Sunday, November 15, 2009

Membicarakan Kitab dengan Gelak Tawa

Berbincang-bincang tentang buku memang tidak harus membuat kening sampai berkerut-merut. Bahkan ketika buku yang diperbincangkan adalah sebuah novel tebal pemenang Katulistwa Literary Award tahun 2005 lalu, Kitab Omong Kosong. Novel yang diterbitkan oleh penerbit Bentang, Yogyakarta, itu ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma, salah seorang sastrawan terkemuka di negeri ini.

Itulah yang terjadi pada acara diskusi buku yang digelar eve's Book Club di Restoran Miitem, Citiwalk, Jakarta, 7 April lalu. Sesekali, peserta diskusi buku itu tertawa bersama atau sekadar tersenyum, setelah perbincangan yang hangat dengan penulisnya. Apalagi, Seno yang juga wartawan, dosen, dan doktor tentang komik itu kadang melontarkan cerita yang menggelitik tawa. Misalnya ketika ia menceritakan proses lahirnya Kitab Omong Kosong. “Kalau diperhatikan, novel itu terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama terdiri dari tujuh bab, karena sebetulnya merupakan pesanan. Jadi, ada teman saya yang meminta saya untuk dibuatkan brosur untuk Purawisata di Yogyakarta. Purawisata itu gedung pertunjukan yang selalu menggelar pertunjukan wayang, terutama yang diangkat dari kisah Ramayana. Nah, supaya laku, katanya, bagaimana supaya ketika turis datang sudah dapat brosur yang isinya cerita Ramayana. Maka, saya bikin, sehingga selesailah yang tujuh bab itu. Tapi, ternyata tidak pernah diterbitkan. Itu terjadi kira-kira tahun 2000,” ujar pria kelahiran Boston pada 19 Juni 1958 itu.

Suatu hari, ketika Koran Tempo akan terbit, tahun 2001, Seno diminta untuk mengisi rubrik cerita bersambung. Seno pun lalu menyodorkan bahan yang semula ia tulis untuk brosur itu. “Tapi, orang Koran Tempo tidak tahu kalau sebenarnya itu tadinya untuk brosur. Terus, menjelang bab enam, anak saya cerita bahwa ia diledek oleh dosen-dosennya. ‘Eh, babe lu tajir dong, karena ceritanya di Koran Tempo enggak tamat-tamat,’ kata dosen anak saya. Padahal, ketika itu tinggal satu bab lagi. Lalu, saya terpikir, iya, ya, kenapa saya tidak bertajir ria dengan cerita itu. Ya, sudah, saya sambung saja itu. Nah, itulah sebabnya bagian pertama itu setia dengan kisah Ramayana,” kata Seno, yang langsung disambut gelak tawa peserta diskusi.

Jadilah, Kitab Omong Kosong diterbitkan terlebih dulu dalam bentuk cerita bersambung di Koran Tempo sejak 2 April hingga 10 Oktober 2001. Judulnya pun ketika itu belum Kitab Omong Kosong, tapi “Rama-Sinta”. Untuk bagian selanjutnya, sudut pandang penceritaan menggunakan sudut pandang rakyat biasa yang hidup sezaman dengan tokoh-tokoh wayang itu. “Di bagian ini saya juga memainkan dimensinya, ada dimensi dongeng, ada dimensi nyata. Jadi, rakyat memburu tokoh-tokohnya. Bahkan, lebih dari itu, tokoh-tokoh itu justru protes akan nasib mereka, sehingga mereka memburu pengarangnya,” tutur Seno. Dengan “akal bulus” seperti itu, cerita Seno pun terus mengalir. “Kisahnya baru saya hentikan setelah saya ke luar negeri, ke Kanada. Kok, saya sudah jauh-jauh ke Kanada masih memikirkan cerita ini. Jadi, daripada saya repot harus dikejar deadline Koran Tempo setiap hari, ya, sudah saya tamatkan saja,” ungkap Seno.

