, tidak boleh menembak,” ujarnya. Namun, di Bengkulu, ia bertemu dengan teman ayahnya yang malah meminjami senapan api. ”Saya juga mendapat pinjaman senjata api dari Om Herman Saren. Akhirnya, sore hari sebelum berburu, saya latihan dulu di hutan, sore hari. Jadi, saya latihan magang pertama saya langsung di hutan. Biasanya orang kan latihan di lapangan tembak. Dan, ketika mulai berburu, saya malah kemudian disuruh menembak dan ketika menembak babi hutan langsung kena jantungnya. Pulang dari sana, saya dihadiahi senjata api oleh ayah saya,” ungkap Fahira.

Tentu saja, senjata api itu tidak boleh disimpan di rumahnya, harus disimpan di gudang Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin). Karena, biar bagaimanapun, senjata api itu sangat berbahaya, bisa menghilangkan nyawa manusia bila tidak ditangani dengan hati-hati. Senjata api itu baru dikeluarkan kalau ada undangan untuk memburu babi hutan yang mengganggu masyarakat. ”Jadi, saya dan teman-teman baru berburu karena adanya permintaan dari masyarakat. Kami datang untuk menolong masyarakat yang ladang atau kebunnya sering dirusak babi hutan. Kami tidak boleh sembarangan berburu. Kami harus punya surat izin berburu dulu, yang dikeluarkan Perbakin,” kata perempuan yang juga berbisnis bahan bakar ini.

Sebelum pertama kali berburu, Fahira memang harus menjalani pendidikan dulu selama empat hari. ”Dalam pendidikan itu diajarkan antara lain mengenai hal-hal yang berkenaan dengan keamanan penggunaan senjata, cara memegang senjata yang benar, dan dikenalkan juga mengenai jenis-jenis senjata dan peluru,” tuturnya. Selama hampir tiga tahun ini menjalani hobi berburu, Fahira mengaku paling senang berburu babi hutan di Bengkulu dan Jambi. ”Di sana babi hutannya banyak sekali dan masyarakatnya juga ramah,” katanya.

Sari Koeswoyo, 39, Off Roader
“Saya Off Road untuk Senang-Senang”

Anda mungkin sudah mahir menyetir. Tapi, pernahkah Anda menyetir di jalan tanah yang begitu terjal dan licin? Jangan pernah mencobanya bila mobil Anda bukan mobil khusus untuk off road dan Anda belum pernah latihan sebelumnya. Bisa-bisa mobil Anda terjungkal dan Anda mengalami nasib buruk, yang mungkin membuat tamat riwayat Anda di dunia ini. Off road memang olahraga berbahaya, meski bagi sebagian orang begitu mengasyikkan. Salah seorang yang sangat menyenangi olahraga keras ini adalah mantan penyanyi cilik yang kini berprofesi sebagai art dealer, Sari Koeswoyo. Saking sukanya dengan olahraga ini, sehari-hari ia menggunakan Land Rover Defender yang gede itu. ”Saya memang penggemar Land Rover,” kata perempuan yang lahir pada 20 Agustus 1968 ini.

Rasa cintanya terhadap Land Rover pertama kali terjadi pada tahun 2004, ketika ia dipinjami mobil buatan Inggris itu oleh om-nya. ”Saya kemudian membeli Land Rover yang dalam keadaan rusak. Karena tidak mengerti mesin, saya pun bertanya-tanya kepada banyak teman dan masuk ke mailing-list penggemar Land Rover. Akhirnya, saya pun bergaul dengan para penggemar Land Rover dan masuk organisasi Land Rover Owner dan Land Rover Club Indonesia. Dari sinilah awal mulanya saya terjun ke dunia off road,” ungkap ibu dari tiga anak ini. Kini, ada tiga Land Rover dari berbagai jenis dimiliki Sari.

Medan yang pertama kali dijelajahi sari dengan Land Rover-nya adalah suatu kawasan di Cidengdong, Jawa Barat. ”Rasanya tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Ada rasa senang, penasaran, sekaligus rasa waswas. Dalam olahraga ini, kita memang harus sangat hati-hati. Kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal. Bukan hanya bodi mobil bisa hancur total dan mesin bisa rusak, tapi juga jiwa kita bisa melayang. Alhamdulillah, saya belum pernah mengalami kecelakaan serius ketika sedang off road,” tutur putri personel Koes Plus Yok Koeswoyo ini. Kecelakaan justru pernah ia alami ketika akan menjembut ayahnya di suatu daerah di Jawa Barat. ”Mobil saya masuk sawah ketika akan menjemput Papa di kebunnya, tahun 2005. Dua ban kiri masuk sawah, ditarik 40 orang tak bisa ketarik. Akhirnya, saya menelepon teman-teman untuk minta bantuan, ha-ha-ha...,” kata Sari.

Biarpun sangat menyukai olahraga ini, Sari tak pernah mau ikut kejuaraannya. ”Saya off road untuk senang-senang. Saya tidak suka kompetisi, karena saya tak suka memaksa mobil untuk bisa tampil maksimum,” kata perempuan yang juga hobi melukis dan memasak ini.

Bila Anda tertarik dan ingin mencoba off road, saran Sari, sebaiknya masuk klub dan jangan pernah melakukannya sendiri. ”Off road itu harus ada teman, ada dua mobil. Jadi, kalau mobil kita mengalami masalah, ada yang bisa menariknya. Jangan lupa untuk selalu menggunakan sabuk keselamatan dan helm, selain selalu mengecek kondisi mesin sebelum berangkat,” ujar Sari.
(Pedje)

No comments:

Post a Comment