Monday, November 16, 2009

Ribuan Perempuan Negeri Ini Setiap Hari Dijual ke Luar Negeri!

Begitu mudah dan terbukanya perdagangan perempuan Indonesia ke luar negeri. Selain dilakukan oleh sindikat yang punya jaringan di luar negeri, diduga ada banyak oknum aparat pemerintah yang terlibat.

Ini kisah malang Debbie (bukan nama sebenarnya, kini berusia 15 tahun). Suatu siang, dengan lugunya, ia mau saja diajak minum oleh seseorang. Akibatnya fatal: ia pelan-pelan merasa pusing dan kemudian kehilangan kesadarannya. Dalam keadaan tidak sadar, ia diperkosa. Dan, penderitaan Debbie tak hanya sampai di situ.

Si pemerkosa rupanya juga memaksa Debbie untuk difoto bugil. Dan, foto-fotonya itu ia pergunakan untuk memaksa Debbie melakukan semua kemauannya. Oleh orang itu, Debbie dijual ke lelaki lain. Debbie dipaksa untuk melayani hasrat biologis lelaki lain, kalau tak ingin foto-fotonya disebar dan diketahui keluarga serta teman-temannya.

Yang bernasib malang seperti itu di negeri ini bukan hanya Debbie. Ada ribuan perempuan (termasuk yang di bawah umur seperti Debbie) di Republik Indonesia tercinta ini yang menjadi “barang dagangan” untuk kebutuhan industri pelacuran dan sebagainya, seperti terungkap dalam banyak kasus yang dikumpulkan Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (Kopbumi). Bahkan, menurut hasil penelitian yang dikoordinasi oleh Retno Setyowati dari Universitas Sebeleas Maret, Solo, Jawa Tengah, terhadap anak-anak yang dilacurkan dari Agustus 2002 sampai Juni 2003 di Surakarta dan Indramayu, ada juga anak perempuan yang dijual untuk dijadikan pelacur oleh orang tuanya sendiri.

Memang, yang masuk kategori perdagangan perempuan tidak selalu harus bermuara ke lembah hitam prostitusi. Menurut Protokol Perdagangan Manusia untuk Naskah Konvensi Internasional terhadap Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi, “perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahtanganan, penampungan, atau penerimaan orang dengan menggunakan cara-cara ancaman atau penggunaan kekerasaan atau berbagai bentuk paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau penyalahgunaan posisi kerentanan atau pemberian atau penerimaan bayaran atau keuntungan lain guna mendapat persetujuan dari seseorang yang mempunyai kendali terhadap orang lain, untuk kepentingan eskploitasi prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, atau praktik-praktik sejenisnya, penghambaan atau pengambilan organ-organ tubuh.” “Jadi, pembantu rumah tangga yang dieksploitasi dan tak dipenuhi hak-haknya bisa dikatakan sebagai korban perdagangan perempuan, apalagi jika cara-cara perekrutannya dipenuhi tipu daya,” kata Astuty Liestianingrum dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK).

Unsur penipuan memang paling banyak digunakan para pelaku untuk menjadikan perempuan sebagai obyek perdagangan. Simaklah penuturan Ayu (bukan nama sebenarnya) yang ia tulis dalam laporannya ke Kopbumi berikut ini.

“Bu Budi menawarkan pekerjaan kepada kami sebagai pelayan toko di Batam pada tanggal 6-2-2005. Pada tanggal itu juga pada pukul 20.00 WIB kita berangkat dari Purwokerto.

“Bu Budi menjanjikan kepada kami gaji yang cukup banyak, kerja enak dan nyaman dan gaji diambil setelah kontrak kerja habis. Lama kontrak kerja yang dijanjikan adalah 6 bulan. Kita pun berangkat tanpa pamit orang tua. Sebelum berangkat kita berkumpul di rumah Bu Budi kurang lebih selama 1 jam.

“Kita berangkat dari Purwokreto pada tanggal 6-2-2005. Kita ke Jakarta dengan travel ‘Camar Putra’. Kita diantar sampai Bandara ‘Soekarno-Hatta’, sampai di Jakarta pada tgl 7-2-2005 ± pkl. 11.00 WIB. Pada saat itu juga ada dua orang laki-laki yang menyampaikan dan memberi empat tiket kepada kita. Tiket tersebut tiket ‘Jatayu Airlines’. Seetelah mendapat tiket kita didesak supaya cepat-cepat berangkat. Di samping memberi tiket, kita juga dikasih uang Rp100.000,00 untuk thack in (sic!) di bandara. Bu Budi memberitahukan kepada kita setelah di Batam akan ada yang menjemput. Kita berangkat berempat tanpa Bu Budi dan setelah itu kita tidak tau di mana Bu Budi.”

