Suatu hari di bulan Juli 2006 datang surat ke meja redaksi eve dari Radio Republik Indonesia yang ditandatangani oleh direktur utamanya, Parni Hadi. Isinya: undangan untuk melakukan kunjungan nostalgia ke Pulau Morotai di Maluku Utara, bersama dengan beberapa wartawan dari media lain. Dan, ketika saya ditugaskan untuk memenuhi undangan itu, saya langsung menyatakan siap.
Saya memang belum pernah ke Pulau Morotai sebelumnya. Tapi, saya agak akrab dengan nama pulau ini karena suka membaca berbagai literatur sejarah. Pulau Morotai merupakan salah satu pulau kecil di bibir Samudra Pasifik yang memegang peran penting dalam masa Perang Pasifik (1941-1945), perang antara Amerika Serikat plus sekutunya dan tentara fasisme Jepang. Di Pulau Morotai-lah jenderal besar Amerika Serikat, Douglas MacArthur, membuat pangkalan militer untuk melancarkan serangan balasan terhadap balatentara Jepang, setelah kalah di Pearl Harbor (1941) dan dipukul mundur di Filipina (1942). Di Morotai, Douglas MacArthur menghimpun kekuatan pasukannya untuk merebut kembali Filipina dari tangan Jepang. Dari negeri Cory Aquino itu, sang jenderal lalu masuk ke jantung pertahanan Jepang, Iwojima dan Okinawa.
Saya bersama sejumlah wartawan lain dari berbagai media berangkat dari Pangkalan Udara TNI-AU Halim Perdana Kusumah setelah subuh. Naik pesawat Hercules tentara! Rencananya, sebelum ke Morotai, kami akan menginap dulu semalam di Ternate, ibu kota Maluku Utara. Setelah sekitar tujuh jam berada dalam kebisingan Hercules, akhirnya kami mendarat di Bandara Udara Baabullah, Ternate—pesawat tanpa toilet ini sebelumnya sempat transit di Makassar untuk mengisi bahan bakar. Turun dari pesawat, pemandangan indah bagai lukisan bercorak Mooi Indie langsung menyergap: pantai, laut, dan gunung-gunung. “Di provinsi kami memang banyak gunung, sehingga sering disebut juga sebagai Provinsi Seribu Gunung,” kata Gubernur Maluku Utara Drs. Thaib Armayn kepada rombongan wartawan. Di Pulau Ternate sendiri berdiri gunung berapi yang masih aktif, Gunung Gamalama.
Di pulau kecil ini, kami dijamu oleh Sultan Ternate dan permaisurinya, Sultan Mudaffar Syah dan Boki Ratu Nita Budhi Susanti, di kedaton mereka yang telah berdiri sejak tahun 1813. Dari sana, kami diajak untuk mengunjungi benteng peninggalan Portugal, Benteng Kalamata, yang sering juga disebut Benteng Santa Lucia dan Benteng Kayu Merah. Sayangnya, kami tak sempat mampir ke Benteng Oranye peninggalan Belanda dan Benteng Tolukko peninggalan Portugal. Namun, sore harinya, kami diajak beristirahat di sebuah restoran yang menghadap ke laut dengan pemandangan yang sangat menawan hati—yang saya nikmati sambil menyeruput air jahe dicampur irisan buah kenari, salah satu hasil alam Maluku Utara. Hmmm….
Keesokan paginya barulah kami terbang ke Pulau Morotai, yang ditempuh hanya sekitar 45 menit dari Ternate dengan pesawat Hercules. Selama perjalanan, saya berdiri memandang alam nun di bawah sana yang menakjubkan, lewat lingkar kecil jendela pesawat buatan tahun 1980-an itu.
Pulau Morotai adalah salah satu pulau terluar di wilayah republik tercinta ini. Luasnya hanya 2.478 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk kurang dari 50 ribu jiwa. Di sini kita masih bisa melihat landasan pesawat peninggalan Jenderal Douglas MacArthur. Ada 12 landasan darurat yang dibuat oleh tentara Sekutu di sana, dengan panjang 2.700 meter dan lebar 40 meter. Tujuh di antaranya dikeraskan dengan batu-batu karang yang dicampur minyak hitam dan juga dipasangi pelat besi berlubang. Sejarah mencatat, pada masa Perang Pasifik, Sekutu menempatkan 3.000 pesawat tempur, pesawat angkut, dan pesawat pengebom serta 63 batalyon tempur di Pulau Morotai. Dan kini, TNI-AU telah membuat pangkalan militer di sana.
Selain landasan pesawat itu dan pemandangan alamnya yang memanjakan mata, di Pulau Morotai juga ada beberapa situs bersejarah yang lain, seperti sumber air yang disebut Air Kaca (yang konon sering menjadi tempat mandi MacArthur), bunker-bunker peninggalan Jepang dan Sekutu, dan sisa-sisa mesin perang. Beberapa spesies burung langka juga banyak terdapat di sana, antara lain burung kakatua merah, kakatua biru, dan burung manua.
Dari Morotai, rombongan wartawan diajak ke Pulau Sumsum, pulau kecil dekat Morotai, yang hanya perlu waktu sekitar 15 menit ke sana dengan menggunakan speed boat. Di Pulau Sumsum, kami melihat sisa-sisa perang dan bunker peninggalan Sekutu. Dari Pulau Sumsum, kami ke Pulau Dodola dengan speed boat lagi, yang ditempuh kurang dari setengah jam. Saya agak ngeri juga selama dalam perjalanan karena ombaknya lumayan besar, yang sempat membuat speed boat beberapa kali terguncang keras. Untunglah, air lautnya terlihat jernih, sehingga hati saya sedikit terhibur.
Saya semakin terhibur ketika melihat Pulau Dodola. Pulau tak berpenghuni ini menakjubkan. Hamparan pasir putih yang bersih dan air lautnya yang sungguh jernih begitu menggoda saya untuk segera mencemplungkan diri ke laut, berenang sepuas hati. Namun, jadwal kunjungan yang ketat menghalangi hasrat saya, karena kami harus segera kembali Pulau Morotai dan kemudian terbang pulang ke Jakarta. Di Morotai, beberapa teman wartawan sempat membeli perhiasan yang terbuat dari besi putih, hasil kerajinan penduduk setempat. Saya berjanji dalam hati, suatu saat, kalau berkesempatan, saya akan kembali mengunjungi daerah yang ini—kendati sampai kini penerbangan komersial dari Ternate ke Morotai hanya ada seminggu sekali. (Pedje)
Tips
- Bila Anda ingin ke Ternate dan Pulau Morotai, jangan lupa membawa jaket karena di kawasan ini anginnya relatif kencang, terutama menjelang sore, dan sunblock. Jangan lupa juga membawa sepatu boot atau sepatu kets bila ingin melihat-lihat peninggalan perang yang ada di dalam hutan.
- Karena transportasi ke Morotai dari Ternate hanya ada seminggu sekali, sebaiknya Anda merencanakan perjalanan dengan matang. Anda bisa meminta informasi ke Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Maluku Utara di Jalan Kamboja No. 14 A Kota Baru, Ternate, telepon (0921) 327396, 326277.
- Di Ternate ada banyak hotel dan losmen, tapi di Pulau Morotai tak ada.
- Bila Anda ingin bertualang ke berbagai pulau yang ada di sekitar Ternate dan Morotai, sebaiknya Anda ditemani pemandu wisata atau penduduk setempat, yang informasinya dapat Anda tanya juga ke pegawai di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Maluku Utara. (Pedje)
No comments:
Post a Comment