Memang, secara keseluruhan, kisah Rama yang menyerang Rahwana karena telah menculik Sinta dalam epos Ramayana hanya menjadi sekadar pijakan dalam Kitab Omong Kosong. Cerita utama novel ini sendiri adalah perjalanan Maneka dan Satya dalam mencari Walmiki dan Kitab Omong Kosong. Tentu saja, cerita utama,Maneka, dan Satya tidak ada dalam epos Ramayana yang ditulis oleh Walmiki.

Dalam acara yang dipandu oleh penulis Syahmedi Dean ini hadir sekitar 30 orang peserta dan mereka begitu antusias mengajukan pertanyaan kepada Seno. Ada peserta yang menanyakan soal pilihan kata yang dipakai Seno dalam Kitab Omong Kosong dan ada juga yang menanyakan cara penggambaran fisik Rahwana yang dilakukan Seno. Berbagai pertanyaan lain seputar novel itu pun bermunculan. “Apakah buku ini telah diedit oleh orang lain atau diedit sendiri oleh penulisnya sendiri,” kata salah seorang peserta yang lain lagi. Dengan sedikit berkelakar, Seno menjawab bahwa tidak ada yang berani mengedit tulisannya. “Bukan tidak berani, tapi, ya, kira-kira dikit dong, ha-ha-ha…. Mungkin yang diedit hanya bahasanya, bukan ceritanya,” ujar Seno. Para peserta pun tertawa lepas lagi.

Ada juga pembaca yang merasa gemas dan tidak puas karena merasa cerita dalam Kitab Omong Kosong belum tuntas. “Saya memang tidak berusaha memikirkan apa yang dimaui pembaca. Yang paling menyiksa saya itu kalau saya harus menulis seperti itu, seperti ini. Saya merasa berhak untuk bebas. Tapi, kan saya belum sebegitu norak dengan memasukkan pistol dalam cerita itu, misalnya. Saya belum senorak begitu,” tutur Seno.

Dalam Kitab Omong Kosong, pembaca memang bisa menangkap keliaran imajinasi Seno. Dalam sebuah kesempatan, seperti ditulis sebuah media, Seno sejak remaja memang sudah menyukai kebebasan. Bahkan, ketika masih di sekolah dasar. “bakat” pembangkangan sudah dimulai. Ia mengajak teman-temannya untuk membolos dari kelas wajib kor, sehingga ia pun dihukum gurunya. Begitupun ketika SMP dan SMA. Padahal, ayahnya adalah doktor di bidang fisika yang dikenal sebagai ahli energi alternatif dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan ibunya seorang dokter spesialis penyakit dalam.

Seno telah mulai menulis sejak masih di SMA, tahun 1974. ”Aku mewajibkan diriku menulis karena aku suka membaca,” ujarnya kepada sebuah media. Dari tangannya kemudian mengalir berbagai jenis tulisan. Sampai sekarang ia telah menghasilkan puluhan buku, mulai dari kumpulan puisi, novel, sampai kumpulan esai. Berbagai penghargaan pun telah ia terima, antara lain Sea Write Award, Dinny O’Hearn Prize for Literary, dan Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Dalam acara diskusi kali ini, para peserta mendapat voucher dari Miitem dan Madame Korner masing-masing senilai Rp100 ribu, selain tentu saja novel Kitab Omong Kosong, yang telah dibagikan terlebih dulu jauh-jauh hari. Rencananya, pada bulan Mei ini, diskusi buku eve's Book Club akan digelar di Kedai Dua Nyonya, Cikini, Jakarta Pusat. Buku yang akan dibahas adalah kumpulan cerpen Cari Aku di Canti karya Wa Ode Wulan Ratna yang diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing. Kumpulan cerpen ini mendapat Khatuliswa Literary Award tahun 2008 untuk kategori penulis muda. (Pedje)

No comments:

Post a Comment