Untunglah Ayu dan ketiga rekannya begitu tiba di Bandara Hang Nadim, Batam, bertemu dengan perempuan pegawai bandara. Oleh perempuan pegawai itu, mereka kemudian dibawa ke kantor dinas kependudukan setempat dan ditampung selama semalam. “Ketika di kantor itu ada dua orang laki-laki yang akan menjemput kita dan orang itu juga yang memberi tiket kepada kita,” kata Ayu. Pegawai kantor dinas kependudukan pun bergerak cepat, kedua laki-laki itu lalu “diamankan”. Pada tanggal 8-2-2005, mereka dipindahkan ke kantor Pemberdayaan Perempuan. “Tapi, kepala kantor itu mengatakan kantor Pemberdayaan Perempuan tak punya dana untuk memulangkan kami,” tutur Ayu.

Ayu dan ketiga rekannya akhirnya bisa berangkat ke Jakarta setelah ditolong oleh aktivis lembaga swadaya masyarakat. Mereka diberangkatkan dengan kapal laut. Dan, di Jakarta, mereka ditampung oleh aktivis Kopbumi, untuk kemudian dipulangkan ke kampung mereka.

Dipaksa Menjadi Pelacur
Namun, menurut Trisakti Rachim, Pelaksana Harian Kopbumi, ada ribuan perempuan Indonesia setiap harinya yang berhasil diperdagangkan ke luar negeri, baik yang untuk dijadikan pelacur maupun sebagai pembantu rumah tangga. Trisakti mencatat setidaknya ada lima jalur sindikasi perdagangan perempuan, yakni Belawan, Riau, Entikong, Nunukan, dan Bandara Soekarno-Hatta. “Pelabuhan Belawan merupakan pintu masuk ribuan buruh migran ilegal asal Sumatra Utara menuju Johor, Malaysia. Para calo atau tekong memasukkan calon buruh migran ilegal ke Johor umumnya menggunakan jalur ini dengan kapal laut,” kata Trisakti.

Sementara itu, Riau dipergunakan oleh calo/tekong sebagai pintu masuk ke Malaysia melalui Singapura, Johor, dan Pulau Penang. “Sebelum ke tiga tempat itu, mereka diselundupkan menggunakan kapal dan perahu-perahu tradisional menuju Batu Ampar, Batam, Sri Bintang Pura, dan Pangkal Pinang. Para calon buruh migran ilegal itu umumnya berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Mereka umumnya akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau buruh pabrik di Johor,” ungkap Trisakti.

Nunukan merupakan pintu masuk ke Sabah, Malaysia. “Jalur ilegal yang biasa digunakan calo atau tekong adalah Pantai Tawao. Calon buruh migran umumnya berasal dari Sulawesi Selatan dan Jawa Timur,” kata Trisakti.

Ia juga mencatat Bandar Udara Soekarno-Hatta sebagai salah satu pintu untuk menyelundupkan calon buruh ilegal. “Biasanya kegiatannya berlangsung dari pukul 06.00 sampai pukul 10.00. Tujuannya umumnya Hong Kong, Taiwan, Korea, dan Timur Tengah,” katanya.

Jalur Entikong digunakan bagi mereka yang akan dijual ke Sarawak, Malaysia. “Secara geografis, Entikong adalah pintu perbatasan darat Indonesia-Malaysia. Di samping memakai jalur darat Entikong, kadang penyelundupan perempuan juga memakai jalur laut, langsung ke Kuching, Malaysia. Tapi, bagi calo atau tekong, jalur darat lewat Entikong adalah jalur yang paling aman untuk menyelundupkan calon buruh migran ilegal ke Malaysia,” tutur Trisakti. Kopbumi mencatat, setiap hari rata-rata 500 calon buruh ilegal yang masuk lewat Entikong.

Namun, pintu perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat bukan hanya di Entikong. “Ada 13 pintu di sana, yang rata-rata dari masing-masing pintu itu ada 500 orang diselundupkan ke Malaysia. Selain Entikong, pintu yang paling digemari adalah pintu perbatasan di daerah Jagobabang, Bengkayang, karena dari sana ke Kuching hanya dua jam,” ujar Trisakti.

Umumnya, perempuan yang dijual ke Sarawak dan Kuching dijadikan pelacur. “Kebanyakan mereka awalnya diiming-imingi akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, bekerja di restoran, dan bekerja tempat hiburan semacam karaoke, tapi kemudian dipaksa untuk jadi pelacur, karena mereka di sana diserahkan kepada germo,” ungkap Trisakti. Kalau tidak mau, mereka akan diintimidasi atau disiksa, seperti yang dialami dua perempuan yang ditolong LBH APIK Pontianak beberapa waktu lalu. Keduanya mengalami luka yang cukup serius akibat disiksa majikan mereka karena menolak dijadikan pekerja seks. Untungnya, mereka berhasil kabur dan ditemukan oleh aktivis LBH APIK, yang punya kepedulian kepada mereka. “Bagaimana bila mereka ditemukan oleh orang yang tak punya kepedulian? Kemungkinan besar mereka akan bertemu dengan tekong lagi, sehingga dijual kembali, sehingga kemudian mereka tak bisa pulang, tak tentu rimbanya. Dan, kasus seperti ini banyak sekali,” kata Trisakti.

Biasanya, sebelum diberangkatkan ke Entikong dan tempat-tempat lain di Kalimantan Barat, para calon buruh migran itu ditampung dulu di Jakarta. “Dari Jakarta, mereka diberangkatkan ke Pontianak dan ditampung dulu di sana. Untuk yang dari Jawa biasanya di tampung di penampungan Jawa Indah. Dari Pontianak mereka lalu dibawa ke Entikong. Bagi yang belum punya paspor, mereka lalu dibuatkan KTP sana untuk membuat paspor di Kantor Imigrasi Entikong. Dengan uang Rp 200 ribu, KTP bisa selesai dalam sehari. Begitu pula paspor, bisa selesai dalam sehari hanya dengan uang Rp 400 ribu sampai Rp 700 ribu,” ujar Trisakti lagi.

Modus lain, tambah Tri, dari Jakarta mereka diberangkatkan berkelompok dengan pesawat terbang, seperti yang dialami Ayu dan ketiga kawannya. Sesampai di Bandara Supadio, Pontianak, mereka dijemput oleh sopir taksi yang sudah dipesan oleh sindikat penjualan di Jakarta, untuk dibawa ke tempat penampungan, lalu ke Entikong. “Jadi, sindikatnya memang bermain di Jakarta,” kata Trisakti.

Sindikat Condet
Menurut Trisakti, setidaknya ada tiga sindikat besar yang melakukan perdagangan manusia—yang sebagian besar adalah perempuan—ke luar negeri. “Kami menyebutnya sebagai sindikat Condet, Jakarta Timur, karena di sana ada banyak perusahaan jasa pengiriman tenaga kerja Indonesia sekelas kaki lima. Korbannya dari berbagai daerah di Indonesia. Sindikat ini biasanya mengirim buruh ilegal ke Timur Tengah dan Asia Timur, seperti Arab Saudi, Hong Kong, Korea, dan Jepang,” tutur Trisakti.

Sindikat yang kedua adalah sindikat sindikat Entikong. Umumnya, perempuan yang diperdagangkan berasal dari Jawa dan Nusa Tenggara Barat. “Yang ketiga adalah sindikat Nunukan. Yang paling banyak direkrut adalah perempuan dari Makassar dan Nusa Tenggara Timur,” kata Trisakti.

Dari ketiga sindikat itu diperkirakan sedikitnya 3.000 orang Indonesia dijual ke luar negeri setiap harinya. “Dan, 77 persen dari mereka adalah perempuan. Kami sudah membeberkan fakta-fakta ini di depan anggota DPR, waktu akan membahas RUU antiperdagangan manusia,” ujar Trisakti.

Dari hasil penelusuran Kopbumi, sindikat-sindikat itu memiliki hubungan dengan sindikat-sindikat lain di luar negeri. “Sindikat Condet punya hubungan dengan sindikat di Timur Tengah dan Asia Timur,” kata Trisakti. Dan yang paling miris, tambah Trisakti, adalah buruh migran di Arab Saudi dan Kuwait, karena paling banyak mengalami pemerkosaan dan pelecehan seksual. “Bahkan, dalam satu pekan saja di Bandara Soekarno-Hatta ada 5-7 buruh perempuan yang baru pulang bekerja dari Arab Saudi dan Kuwait dalam keadaan hamil atau membawa anak,” ungkap Trisakti.

Antara Arab Saudi dan Kuwait, yang paling rawan adalah Arab Saudi. “Karena sindikat Condet banyak ‘bermain’ di sana dan mereka sangat kuat. Mereka punya tempat penampungan ilegal untuk buruh perempuan yang bermasalah dengan majikannya. Paling banyak di Madinah dan di Thaif. Perempuan-perempuan yang lari dari majikannya itu kemudian dijadikan pekerja seks oleh mereka, yang tak jarang mereka diperkosa lebih dulu. Dalam satu penampungan itu ada 30 sampai 40 perempuan Indonesia yang dijadikan pelacur. Padahal, di Arab Saudi dan Kuwait ada sekitar 400 penampungan ilegal seperti itu,” kata Trisakti sambil menarik napas dalam-dalam.

Kasus lain yang berhubungan dengan perdagangan perempuan Indonesia ke luar negeri adalah banyaknya perempuan Indonesia yang kini tak diketahui rimbanya alias dinyatakan hilang. “Dari tahun 2003 sampai tahun 2005 saja Kopbumi mencatat ada 792 kasus dan yang terbaru ada 117 kasus. Mereka memang sudah sangat sulit dilacak keberadaannya. Itulah sebabnya kami meminta bantuan Departemen Luar Negeri untuk melacaknya. Eh, Departemen Luar Negeri malah meminta kami untuk mengumpulkan dokumen dari orang-orang yang dianggap hilang itu. Kalau kami punya dokumen mereka, ya, kami sendiri yang akan melacak. Lagi pula, mereka kan buruh ilegal. Kemungkinan, dokumen mereka dipegang oleh majikan mereka atau oleh calo. Mestinya negaralah yang mencari tahu keberadaan mereka. Kan, kewajiban negara untuk melindungi warganya,” kata Trisakti dengan nada kesal.

Ada empat penyebab, menurut Kopbumi, kenapa mereka menjadi sulit dilacak. “Pertama, mereka disekap majikan, diperbudak. Pernah ada seorang perempuan buruh yang berhasil lari setelah tujuh tahun disekap di rumah majikannya,” kata Trisakti. Yang kedua, mereka dipenjara karena, begitu lari dari rumah majikan, mereka tak punya dokumen selembar pun. “Jumlah tenaga kerja Indonesia yang dipenjara ini ada ribuan,” tutur Trisakti. Yang ketiga, mereka ada di tempat penampungan-penampungan ilegal, dijadikan pekerja seks. Dan, yang keempat, mereka dipindahnegarakan. “Lihat saja di Syuriah, ada sekitar 9.000 perempuan kita di sana, entah bekerja sebagai apa. Padahal, pemerintah kita tak punya kebijakan menjadikan Syuriah sebagai negara tujuan penempatan tenaga kerja Indonesia,” ujar Trisakti.

PJTKI Terlibat
Astuty Liestianingrum sendiri menyatakan umumnya perusahaan jasa penyalur tenaga kerja Indonesia (PJTKI) ke luar negeri terlibat dalam banyak kasus perdagangan dan eksploitasi perempuan. “Contohnya, mereka menampung calon tenaga kerja padahal belum ada permintaan dari luar negeri. Nah, mereka bisa menampung calon tenaga kerja sampai dua tahun, padahal aturannya paling lama tiga bulan. Kalau ada yang mau pulang dan ke luar dari tempat penampungan, calon tenaga kerja dimintakan uang karena selama ini calon tenaga kerja dibiayai oleh pihak PJTKI. Dari mana para calon tenaga kerja itu punya uang? Kan, mereka selama di penampungan tidak bekerja,” kata Lies.

Trisakti juga melihat adanya potensi PJTKI melakukan pelanggaran terhadap buruh migran. “Banyak PJTKI yang tidak patuh pada hukum. Selain itu, ada PJTKI yang tidak memiliki surat izin pendirian resmi perusahaan,” ujar Trisakti.

PJTKI juga dapat berpotensi menjadi mata rantai perdagangan perempuan bila mempergunakan jasa calo dalam menjaring calon buruh, apalagi bila bersama calo melakukan penipuan dan pemerasan terhadap calon buruh migran. “Mereka juga bisa dianggap terlibat bila tidak memberikan informasi yang jelas kepada calon buruh migran dan buruh migran, seperti jadwal keberangkatan, tempat kerja, dan calon majikan. Ada banyak kasus, kontrak kerja baru diberikan ke calon buruh migran di atas pesawat,” ungkap Trisakti.

Soal PJTKI yang terlibat dalam perdagangan perempuan ini juga dibenarkan oleh salah seorang deputi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Dra. Sumarni Dawam Rahardjo, M.P.A. “Bahkan, PJTKI legal pun bisa terlibat dalam perdagangan perempuan,” katanya.

Melihat begitu mudahnya orang Indonesia, terutama perempuan, dijual ke luar negeri, Kopbumi menyinyalir adanya keterlibatan oknum aparat pemerintah dalam prosesnya. “Yang berpotensi terlibat adalah aparat desa, aparat Departemen Tenaga Kerja, aparat Imigrasi, aparat bandar udara dan pelabuhan, serta aparat Departemen Luar Negeri,” kata Trisakti.

Oknum aparat desa biasanya terlibat dalam pemalsuan dokumen, seperti pemalsuan usia, ijazah, status, dan keterampilan. Begitu pula dengan oknum aparat Departemen Tenaga Kerja, yang melakukan pemalsuan dokumen, berkolusi dengan PJTKI, melakukan pemerasan terhadap buruh migran dan keluarganya, bahkan menjadi calo PJTKI. Sementara itu, oknum aparat Imigrasi terlibat dalam pemalsuan dokumen dan identitas untuk pembuatan paspor. “Juga ada kasus oknum Imigrasi melakukan pemerasan terhadap PJTKI dan calon buruh migran melalui proses pembuatan paspor,” ungkap Trisakti.

Oknum apara bandara dan pelabuhan juga ada yang melakukan kolusi dengan calo, sponsor, dan PJTKI dalam pemberangkatan buruh ke luar negeri. “Ada juga buruh migran yang diperas oknum aparat bandara dan pelabuhan ketika akan berangkat atau ketika baru pulang dari bekerja di luar negeri,” tutur Trisakti. Akan halnya oknum Departemen Luar Negeri ada yang justru terlibat langsung dalam perdagangan orang. Misalnya, ada buruh yang bermasalah dengan majikannya, lalu minta perlindungan ke KBRI atau ke Konsulat Jenderal RI, bukannya ditolong atau dipulangkan, buruh itu malah kembali dijual ke majikan yang baru. “Di Arab Saudi, untuk bisnis haram seperti ini, oknum Departemen Luar Negeri ini bisa dapat penghasilan 6.000 rial per satu kepala,” kata Trisakti.

Menurut Trisakti, pemerintah Indonesia memang sangat tidak memperhatikan masalah perdagangan perempuan. Boleh jadi memang demikian. Buktinya, Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan yang mestinya peduli terhadap nasib perempuan saja belum pernah melakukan studi tentang masalah ini, seperti diakui Dra. Sumarni Dawam Rahardjo, M.P.A. Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan yang memiliki tugas memberdayakan perempuan dalam bidang pendidikan dan ekonomi, tambah Sumarni, baru akan bertindak kalau ada informasi. “Untuk itu, kami akan bekerja sama dengan pihak kepolisian. Jika menyangkut buruh migran, kami juga akan memberikan advokasi ke Menteri Tenaga Kerja dalam menangani masalah ini,” ujar Sumarni.

Mudah-mudahan saja apa yang diungkapkan Trisakti Rachim di atas bisa dikategorikan sebagai informasi. Dengan begitu, pemerintah via Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, plus Departemen Tenaga Kerja, Departemen Luar Negeri, dan kepolisian, akan segera aktif mengatasi masalah perdagangan perempuan. Tidak sekadar menjadi pihak yang hanya menunggu bola. Semoga saja. (Pedje)

2 comments:

  1. Kenapa sih pemerintah kita tidak pernah bertindak dan para TKI itu selalu yang menjadi korban, malah mereka di bilang pahlawan devisa lagi, devisa untuk siapa yang jelas bukan untuk mereka khan? Kalau kita masih mengirimkan TKI terus maka kita akan selalu dianggap bangsa jongos, bangunlah rakyat Indonesia, bangga dengan budaya kita sendiri. Kita adalah negara terkaya di dunia dalam sumber daya alam, manfaatkan yang kita miliki dan bangga dengan hal itu

    ReplyDelete
  2. Pemerintah kita memang tidak peduli sama nasib rakyat kecil pada umumnya. Yang dibela dan diperjuangkan lebih banyak orang-orang kaya dan kaum bermodal besar. Wajar bila akhirnya banyak yang jadi TKI di negeri, walau harus taruhan nyawa dan harga diri.

    ReplyDelete